Mengetahui latar belakang sejarah, potensi dan karakteristik suatu bangsa akan memudahkan pengambilan kebijakan secara efektif dan efisien bagi bangsa tersebut. Tetapi apabila hanya mencontoh dari bangsa lain tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah, potensi dan karakteristiknya maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil juga tidak efektif dan efisien. Betapa seringnya bangsa kita mencontoh kemajuan ekonomi suatu bangsa, tetapi tidak memperhatikan tiga poin penting diatas, sehingga hasilnya juga tidak optimal. Setiap negeri punya karakternya sendiri, sehingga kita tidak bisa mencontoh model pertumbuhan ekonomi negara lain secara membabi buta. Sebagai contoh : kita ikut-ikutan mengejar pertumbuhan ekonomi dari industri dan jasa, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara maju, sedangkan sektor pertanian dan kehutanan malah menjadi rebutan negeri-negeri lain. Begitu juga tambang dan gas alam, sedangkan untuk minyak bumi kita saat ini malah menjadi negara pengimport.
Negara tetangga, yakni Singapura yang penduduknya sedikit dan lahannya tidak seberapa, tentu saja sumber ekonomi yang menarik adalah sektor jasa. Demikian pula pada negara maju, yang selain memiliki banyak resources, setelah kebutuhan penduduknya terpenuhi, maka sumber pertumbuhan harus dikejar dari negeri lain. Maka mereka menggunakan sektor industri dan jasa untuk mengejar pertumbuhan tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memiliki jumlah penduduk sangat banyak, 260 juta dan tanah yang luas dan subur. Iklim tropis dan tingginya curah hujan yang 3 kali rata-rata dunia membuatnya sangat potensial untuk produksi biomasa, baik nantinya untuk sektor pangan, energi atau lainnya. Kalau kita kaji dan analisis seberapa besar sektor pangan dan energi untuk 260 juta jiwa tersebut, kita akan tahu betapa besarnya nilai ekonominya. Lalu dengan mudah pula kita bisa menjawab, mengapa sampai negeri-negeri lain ramai-ramai rebutan sektor pertanian dan kehutanan di negeri kita ini.
Silahkan para pembaca membuat kalkulasi sendiri betapa banyak kebutuhan pangan (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral) begitu juga energi atau bahan bakar (untuk rumah tangga, industri, kendaraan hingga pembangkit listrik). Tentu nilainya akan sangat besar, ratusan milyar dollar bahkan ribuan milyar dollar. Belum lagi berapa banyak pemenuhan kebutuhan pangan dan energi tersebut dari negeri-negeri lain (import), misalnya berapa banyak import beras kita, import kedelai, import daging, import minyak bumi, import gandum dan sebagainya. Bagaimana jika barang-barang import tersebut kita subtitusi dengan memenuhi sendiri dan jangka panjangnya bisa swasembada atau berdaulat pada sektor pangan dan energi. Sementara puluhan bahkan ratusan juta hektar lahan tersedia, lalu tenaga kerja juga melimpah.
Akankah kita ikut-ikutan mati-matian untuk mengejar sektor pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan jasa, sedangkan produksi pangan dan energi kita bergantung pada negeri-negeri lain? Tentu saja tidak jawabannya. Akan mudahkah menghilangkan ketergantungan tersebut? Jawabannya juga tidak mudah. Pertama kita harus mengubah paradigma, bahwa kita bisa mandiri pangan (yang tentu bukan hanya karbohidrat saja) dan energi. Kedua, kita harus kembali menghidupkan sektor pertanian dan kehutanan, untuk mencukupi sektor pangan dan energi tersebut.
Di sektor energi, lahan-lahan tersebut bisa digunakan untuk kebun energi yang nanti kayunya untuk produksi wood pellet. Selain itu area perkebunan tersebut juga bisa digunakan untuk penggembalaan domba dan daun-daun dari kebun energi tersebut juga menjadi pakan bernutrisi tinggi bagi domba-domba tersebut. Domba-domba yang digembalakan akan menyebarkan kotorannya sebagai pupuk bagi kebun energi tersebut. Dengan kebun energi dan peternakan domba berarti selain menjadi solusi masalah energi juga solusi masalah pangan khususnya protein. Lahan-lahan yang awalnya tandus menjadi hijau kembali dan memberi manfaat ekonomi dan lingkungan.
Contoh kompor masak berbahan bakar wood pellet |
Kembali ke jumlah penduduk Indonesia sebanyak 260 juta tersebut, tentu kebutuhan energi atau bahan bakar juga akan sangat besar juga. Dahulu tungku-tungku dengan kayu bakar banyak digunakan, saat ini hanya sebagian kecil daerah pedesaan yang menggunakannya karena telah beralih menggunakan gas LPG. Beberapa waktu lalu kompor minyak tanah juga populer digunakan sebelum gas LPG. Sehingga pada dasarnya tidak ada masalah menggunakan bahan bakar padat, bahan bakar cair maupun bahan bakar gas selama bahan bakar tersebut tersedia, harga terjangkau dan kompor juga tersedia. Ketika wood pellet diproduksi dimana-mana maka masalah kelangkaan bahan bakar akan teratasi. Hal ini karena kebun energi dan produksi wood pellet bisa dilakukan dimana saja, berbeda dengan gas alam yang sumbernya hanya di tempat-tempat tertentu. Mengapa tidak produksi wood pellet saja? Lahan luas, subur, iklim tropis, curah hujan dan tenaga kerja melimpah. Produksi wood pellet selain juga berbasis potensi wilayah, juga bisa sebagai model pertumbuhan ekonomi baru yang efektif dan efisien.