Rabu, 02 Agustus 2017

Bahan Bakar Cair Dari Biomasa Di Era Bioeconomy

Bahan bakar padat biomasa terutama wood pellet telah mendapat perhatian besar sehingga penggunaannya terus meningkat, sebagai alat menurunkan suhu bumi. Estimasi penggunaan wood pellet dunia akan mencapai 50 juta ton/tahun pada tahun 2024 sementara Korea dan Jepang saja akan mencapai 20 juta ton/tahun pada 3-4 tahun mendatang. Mengapa bahan bakar padat biomasa tersebut mendapat perhatian sebegitu besar? Hal ini diantaranya karena pembangkit listrik batubara-batubara besar yang telah beroperasi bisa secara bertahap bisa menggunakan wood pellet tersebut, bahkan pembangkit-pembangkit baru juga dibangun khusus menggunakan wood pellet atau bahan bakar biomasa lainnya seperti cangkang sawit atau wood chip. Bagaimana dengan bahan bakar cair dari biomasa? Bahan bakar cair memiliki porsi besar sebagai bahan bakar kendaraan maupun industri, baik berasal dari fossil maupun dari biomasa. Bioenergi (energi dari biomasa yang meliputi padat, cair dan gas) saat ini mencapai porsi sekitar 10% dari total penggunaan energi global, atau equivalent sekitar 53 EJ/tahun (sekitar 6 menit pancaran energi matahari ke bumi). Konsumsi minyak bumi  mencapai sepertiga dari energi global diikuti batubara dan gas alam. Bioenergi menyuplai energi paling besar dibandingkan sumber energi non-fossil, seperti tabel dibawah ini. Bahan bakar cair dari kelompok bioenergi sendiri mencapai sekitar 6% atau 3 EJ/tahun (pancaran energi matahari ke bumi selama setengah menit). Bahan bakar cair tersebut terutama digunakan pada sektor transportasi. Bahan bakar cair dari biomasa yakni minyak tumbuh-tumbuhan (fatty acid), biometanol, bioetanol, biodiesel dan biooil. Diantara semua itu bioetanol dan biodiesel paling mendapat perhatian, karena sebagian besar mesin-mesin baik kendaraan dan industri menggunakan bahan bakar tersebut.

Sumber : Biomass in the energy industry, BP & Energy Biosciences Institute

Brazil dan Amerika Serikat adalah dua negara produsen utama bahan bakar cair dari biomasa berupa bioetanol dari tebu dan jagung. Lahan perkebunan tebu di Brazil 9 juta hektar dan pertanian jagung di Amerika 39 juta hektar. Selain untuk produksi bahan bakar, tebu dan jagung sebagian diolah menjadi produk pangan. Indonesia produsen terbesar minyak kelapa sawit atau CPO dengan produksi 23 juta ton/tahun dengan luas lahan saat ini 9 juta hektar dan masih terus berkembang. CPO selain untuk bahan baku biodiesel, bisa juga sebagai bahan bakar langsung, juga adalah minyak makan (edible-oil) yang penting. Saat ini banyak kita saksikan di SPBU-SPBU di Indonesia yang menjual Bio-Solar atau B-20 untuk bahan bakar kendaraan bermesin diesel dengan  komposisi 80% minyak diesel petroleum dan 20% biodiesel dari CPO. Untuk produksi bahan bakar cair dari biomasa di Indonesia selain pohon kelapa sawit dicanangkan antara lain dengan tanaman tebu, ketela pohon, shorghum,dan jarak pagar. Secara umum produksi bahan bakar cair dari biomasa di Indonesia belum menggembirakan. Bahkan jarak pagar telah gagal sebagai bahan baku biodiesel karena harganya masih mahal, sehingga produk biodiesel-nya tidak bisa bersaing dengan minyak diesel dari minyak bumi, ditambah lagi minyak jarak pagar juga bukan produk pangan. Masih perlu banyak upaya untuk mencapai kondisi yang diharapkan pada sektor ini. Apalagi tanah-tanah yang dibutuhkan untuk pertanian komoditas-komoditas diatas pada umumnya membutuhkan tanah yang subur dan biaya perawatan yang tinggi. Hal ini berbeda dengan kebun energi dari tanaman leguminoceae untuk produksi wood pellet yang mampu bertahan pada tanah marjinal, kritis dan lahan-lahan tidur.
Al Qur'an juga membahas energi terbarukan dari biomasa ini, yakni dari pepohonan yakni QS Yaasiin : 80, QS Al Waqi'ah : 71-72, dan QS An Nuur : 35. Di surat Yassiin Dan Al Waqi'ah indikasinya sumber energi tersebut dari pohonnya, sedangkan dalam surat An Nuur indikasinya dari buah. Rincian pengembangan energi terbarukan berbasis Al Qur'an secara lebih detail bisa dibaca di sini. Berdasarkan informasi diatas bahwa hampir semua bakar cair dari biomasa tersebut ternyata juga menjadi makanan bagi manusia. Lantas bagaimana kita seharusnya menyikapi kondisi demikian? Apalagi juga sudah terjadi huru-hara Tortilla di  Mexico pada tahun 2007 silam. Huru-hara tersebut terjadi karena Amerika Serikat mengolah jagungnya menjadi bahan bakar bioetanol, sedangkan Mexico sebagai negara tetangganya sudah tergantung import jagung dari Amerika sebagai bahan pangan sehingga sebagai akibatnya terjadilah krisis pangan. Dua hadist Nabi Muhammad SAW menjadi solusi dan panduan untuk masalah pangan dan energi, bagi kita sebagai pengikutnya :

Dari Aisyah dia berkata : "Sekali peristiwa keluarga Abu Bakar (ayahnya) mengirim (sop) kaki kambing kepada kami, lalu aku tidak makan, dan beliau (Nabi Muhammad SAW) juga tidak makan karena kami tidak punya lampu. Jika kami ada minyak ketika itu, tentu kami utamakan untuk dimakan." (HR. Ahmad).

Diriwayat lain dari Abu Hurairah : "Ada kalanya sampai berbulan-bulan berlalu, namun rumah-rumah Rasulullah tidak ada satu haripun yang berlampu. Dan dapurnyapun tidak berasap. Jika ada minyak dipakainya untuk dijadikan makanan."

Akhirnya dengan petunjuk Al Qur'an dan contoh soal dari kehidupan Nabi Muhammad SAW, uswatun hasanah kita, sudah semestinya umat ini mampu mengatasi konflik pangan dan energi, sekaligus mengembangkan kemampuan inovatifnya untuk mengeksplorasi sumber-sumber energi terbarukan tersebut.
Pencarian sumber energi murah dan berlimpah terus dilakukan untuk berpacu menurunkan suhu bumi. Limbah cair dari pabrik CPO yang masih mengandung minyak walaupun asam lemaknya bebas (FFA) tinggi yakni hingga 60%, asalkan kadar air dan benda pengotornya (M&I) kurang dari 2%, atau total minyaknya minimal 98% banyak dicari berbagai negara untuk produksi biodiesel. Minyak dari limbah pabrik CPO yang awalnya limbah atau biasa disebut minyak kotor (Miko) atau PAO (Palm Acid Oil) saat ini telah menjadi komoditas yang laris manis untuk bahan baku biodiesel. Pada dasarnya memangsa semua asam lemak (fatty acid) dapat diproses atau dikonversi menjadi biodiesel tersebut. Potensi Indonesia untuk PAO/Miko tersebut juga sangat besar mengingat sekitar 600 pabrik CPO di Indonesia dan tidak berkonflik dengan pangan manusia. Pengolahan PAO menjadi biodiesel murah sehingga bisa digunakan sebagai pembangkit listrik atau bahan bakar kendaraan atau mesin industri di dalam negeri seharusnya juga menjadi perhatian dan bisa diimplementasikan dalam waktu yang tidak lama lagi. Pemanfaatan PAO/Miko lainnya bisa sebagai bahan bakar langsung untuk berbagai pemanas. Pengolahan tandan kosong sawit (EFB) dan batang sawit menjadi EFB pellet dan OPT pellet banyak mengalami masalah karena bahan bakunya yang sangat basah, sehingga biaya pengeringan mahal. Penggunaan PAO/Miko tersebut bisa menjadi salah satu solusi masalah tersebut.

2 komentar:

  1. Saya ada sego pump made in korea.kalo anda minat silahkan hubungi 081384458371

    BalasHapus
  2. Saya mau beli limbah minyak CPO dan minyak jelantah. Hubungi :081310726226

    BalasHapus

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...