Rabu, 22 Februari 2017

Wood Pellet, PKS dan Pasar Pembangkit Listrik Biomasa di Jepang

PKS (Palm Kernel Shell) atau cangkang sawit menjadi komoditas energi atau bahan bakar “hot” saat ini di Jepang. Hal ini karena PKS adalah bahan bakar biomasa termurah dan saat ini masih tersedia dalam jumlah besar. PKS adalah limbah pabrik kelapa sawit dari produksi CPO. Sehingga secara otomatis PKS ini banyak tersedia di daerah-daerah pabrik kelapa sawit atau produsen CPO, yakni di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pemilihan PKS sebagai bahan bakar juga karaketeristiknya yakni bisa dituang (pourable), nilai kalor tinggi dan kepadatan (densitas) juga tinggi.

Bagaimana dengan wood pellet ? Produsen utama wood pellet dunia saat ini, jelas bukan Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara lainnya, tetapi negara-negara Amerika Utara dan Skandinavia. Bahkan untuk Indonesia sendiri wood pellet tergolong hal yang baru, sehingga kapasitas produksinya juga belum besar. Harga wood pellet lebih mahal dari PKS. Sebagian besar wood pellet yang diproduksi di Indonesia dari limbah-limbah kayu seperti serbuk gergaji, limbah planner, limbah plywood dan sebagainya. Potensi pengembangan untuk perbesaran kuantitas juga sangat memungkinkan dengan kebun energi. Secara teknis sifat-sifat (properties) wood pellet tidak jauh berbeda dengan PKS.

Peta status biomass power plant Jepang, merah berarti sudah beroperasi, kuning berarti dalam tahap pembangunan, biru berarti dalam perencanaan. 
Biomasa menjadi salah satu alternative untuk bahan bakar pembangkit listrik di Jepang, setelah kecelakaan atau rusaknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima tahun 2011. PKS menjadi pilihan favorit bahan bakar pembangkit listrik biomasa disana. Sebagian besar pembangkit listrik biomasa tersebut menggunakan PKS sebagai sumber energinya, dan hanya sebagian kecil yang beroperasi dengan wood pellet. Banyaknya pembangkit listrik biomasa yang dibangun, otomatis juga membutuhkan pasokan bahan bakar yang banyak pula. Sebagian besar pembangkit listrik biomasa tersebut dibangun tahun 2015 dan tahun 2017 sebagian telah beroperasi serta tahun 2019 diperkirakan semua telah beroperasi, sehingga dapat dibayangkan besarnya kebutuhan dan persaingan untuk mendapatkan pasokan PKS tersebut.

Jepang adalah negara yang hampir semua mengandalkan import untuk memenuhi kebutuhan dalam negernya, hal ini karena potensi SDA yang minim di sana, termasuk diantaranya sektor energi. Dengan penduduk penduduk kurang lebih setengah dari Indonesia, konsumsi energi mereka hampir 5 kali Indonesia, sehingga praktis kebutuhan energi termasuk bahan bakar juga besar. Pembangkit listrik biomasa yang menggunakan wood pellet tersebut memprediksi dalam 1 – 2  tahun ke depan terjadi kelangkaan pasokan PKS, sehingga sejak dini telah melakukan antisipasi dengan wood pellet, walaupun pada saat ini keuntungan dari menjual listrik lebih kecil, karena harga bahan bakarnya (wood pellet) yang lebih mahal.Dengan pengalaman tersebut mereka berharap akan mampu mengatasi berbagai masalah operasional ketika bahan bakar wood pellet telah banyak digunakan.



PKS harus memenuhi spesifikasi sebelum di eksport ke negara tujuan. Beberapa spesifikasi kunci untuk PKS yakni : kadar air, nilai kalori dan bahan pengotor atau kontaminan (Foreign Material).  Ketiga variabel harus memenuhi level tertentu untuk mencapai kualitas eksport. Pasar atau konsumen Jepang pada umumnya mensyaratkan kontaminan 0,5 – 2%, sedangkan Eropa 2% - 3%. Sebuah proses sederhana bisa dilakukan untuk mendapatkan kualitas cangkang seperti diatas. Jepang biasanya membeli dengan volume 10.000 ton setiap pengiriman atau import mereka, sehingga bagi penyedia PKS harus menyiapkan lokasi  (stockpile) yang memadai  untuk tumpukan PKS tersebut. Lokasi (stockpile) tumpukan PKS yang dekat dengan pelabuhan adalah kondisi ideal sehingga memudahkan pengangkutan ke pengapalan.


Proses produksi wood pellet lebih kompleks dibandingkan PKS, sehingga wood pellet dikategorikan produk jadi. PKS bisa dikatakan produk mentah karena aktivitas industrinya sangat minim dan sederhana, seperti diatas. Pada wood pellet proses produksi meliputi pemilihan bahan baku termasuk antara kebersihan, kekeringan, ukuran, dan kekerasan. Berdasarkan karakteristik bahan baku tersebut maka proses selanjutnya bervariasi sehingga menjadi produk wood pellet tersebut. Proses produksi wood pellet sangat banyak kemiripan dengan wood briquette. Kualitas wood pellet pada umumnya ditinjau dari kepadatannya, nilai kalor dan kadar abu. Eksport wood pellet Indonesia belum sebesar PKS, hal ini juga karena masih sedikitnya produsen wood pellet itu sendiri. Jepang membeli wood pellet dari Indonesia sebagian besar untuk ujicoba pada pembangkit listrik biomasa mereka. Pengiriman atau export dengan kontainer masih umum dilakukan pada komoditas wood pellet karena volumenya masih kecil.   


Untuk orientasi jangka pendek mengeksport PKS adalah bisnis yang menguntungkan. PKS ini beberapa waktu lalu hanya limbah yang mencemari yang tidak berharga sehingga banyak hanya digunakan pengerasan jalan dan sebagainya, tetapi saat ini menjadi komoditas “hot”. Wood pellet dari bahan baku kebun energi dengan menanam jenis legume seperti kaliandra adalah solusi jangka menengah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di Jepang. Torrefaksi (torrefaction) diikuti densifikasi bisa menjadi orientasi jangka panjang, sehingga produk torrified  pellet yang lebih unggul dari wood pellet bisa menghemat transportasi dan memudahkan penanganannya (handling), hidrophobik dan nilai kalor lebih tinggi.

Torrified pellet
Peraturan pemerintah  berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan bea keluar (BK)  bermaksud untuk mendorong hilirisasi atau produksi berbagai produk turunan dari kelapa sawit termasuk PKS. Tetapi faktanya di lapangan tidak banyak yang terjadi dengan PKS. Faktanya malah banyak penyedia PKS yang mengalami kemunduran usaha bahkan menutupnya. Hal ini karena BK ini telah membuat harga PKS lebih tinggi, dan mengakibatkan permintaannya menurun. Semakin tinggi BK untuk produk mentah dan semakin rendah BK untuk produk jadi maka hilirisasi akan semakin cepat, tetapi harus dilakukan melalui proses secara bertahap, terencana dan komprehensif. Idealnya BK untuk produk turunan adalah nol persen. Apakah pemerintah meminta pengusaha PKS untuk menunggu 2 tahun seiring kenaikan permintaan PKS dari Jepang misalnya karena pembangkit listrik biomasa-nya sudah beroperasi atau alasan lainnya? Kami tidak tahu. Sedangkan skenario terbaik adalah menurunkan atau menghilangkan BK untuk PKS sehingga usaha tersebut bisa tumbuh kembali dan mereka secara bertahap bisa mengembangkan menjadi industri yang menghasilkan bahan jadi. Torrefaksi PKS menjadi torrified PKS menjadi solusi jitu untuk itu, karena peningkatan (upgrading) kualitas PKS akan memberi nilai tambah ekonomi lebih besar. Karbonisasi atau pirolisis PKS menjadi arang PKS (PKSC = palm kernel shell charcoal) lalu diikuti densifikasi menjadi pellet arang PKS juga alternatif yang menarik.    

Selasa, 14 Februari 2017

Densifikasi EFB Untuk Hilirisasi CPO

Energi pada umumnya adalah komponen biaya tertinggi pada proses produksi. Penghematan belanja untuk energi tentu akan memberi dampak yang signifikan pada biaya produksi dan harga jual produknya. Sehingga energi harus didapat dengan biaya yang murah untuk efisiensi produksi. Pemanfaatan limbah-limbah yang tersedia adalah cara jitu untuk mendapatkan efisiensi produksi tersebut,apalagi limbah-limbah tersebut tersedia atau dihasilkan setiap hari bahkan dengan jumlah atau kapasitas yang besar.
Tandan kosong (tankos) kelapa sawit atau TKKS atau EFB (empty fruit bunch) merupakan limbah yang setiap hari dihasilkan pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Volume atau kapasitas tankos atau EFB tersebut cukup banyak setiap harinya, sebagai contoh : pada pabrik CPO dengan kapasitas  30 ton TBS/jam akan dihasilkan tankos 8,1 ton/jam (5,7 ton air; 2,4 ton berat kering) atau 162 ton setiap harinya (114 ton air, 48 ton berat kering). Pemanfaatan tankos  untuk sumber energi pada  pemurnian CPO atau hilirisasi produk CPO, merupakan solusi jitu untuk penanganan limbah sekaligus sumber energi.



Tankos limbah sawit yang basah dan berukuran besar dari pabrik CPO tersebut tidak bisa langsung digunakan tetapi harus diolah dahulu sehingga menjadi bahan bakar atau sumber energi siap pakai. Densifikasi atau pemadatan tankos menjadi pellet atau briket adalah solusi menjadi bahan bakar atau sumber energi yang siap pakai tersebut.

Sejak pemerintah menerapkan bea keluar (BK) CPO, industri hilir CPO di Indonesia kian berkembang. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan BK dan Tarif BK menyebutkan, ekspor CPO dikenakan BK dari 0-25% tergantung perkembangan harganya di Rotterdam, Belanda.  Tetapi akhirnya pemerintah menurunkan besaran BK menjadi 22,5% setelah pengusaha perkebunan sawit melakukan protes. Besaran BK itu diatur melalui PMK No 128/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar pada 15 Agustus 2011. Analogi di bidang minyak bumi, menjual export minyak mentah (crude oil) harus dibatasi atau bahkan dilarang, tetapi produk-produk industri yang telah mengalami pengolahan sehingga memberi nilai tambah yang besar didukung dan didorong sebesar-besarnya. Ekspor produk sawit Indonesia 60-70% masih berupa CPO, sedangkan produk hilirnya hanya 30-40%. Refinery atau pemurnian CPO mulai dibangun dan beberapa telah berproduksi.  Secara umum produk sawit tersebut terbagi dalam crude palm oil (CPO) mentah, produk refine CPO, palm kernel oil (PKO) dan refine PKO, biodiesel dan oleo-chemical.

Pemurnian atau refinery CPO saat ini pada umumnya hanya dimiliki oleh pabrik-pabrik CPO besar saja, sedangkan pabrik-pabrik CPO berukuran kecil dan menengah pada umumnya tidak memiliki unit pemurnian CPO tersebut. Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI) mencatat, saat ini terdapat 1.911 industri sawit di Indonesia yang menghasilkan 23,5 juta ton CPO dari area 8,2 juta hektare lahan. Pemanfaatan limbah-limbah secara optimal sehingga proses produksi CPO menjadi zero waste dan penghematan biaya energi (energy efficiency),  menjadi target semua proses produksi. Pembriketan dan pemelletan tankos sebagai sumber energi murah, ramah lingkungan (carbon neutral) dan berkelanjutan (sustainable) bagi industri-industri pemurnian CPO berarti akan mendorong hilirisasi produk CPO tersebut, dan bisa lebih terjangkau untuk pabrik-pabrik berukuran kecil dan menengah.

Sederhananya pabrik kelapa sawit kecil dan menengah akan mengolah atau memproduksi briket EFB sehingga menambah penghasilan,sehingga lebih menguntungkan daripada membuang atau dijual murah, sedangkan pabrik besar yang memiliki unit pemurnian CPO bisa membelinya sebagai bahan bakar untuk pemurnian CPO tersebut. Harga briket EFB bisa lebih murah dibanding energi lainnya tetapi tetap menguntungkan bagi produsen briket EFB tersebut.Selain mendapat energi dari pembakaran briket EFB, pembeli briket tersebut juga akan mendapat keuntungan tambahan dari pemanfaatan abunya.   
Photo diambil dari sini

Perbandingan K yang diambil atau dikeluarkan dari berbagai panen buah-buahan
Prosentase K dalam buah pisang

Efek pupuk K2O terhadap produktivitas pohon pisang
Setelah produk densifikasi atau pemadatan tankos berupa briket atau pellet dibakar maka akan menyisakan abu sebagi zat sisa pembakaran atau limbah. Abu tersebut memiliki banyak manfaat bagi kehidupan tumbuhan. Abu dari tandan kosong sawit juga kaya akan berbagai senyawa terutama kalium (K) atau potassium yang sangat dibutuhkan bagi tumbuhan dengan prosentase berkisar 30-40%. Kalium ini memiliki fungsi bagi tumbuhan antara lain mengangkut gula, mengontrol stomata pada daun dengan cara menjaga electro-neutrality di dalam sel tumbuhan, co-factor dari lebih dari 40 enzime dan mengurangi terjadinya berbagai penyakit. Abu dari tankos tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pupuk organik di perkebunan sawit itu sendiri maupun perkebunan yang lain, seperti pisang. Tingginya kandungan kalium di buah pisang dan daun, mengindikasikan kalium adalah nutrisi terpenting pada produksi pisang. Sejumlah kalium dari tanah dan diambil atau dikeluarkan dari kebun itu dalam bentuk panen pisang  sangat banyak.

 Diperkirakan kehilangan unsur kalium dari tanah melalui buah pisangnya saja mencapai 400 kg (ekuivalen dengan 480 kg K2O) per hektar dengan produksi 70 ton buah. Berdasarkan alasan tersebut, pisang membutuhkan supplai kalium yang bagus, walaupun kandungan kalium dalam tanah tersebut sudah cukup tinggi. Sebuah penelitian pada pohon pisang dengan pemberian K2O sebanyak 1000 gram/pohon telah memberikan 1 tandan buah pisang seberat 29,4 kg. Sejumlah tanaman juga kurang sesuai dan sensitif terhadap unsur klorida (Cl), sehingga porsinya perlu dikurangi bahkan dihilangkan. Pada tanaman pisang misalnya tingginya klorida membuat pertumbuhan anakan pisang terganggu dan buah tidak berisi. K2O yakni senyawa dalam abu tankos sawit bisa digunakan sebagai pupuk organik ideal, menggantikan pupuk KCl. Pupuk kalium yang beredar dipasaran saat ini KCl dan K2SO4 (ZK). Pupuk KCl harganya murah karena mendapat subsidi, sedangkan pupuk K2SO4 (ZK) mahal, mengikuti kurs dollar karena tidak disubsidi sehingga hanya umumnya hanya digunakan oleh perkebunan besar.  Sedangkan apabila tanaman kita membutuhkan pupuk kalium yang tidak mengandung klorida, maka apabila harga pupuk ZK di pasaran jauh lebih mahal, maka pupuk dari abu tandan kosong sawit yang kaya K2O bisa menjadi solusi jitu.          

Jumat, 03 Februari 2017

Memasyarakatkan Wood Briquette Sebagai Bahan Bakar Terbarukan dan Ramah Lingkungan

Judul tentang pemanfaatan energi terbarukan dan ramah lingkungan, telah ramai menghiasi berbagai media cetak maupun elektronik pada saat ini. Ketersediaan energi fossil yang semakin menipis dan tidak berkelanjutan (sustainable) menjadi daya dorong utama untuk memberikan perhatian terhadap energi terbarukan. Seiring waktu dengan meningkatkan kebutuhan energi, maka tidak bisa dielakkan lagi energi terbarukan akan menjadi kebutuhan wajib pada waktunya. Biomasa ligno-celullose seperti kayu-kayuan adalah sumber berlimpah yang mudah didapat sekaligus juga mudah dibudidayakan untuk keberlanjutan pasokannya. Fakta tentang rendahnya penggunaan energi terbarukan seperti biomasa bisa ditinjau dari sejumlah faktor, antara lain kesadaran lingkungan yang masih rendah termasuk membiarkan tanah-tanah produktif tanpa hasil bahkan cenderung terjadi penggurunan (desertifikasi), rendahnya kesadaran untuk mandiri atau berdaulat di sektor energi sebagai salah satu kebutuhan vital, kurangnya atau lemahnya penguasaan teknologi untuk produksi energi terbarukan maupun pemanfaatannya sehingga berakibat tidak mampunya melihat potensi biomasa yang sangat besar di wilayah tropis seperti negeri kita.

Wood briquette adalah produk pemadatan (densifikasi) biomasa. Dibanding wood pellet, wood briquette kalah populer dan produksinya juga tidak sebanyak wood pellet. Secara teknis kualitas wood briquette tidak kalah dengan wood pellet, karena pada umumnya kepadatan (densitas) wood briquette lebih tinggi daripada wood pellet. Selain itu pada kulit wood briquette juga terjadi pengarangan sebagian yang membuatnya mudah dinyalakan. Ukuran wood briquette yang besar membuatnya tidak mudah mengalir atau dicurahkan seperti halnya wood pellet, yang bisa jadi faktor inilah yang membuat wood briquette kurang diminati. Pada dasarnya wood briquette mirip dengan kayu batangan seperti kayu bakar yang digunakan untuk memasak, dengan kepadatan kurang lebih 2 kali kayu keras sehingga untuk membakarnya juga bukan hal yang sulit. Sejumlah tungku yang biasa menggunakan kayu bakar akan mudah mnyesuaikan dengan wood briquette.
 
Wood briquette juga kurang publikasi dibandingkan wood pellet, sehingga wajar wood pellet lebih populer. Penggunaan wood pellet untuk berbagai industri juga sudah mulai marak seperti di industri  teh untuk proses pelayuan dan pengeringan daun teh itu sendiri. Kandungan antrakuinon juga akan sangat rendah apabila menggunakan wood pellet sebagai bahan bakar proses tersebut sehingga bisa diterima dengan baik produk teh tersebut untuk pasar Eropa khususnya. Karakteristik wood pellet yang bisa curah inilah inilah yang membuatnya banyak dipilih.
Kompor untuk memasak dan penghangat ruangan yang umum digunakan di Eropa seperti dua photo diatas yang bahan bakarnya berupa kayu bakar juga bisa diganti menggunakan wood briquette sehingga lebih efisien

Pada dasarnya wood briquette juga memiliki kegunaan yang sama, hanya sedikit modifikasi tungku mungkin dibutuhkan karena ukuran yang besar tersebut. Resume pemakaian biobriquette atau wood briquette bisa dibaca disini. Penggunaan wood briquette berikut penguasaan teknologi produksinya seharusnya lebih mudah dilakukan. Wood briquette telah lebih lama diproduksi di berbagai daerah di Indonesia, lebih dari 20 tahun lalu sebagai produk antara pada produksi sawdust charcoal briquette. Fabrikasi atau pembuatan peralatan produksinya untuk wood briquette juga telah 100% telah mampu diproduksi di dalam negeri, berbeda dengan wood pellet yang sebagian peralatan produksinya masih import.
 


Selain limbah kayu-kayuan tersebut, limbah perkebunan seperti tandan kosong sawit juga potensial didensifikasi atau dipadatkan baik menjadi pellet ataupun briket. Pada pabrik sawit kebutuhan energi baik panas dan listrik pada umumnya sudah bisa dicukupi oleh limbah sabut (mesocarp fiber) dang cangkangnya (palm kernel shell). Cangkang bahkan banyak sisa dan bisa langsung dijual karena bisa langsung digunakan untuk bahan bakar dan bisa curah seperti halnya wood pellet. Pabrik atau industri sawit besar yang tidak hanya memproduksi minyak mentah sawit atau CPO (crude palm oil) tetapi dengan berbagai produk turunan atau pemurnian/refinery untuk meningkatkan nilai tambah CPO tersebut akan membutuhkan banyak energi untuk proses produksinya. Gambar dibawah ini tentang skema pemurnian (refinery) CPO sehingga dihasilkan berbagai produk turunannya. 

Briket tankos bisa sebagai sumber energi refinery atau pemurnian CPO tersebut. Sebuah operasi pabrik sawit yang efisien dan zero waste dengan pemanfaatan optimal limbah-limbahnya untuk sumber energi bisa dilakukan dengan baik dengan mekanisme tersebut diatas. Abu dari pembakaran briket tersebut yang kaya akan kalium (K) juga bisa dipungut yang nantinya digunakan untuk pupuk organik pada perkebunan sawitnya.

Rabu, 01 Februari 2017

Produksi Arang, Pemasaran dan Penggunaan


Kualitas arang yang bagus akan mampu mempertahankan struktur kayu. Pada arang bongkahan (charcoal lump) khususnya pada kayu lunak, lingkaran struktur akan terlihat jelas. Kualitas arang yang bagus harus padat, warna hitam dan memiliki sedikit retakan secara melingkar. Arang tersebut akan menghasilkan bunyi nyaring ketika dijatuhkan. Kelembaban yang tinggi dari kayu akan membuat kualitas arang menurun karena timbulnya banyak retakan (cracks). Demikian juga ketika kayu mengalami pengeringan berlebihan sehingga uap air merusak struktur kayu, maka kualitas arang juga akan menurun yakni rapuh dan banyak retakan. Selain itu juga dengan mudah terbakar tanpa bau maupun asap. Arang juga bersifat higroskopis, yakni dengan mudah mengikat air dari udara, khususnya pada musim penghujan. Itulah mengapa arang harus disimpan ditempat kering atau dengan pallet dalam ruangan beratap.
Parameter kualitas utama lainnya dari arang adalah kekuatan (strength) yang mengurangi kehilangan material sewaktu bongkar – muat maupun transportasi. Spesies atau jenis kayu memiliki pengaruh signifikan pada kekuatan (strength) arang tersebut. Sebagai contoh arang kayu asam adalah salah satu arang terkuat, dan arang pinus termasuk arang yang rapuh. Arang paling padat dibuat dari batang pohon. Kualitas arang bagus akan terbakar dengan bersih dan memiliki nilai kalor berkisar 13.000 BTU/pound atau berkisar 1½ kali dari berat kayu kering. Kandungan abu yang rendah yang berkisar 2-3% membuatnya dipilih untuk bidang metallurgi dan bahan bakar rumah tangga. Kandungan sulfur dan phospor juga sangat rendah pada arang. Hal tersebut semakin mendorong penggunaan arang dalam bidang metallurgi, tetapi dengan ditemukan sumber karbon yang murah telah menggeser penggunaan arang dalam metallurgi. Produksi arang yang baik akan menghasilkan konversi 1/3 dari berat kayu dan volumenya mengecil menjadi sekitar ½ volume kayu.       

Arang telah menjadi produk penting selama bertahun-tahun dan mendapat penerimaan pasar yang baik. Penggunaan terbesar untuk bahan bakar memasak rumah tangga dan BBQ pada acara piknik atau rekreasi. Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah menggunakan arang dalam jumlah banyak untuk memanggang daging domba sebagai makanan penting bagi mereka. Selain itu arang juga digunakan untuk pembuatan carbon disulfide, carbon tetrachloride, sodium cyanide, calcium carbide, silicon carbide, potassium cyanide, carbon monoxide, black powder, plastics, gas adsorbent, crayons, pharmaceutical, poultry – animal feeds dan bahan kimia industri lainnya. Penggunaan besar lainnya adalah untuk produksi arang aktif (activated carbon). Penggunaan untuk industri lainnya adalah untuk steel heating (steel, pig iron, foundry molds) , nonferrous smelting (copper, brass, nickel, alumunium, electro manganese, armor plate etc) dan metal casehardening. Saat ini juga penggunaan arang untuk pertaninan (soil conditioner) juga mulai banyak dilakukan dan terutama untuk peningkatan produksi di sektor pangan. Sebuah pabrik besar yang integratif untuk recovery limbah kayu-kayu keras (hardwood byproduct recovery plant)  pernah dibangun dan beroperasi meliputi karbonisasi dan fasilitas pemurnian untuk produksi asam asetat, methanol dan arang dalam bentuk bongkahan (lump), briquette dan arang aktif, seperti photo dibawah ini.

Hardwood Byproduct Recovery Plants 

Biaya untuk investasi produksi arang tergolong murah, sehingga bisa dilakukan oleh industri kecil dan menengah. Tetapi kesuksesan usaha arang tidak serta merta ditentukan oleh murah biaya alat tetapi lebih pada studi aspek komersialnya seperti sumber dan biaya bahan baku, ketersediaan dan biaya tenaga kerja, dan aspek pasar untuk arang yang diproduksi. Bahan baku dan biaya tenaga kerja, operasional yang efisien dan kemampuan pemasaran adalah sejumlah faktor utama kesuksesan produksi arang.    
Beehive Kiln, tipe karbonisasi batch yang populer di era awal 1900an
Missouri Kiln, alat karbonisasi batch yang populer di tahun 1950an

Pada era awal tahun 1900an produksi arang dunia mengalami masa kejayaannya dengan produksi lebih dari 500 ribu ton. Daya dorong berupa tingginya kebutuhan asam untuk produksi tekstil dengan arang sebagai bahan baku produksi asam tersebut telah mendorong industri arang.  Sebagai akibatnya pabrik untuk produksi arang dan recovery produk samping menjadi mahal. Pada era ini crude liquor didapat dari kondensasi volatil. Crude liquor tersebut kemudian dimurnikan menjadi asam asetat murni dan metanol. Pada tahun antara 1910 dan 1940 produksi arang mengalami penurunan menjadi hampir ½ dari era awal 1900an yang diakibatkan material karbon lainnya menggantikan arang pada pembuatan logam-logam dan bahan kimia.
 



Biomasa khususnya kayu-kayuan memiliki kandungan terutama hemicellulose, celullose dan lignin. Hemicellulose berkontribusi pada non-condensable gas dan sedikit tar. Hemicellulose mulai terdekomposisi pada kisaran suhu 150 C dan terdekomposisi secara keseluruhan diatas 180 C. Celullose terutama berkontribusi pada condensable vapor dan mulai terdekomposisi pada 275 C. Hemicelullose dan celullose inilah sumber utama material volatil. Sedangkan lignin memiliki tingkat dekomposisi lebih sulit daripada hemicellulose dan celullose. Lignin mulai terdekomposisi pada 280 C , puncaknya dikisaran suhu 350 – 450 C dan memiliki kontribusi yang besar pada pembentukan arang dan senyawa aromatik.  Produksi arang membutuhkan heating rate yang rendah dengan durasi waktu lama dan suhu relatif rendah, yakni 450 C. Selama pirolisis atau karbonisasi produksi gas juga bervariasi seiring perubahan suhunya. Gas CO2 (karbondioksida) memiliki konsentrasi yang tinggi pada suhu rendah dan menurun seiring peningkatan suhu. Gas-gas hidrokarbon akan keluar maksimal pada suhu 450 C dan turun diatas 500 C,  setelah itu gas hidrogen mulai terbentuk. Hidrogen sendiri terutama terbentuk pada suhu 700 – 950 C.

Produksi Arang Secara Tradisional
Skema Proses Karbonisasi Semi-Kontinyu
Produksi Arang Secara Kontinyu Cocok Untuk Material Curah (bulk material)
Proses produksi arang secara tradisional membutuhkan waktu lama hingga berminggu-minggu. Proses semi-kontinyu hanya membutuhkan waktu relatif singkat yakni 20an jam saja, sedangkan proses kontinyu lebih cepat lagi. Produksi arang dari kayu-kayu gelondongan atau kayu-kayu bulat atau dari wood briquette akan cocok dengan semi-kontinyu, sedangkan bahan baku curah akan lebih cocok dengan proses kontinyu. Kiln tipe semi-kontinyu menggunakan supplai panas melalui dinding dan after-burning pirolisis produk, dapat digunakan untuk produksi arang tersebut. Dua buah ruangan yang digunakan secara bergantian yakni pada mode pengeringan (drying) dan mode pirolisis atau karbonisasi membuat proses berjalan secara efektif sehingga tidak lagi membutuhkan bahan bakar tambahan (eksternal) dalam proses karbonisasinya. Panas eksothermal proses pirolisis tersebut berkisar 1000 sampai 1150 KJ, membuatnya cukup (ketika tidak ada heat losses) membuat proses pirolisis tersebut berjalan tanpa tambahan bahan bakar eksternal. Kontrol kondisi operasi baik berupa heating rate, suhu dan waktu tinggal pada proses semi-kontinyu juga lebih akurat sehingga kualitas produk arang bisa dijaga dengan baik.         

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...