Minggu, 25 Maret 2018

Produksi Wood Pellet Atau Charcoal Pellet ?

Wood pellet telah menjadi pembicaraan hangat dan peluang bisnis menggiurkan saat ini. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang berencana untuk produksi wood pellet di Indonesia khususnya dengan bahan baku dari kebun energi. Tentu masih banyak yang ingat juga beberapa waktu lalu Indonesia banyak disorot dunia untuk fungsinya sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropisnya sebagai penyerap CO2  dan kompensasi carbon trading. Selanjutnya akankah di era saat ini Indonesia akan menjadi pemasok bahan bakar biomasa utama dunia yang merupakan bahan bakar karbon netral? Tidak mengherankan Indonesia sebagai negara tujuan untuk investasi produksi biomasa, hal ini karena faktor iklim tropisnya, tanah luas tersedia dan tanah yang subur. Hampir semua daerah di Indonesia bisa ditanami untuk berbagai jenis tanaman dan kondisi ini berbeda dengan negara subtropis maupun daerah kering seperti bergurun pasir. Tentu saja yang penting bahwa aktivitas bisnis produksi biomasa dan turunannya tersebut memberi keuntungan yang adil dengan warga negara maupun pemerintah Indonesia. Jangan sampai penduduk hanya menjadi obyek bahkan penonton di negerinya sendiri, ibarat ayam mati di lumbung padi. Jika hal itu terjadi, maka sungguh keterlaluan. Kaum muslimin bisa menangkap dan memanfaatkan peluang tersebut dengan cara bersyirkah, lebih detail bisa dibaca disini.

Sejarah juga telah mengajarkan bahwa kekayaan alam tetapi tidak dikelola dengan baik maka hanya mengundang penjajah. Ingat, Indonesia dijajah khususnya secara militer, politik, pendidikan dan ekonomi 350 tahun,karena awalnya rempah-rempah dan tentu penjajahan gaya baru (neo-kolonialism) juga tidak boleh terjadi lagi untuk masa kini dan masa depan. Mengapa wood pellet menjadi sedemikian populer? Alasan pertama adalah tingginya permintaan wood pellet yang didorong oleh sejumlah kebijakan pro lingkungan, yang di Asia terutama Korea dan Jepang. Alasan kedua, pembangkit listrik adalah salah satu sumber polusi terbesar dengan emisi CO2 sangat besar, sehingga perlu dikurangi bahkan perlu diganti dengan pembangkit listrik biomasa yang karbon netral. Alasan ketiga, produksi wood pellet lebih murah daripada bahan bakar seperti bioethanol. Sejumlah analisis menyatakan bioethanol dari biomasa kayu (lignocellulosic biomasa) baru menarik diproduksi ketika harga minyak bumi diatas $100/barrel sedangkan harga minyak bumi saat ini dikisaran $60/barrel. 

Pengguna utama wood pellet adalah pembangkit-pembangkit listrik besar, sehingga dibutuhkan volume dan kontinuitas produksi. Sejumlah aturan yang ketat telah diberlakukan pada produksi wood pellet sebagai contoh standar kualitas, dan keberlangsungan pasokan bahan baku yang dibuktikan dengan sertifikasi tertentu seperti FSC. Produk wood pellet yang diperdagangkan harus memenuhi standard atau kriteria tersebut. Kontrak-kontrak panjang juga biasa dilakukan pada transaksi jual beli wood pellet. Melihat sejumlah hal diatas, maka bisa dipahami jika pemain-pemain atau produsen-produsen wood pellet harus memiliki modal besar. Produksi wood pellet saat ini diperkirakan 20 juta ton dengan Amerika Serikat dan Kanada sebagai produsen utamanya, sedangkan Eropa adalah pengguna utamanya, diikuti Jepang dan Korea di kawasan Asia. 

Arang adalah produk energi dari pengolahan biomasa khususnya kayu. Arang kayu sudah dikenal sangat lama dan banyak diproduksi di sejumlah tempat. Proses produksi arang kayu umumnya tradisional, memakan waktu lama dan kualitas tidak seragam. Menurut FAO produksi arang kayu secara global pada tahun 2015 tercatat lebih dari 50 juta ton dan sekitar separuhnya diproduksi di Afrika. Setiap tahunnya Eropa mengimport 1 juta ton arang, demikian juga Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah mengimport arang lebih dari 1 juta ton. Penggunaan arang tersebut sebagian besar adalah sektor rumah tangga dengan distribusi eceran (ritel). Selain itu arang juga digunakan untuk metalurgi, pertanian (biochar) dan bahan baku arang aktif (activated carbon).

Produksi arang dan pemasaran arang juga belum diperlakukan aturan yang ketat seperti wood pellet. Hal ini terutama karena produsen arang yang sangat banyak, dengan rata-rata produksi kecil dan teknologi produksi tradisional. Selain itu pasar atau pembeli juga tidak mensyaratkan volume besar dan kontrak jangka panjang. Faktor kualitas tetap menjadi standard penting terutama untuk pasar export. Tetapi bisa jadi aturan lebih ketat juga akan diberlakukan pada produksi dan pemasarannya, mengingat potensi kerusakan yang ditimbulkan. Konversi rendah tungku-tungku pengarangan tradisional yakni rata-rata 15% membuat kebutuhan bahan baku kayu menjadi ekstra, sehingga untuk menghasilkan 1 juta ton dibutuhkan bahan baku sekitar 6,5 juta ton kayu. Pendekatan dengan menggunakan teknologi yang efisien semakin mendesak apalagi untuk melayani kebutuhan yang besar dan kontinyu. Pyrolysis atau karbonisasi kontinyu adalah solusi untuk hal tersebut yakni dengan tingkat konversi ke arang mencapai 30% atau hampir sepertiganya. Dengan teknologi yang efisien tersebut hanya dibutuhkan bahan baku kayu kurang lebih 3 juta ton, atau hanya separuhnya yang berarti menghemat sekitar 3 juta ton bahan baku kayu. 

Untuk meningkatkan efisiensi dan kemudahan dalam transportasi dan handling dan penggunaannya maka arang juga bisa dibuat pellet. Nilai kalor arang yang lebih tinggi dari kayu yakni sekitar 2 kali lipatnya, juga membuat pellet arang (charcoal pellet) memiliki kalori lebih tinggi dibandingkan wood pellet. Berbeda dengan produksi wood pellet yang tidak membutuhkan perekat tambahan, karena lignin dalam kayu itu sendiri juga berfungsi sebagai perekat ketika ditekan (kompresi) dan suhu tinggi, untuk charcoal pellet membutuhkan perekat tambahan berupa tepung tapioka, hal ini karena lignin telah terdekomposisi (terurai) sewaktu proses karbonisasi (pyrolysis). Keuntungan lainnya dari proses pyrolysis adalah dihasilkan sejumlah produk samping yang memberi keuntungan tambahan, yakni : biooil sebagai bahan bakar burner/boiler, campuran bahan bakar kapal dan bisa diupgrade menjadi bahan bakar kendaraan pada umumnya, lalu syngas yang bisa digunakan untuk bahan bakar gas engine untuk produksi listrik serta wood vinegar yang bisa diolah lanjut menjadi biopestisida maupun pupuk organik cair. Untuk kapasitas produksi 200 ton/hari INPUT atau kurang lebih 70 ton arang/hari (OUTPUT) maka output listrik yang dihasilkan bisa mencapai 5 MW dengan bahan baku wood chip atau serbuk kayu (sawdust). 
Kontinuitas bahan baku untuk produksi arang juga sama seperti produksi wood pellet yakni dari kebun energi sehingga bisa terus berkelanjutan. Optimalisasi kebun energi dengan peternakan domba plus sapi dan peternakan lebah madu adalah opsi terbaik untuk optimalisasi penggunaan lahan. Kesimpulannya ada dua opsi menarik pada bisnis bahan bakar biomasa saat ini, yakni produksi wood pellet dengan syarat ketat mulai dari sumber bahan baku dan kualitas produk wood pelletnya, tetapi bisa mendapatkan kontrak pembelian wood pellet jangka panjang yakni sampai 20 tahun atau produksi charcoal pellet, yang syaratnya tidak seketat wood pellet, lalu pada tahap karbonisasi atau pyrolysis juga dihasilkan sejumlah produk samping yang juga menguntungkan, bahkan untuk listriknya juga sangat dimungkinkan untuk kontrak jangka panjang dengan menjualnya ke PLN dengan mekanisme PPA (Power Purchase Agreement) sampai 25 tahun tapi untuk produk-produknya tidak bisa kontrak panjang. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas tentu dibutuhkan kajian mendalam sebelum mengeksekusi salah satu atau bahkan kedua peluang tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...