Jumat, 30 Agustus 2024

Kebun Energi : Mengapa Kaliandra (Calliandra Calothyrsus) atau Gamal (Gliricidia Sepium) ?

Sejak tahun 1937 kaliandra telah ditanam di Perhutani dan daerah yang lebih luas bersamaan dengan program penghijauan dan pendukung kayu bakar dan pakan ternak. Dan juga sejak tahun 1974, Perhutani telah menyebarkan bibit kaliandra kepada petani hutan dan memanfaatkannya sebagai tanaman batas antara kawasan hutan dan daerah pedesaan atau lahan pertanian. Budidaya kaliandra pada saat itu terutama ditujukan untuk menyediakan kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat yang tinggal di hutan, dan mengurangi ketergantungan pada minyak tanah untuk memasak. Kaliandra digunakan sebagai tanaman teras (penahan erosi) dengan kemiringan tinggi untuk memperkuat perkebunan utama, misalnya dengan perkebunan jati, dan juga untuk tujuan perlindungan tanah, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui kemampuan akarnya untuk menyerap nitrogen dalam bentuk bintil akar.

Sedangkan jenis tanaman gliricidia banyak digunakan sebagai tanaman tepi atau tanaman pagar untuk mencegah ternak besar memasuki hutan. Kayunya digunakan sebagai kayu bakar dan daunnya digunakan sebagai pakan ternak. Kayunya dapat dipanen dengan cepat, dan pemangkasannya juga dilakukan dengan proses yang cepat. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tidak direkomendasikan untuk menanam spesies baru yang memiliki karakteristik yang tidak diketahui sampai ada kegiatan penelitian yang memadai tentang spesies tersebut. 

Sebagai contoh misalnya jenis akasia relatif memiliki karakteristik sebagai spesies yang cepat tumbuh namun tidak banyak diketahui apakah bisa digunakan dan dikelola dengan sistem trubusan (coppice) yang berkelanjutan. Dan juga jenis-jenis tersebut tidak seperti tanaman kaliandra dan gamal meski mudah dalam budidaya dan pemanenan, namun tidak terbukti cocok untuk penerapan sistem trubusan rotasi pendek, dan juga jarang ditanam dalam skala yang lebih luas. 

Meskipun kaliandra dan gliricidia bukan spesies pohon asli di Indonesia, tetapi spesies tersebut telah lama diperkenalkan, dan dapat ditemukan hampir di seluruh pulau Jawa. Calliandra dan Gliricidia menjadi sangat populer di daerah pertanian di sebagian besar wilayah Jawa. Selain itu bahkan juga belum banyak laporan yang menggambarkan adanya hama dan / atau penyakit yang berkaitan dengan salah satu spesies tersebut. Kayu yang dihasilkan dari tanaman kaliandra dan gliricidia memiliki karakteristik fisik dan kimia yang relatif baik untuk dijadikan kayu bakar atau sebagai bahan baku wood pellet. Nilai kalorinya tinggi dan kadar abunya rendah.   

Indonesia sebagai negara tropis bahkan dengan luas tanah terbesar di Asia Tenggara akan sangat potensial mengembangkan kebun energi tersebut. Kebun energi pada hakekatnya adalah sumber energi atau diibaratkan sebagai baterai, yang menyimpan energi matahari dalam tanaman ,kebun energi tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Walaupun pengembangan aneka tipe energi terbarukan terus dipacu tetapi untuk menyimpan energi dalam kapasitas besar akan membutuhkan baterai yang juga sangat besar. Riset baterai tersebut juga diperkirakan akan membutuhkan waktu cukup lama dan biaya besar, sehingga dalam rangka karbonisasi maka energi biomasa bisa digunakan untuk cofiring dan bahkan fulfiring hingga pada saatnya baterai besar itu bisa diaplikasikan.

Rabu, 28 Agustus 2024

Biochar Solusi Deforestasi Pada Perkebunan Sawit dan EUDR

Perkembangan industri sawit dan perkebunannya di Indonesia sangat pesat terutama 10 tahun terakhir dan saat ini diperkirakan luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 17 juta hektar. Sebagai tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia dan luas perkebunan sawitnya juga terbesar di dunia, tentu saja kelapa sawit memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia. Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.

Bahkan perluasan lahan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar. Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, total luas areal kelapa sawit bertambah seluas 3,7 juta hektar. Ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit tersebut ternyata banyak "dituduh" dan menjadi sorotan dunia sebagai dari alih fungsi lahan hutan, sehingga banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) untuk selanjutnya diubah menjadi perkebunan sawit. 

Tekanan dari Uni Eropa khususnya, akibat kondisi tersebut memperburuk citra minyak sawit Indonesia yang selanjutnya berpengaruh kepada harga jual minyak sawit baik CPO dan produk turunannya tersebut. Memperbaiki citra tersebut memang juga tidak mudah. Salah satu upaya yang efektif adalah menghentikan upaya ekstensifikasi tersebut sehingga lahan hutan tetap menjadi lahan hutan dan tidak berubah menjadi kebun sawit. European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang mulai berlaku 30 Desember 2024 sebagai upaya mencegah deforestasi turut menjadi pertimbangan penting. Peraturan tersebut mewajibkan konsumen dan produsen yang berada di sepanjang rantai pasokan komoditas tertentu untuk melakukan uji tuntas dan penilaian risio untuk memastikan bahwa produk mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. EUDR ini juga menerapkan sistem inspeksi dan penalti berjenjang berdasarkan tingkat risiko yang dirasakan di negara asal. 

Dengan ekstensifikasi lahan sawit lebih dari 1 juta per hektar setiap tahunnya tetapi kenaikan produksi buah sawit hanya 11% tentu kurang menarik dan harus dihindari apalagi ditambah sorotan dunia tentang deforestasi yang semakin kencang tersebut. Hal ini juga semakin mengindikasikan tentang rendahnya produktivitas perkebunan sawit tersebut. Padahal dengan memperbaiki kualitas tanah produktivitas buah sawit bisa dinaikkan secara signifikan dan pembukaan lahan baru untuk pembuatan kebun sawit bisa dihindari. Limbah-limbah biomasa di perkebunan sawit maupun di pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi biochar sebagai solusi masalah tersebut.

Dengan peningkatan produktivitas tandan buah segar (TBS) dengan penggunaan biochar tersebut, maka perkebunan sawit baru tidak perlu dibuka lagi. Dengan asumsi terjadi kenaikkan produktivitas rata-rata 20% maka produksi CPO juga meningkat 20% atau setara 2 juta ton. Peningkatan tersebut akan setara untuk pembukaan lahan baru seluas lebih dari 2 juta hektar. Tentu bukan luas tanah yang kecil. Dengan peningkatan produksi 20% tersebut besar kemungkinan besar kebutuhan nasional untuk kebutuhan khususnya CPO telah terpenuhi dan begitu juga untuk pasar export. Keuntungan lain dari penggunaan biochar ini adalah sebagai solusi iklim sebagai carbon sequestration/carbon sink. Jadi dua permasalah utama pada industri sawit berupa peningkatan produktivitas dan ketahanan perubahan iklim bisa diatasi sekaligus dengan aplikasi biochar tersebut.

Minggu, 25 Agustus 2024

Urgensi IOT dan Aplikasi Biochar Pada Perkebunan Sawit

Trend sustainibility pada perkebunan sawit semakin penting dan urgen, yang itu tentu saja bagian dari solusi global masalah lingkungan dan iklim. Luasnya perkebunan sawit dan besarnya produksi minyak sawit menjadi sorotan pada industri tersebut. Pengelolaan limbah dan pencemaran lingkungan menjadi concern penting. Besarnya volume limbah biomasa berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan dan demikian juga penggunaan pupuk kimia yang berlebihan pada perkebunan sawit yang akan menyebabkan pencemaran lingkungan juga. Peruntukan lahan yang tidak semestinya misalnya deforestasi alih fungsi lahan juga menjadi concern lainnya. 

Dua isu penting pada industri sawit adalah peningkatan produktivitas TBS (yield improvement) dan ketahanan perubahan iklim (climate change resilience). Dan alhamdulillah, kedua hal tersebut bisa sekaligus ditangani yakni dengan aplikasi biochar. Limbah biomasa pabrik sawit (khususnya tankos sawit) akan dikonversi menjadi biochar lalu diaplikasikan untuk tanah perkebunan (sustainable soil amendment) dengan pupuk sehingga menjadi slow release fertilizer yang akan meningkatkan NUE (nutrient use efficiency) dan meminimalisir pencemaran lingkungan. Dengan naiknya NUE maka akan terjadi yield improvement atau peningkatan produduktivitas TBS tersebut. Dan aplikasi biochar tersebut yang akan bertahan di tanah atau tidak terdekomposisi selama ribuan tahun akan menjadi carbon sequestration / carbon sink yang sejalan dengan ketahanan perubahan iklim. Sebuah solusi jitu dengan sekali aksi, tentu ini semestinya sangat menarik dan dinanti-nantikan oleh perusahaan-perusahaan sawit tersebut.

Untuk memastikan bahwa biochar tersebut bisa bekerja semestinya dibutuhkan suatu instrument untuk mengukur perfoma dan memantaunya. Untuk itulah IoT (Internet of things) pada sektor ini dibutuhkan. Seberapa lambat nutrisi pupuk lepas  (how slow can you go) bisa diukur dan dipantau secara akurat, cepat dan tepat. Dengan cara ini pula produktivitas sawit bisa diprediksi. Luasan lahan pada perkebunan sawit yang mencapai ribuan atau puluhan ribu hektar juga bukan menjadi halangan. Luas lahan perkebunan sawit Indonesia yang saat ini diperkirakan mencapai 17 juta hektar dan di Malaysia yang mencapai 5 juta hektar, tentu perusahan-perusahaan sawit tersebut juga berupaya mencapai level sustainibility terbaiknya sesuai tuntutan zamannya. Hal ini sehingga aplikasi biochar pada perkebunan sawit ini akan menjadi trend bahkkan standar operasionalnya. Entry point dengan memastikan performance biochar dengan IoT menjadi pertimbangan penting.

Aplikasi biochar ini juga mengikuti aturan 4Rs yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right place (area aplikasi yan tepat), right rate (takaran atau dosis yang tepat) dan right timing (waktu yang tepat). Sifat-sifat fisika dan kimia biochar berbeda tergantung pada bahan baku dan proses produksinya. Dengan mengikuti aturan 4R tersebut maka performa biochar bisa dimaksimalkan. Di sisi lain modernisasi pada industri sawit juga terus ditingkatkan. Persepsi masyarakat pekerjaan di perkebunan sawit yang disingkat 3D (dangerous, difficult, dirty) akan bertahap diubah dengan mekanisasi, otomatisasi dan digitalisasi. Rasio pekerja terhadap lahan kebun saat ini yang berkisar 1 : 8 ha akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat lebih menjadi 1 : 17,5 ha dengan modernisasi di atas sehingga upah pekerja juga bisa ditingkatkan. Modernisasi tersebut diharapkan akan bisa membantu mengatasi kedua isu penting di atas dengan aplikasi biochar tersebut.  

Sabtu, 17 Agustus 2024

Produksi Wood Pellet Berkapasitas Besar dan Berkelanjutan di Pulau Jawa

Biomassa untuk memproduksi energi dapat dibudidayakan di lahan kritis, atau disebut sebagai lahan yang 'tidak produktif' . Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan bahwa lahan kritis di Indonesia pada tahun 2016 seluas 24,3 juta hektar (Times Indonesia, 2017). Ini adalah wilayah yang sangat luas, dan secara keseluruhan wilayah Indonesia cukup luas untuk menyediakan biomassa bagi produksi energi terbarukan.

Secara global kebutuhan wood pellet diprediksi akan terus meningkat. Hal ini karena pada industri pembangkit listrik saat ini lebih dari sepertiga produksi listrik global masih menggunakan batubara. Porsi tersebut harus turun hingga 4% pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Dunia memiliki waktu 6 tahun dari sekarang untuk mengurangi penggunaan batubara pada pembangkit listrik hingga mencapai kurang dari 4% pada tahun 2030, hal ini juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.

Namun, di Pulau Jawa , ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman energi terbatas karena berbenturan dengan kebutuhan lahan pertanian. Peluang terbesar untuk pengembangan hutan tanaman energi adalah di lahan milik Perhutani yang dikategorikan sebagai 'lahan tidak produktif' . Dalam beberapa kasus, melalui pertimbangan sosial suatu lahan bisa diarahkan untuk program yang sejalan dengan tujuan perhutanan sosial sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.39 / 2017 dan P.38/2016. Namun, sebagai upaya pengembangan usaha, Perhutani dapat memanfaatkan lahannya untuk secara khusus menghasilkan biomassa untuk energi.


Sesuai dengan rencana jangka panjang Perhutani, dan sejalan dengan rencana pengembangan bisnis perusahaan, Perhutani telah mengalokasikan area hutan seluas 116.372 ha atau sekitar 4,7% dari total luas Perhutani di Jawa (2.445.000 ha) sebagai daerah potensial untuk pengembangan tanaman biomassa yang tersebar di 13 KPH (Unit Pengelolaan Hutan) di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten. 

Di seluruh wilayah Perhutani, ada daerah potensial yang memiliki tegakan hutan yang tidak produktif (lahan terbuka atau kurangi potensi hutan, atau cenderung tidak produktif dalam jangka panjang) yang mencakup area seluas 308.000 hektar , tersebar pada 57 KPH . Kawasan ini terbagi menjadi 15% di wilayah Jawa Tengah , 34% di Jawa Timur dan, 51% berada di Jawa Barat dan Banten . Berdasarkan area yang tidak produktif tersebut, kurang lebih di 27 KPH dihitung sekitar 229.286 ha atau 74% dari total luas wilayah potensial untuk Perkebunan Energi Biomassa.

Ratusan ribu sawdust saat ini digunakan untuk program cofiring PLN di Jawa sehingga mengganggu pasokan bahan baku pabrik wood pellet. Hal ini lah mengapa produksi wood pellet dari sawdust yang diambil dari industri penggergajian kayu atau limbah-limbah industri perkayuan di Jawa untuk  produksi wood pellet untuk kapasitas besar akan beresiko besar berupa terganggunya pasokan bahan baku. Sehingga Pabrik wood pellet di Jawa bisa berjalan dengan baik apabila ketersediaan bahan baku bisa terus dipertahankan dan hal itu hanya bisa diwujudkan dengan dua hal, yakni pertama menggunakan bahan baku produksi sendiri, ini bisa dilakukan oleh industri-industri penggergajian dan pengolahan kayu yang memanfaatkan limbahnya sendiri untuk produksi wood pellet, dan yang kedua dengan sumber bahan baku dari kebun energi. Luas lahan yang bisa digunakan untuk kebun energi seperti diuraiakan di atas sangat potensial untuk sumber pasokan bahan baku produksi wood pellet kapasitas besar di Pulau Jawa dan ditambah lagi ketersediaan sarana penunjang di Pulau Jawa yang lebih lengkap dan lebih baik menjadi daya dorong tambahan.  

Minggu, 04 Agustus 2024

Kebun Energi Sumber Energi Sepanjang Zaman

 “Yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” (QS. Yaasin (36) : 80)

 

Matahari diciptakan Allah SWT sebagai sumber energi utama bagi manusia dan makhluk hidup di bumi. Butuh sekitar 8 menit sinar matahari sampai ke bumi dan oleh tumbuhan dikonversi menjadi sumber makanan sehingga bisa dikonsumsi hewan dan manusia. Manusia juga memperoleh makanan dari sumber hewani. Semakin banyak sinar matahari maka semakin banyak pula yang bisa dikonversi oleh tumbuhan melalui proses photosintesisnya. Tanpa matahari, maka tumbuhan mati, hewan mati, manusia mati sehingga tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Bahan bakar fossil pada hakekatnya adalah sumber energi dari tumbuhan dan hewan masa lalu. Penambangan serta penggunaan bahan bakar fossil akan melepaskan sejumlah gas rumah kaca (GRK) yang membuat suhu bumi meningkat yang pada level tertentu membahayakan penduduk bumi itu sendiri. Upaya mengatasi hal tersebut yakni dengan penggunaan energi non-fossil dan energi terbarukan sehingga tidak berkontribusi pada peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer yang meningkatkan suhu bumi tersebut. 

Dari tumbuhan atau pepohonan bisa langsung digunakan sebagai sumber energi atau bahan bakar yakni kayu bakar. Turunan atau produk-produk energi dari tumbuhan juga sangat beragam dan bisa memenuhi semua kebutuhan manusia baik energi dalam bentuk bahan bakar padat, bahan bakar cair dan bahan bakar gas. Produksi kayu bakar, wood chip, wood briquette, sawdust, torrified biomass hingga charcoal adalah sejumlah produk bahan bakar padat. Sedangkan produksi biooil, bioethanol, biodiesel, renewable diesel / green diesel, dan bioavtur / bio jet fuel adalah sejumlah sejumlah bahan bakar cair. Dan biogas serta bio-syngas adalah bahan bakar gas yang bisa dihasilkan dari bahan asal berupa tumbuhan tersebut. 

Sejumlah teknik konversi yang berbasis fisika, kimia dan biologi dibutuhkan untuk konversi tersebut. Penggunaan spesies tanaman yang sesuai juga dibutuhkan untuk memudahkan konversi tersebut, misalnya untuk produksi bahan bakar padat dibutuhkan sumber biomasa seperti kayu-kayuan, sedangkan jika targetnya bahan bakar cair maka jenis tumbuhan penghasil minyaklah yang perlu diupayakan. Konversi dari bahan bakar padat sehingga menjadi bahan bakar cair maupun gas juga bisa dilakukan tetapi pada umumunya semakin panjang dan rumit proses maka biaya produksinya akan menjadi mahal. Tetapi tetap saja kebun energi adalah basis untuk hal itu semua.

Pengolahan biomasa yang populer dan cukup mudah yakni menjadi wood chip dengan pengecilan ukuran / size reduction lalu wood pellet dan wood briquette melalui pemadatan biomasa / biomass densification. Selanjutnya untuk mengubah biomasa bergula menjadi ethanol dengan fermentasi dan distilasi azeotrop, mengubah biomasa lignin (lignocellulosic biomass) menjadi ethanol dengan reaksi hidrolisis enzimatis diikuti dengan fermentasi dan distilasi azeotrop. Mengubah biomasa kayu-kayuan menjadi bahan bakar dengan proses termal bisa dibakar langsung atau apabila ingin dibuat menjadi arang yakni mengkonsentrasikan fixed carbonnnya yakni dengan pirolisis atau karbonisasi, dan apabila ingin memaksimalkan produk cair / bio-oil / pyro-oil yakni dengan pirolisis cepat serta apabila ingin memaksimalkan produk gasnya yakni dengan gasifikasi. Dan supaya karakteristik biomasa tersebut seperti batubara yang hidrophobik maka dengan proses torrefaksi atau mild-pyrolysis bisa dilakukan. Torrefaksi dan densifikasi biasanya dilakukan bersamaan untuk mengoptimalkan produk bahan bakar biomasa tersebut. 

Dengan gas to liquid (GTL) yakni proses gasifikasi dan diikuti proses Fisher – Tropsch akan bisa dihasilkan bio-ethanol, biodiesel maupun bioavtur / bio jet fuel. Sedangkan dari kelompok tanaman-tanaman yang menghasilkan minyaknya seperti sawit akan bisa dibuat biodiesel terutama dengan proses transesterifikasi ataupun estran (esterifikasi plus transesterifikasi). Bahkan minyak bekas (waste oil) atau minyak goreng bekas / minyak jelantah dan miko / minyak kotor atau PAO (palm acid oil) juga bisa digunakan untuk biodiesel / green diesel tersebut ataupun diolah lebih lanjut menjadi bio-jet fuel / bio-avtur dengan proses HVO / HEFA - SPK (Hydro-processed Esters and Fatty Acids-Synthesized Paraffinic Kerosene) . 

Jadi dari biomasa berasal dari pepohonan pada dasarnya bisa diolah aneka bentuk energi ataupun bahan bahan bakar yang dibutuhkan manusia. Selain digunakan langsung sebagai sumber panas, energi tersebut juga bisa diubah menjadi energi mekanik maupun energi listrik, misalnya kendaraan berbahan bakar biofuel hingga pembangkit listrik biomasa. Jadi sumber energi sepanjang zaman yang tersimpan dalam tumbuh-tumbuhan adalah biomasa ini seperti yang firman Allah SWT dalam ayatnya di atas dan tidak ada keraguan sedikitpun atas hal tersebut. Indonesia sebagai negara tropis adalah “surga” bagi produksi biomasa tersebut karena pancaran sinar matahri sepanjang tahun dan curah hujan memadai serta tanah yang luas. Penyimpanan energi dalam tumbuh-tumbuhan dari sinar matahari tersebut juga diibaratkan seperti baterai yang bisa digunakan kapan saja dan dimana saja untuk lebih detail baca disini.  

Hal lain yang penting diperhatikan untuk pembuatan kebun energi atau kebun biomasa tersebut adalah tentang status lahan yang digunakan. Lahan tersebut harus bukan dari deforestatsi ataupun pengalihan fungsi lahan yang merusak lingkungan. Hutan tanaman industri (HTI) yang memang sesuai peruntukannya bisa dijadikan kebun energi tersebut. Selain itu biomassa untuk memproduksi energi juga dapat dibudidayakan di lahan kritis, atau disebut sebagai lahan yang 'tidak produktif'. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan bahwa lahan kritis di Indonesia pada tahun 2016 seluas 24,3 juta hektar (Times Indonesia, 2017). Ini adalah wilayah yang sangat luas, dan secara keseluruhan wilayah Indonesia cukup luas untuk menyediakan biomassa bagi produksi energi terbarukan tersebut.  

Belajar dari Kesuksesan Industri Wood Pellet di Asia (Vietnam) dan Eropa (Latvia)

Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat se...