Program cofiring PLN yakni mencampur bahan bakar biomasa dengan batubara pada PLTU yang jelas akan mendorong penggunakan biomasa sebagai sumber energi. Cofiring adalah cara paling mudah dan murah bagi PLTU untuk mulai masuk atau bertahap menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Emisi juga semakin membaik seiring peningkatan penggunaan bahan bakar biomasa tersebut seperti karena kandungan sulfur sangat rendah, abu sedikit dan bukan B3, dan fly ash sangat kecil. Jumlah biomasa yang ditambahkan misalnya mulai dari 1% yang kemudian secara bertahap ditambah dan bahkan finalnya bisa 100% biomasa atau energi terbarukan. Pada tahun 2020 program cofiring tersebut sudah diinisiasi dengan target 37 PLTU dan pada akhir 2020 dilaporkan telah terlaksana untuk 20 PLTU. Sedangka secara keseluruhan terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai 2024. Terdiri dari 13 lokasi PLTU di Sumatera, 16 Lokasi PLTU di Jawa, Kalimantan (10 lokasi), Bali dan Nusa Tenggara (4 unit PLTU), Sulawesi (6 lokasi) serta Maluku dan Papua (3 lokasi PLTU). Sedangkan rasio cofiring tersebut berkisar 1-5% biomasa dengan estimasi kebutuhan biomasa 9-12 juta ton per tahun. Secara teknis dengan rasio cofiring 1-5% tersebut PLTU juga tidak perlu melakukan modifikasi peralatannya, sehingga bisa langsung digunakan setelah bahan bakar biomasa memenuhi spesisifikasi yang dipersyaratkan.
Pulverized Combustion |
Apabila dirinci tentang tipe teknologi yang digunakan PLTU di Indonesia saat ini, yakni terdapat tiga tipe PLTU yakni, 43 tipe PC (Pulverized Coal) dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari, 38 tipe CFB (Circulating Fluidized Bed) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sedangkan 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari. Untuk jangka pendek jenis biomasa yang digunakan adalah berbasis limbah, sedangkan untuk jangka panjang yakni dari kebun energi. Kementrian LHK juga telah mengalokasikan lahan sektar 12,7 juta hektar untuk penyediaan lahan hutan bersama-sama mendukung program penyediaan biomasa PLTU tersebut. Lahan-lahan bekas tambang yang luasnya sekitar 8 juta hektar juga semestinya bisa direklamasi dengan kebun energi tersebut. Bahkan PLN juga telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan PTPN III Holding (Persero) dan Perum Perhutani. Dalam hal ini, PLN sebagai pemilik PLTU, Sedangkan Perhutani memiliki sumber daya kawasan hutan industri baik di Jawa maupun luar jawa yang dapat dikembangkan sebagai hutan tanaman energi. Begitu juga dengan PTPN III yang memiliki lahan untuk pengembangan hutan tanaman energi, untuk lebih detail baca disini.
Untuk memenuhi kebutuhan biomasa sebagai sumber energi tersebut maka kebun energi harus semakin digalakkan. Produksi bahan bakar biomasa dari kebun energi membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan mengolah limbah-limbah kehutanan dan pertanian seperti limbah-limbah kayu tebangan, serbuk gergaji, limbah kayu dari industri pengolahan kayu, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa, sekam padi, dan sebagainya. Rute atau pilihan dengan kebun energi dipilih karena selain lebih menjamin kualitas dan kuantitas bahan bakar biomasa juga mengoptimalkan penggunaan lahan termasuk bisa diintegrasikan dengan peternakan dan bisa dipanen berkali-kali (trubusan/coppice) tanpa harus menanam kembali (replanting) untuk panen berikutnya. Bahkan karena tanaman kebun energi menggunakan jenis legum seperti gamal dan kaliandra yang akarnya bisa mengikat nitrogen dari atmosfer maka kesuburan tanah juga meningkat. Tetapi memang juga dibutuhkan upaya lebih banyak dan keras untuk rute kebun energi tersebut karena paling tidak dibutuhkan minimal 2 tahun tanaman tersebut bisa dipanen dan sebelumnya juga perlu penyiapan tanah dan menanam tanaman tersebut.
Seperti disampaikan sebelumnya bahwa pemilihan produksi jenis bahan bakar dari kebun energi dipengaruhi beberapa hal seperti jarak kebun energi dengan industri pengguna, kapasitas produksi, kebutuhan industri sesuai teknologi pembakarannya dan nilai investasi. Apabila lokasi industri atau pembangkit listrik berdekatan bahkan dalam area kebun energi maka kayu dari kebun energi tersebut cukup hanya dengan dibuat wood chip (serpih kayu). Hal tersebut karena biaya transportasi murah. Sedangkan apabila lokasinya cukup jauh maka kayu tersebut sebaiknya diolah menjadi wood pellet atau wood briquette. Wood pellet memang jauh lebih populer daripada wood briquette walaupun secara teknis produksi wood briquette lebih mudah dan biaya produksi lebih murah. Selain itu secara teknis kepadatan (density) wood briquette juga bisa lebih tinggi daripada wood pellet. Hal itulah menjadi menarik jika ada produsen tertarik dengan produksi wood briquette sebagai diversifikasi produk dan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar