Minggu, 24 Desember 2017

Mengapa Tidak Produksi Wood Pellet Saja?

Mengetahui latar belakang sejarah, potensi dan karakteristik suatu bangsa akan memudahkan pengambilan kebijakan secara efektif dan efisien bagi bangsa tersebut. Tetapi apabila hanya mencontoh dari bangsa lain tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah, potensi dan karakteristiknya maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil juga tidak efektif dan efisien. Betapa seringnya bangsa kita mencontoh kemajuan ekonomi suatu bangsa, tetapi tidak memperhatikan tiga poin penting diatas, sehingga hasilnya juga tidak optimal. Setiap negeri punya karakternya sendiri, sehingga kita tidak bisa mencontoh model pertumbuhan ekonomi negara lain secara membabi buta. Sebagai contoh : kita ikut-ikutan mengejar pertumbuhan ekonomi dari industri dan jasa, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara maju, sedangkan sektor pertanian dan kehutanan malah menjadi rebutan negeri-negeri lain. Begitu juga tambang dan gas alam, sedangkan untuk minyak bumi kita saat ini malah menjadi negara pengimport. 

Negara tetangga, yakni Singapura yang penduduknya sedikit dan lahannya tidak seberapa, tentu saja sumber ekonomi yang menarik adalah sektor jasa. Demikian pula pada negara maju, yang selain memiliki banyak resources, setelah kebutuhan penduduknya terpenuhi, maka sumber pertumbuhan harus dikejar dari negeri lain. Maka mereka menggunakan sektor industri dan jasa untuk mengejar pertumbuhan tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia memiliki jumlah penduduk sangat banyak, 260 juta dan tanah yang luas dan subur. Iklim tropis dan tingginya curah hujan yang 3 kali rata-rata dunia membuatnya sangat potensial untuk produksi biomasa, baik nantinya untuk sektor pangan, energi atau lainnya. Kalau kita kaji dan analisis seberapa besar sektor pangan dan energi untuk 260 juta jiwa tersebut, kita akan tahu betapa besarnya nilai ekonominya. Lalu dengan mudah pula kita bisa menjawab, mengapa sampai negeri-negeri lain ramai-ramai rebutan sektor pertanian dan kehutanan di negeri kita ini.
Silahkan para pembaca membuat kalkulasi sendiri betapa banyak kebutuhan pangan (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral) begitu juga energi atau bahan bakar (untuk rumah tangga, industri, kendaraan hingga pembangkit listrik). Tentu nilainya akan sangat besar, ratusan milyar dollar bahkan ribuan milyar dollar. Belum lagi berapa banyak pemenuhan kebutuhan pangan dan energi tersebut dari negeri-negeri lain (import), misalnya berapa banyak import beras kita, import kedelai, import daging, import minyak bumi, import gandum dan sebagainya. Bagaimana jika barang-barang import tersebut kita subtitusi dengan memenuhi sendiri dan jangka panjangnya bisa swasembada atau berdaulat pada sektor pangan dan energi. Sementara puluhan bahkan ratusan juta hektar lahan tersedia, lalu tenaga kerja juga melimpah.

Akankah kita ikut-ikutan mati-matian untuk mengejar sektor pertumbuhan ekonomi  di sektor industri dan jasa, sedangkan produksi pangan dan energi kita bergantung pada negeri-negeri lain? Tentu saja tidak jawabannya. Akan mudahkah menghilangkan ketergantungan tersebut? Jawabannya juga tidak mudah. Pertama kita harus mengubah paradigma, bahwa kita bisa mandiri pangan (yang tentu bukan hanya karbohidrat saja) dan energi. Kedua, kita harus kembali menghidupkan sektor pertanian dan kehutanan, untuk mencukupi sektor pangan dan energi tersebut.
Di sektor energi, lahan-lahan tersebut bisa digunakan untuk kebun energi yang nanti kayunya untuk produksi wood pellet. Selain itu area perkebunan tersebut juga bisa digunakan untuk penggembalaan domba dan daun-daun dari kebun energi tersebut juga menjadi pakan bernutrisi tinggi bagi domba-domba tersebut. Domba-domba yang digembalakan akan menyebarkan kotorannya sebagai pupuk bagi kebun energi tersebut. Dengan kebun energi dan peternakan domba berarti selain menjadi solusi masalah energi juga solusi masalah pangan khususnya protein. Lahan-lahan yang awalnya tandus menjadi hijau kembali dan memberi manfaat ekonomi dan lingkungan.
Contoh kompor masak berbahan bakar wood pellet
Kembali ke jumlah penduduk Indonesia sebanyak 260 juta tersebut, tentu kebutuhan energi atau bahan bakar juga akan sangat besar juga. Dahulu tungku-tungku dengan kayu bakar banyak digunakan, saat ini hanya sebagian kecil daerah pedesaan yang menggunakannya karena telah beralih menggunakan gas LPG. Beberapa waktu lalu kompor minyak tanah juga populer digunakan sebelum gas LPG. Sehingga pada dasarnya tidak ada masalah menggunakan bahan bakar padat, bahan bakar cair maupun bahan bakar gas selama bahan bakar tersebut tersedia, harga terjangkau dan kompor juga tersedia. Ketika wood pellet diproduksi dimana-mana maka masalah kelangkaan bahan bakar akan teratasi. Hal ini karena kebun energi dan produksi wood pellet bisa dilakukan dimana saja, berbeda dengan gas alam yang sumbernya hanya di tempat-tempat tertentu. Mengapa tidak produksi wood pellet saja? Lahan luas, subur, iklim tropis, curah hujan dan tenaga kerja melimpah. Produksi wood pellet selain juga berbasis potensi wilayah, juga bisa sebagai model pertumbuhan ekonomi baru yang efektif dan efisien. 

Minggu, 17 Desember 2017

Konversi Kebun Karet Ke Kebun Energi

Jatuhnya harga karet ternyata diikuti juga oleh pembiaran hingga penebangan kebun-kebun tersebut. Kebun-kebun karet tersebut menjadi rusak bahkan gundul dan tidak memberi manfaat bahkan cenderung berpotensi bencana. Petani maupun pengusaha karet tentu ingin memulihkan bahkan kalau bisa lebih baik tentang kondisi pendapatan mereka yang sebelumnya menggantungkan dari karet tersebut. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan apabila mereka mau mengupayakannya. Salah satunya yakni dengan mengkonversi kebun karet tersebut menjadi kebun energi. Kebun energi seperti apa yang seharusnya diupayakan? Kebun energi yang multipurpose sehingga bisa memberi banyak manfaat dan tangguh dari berbagai hambatan. Untuk lebih detailnya tentang kebun energi multipurpose tersebut, bisa dibaca disini
Sama seperti halnya sektor pangan, kebutuhan energi juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta maka kebutuhan energi juga sangat besar, apalagi dengan kebutuhan pasar export yang didorong upaya perbaikan iklim dengan cara menurunkan suhu bumi atau mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, maka kebutuhan energi khususnya energi terbarukan, lebih khusus lagi yakni bahan bakar biomasa juga akan sangat besar. Wood pellet adalah bahan bakar biomasa yang sangat populer dan termasuk karbon netral karena tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer. Masalah mahal dan langkanya energi yakni gas LPG 3 kg di banyak daerah seharusnya juga bisa diatasi dengan wood pellet tersebut. 

Saat ini kebun karet di Indonesia memiliki luas 3,4 juta hektar atau peringkat no 1 dunia diikuti Thailand sebagai peringkat kedua dengan 2 juta hektar, dan sangat potensial untuk dikonversi menjadi kebun energi yang multipurpose tersebut. Selain menghasilkan kayu sebagai sumber energi sebagai produk utama dan dikelola secara berkesinambungan (sustainable), kebun energi tersebut juga bisa untuk peternakan domba yang menghasilkan daging dengan sangat ekonomis. Peternakan lebah madu juga bisa memperkaya dan memberi tambahan penghasilan yang menarik.

Menangkap Peluang Besar OPT Pellet Bagian 2


Banyaknya batang sawit tua yang hanya ditinggalkan di kebun-kebun sawit sampai menjadi lapuk setelah memasuki masa tidak produktif adalah salah satu bentuk pemborosan atau ketidakefisienan pemanfaatan sumber daya alam. Batang sawit tersebut sangat potensial untuk diolah menjadi OPT pellet atau pellet batang sawit yang saat ini juga adalah komoditas export. Di samping itu juga banyak sekali dijumpai limbah berupa pelepah-pelepah pohon sawit yang hanya ditumpuk di kebun-kebun sawit hingga menunggu lapuknya. Tentu saja hal tersebut juga merupakan bentuk pemborosan atau ketidakefisienan pemanfaatan sumber daya alam seperti halnya kasus batang sawit di atas. Mengapa hal tersebut kita biarkan  berlama-lama? Mari kita cari solusi atas hal tersebut.


Pelepah-pelepah sawit tersebut bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar pengeringan serbuk batang sawit sebelum dibuat pellet. Ya, batang-batang sawit tersebut harus dikecilkan ukurannya (size reduction) seukuran serbuk kayu (sawdust) lalu dikeringkan dan selanjutnya dipelletkan. Dengan cara seperti itu limbah-limbah biomasa menjadi termanfaatkan, bukan mencemari lingkungan serta menjadi unit bisnis. Pelepah-pelepah sawit bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar dalam tungku pembakaran dengan panas flue gas untuk pengeringan serbuk batang sawit. Abu dari pembakaran pelepah sawit juga bisa dikembalikan ke kebun sebagai pupuk yang kaya kalium (K).
Saat ini kami ada permintaan OPT Pellet untuk pasar export dengan kapasitas 1.000 ton/bulan. Bagi para pengusaha sawit atau sektor energi yang berminat menindaklanjuti peluang tersebut, bisa menulis email ke eko.sbs@gmail.com

Sabtu, 16 Desember 2017

Uang Yang Membawa Kemudharatan Kolektif


Potensi energi biomasa Indonesia sangat besar yakni menurut ESDM bila dikonversi ke energi listrik hampir 50.000 MW dan saat ini yang sudah dimanfaatkan sekitar 1600 MW atau 3%, sehingga dengan potensi tersebut seharusnya tidak terjadi krisis energi di negeri ini. Biomasa tersebut siap diolah untuk menjadi berbagai bentuk energi baik sumber panas maupun listrik. Dengan diolah menjadi wood pellet atau biomass pellet, maka penggunaan, penyimpanan hingga distribusinya menjadi mudah, aman dan murah. Belum lagi potensi berupa tanah-tanah yang bisa ditanami kebun energi yakni dari hutan tanaman energi yang jumlahnya mencapai puluhan juta hektar. Tetapi mengapa hal tersebut bukan menjadi berkah yang membawa kesejahteraan dan kemudahan hidup manusia? Bisa jadi masyarakat kita tidak menyadari dan mengetahui potensi tersebut, sehingga cenderung hanya membiarkannya, dan tidak mengolahnya, jelas ini berakibat menyia-nyiakan potensi yang berujung pada kemubadziran.

Banyak kabar berita telah beredar baik media cetak dan elektronik termasuk internet dan juga bahkan dialami sendiri oleh para pembaca sekalian bahwa terjadi kelangkaan gas LPG 3 kg di sejumlah daerah. Tentu saja bisa jadi karena sejumlah oknum bermain sehingga terjadi kelangkaan gas LPG tersebut. Ketika masyarakat di berbagai daerah memiliki alternatif energi yang bisa bersaing dengan LPG tersebut maka masalah kelangkaan energi atau bahan bakar tidak akan terjadise. Pertanyaannya bagaimana produksi energi yakni wood pellet atau biomass pellet atau wood briquette ataupun seperti rice husk briquette tersebut tersebar merata di seluruh pelosok negeri? Dari sinilah minat untuk menjadi produsen harus ditumbuhkan bagi para pengusaha khususnya yang bergerak di sektor energi. Pada prakteknya hal tersebut tidak mudah terutama sebagian besar bisnis berupa produksi tersebut beresiko tinggi.

Tingginya suku bunga deposito yakni dikisaran 6% per tahun telah membuat iklim berusaha atau bisnis menjadi lesu, dan banyak orang menjadi pemalas menunggu hasil dari bunga yang diharamkan agama tersebut. Bisnis baru tentang energi misalnya yang memberikan keuntungan 20-30% yang dibuat secara kongsi atau berserikat antara 2-3 orang dengan keuntungan 6-15% dianggap tidak menarik karena ada resiko rugi. Hal inilah yang mengakibatkan banyak sekali bidang-bidang bisnis yang memberi manfaat dan kemudahan hidup manusia menjadi tidak tersentuh dan otomatis tidak tergarap. Walaupun belum sepenuhnya terbebas dari bunga atau riba, sejumlah negara yang menerapkan suku bunga rendah bahkan hampir 0 % sebagai contoh Amerika Serikat hanya 1,35% dan Belanda 0,05%, telah terbukti memacu dan mendorong iklim bisnis lebih bergairah dan dinamis. Orang-orang menjadi berpikir dan berusaha untuk tidak hanya menyimpan uangnya di bank, tetapi bagaimana menjadi aktivitas yang produktif. Faktanya juga riil bahwa negara yang masih menggunakan sistem riba, tetapi dengan tingkat suku bunga lebih rendah saja sudah dapat dengan mudah mengalahkan negara yang tingkat suku bunganya lebih tinggi, apalagi negara yang tanpa riba, pasti dia bisa mengalahkan kekuatan ekonomi negara-negara lainnya yang masih berbasis riba.

Bahkan dosa riba tersebut levelnya lebih tinggi daripada mengkonsumsi makanan haram lainnya, misalnya makan babi, anjing, darah dan bangkai. Pemakan riba mendapat ancaman sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mengkonsumsi makanan haram tidak sampai diancam demikian. Untuk lebih detail bisa menyimak kajian berikut  di link ini
Uang-uang yang disimpan dan memberi penghasilan bunga tersebut telah membawa kemudharatan atau kerusakan kolektif. Tetapi faktanya mayoritas penduduk negeri ini bahkan dengan mayoritasnya muslim memilih cara itu, karena selain dijamin pemerintah dan rakyatnya juga tanpa resiko. Bukan saja begitu banyak bidang bisnis menjadi lesu dan terbengkalai, tetapi juga sikap mental menjadi pemalas tersebut. Sektor-sektor penting seperti masalah pangan, energi dan air menjadi semakin lemah penguasaannya. Tanah-tanah banyak ditinggalkan karena sektor pertanian dan peternakan dianggap tidak memberi keuntungan menarik dan beresiko tinggi, akibatnya import bahan pangan semakin merajalela, sedangkan daya beli semakin menurun. Karena kurangnya supply cabe, harga cabe sering melonjak tajam, demikian juga harga daging.  Tidak ketinggalan juga yakni sektor energi, bahkan untuk minyak bumi saat ini Indonesia telah menjadi nett importer dan tidak lagi menjadi anggota OPEC karena kebutuhan minyak dalam negeri telah melebihi pasokan produksi yang dihasilkan. Inovasi-inovasi di bidang energi juga lesu dan loyo. Dan yang paling mutahir dan mudah disaksikan yakni kelangkaan gas LPG 3 kg di sejumlah daerah. Riba telah mengambil makanan kita! Riba telah mengambil bahan bakar kita! Itulah yang terjadi. 
Sehingga solusinya adalah hanya kembali meningkatkan iman dan takwa dengan meninggalkan bunga atau riba tersebut dan menyuburkan aktivitas ekonomi non-riba (ekonomi syariah) dan sedekah sehingga tercipta kehidupan yang berkah dan memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Peringatan Allah SWT dalam QS Al Baqarah 275-279 bahwa peran riba begitu nyata dalam menghancurkan ekonomi dan ancaman siksa yang keras di dunia dan akhirat sehingga hal tersebut harus menjadi motivasi untuk penerapan sistem ekonomi syariah tersebut. Hanya dengan itu ekonomi kembali bergairah dan keberkahan muncul. 

Jumat, 08 Desember 2017

Kebun Energi Yang Multipurpose

Pengalaman adalah guru terbaik, begitu pepatah mengatakan. Begitu juga dalam masalah energi terbarukan khususnya yang berbasis biomasa, yakni program produksi biodiesel dari jarak pagar yang kandas karena mengalami kegagalan, serta bioetanol dari singkong (ubi kayu) dan tebu yang juga tragis karena juga mengalami kegagalan. Perlu kita kaji dan analisa penyebab kegagalan tersebut supaya kegagalan tersebut tidak terulang lagi. Pada kebun energi jarak pagar untuk bahan baku biodiesel ternyata produktivitas biji jarak pagar kecil dan tidak bisa bersaing dengan minyak diesel (solar) di pasaran. Selain itu daun jarak pagar juga tidak bisa digunakan untuk pakan ternak, sedangkan apabila diambil kayunya untuk sumber energi selain jumlahnya tidak banyak juga jelas akan mengganggu produktivitas biji jaraknya, sebagai produk utamanya. 
Jarak Pagar 
Singkong
Sedangkan pada produksi bioetanol dari ubi kayu dan tebu ternyata ada konflik kepentingan antara sektor pangan dan energi. Kembali petunjuk Al Qur'an harus dijadikan rujukan dan pegangan untuk masalah tersebut, yang bisa dibaca disini. Import gula Indonesia saat ini masih 1,3 juta ton sedangkan untuk tapioka masih import dengan kisaran 1 juta ton. Artinya untuk memenuhi sektor pangan saja yang prioritasnya lebih penting masih kekurangan apalagi untuk sektor energi. Tetapi masih mendingan bahwa konflik kepentingan antara pangan dan energi tersebut tidak sampai menimbulkan huru-hara seperti yang terjadi di Mexico beberapa waktu yang terkenal dengan huru-hara Tortila. Belajar dari kasus kegagalan tersebut, seharusnya bukan membuat kita mundur ke belakang apalagi era bioeconomy akan semakin besar porsi energi dari tumbuh-tumbuhan baik pepohonan maupun tanaman semusim. 
Lantas bagaimana solusinya untuk bisa bangkit dari kegagalan masa lalu dan punya peran signifikan dalam era bioeconomy ini? Kembali Al Qur'an memberi petunjuk bahwa energi itu berasal dari pepohonan dan buah-buahan. Lebih jelas mengenai hal tersebut bisa dibaca disini dan disini. Contoh praktisnya kebun energi multipurpose yang berasal dari pepohonan adalah solusi tersebut. Pepohonan tersebut termasuk kelompok leguminoceae yang mampu berproduksi dalam waktu singkat dengan produktivitas kayu yang tinggi yakni 1 tahun saja, dan tidak perlu replanting atau penanaman ulang hingga 20 tahun. Selain pepohonan tersebut juga menghasilkan daun yang kaya protein sehingga sangat bagus untuk pakan ternak juga akarnya mampu mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Tahapan produksi wood pellet dari kebun energi bisa dibaca disini


Wood pellet yang dihasilkan bisa juga multipurpose, yakni selain digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik dan boiler, juga bisa sebagai bahan bakar rumah tangga untuk memasak. Selain masalah lingkungan berupa perubahan iklim karena konsentrasi CO2 di atmosfer yang telah melampaui ambang batas, ternyata masalah kelangkaan bahan bakar khususnya LPG (Propane) banyak terjadi di sejumlah daerah. Masalah kelangkaan LPG tersebut memicu masalah sosial karena masyarakat yang sudah tergantung dengan bahan bakar tersebut, menjadi tidak siap dengan bahan bakar selain itu. Tungku-tungku kayu sudah ditinggalkan, kalau pun masih ada ketersediaan kayu bakar juga terbatas, apalagi untuk musim penghujan. Wood pellet bisa menjadi solusi masalah tersebut, apalagi telah banyak kompor-kompor wood pellet yang efisien dengan hampir tidak ada polusi asap. 

Apabila dihitung dengan harga LPG maka harga wood pellet juga lebih murah, yakni dengan nilai kalori yang sama dua setengah kg wood pellet (nilai kalor 4.400 kkal/kg) dengan harga Rp 3750,- sementara satu kilo LPG (nilai kalor 11.000 kkal/kg) Rp 6000,- Penghematan yang bisa dilakukan Rp 2250/kg atau 37,5% yang berarti lebih dari sepertiganya. Selain itu penggunaan wood pellet juga lebih aman, tidak akan meledak seperti halnya LPG. Selang yang rusak lalu terjadi kebocoran gas banyak menyebabkan terjadinya ledakan. Penyimpanan wood pellet juga mudah seperti menyimpan beras. Dengan kemasan-kemasan kecil misalnya 5 kg atau 10 kg, maka penggunaan wood pellet semakin praktis dan mudah didistribusikan. Kesimpulannya : kebun energi yang multipurpose dengan pohon-pohon leguminoceae akan memberikan banyak manfaat, utamanya energi, lalu peternakan domba hingga kesuburan tanah. Bahkan lebih jauh lagi Al Qur'an dalam Surat  Yaasiin ayat 33 menyebut pohon-pohon leguminoceae tersebut merupakan tanaman perintis yang bisa menghidupkan tanah-tanah yang mati. 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...