Minggu, 11 Maret 2018

Peningkatan Efisiensi Biomasa Untuk Ketercukupan Energi

Berbicara masalah perkebunan kelapa sawit, Indonesia jagonya, perkebunan kelapa, demikian juga, perkebunan karet, juga demikian. Tetapi berbicara ketercukupan (swasembada) energi, diversifikasi energi, ketahanan energi hingga peran bioenergi atau biopower rasanya masih sangat jauh untuk bisa dikatakan jagonya. Energi jelas termasuk sektor penting, setelah pangan. Telat berinovasi di sektor ini juga berpotensi negeri ini tidak berkembang bahkan dikuasai pihak asing. Sumber biomasa yang sangat banyak tersebut ternyata belum dimanfaatkan secara efisien dan optimal. ESDM mencatat baru kurang dari 2% biomasa digunakan. Peningkatan efisiensi itu saja sebenarnya sudah memberi kontribusi besar untuk ketercukupan energi. Masalah-masalah hari ini seperti kelangkaan gas LPG 3 kg dibeberapa lokasi sebenarnya juga bisa diatasi dengan peningkatan efisiensi tersebut. Masalah lingkungan global seperti perubahan iklim dan global warming juga bisa dimitigasi dengan biomasa karena merupakan bahan bakar karbon netral. Sedangkan ketika kebutuhan energi semakin besar, maka perlu menciptakan sumber-sumber energi baru yakni dengan kebun energi yang multipurpose
Perkebunan sawit Indonesia hari ini seluas 12 juta hektar dan nomor 1 di dunia. Tentu saja produksi biomasanya sangat besar. Ada dua kelompok sumber biomasa dari perkebunan sawit tersebut, yakni dari sisi perkebunan dan sisi pabrik pengolahannya. Pada sisi perkebunan, limbah berupa pelepah, batang dan daun sawit belum dimanfaatkan dan hanya ditumpuk di kebun hingga lapuk. Sedangkan dari sisi pabrik pengolahannya, yakni pabrik kelapa sawit atau produksi CPO, limbah biomasa berupa cangkang sawit, tandan kosong, serabut (mesocarp fiber) dan limbah cair. Semua limbah tersebut bisa dimanfaatkan untuk energi, hanya serabut dari daging buah (mesocarp fiber) telah habis sebagai bahan bakar pada operasional pabrik sawit (pembangkit listrik dan produksi steam). Biomasa yang keras dan sulit membusuk bisa diolah menjadi pellets dan briquette, sedangkan biomasa yang kaya bahan organik diolah dengan route biologi (fermentasi) untuk produksi biogas. 



Pabrik-pabrik pellet atau briquette bisa dibangun berdekatan dengan kebun maupun pabrik CPO atau berbasis raw material oriented. Apabila pabrik tersebut dibangun jauh dari bahan baku, maka biaya transportasi akan mahal karena bahan mentah tersebut mengambil volume yang besar (bulky). Kapasitas pabrik tersebut juga disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku, sehingga apabila pabrik tersebut menggunakan bahan baku dari limbah perkebunan sawit seperti pelepah dan batang. Perawatan kebun dengan membersihkan pelepah-pelepah sawit serta program penanaman kembali (replanting) yang menyisakan batang-batang sawit  (baca lebih detail pellet batang sawit disini dan disini)yang dilakukan secara periodik adalah sumber bahan baku untuk produksi pellet tersebut. Sedangkan pabrik pellet yang menggunakan bahan baku dari pabrik sawit, maka juga otomatis kapasitasnya menyesuaikan dengan pabrik sawit tersebut. Tandan kosong (EFB : Empty Fruit Bunch) adalah limbah padat yang dihasilkan pada operasi harian pabrik kelapa sawit yang bisa digunakan untuk produksi pellet tersebut. Sedangkan cangkang sawit (PKS : palm kernel shell) juga dihasilkan sebagai limbah padat pabrik kelapa sawit, tetapi karena ukuran dan properties-nya sudah mirip dengan wood pellet maka tidak perlu diolah menjadi pellet, cukup dibersihkan dari pengotornya dan digunakan untuk bahan bakar. Cangkang sawit inilah juga sebagai kompetitornya wood pellet, yang mayoritas hanya bisa diperoleh dari Indonesia dan Malaysia. Eropa dan negara-negara Amerika Utara (US dan Canada) tidak bisa menghasilkan cangkang sawit karena tidak ada perkebunan kelapa sawit disana.

Perbandingan Wood Pellet dan Cangkang Sawit (PKS)
Terakhir aspek pasar. Apapun produksinya, jika tidak ada pasar atau pembelinya, sama juga bohong. Pasar export juga sangat membutuhkan bahan bakar biomasa karena konsensus global untuk mengurangi CO2 di atmosfer yang banyak dijelaskan sebagai biang kerok perubahan iklim dan pemanasan global. Bahan bakar biomasa khususnya pellet dan cangkang sawit dikategorikan carbon neutral tetapi juga pengelolaannya harus berkelanjutan (sustainable). Tiap pellet tersebut juga memiliki pasarnya tersendiri, lebih detail bisa dibaca disini. Pasar dalam negeri juga perlu dibangun. Ketika produsen pellet bisa menyediakan pellet tersebut secara kontinyu berikut kompor masak maupun berbagai alat-alat konversi energinya, yang juga bagian mengedukasi pasar (untuk kondisi saat ini), maka secara bertahap penggunaan pellet semakin besar. InsyaAllah. Apalagi kondisi kelangkaan bahan bakar ykhususnya untuk rumah tangga di sejumlah daerah yang mengkhawatirkan juga akan menjadi daya dorong (driving force) atau motivasi produksi pellet tersebut. Dan bukan mustahil, Indonesia menjadi salah satu pemain utama biomass fuel dunia. Wallahu 'Alam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...