Senin, 22 September 2025

Green Aluminium dan Peran Energi Berbasis Biomasa

Kebutuhan alumunium diprediksi semakin besar yakni meliputi sektor konstruksi, transportasi (termasuk pesawat terbang) dan otomatif, peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik. Produksi green alumunium dari pertambangan bauksit lalu diolah menjadi alumina sebagai produk antara dari pemurnian / refining bauksit dan menjadi produk akhir berupa alumunium adalah sangat ideal. Produksi alumunium khususnya dari pengolahan alumina menjadi alumunium membutuhkan energi listrik yang sangat besar, untuk produksi sekitar300.000 ton/tahun alumunium dibutuhkan energi listrik sekitar 1 GW (1.000 MW). Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik tersebut perlu dibangun pembangkit listrik yang sangat besar. Dan apabila menggunakan sumber energi berbasis fossil khususnya batubara maka kebutuhannya akan sangat besar.

PT Inalum di Sumatera Utara adalah contoh produksi green aluminumium pada produksi alumunium dari alumina. Hal ini karena produksi alumunium dari alumina tersebut menggunakan sumber energi dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air) untuk mencukupi kebutuhan listriknya.  Tetapi selama 40 tahun lebih pabrik alumunium tersebut mengimport jutaan ton alumina sebagai bahan bakunya. Dan setelah pabrik alumina dari bauksit di Mempawah, Kalimantan Barat beroperasi maka sebagian besar alumina sebagai bahan baku PT Inalum akan disuplai dari pabrik alumina di Mempawah tersebut. Sekitar 1 juta ton alumina akan dihasilkan dari pabrik alumina di Mempawah, Kalimantan Barat tersebut atau lebih dari 80% dari kebutuhan alumina PT Inalum di Sumatera Utara. 

Produksi alumina dari bauksit juga membutuhkan energi listrik yang besar sehingga perlu adanya pembangkit yang mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk operasional pabrik tersebut. Sebagian besar dari pabrik alumina juga masih menggunakan sumber energi fosil untuk produksi listriknya. Untuk upaya dekarbonisasi maka penggunaan energi terbarukan seperti yang berbasis biomasa yakni wood pellet bisa dilakukan. Penggunaan wood pellet dengan rasio cofiring bertahap bisa dilakukan hingga akhirnya bisa fulfiring atau 100% menggunakan wood pellet atau energi berbasis biomasa lainnya.

 

Kebutuhan energi terbarukan khususnya berbasis biomasa tersebut sangat besar dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan sumber biomasa yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Sumber biomasa tersebut bisa berasal dari biomasa kayu-kayuan maupun biomasa limbah-limbah pertanian. Sumber biomasa kayu-kayuan bisa berasal dari limbah hutan, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu produksi kebun-kebun energi. Sedangkan dari sumber limbah-limbah pertanian bisa berasal dari limbah pertanian dan perkebunan maupun dari limbah agro-industri. Sertifikat keberlanjutan juga perlu mendapat perhatian bahkan dalam beberapa waktu mendatang bisa menjadi suatu kewajiban terkait asal sumber energi berbasis biomasa tersebut.  

Senin, 15 September 2025

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Berkelanjutan

Sabut kelapa menempati porsi 30% atau sekitar sepertiga dari berat buah kelapa. Bahan ini pada umumnya hanya ditinggal di kebun dan sebagian besar masih belum dimanfaatkan sehingga malah cenderung mencemari lingkungan. Dengan produksi kelapa Indonesia yang mencapai sekitar 2,9 juta ton per tahun atau 15,13 butir per tahun, maka potensi sabut kelapa yang dihasilkan sangat besar yakni sekitar. 1 juta ton basah (kadar air rata-rata 60%) atau 500 ribu ton kering (kadar air 10%). 

Jumlah sabut kelapa ini hampir tidak terpengaruh oleh kebijakan export kelapa bulat oleh pemerintah terutama untuk tujuan ke China akhir-akhir ini, seperti video ini. Banyak industri berbasis kelapa yang kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku bahkan hingga menutup pabriknya. Industri-indstri seperti dessicated coconut, santan, arang tempurung dan briket arang, serta activated carbon sangat terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Menjual produk olahan atau produk-produk turunan kelapa yang melalui proses industrialisasi jelas akan memberi nilai tambah lebih besar dan menciptakan lapangan kerja. Dan negara-negara maju juga tidak mengeksport bahan mentah, tapi barang jadi atau minimal barang setengah jadi. 

Industrialisasi produk berbasis kelapa sangat penting dilakukan. Seperti halnya kelapa sawit, produk-produk pengolahan kelapa terutama untuk produk pangan. Pemanfaatan untuk energi atau biofuel juga sangat dimungkinkan, seperti untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel). Bahkan pada minyak sawit penggunaan untuk biofuel berupa campuran wajib minyak sawit dari CPO (crude palm oil) dalam biodiesel 40% (B40) tahun ini dan sedang dikaji menjadi 50% (B50) pada tahun 2026, serta minyak sawit dari PKO (palm kernel oil) untuk campuran 3% untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF pada tahun 2026. Kandungan utama minyak kelapa berupa asam laurat sama seperti minyak kernel sawit atau PKO. Asam laurat yang terdiri 12  atom karbon (C) atau MCFA (medium chain fatty acid) sangat cocok untuk penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF harus memiliki ikatan atom karbon atau ikatan C direntang C10-C15 , untuk lebih detail baca disini

Produktivitas kelapa terus menurun akibat kurang atau lambatnya program replanting, kasus serupa juga dialami oleh kelapa sawit untuk lebih detail baca disini, dan ini menjadi kendala tersendiri. Luas kebun kelapa yang perlu direplanting juga mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektar, sebagai contoh untuk provinsi Riau ditargetkan 43.388 hektar kebun kelapa akan diremajakan pada tahun 2025. Selain produktivitas kelapa bisa ditingkatkan dengan penggunaan bibit unggul, intensifikasi juga perlu dilakukan. Produktivitas kelapa yang tinggi dan harga jual yang tinggi menjadi dorong untuk replanting tersebut.  

Pemanfaatan atau produksi biochar dari sabut kelapa adalah solusi untuk meningkatkan produktivitas kelapa berkelanjutan. Penggunaan biochar juga bisa sangat mendukung untuk perkebunan kelapa organik. Walaupun pada umumnya pohon kelapa tidak dipupuk secara memadai bahkan tidak dipupuk sama sekali tetapi masih tetap berbuah, dengan biochar pemakaian pupuk akan semakin efisien. Hal ini karena biochar adalah sebagai slow release fertilizer agent. Terkait pemupukan, pada kelapa berbeda 180 derajat dengan kelapa sawit yang pemupukan harus dilakukan sehingga pohon sawit bisa berbuah dan ketergantungan dengan pupuk kimia yang tinggi. Bahkan pada perkebunan sawit komponen biaya tertinggi adalah pemupukan itu sendiri. Produk kelapa organik akan menghasilkan produk-produk turunan yang disukai dan harga jual tinggi. 

Potensi pendapatan dari karbon kredit juga akan sangat menarik. Untuk mendapatkan carbon credit atau BCR (Biochar Carbon Removal) credit maka aplikasi biochar termasuk proses produksi harus diverifikasi oleh lembaga karbon standar. Lembaga karbon standar seperti Puro Earth, Verra dan CSI mengembangkan suatu metodologi yang harus diikuti oleh produsen biochar untuk mendapatkan carbon credit tersebut.  

Rabu, 03 September 2025

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit tersebut masih baru sehingga belum banyak aau masih bisa dihitung dengan jari pabrik sawit yang mengaplikasikannya. Salah satu pabrik sawit yang sudah melakukannya adalah Minsawi industries di Kuala Kangsar, Malaysia berkapasitas 45 ton TBS/jam dengan penggunaan AI pabrik tersebut bisa melakukan penghematan RM 1,6 juta (Rp 6,24 milyar) per tahun karena kehilangan minyak lebih kecil dan demikian juga biaya pemeliharaan (maintenance) serta penggunaan tenaga kerja berkurang 33%. Tetapi ada kekhawatiran penggunaan AI untuk pabrik sawit adalah potensi hilangnya sejumlah pekerjaan. Walaupun dengan tenaga kerja lebih sedikit tetapi penghasilan menjadi lebih tinggi. 

Cost to benefit ratio tentu akan menjadi pertimbangan penting suatu teknologi baru termasuk penggunaan AI. Seberapa besar biaya dikeluarkan harus memberi keuntungan yang sepadan atau lebih besar. Dalam hal aplikasi AI pada pabrik sawit tersebut, biaya AI menelan biaya RM 5 juta (~Rp 19,5 Milyar) artinya dengan penghematan sebesar RM 1,6 juta per tahun tersebut maka dalam waktu sekitar 3 tahun investasi untuk perangkat AI tersebut kembali. Pengembalian investasi yang wajar. Tetapi dengan dengan investasi sebesar itu untuk peningkatan efisiensi pada pabrik yang sudah beroperasi atau dimana nilai investasi itu misalnya senilai 15% dari pabrik utama, memang membutuhkan pertimbangan yang komprehensif. 

Sejumlah perangkat diintegrasikan seperti sensor, alat prediktif dan aplikasi AI untuk peningkatan efisiensi produksi minyak sawit atau CPO tersebut. Lebih detailnya komponen-komponen kunci untuk pabrik sawit berbasis AI tersebut meliputi : pertama, advanced sensors. Sensor-sensor tersebut dipasang diseluruh bagian pabrik sawit untuk mendapatkan data real-time pada parameter-parameter penting seperti suhu, tekanan, amper, dan kinerja mesin. Kedua, kamera-kamera CCTV berkemampuan AI. Sejumlah kamera dipasang pada tempat-tempat strategis untuk memonitor area-area kunci, seperti untuk mendeteksi volume TBS, kualitasnya dan menyediakan informasi tersebut untuk mengontrol proses produksi. Ketiga, sistem kontrol yang digerakkan oleh AI. Sistem-sistem tersebut secara otomatis dan mengoptimalkan proses, mengatur operasional peralatan dan pemanfaatan sumber daya berbasis pada real time data analysis. 

Sedangkan pada pengembangan produk baru, berarti akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang ada. Peningkatan nilai tambah ini bisa jauh lebih besar daripada yang didapat dari peningkatan efisiensi pabrik aplikasi dari penggunaan AI. Bahan baku yang sebelumnya tidak dimanfaatkan atau bahkan dibuang begitu saja sehingga mencemari lingkungan bisa mendatangkan banyak keuntungan dari pengembangan produk baru tersebut. Tentu saja mengoptimalkan performa atau kinerja pabrik sangat penting karena menghasilkan efisiensi yang tinggi, tetapi inovasi untuk pengembangan produk baru juga tidak kalah penting. 

Pada industri sawit pengembangan produk baru bisa dilakukan dengan cara yakni membuat berbagai produk turunan dari minyak mentah sawit (CPO) dan mengolah berbagai limbah biomasa dari operasional industri sawit tersebut, baik limbah biomasa dari pabrik sawitnya maupun dari perkebunannya. Ada banyak produk yang bisa dihasilkan dari pengolahan-pengolahan tersebut. Sebagai contoh pada turunan CPO akan dihasilkan biofuel seperti biodiesel, minyak goreng, stearin, olein dan sebagainya sedangkan pengolahan limbah biomasa bisa menjadi bioenergy, biocarbon, biofuel, biomaterial dan biochemical. 

Merancang proses produksi yang efisien sangat penting untuk menghasilkan produk yang kompetitif. Demikian juga dengan produksi yang rendah emisi atau limbah sekecil mungkin bahkan zero waste juga menjadi perhatian penting. Integrasi berbagai proses produksi terutama untuk penghematan energi termasuk waste heat recovery sangat dimungkinkan untuk mencapai tingkat efisiensi atau biaya produksi yang rendah. Keuntungan yang besar karena aplikasi AI pada pabrik sawit atau produksi CPO selanjutnya bisa digunakan untuk pengembangan produk baru termasuk merancang proses produksi seefisien mungkin. 

 

Pada akhirnya apabila pengembangan produk-produk baru tersebut bisa dilakukan dan sekaligus AI  diintegrasikan maka kebutuhan tenaga kerja akan bertambah pada unit-unit bisnis tersebut, walaupun setiap unit bisnis bekerja secara efisien. Produksi berbagai produk turunan hingga specialty chemical sangat dimungkinkan dengan pengembangan produk baru mengikuti perkembangan zaman. Selain itu di sisi perkebunannya juga bisa memanfaatkan AI dan mekanisasi untuk mengurangi 3D (dirty, dangerous, demeaning) jobs, sehingga pekerjaan juga semakin efisien dengan penghasilan meningkat.  Bahkan mekanisasi di perkebunan sawit juga masih rendah sehingga lebih mendesak dilakukan dibanding aplikasi AI.   

Minggu, 31 Agustus 2025

Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Batang Sawit Tua (Versi Presentasi)

Tanaman tua menjadi salah satu faktor menurunnya produktivitas kelapa sawit. Pohon sawit mulai terjadi penurunan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun. Hal ini sehingga peremajaan atau replanting harus dilakukan berkala sesuai umur tanaman tersebut.

Disamping itu kebutuhan minyak sawit terus seiring meningkat pertumbuhan jumlah penduduk dunia. Untuk pasar domestik atau dalam negeri, penggunaan untuk biofuel berupa campuran wajib minyak sawit dalam biodiesel 40% (B40) tahun ini dan sedang dikaji menjadi 50% (B50) pada tahun 2026, serta untuk campuran 3% untuk bahan bakar jet pada tahun 2026, selanjutnya untuk pasar internasional juga kebutuhannya terus meningkat. Tujuan utama minyak sawit dari Indonesia yakni India, China, Pakistan, Bangladesh, Amerika Serikat,  Belanda, Spanyol, Italia, Mesir dan Afrika Selatan.  

Replanting kebun sawit menjadi sangat penting dilakukan karena akan bisa menjaga produktvitas kelapa sawit berkelanjutan dan menghindari atau mengurangi deforestasi untuk lahan baru. Potensi volume limbah batang sawit tua yang dihasilkan sangat besar dan juga ada banyak opsi pemanfaatannya seperti bioenergy, biocarbon, biomaterial, biofuel dan biochemical.

Untuk membaca dan mendapatkan presentasinya, silahkan download disini.    

Sabtu, 30 Agustus 2025

Produksi Biochar dan Kompos Premium dari Pengolahan Limbah Organik

Produksi biochar dan kompos sama-sama menggunakan bahan organik. Perbedaannya adalah level kecocokannya. Bahan organik yang basah, kaya nutrisi dan sedikit mengandung lignin lebih cocok untuk produksi kompos. Sedangkan bahan organik yang kering, dan banyak mengandung lignin lebih cocok untuk produksi biochar. Hal ini sehingga pemilahan untuk bahan oganik tersebut perlu dilakukan sehingga akan mendapatkan hasil yang optimal. Dengan komposisi limbah organik yag mencapai 60% dalam sampah kota maka bahan baku untuk produksi biochar maupun kompos diperkirakan sangat besar. 

Produksi biochar adalah proses thermal sedangkan produksi kompos adalah proses biologis. Alat produksi biochar yakni unit pirolisis bisa dipasang berdekatan dan terintegrasi dengan unit produksi kompos pada instalasi pengolahan sampah kota dan sejenisnya. Produk biochar lalu digunakan untuk produksi kompos sehingga meningkatkan kualitas kompos menjadi kompos premium dan waktu pengomposan lebih cepat, untuk lebih detail baca disini. Kompos premium juga bisa dijual lebih mahal sebanding dengan kualitasnya. Kelebihan energi dari produksi biochar atau operasional pirolisis bisa dimanfaatkan pada pengolahan sampah fraksi RDF atau yang lainnya. 

Potensi produksi kompos premium tersebut sangat besar. Hal ini sehingga bisa dimanfaatkan pada lahan-lahan kritis dari reklamasi pasca tambang yang luasnya jutaan hektar atau bahkan lahan-lahan kering terdegradasi yang mencapai ratusan juta hektar. Lahan-lahan yang tidak atau kurang produktif tersebut ketika diaplikasikan kompos premium tersebut akan menjadi subur sehingga misalnya lahan reklamasi pasca tamang ditanami kembali (revegetasi) maka akan menghasilkan berbagai produk-produk pertanian atau perkebunan yang bermanfaat atau menguntungkan secara ekonomi, lingkungan dan sosial. Biochar dengan kandungan karbon tinggi akan bertahan di dalam tanah hingga ratusan tahun dan merupakan carbon sequestration bisa dikompensasi dengan mendapatkan carbon credits.  

Rabu, 20 Agustus 2025

Produksi Kompos dengan Biochar untuk Peningkatkan Kualitas Produk Kompos dan Keuntungan Usaha

Walaupun produksi kompos dan biochar sama-sama memanfaatkan dan mendaur ulang (recycle) limbah organik tetapi ada beberapa perbedaan yakni produksi kompos dengan fermentasi aerob yang merupakan rute biologi sedangkan produksi biochar dengan pirolisis yang merupakan rute thermal. Selain itu terkait bahan baku, untuk produksi kompos bahan yang ideal memiliki kadar air 60 – 70%, memiliki kandungan hara tinggi dan kandungan lignin yang rendah seperti sisa makanan dan kotoran hewan. Sebaliknya untuk produksi biochar bahan baku yang ideal memiliki kadar air 10-20% dan kandungan lignin yang tinggi seperti biomasa kayu-kayuan. 

Sejumlah riset terkini menyatakan bahwa penambahan biochar pada proses pengomposan akan membuat proses pengomposan lebih cepat, mengurangi emisi GRK seperti metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O), mengurangi kehilangan amonia (NH3), menambah aerasi dan mengurangi kepadatan kompos, serta mengurangi terjadinya bau. Sedangkan untuk biochar itu sendiri tidak rusak atau terdekomposisi / terurai pada proses pengomposan tersebut tetapi memperkaya biochar dengan berbagai unsur hara.

Untuk bisa mendapatkan proses dan hasil terbaik, dosis biochar juga harus sesuai dengan jumlah bahan organik bahan baku kompos tersebut. Penggunaan biochar terlalu banyak malah akan mengganggu proses biodegradasi pengomposan ataupun jika biochar yang digunakan terlau sedikit maka efek - efek positif seperti yang disebutkan di atas tidak terasa atau tidak terjadi. Dengan dosis biochar yang sesuai biochar dapat mempercepat proses pengomposan. Hal ini terjadi karena homogenitas dan struktur campuran meningkat serta menstimulasi aktivitas mikroba pada proses pengomposan tersebut. 

Peningkatan aktivitas mikroba tersebut akan membuat suhu meningkat dan membuat waktu pengomposan lebih cepat. Berdasarkan sejumlah penelitian dosis 5% sampai 10% volume biochar pada saat awal pengomposan akan mempercepat proses pengomposan 20%. Dengan rata-rata produksi kompos memakan waktu 2 bulan (9 pekan) , dengan penambahan biochar dengan dosis tersebut di atas, maka pengomposan bisa lebih cepat 20% atau hanya menjadi sekitar 1,6 bulan (7 pekan). Dengan waktu produksi lebih pendek dan kualitas kompos lebih baik dengan tambahan biochar, maka harga jual kompos bisa lebih tinggi atau mungkin setara kompos premium. Hal tersebut sehingga bisa menutupi biaya penambahan biochar pada produksi kompos tersebut. 

Pori-pori biochar akan mengurangi bulk density dari kompos dan membantu aerasi saat pengomposan. Untuk bahan baku kompos yang kaya nitrogen (N) seperti kotoran ternak, penambahan biochar bisa mengurangi kehilangan N sewaktu pengomposan, khususnya NH3. Munculnya bau tidak enak tersebut karena lepasnya NH3 selama pengomposan sehingga karena alasan inilah banyak pembangunan fasilitas pengomposan ditolak warga masyarakat. Pada penelitian penambahan 20% biochar (mass basis) pada kotoran ayam mengurangi konsentrasi NH3 pada emisi gas hingga 64% dan kehilangan N hingga 52% tanpa mengakibatkan pengaruh negatif pada proses pengomposan. 

Pada penggunaannya kompos akan terdekomposisi dengan nutrisi / unsur hara terserap di tanaman, sedangkan biochar akan bertahan lama di tanah bahkan hingga ratusan tahun. Hal ini membuat biochar menjadi solusi jangka panjang untuk perbaikan kualitas tanah. Penggunaan biochar pada kompos akan memberi manfaat ganda, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Manfaat jangka pendek sebagai pupuk organik, sedangkan manfaat jangka panjang perbaikan atau stabilisasi kualitas tanah serta sebagai carbon sequestration. CO2 yang diserap melalui photosintesa akan menjadi biomasa atau bahan organik sebagai bahan baku biochar dan karbon dalam biochar tidak akan terurai hingga ratusan tahun atau tidak lepas ke atmosfer selama masa tersebut. 

Belum ada data yang menunjukkan jumlah kalkulasi produksi kompos di Indonesia per tahun Namun, potensi produksi kompos dari sampah organik domestik sangat besar, mencapai sekitar 60% dari total timbuan sampah nasional yang mencapai lebih dari 60 juta ton per tahun atau lebih dari 36 juta ton sampah organik sebagai bahan baku kompos. Ada sejumlah pihak yang melakukan produksi kompos di berbagai daerah di Indonesia baik pemerintah maupun swasta yang berkontribusi dalam produksi kompos, dengan kapasitas produksi bervariasi. Dengan bahan baku bahan organik yang sangat melimpah (lebih dari 36 juta ton/tahun) tersebut produksi kompos yang diperkaya biochar bisa dilakukan sehingga memaksimalkan kualitas kompos dan manfaat-manfaat lainnya. 

Hal ini bisa dilakukan dengan membuat unit produksi biochar atau pemasangan unit pirolisis di lokasi sumber sampah organik tersebut. Bahan baku limbah organik yang kurang cocok untuk kompos bisa digunakan untuk produksi biochar. Sejumlah perusahaan sudah berencana melakukan hal tersebut. Artikel terkait baca disini

Rabu, 13 Agustus 2025

Gerakan Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Biomasanya

Pohon sawit mulai kehilangan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun, sementara pohon baru membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk mulai berbuah. Hal itu pada umumnya menjadikan lahan tidak produktif selama rentang waktu 4 tahun tersebut dan ini yang membuat petani enggan melakukan peremajaan sawitnya (replanting). Tetapi dengan tumpang sari masa tersebut bisa tetap memberi keuntungan bagi petani. Menanam tanaman berumur pendek seperti padi gogo dan jagung, di samping kelapa sawit dapat membantu petani memperoleh penghasilan tambahan sambil menunggu pohon kelapa sawit berbuah dan tumbuh dewasa. 

Pada tahun 2024 Malaysia sebagai produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia dan mulai menerapkan intensifikasi lahan karena luas lahan yang terbatas, hanya melakukan penanaman kembali (replanting) 2% atau sekitar 114.000 hektar saja. Padahal negara tersebut mentargetkan 5% lahan bisa dilakukan replanting kebun sawit tersebut. Kondisi di Indonesia juga tidak jauh berbeda, bahkan diprediksi replanting yang dilakukan kurang dari 2%. Dan misalkan jika hanya 1,5%  atau sekitar 246.000 hektar melakukan replanting maka sangat tidak proporsional dengan luas lahan sawitnya yang hampir 3 kali luas lahan sawit Malaysia. Selain itu replanting semestinya dilakukan secara periodik setiap tahun untuk menghasilkan performa produksi sawit yang optimal. 

 

Dampak keengganan atau lambatnya replanting tersebut berdampak pada penurunan produksi minyak mentah sawit atau CPO secara nasional. Bahkan produksi minyak sawit Malaysia stagnan lebih dari dekade lalu akibat keterbatasan lahan untuk perkebunan baru dan dan lambatnya penanaman kembali (replanting) tersebut. Sementara di Indonesia kekhawatiran terhadap deforestasi juga berpengaruh terhadap perluasan lahan untuk perkebunan sawit baru. Dan produksi minyak mentah sawit atau CPO akan semakin menurun lagi apabila ditambah faktor kekuragan tenaga kerja dan penyebaran jamur ganoderma yang mengurangi hasil panen.

Dengan kondisi di atas maka gerakan replanting kebun sawit harus digalakkan sehingga produksi minyak sawit bisa dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Masalah limbah biomasa dari pohon sawit yang mencapai ribuan hektar juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan volume pohon sawit tua yang sangat besar maka pemanfaatan menjadi produk yang bernilai tambah penting dilakukan.   Dengan rata-rata setiap hektar kebun sawit terdiri 125 pohon dan setiap pohonnya memiliki rata-rata berat kering 2 ton, maka per hektar di dapat 250 ton berat kering biomasa. Untuk luasan 10 ribu hektar menjadi 2,5 juta ton berat kering dan untuk luasan 100 ribu hektar berarti mencapai 25 juta ton berat kering. Atau jika perkiraan optimis Indonesia bisa melakukan 5% replanting atau 820 ribu hektar berarti ada 205 juta ton berat kering biomasa dan juga Malaysia dengan 5% replanting atau 285 ribu hektar akan dihasilkan 71,25 juta ton berat kering.  

Faktor kesiapan bisnis ditinjau dari teknologi dan pasar atau pengguna produk tersebut perlu dikaji secara seksama. Dengan volume yang sangat besar tersebut maka pabrik atau industri pengolahan biomasa bisa didirikan dan beroperasi secara maksimal, tanpa khawatir kekurangan bahan baku. Produk-produk seperti pellet, briquette dan biochar dari limbah biomasa batang sawit tua tersebut. Batang sawit tua yang mati dan biasa ditinggal begitu saja di lahan semestinya dimanfaatkan untuk menjadi produk-produk yang bermanfaat dan bernilai tambah tersebut.    

Senin, 11 Agustus 2025

Firelog, Igniter Briquette Produk Unik dan Spesifik untuk Pengguna Wood Briquette

Penggunaan bahan bakar biomasa untuk pemanas ruangan sudah sangat lama, dari perapian sederhana (open fireplace) sampai kompor otomatis yang dilengkapi IoT (Internet of Things). Dari kayu bakar yang dikumpulkan dari hutan hingga penggunaan wood pellet maupun (dalam skala lebih kecil) yakni wood briquette. Daya dorong terkait dekarbonisasi, perubahan iklim dan lingkungan turut berperan kuat pada penggunaan bahan bakar biomasa khususnya wood pellets. Wood pellets grade premium adalah pilihan untuk penggunaan pemanas ruangan tersebut dengan kadar abu sangat rendah, yakni kurang dari 1% atau dikenal dengan A1 / A2 pellets dan untuk lebih detail baca disini, demikian juga untuk wood briquette (consumer briquette). Perbedaan utama antara wood pellets dan wood briquette adalah ukuran, dan kadang-kadang bentuknya serta teknologi produksinya juga lebih beragam daripada wood pellets, untuk lebih detail baca disini

Untuk wood briquette (consumer briquette) ini, ada bermacam-macam kompor yang bisa menggunakannya tetapi secara umum kompor atau oven yang menggunakan kayu bakar bisa menggunakan wood briquette tersebut. Dan karena tidak mudah lagi untuk mendapatkan kayu bakar di Eropa sehingga banyak orang membeli wood briquette tersebut dari pedagang yang biasanya juga menjual kompor atau ovennya. Di Eropa wood briquette tersebut dijual secara langsung kepada pembeli di atas pallet atau lewat supermarket. 

Dengan ukuran briquette yang cukup tidak mudah menyalakannya langsung dengan korek api. Pada umumnya untuk menyalakannya dilakukan ditempat terpisah (firestarter), dengan ranting-ranting kayu kecil atau memecah briquette tersebut sehingga bisa menyala lebih mudah. Tetapi hal ini dirasa sulit dan tidak praktis. Hal inilah sehingga muncul inovasi berupa briquetteyang diperkaya dengan paraffin sehingga mudah dinyalakan untuk starter kompor briquette tersebut. Briquette (igniter briquette) ini bisa dengan mudah dinyalakan dengan korek api dan lebih praktis. Paraffin yang digunakan saat ini pada umumnya berasal dari minyak bumi (petroleum) sehingga merupakan bahan bakar fossil. Supaya lebih sejalan dengan daya dorong dekarbonisasi dan perubahan iklim diatas maka sumber paraffin juga mestinya dari yang terbarukan seperti dari tumbuh-tumbuhan. HRBDPS atau hydrogenated RBD palm stearin yang berasal atau produk turunan dari minyak sawit bisa sebagai subtitusi paraffin dari sumber fossil tersebut.   

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya produktivitas kelapa sawit berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan energi, yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, pada pembukaan ICOPE (International Conference on Palm Oil and Environment) di Sanur, Bali, pertengahan Februari 2025. Konferensi yang dihadiri oleh delegasi berbagai negara yakni Indonesia, Malaysia, India, Belanda, Prancis, Finlandia, Kolombia dan Spanyol bertujuan sebagai untuk merumuskan transformasi berkelanjutan bagi industri sawit. Produktivitas kelapa sawit berkelanjutan tersebut bisa ditingkatkan dengan intensifikasi lahan dan penggunaan bibit unggul. Bahkan jika perluasan lahan harus dilakukan, maka hal tersebut harus dilakukan tanpa menyebabkan deforestasi. Sedangkan untuk replanting di lahan kering, juga bisa digabungkan dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari.

Biochar solusi jitu 
Produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan dengan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk atau NUE (Nutrients Use Efficiency) dan ini bagian dari intensifikasi lahan. Dengan pemakaian dosis pupuk yang sama dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit akan meningkat sekitar 20% atau lebih, atau dengan penghematan pupuk sekitar 30% dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit relatif stabil atau sama dengan produktivitas sebelumnya. Terkait dengan upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit dan ditambah dengan upaya tanpa terjadinya deforestasi maka opsi pertama lebih sesuai, yakni dosis pupuk tidak ditambah atau sama seperti biasanya, tetapi ada tambahan biochar untuk meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk tersebut. 

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton/tahun dengan luas lahan 16,4 juta hektar dengan rata-rata produksi CPO per hektar 3,55 ton/ha atau per satu juta hektar menghasilkan 3,55 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan produktivitas 20% berarti terjadi kenaikan kenaikan 10 juta ton CPO / tahun (total menjadi 60 juta ton CPO/tahun) dan ini menghemat lahan sekitar 2,8 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Selain dari pemakaian biochar untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya, keuntungan lain yang bisa diperoleh dari produksi biochar adalah dari potensi pendapatan carbon credit (BCR = biochar carbon removal) dan pemanfaatan produk samping dari pirolisis untuk perkebunan sawit maupun operasional pabrik sawit pada produksi CPO. Dengan cara tersebut maka ada sejumlah keuntungan bagi perusahaan sawit seperti penghematan pupuk organik cair, pestisida dan 100% canngkang sawit bisa dijual atau dieksport. Selain perusahaan sawit tersebut produksi sendiri biocharnya dengan pirolisis, dimungkinkan juga ada perusahaan tersendiri yang terpisah atau perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan sawit untuk produksi biochar dengan kesepakatan tertentu. 

Tekanan dan sorotan global bagi industri sawit untuk melakukan praktik berkelanjutan yang semakin besar. Dan ditengah melonjaknya permintaan minyak sawit untuk pasar global dan pasar domestik, peningkatan produktivitas sawit adalah sebuah keniscayaan. Dengan pemanfaatan limbah biomasa pabrik dan perkebunan sawit seperti tandan kosong dan batang sawit untuk produksi biochar dan pemakaian biochar untuk peningkatan produktivitas kelapa sawit itu sendiri maka hal ini menjadi solusi jitu dalam merespon tantangan tersebut. Bahkan untuk replanting di lahan kering, dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari, penggunaan biochar juga akan berdampak positif dan signifikan pada tanaman tumpang sari tersebut.  

Sabtu, 02 Agustus 2025

Kadar Abu dan Kualitas Wood Pellet grade Premium

 

Dibandingkan wood pellets untuk industri (industrial pellets) yang memiliki spesifikasi lebih longgar khususnya pada kadar abu yang bisa mencapai 6% sedangkan wood pellet grade pemium yang penggunaannya untuk pemanas ruangan memiliki spesifikasi lebih ketat terutama kadar abu maksimal 1%. Wood pellet grade premium umumnya juga memiliki ukuran diameter 6 mm sedangkan industrial pellets umumnya berukuran 8 mm. Warna atau tampilan wood pellet grade premium juga berpengaruh, dimana warna cerah umumnya lebih disukai. Hal inilah yang membuat wood pellet grade premium wajar memiliki harga yang lebih mahal. Kebutuhan wood pellet grade premium akan meningkat penggunaannya pada musim dingin karena terkait kebutuhan pemanas ruangan pada musim dingin tersebut.  

Terkait kadar abu (ash content) bahkan sejumlah standard menetapkan kadar abu yang lebih rendah dari 1%, seperti DIN Plus maksimal 0,5% lalu ENPlus-A1 maksimal 0,7% dan  Ö NORM M7135  yang mempersyaratkan maksimal 0,5%. Hal ini sehingga kontrol pemilihan bahan baku dan treatment ketat diterapkan dalam produksi wood pelletnya sehingga memenuhi spesifikasi tersebut. Walaupun mungkin secara kimia abu (ash chemistry) untuk  wood pellet grade premium tidak seketat pada industrial pellet karena operasional aplikasinya pada suhu lebih rendah, tetapi produksi wood pellet dengan ash content sangat rendah tersebut membutuhkan kualitas bahan baku yang tinggi. 

Pada wood pellet grade premium tersebut perbedaan kadar abu sedikit saja ternyata berdampak pada perbedaan harga jual yang cukup signifikan, sebagai contoh pada wood pellets dengan ash content maksimal 0,55% dengan wood pellet dengan ash content maksimal 0,35% bisa terpaut harga sekitar USD 30/ton-nya. Dan karena penggunaannya untuk pemanas ruangan maka pada umumnya wood pellet grade premium menggunakan kemasan plastik kecil seperti kemasan 15 kg, sedangkan pada tipe industrial pellet biasa dalam kemasan jumbo bag atau bahkan curah karena alasan volumenya kebutuhan jauh lebih besar.  

Biochar untuk Pembibitan Kelapa Sawit bagian 2

Pada tahun 2024 Malaysia melaporkan luas replanting perkebunan sawit mereka mencapai 114.000 hektar atau 2% dari luasan kebun sawit Malaysia, dari target yang dicanangkan yakni 4% hingga 5%. Sedangkan di Indonesia diperkirakan prosentasenya lebih kecil dari Malaysia tetapi karena luasan kebun sawit Indonesia jauh lebih luas atau sekitar 3 kali Malaysia, sehingga luasannya menjadi lebih besar. Kondisi tersebut membuat produksi minyak sawit menurun karena produktivitas pohon sawit mulai menurun setelah 20 tahun dan perlu diganti atau replanting setelah 25 tahun, untuk menjaga performa produktivitas sawit tersebut. Replanting semestinya dilakukan secara periodik dengan luasan berkisar 5% dari luas kebun sawit.   

Untuk peremajaan kebun sawit (replanting) tersebut dibutuhkan bibit sawit. Jika diperkirakan saat ini replanting kebun sawit di Indonesia 300.000 hektar per tahun (atau 1,8% dari luasan kebun sawit Indonesia) maka dengan populasi kebun sawit rata-rata 125 pohon per hektar maka kebutuhan bibit sawit mencapai 37. 500.000 bibit. Dan dengan 114.000 hektar di Malaysia kebutuhan bibit sawit akan mencapai 14.250.000 bibit. Untuk menghasilkan pohon sawit berkualitas selain pemilihan varietas unggul juga termasuk pembuatan bibit di unit pembibitan sawitnya. Biochar dapat digunakan secara efektif untuk pembibitan sawit tersebut, karena membantu meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan bibit. 

Biochar yang merupakan arang hayati dari biomassa, berfungsi sebagai pembenah tanah yang meningkatkan struktur tanah, retensi air, dan ketersediaan unsur hara, serta memberikan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah. Biochar dapat dicampurkan langsung ke media tanam saat pembibitan dengan dosis biochar yang digunakan perlu disesuaikan dengan jenis media tanam dan kebutuhan tanaman. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa aplikasi biochar pada pembibitan kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan bibit, seperti tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan berat kering akar. Dengan memanfaatkan biochar, pembibitan kelapa sawit dapat menjadi lebih efisien, produktif, dan ramah lingkungan. 

Dan bahkan karena media tanam bibit sawit pada umumnya menggunakan kompos, maka apabila kompos tersebut diperkaya biochar atau proses pengomposan juga menggunakan biochar maka kualitas kompos tersebut semakin baik. Keunggulan proses pengomposan menggunakan biochar antara lain meningkatkan kualitas kompos, mempercepat proses   pengomposan, mengurangi emisi gas rumah kaca berupa metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O), mengurangi kehilangan amonia (NH3), menambah aerasi (bulking agent) pengomposan, dan mengurangi bau. Sedangkan untuk material biochar itu sendiri, akan memperkaya biochar dengan berbagai unsur hara dan biochar tidak rusak atau terdekomposisi selama proses pengomoposan tersebut.  Jadi dengan memanfaatkan biochar dalam pengomposan, kita dapat mengolah limbah organik secara lebih efektif, menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi, dan berkontribusi pada praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. 

Selasa, 29 Juli 2025

Produksi DRI / Sponge Iron Berbasis Biochar

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Tetapi penggunaan EAF yang masih menggunakan listrik dari bahan bakar fosil bisa sebagai media transisi sebelum 100% carbon neutral production karena emisi CO2 yang lebih kecil dibanding blast furnace dari kokas yang berasal dari batubara. Bahan baku yang diolah dengan EAF adalah steel scrap dan besi tereduksi langsung (DRI / sponge iron). Steel scrap atau DRI (sponge iron) langsung dimasukkan ke dalam tungku busur listrik (EAF) untuk pembuatan baja, sehingga menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan metode blast-furnace. Emisi CO2 dari blast furnace tersebut sekitar 2,33 ton untuk setiap crude iron / pig iron sedangkan dengan EAF tersebut hanya sekitar 0,66 ton untuk setiap ton crude steel. 

 

Saat ini sekitar 80% steel scrap saat ini didaur ulang dengan EAF. Secara global produksi baja dengan EAF mencapai sekitar 22% (berbahan baku scrap dan sponge iron). India sebagai produsen terbesar sponge iron atau DRI. Produsen utama lainnya termasuk Iran, Rusia, Meksiko, dan Arab Saudi. Pada tahun 2023, India memproduksi 49,3 juta ton, sementara Iran memproduksi 33,4 juta ton. Produksi sponge iron atau DRI global mencapai 135,5 juta ton pada tahun 2023, sedangkan pig iron hampir 1,5 milyar ton. 

Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan produksi baja carbon neutral tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Pembangunan blast furnace-blast furnace baru tersebut memang cenderung meningkat yang faktanya yakni pada pertengahan 2024 sekitar 207 juta ton per tahun produksi baru telah diumumkan dan sekitar 100 juta ton per tahun dalam tahap pembangunan.

Sponge iron atau DRI diproduksi dari bijih besi (iron ore) yang telah diproses untuk menghilangkan oksigen, menghasilkan bahan seperti spons berpori. Proses pembuatan DRI disebut proses direct reduction.  Proses direct reduction  dapat dibagi secara kasar menjadi dua kategori: berbasis gas dan berbasis batubara. Dan seperti halnya batubara dapat digunakan, arang (biochar) sebagai bahan karbon juga dapat digunakan. Perbedaannya adalah bahwa arang (biochar) berasal dari kayu atau biomassa, yang merupakan sumber daya terbarukan. Proses ini biasanya melibatkan rotary kiln  di mana bijih besi (iron ore) dan batubara atau arang (biochar) diumpankan bersama, dan reaksi pereduksi terjadi dalam keadaan padat. India adalah produsen utama DRI berbasis batubara, dengan produksi meningkat secara substansial dalam beberapa tahun terakhir, seperti pada peta dibawah ini. Sedangkan produsen-produsen besar DRI atau sponge iron lainnya umumnya prosesnya berbasis gas alam.  

Ketersediaan biochar yang memenuhi spesifikasi dan volume yang mencukupi serta pasokannya yang berkelanjutan dibutuhkan untuk subtitusi dari batubara pada produksi DRI tersebut. Hal ini sehingga di sisi hulu ketersediaan bahan baku biomasa baik dari limbah kehutanan, pengolahan kayu, limbah pertanian dan limbah agroindustri sangat penting untuk keberlangsungan produksi biochar tersebut, bahkan tidak terkecuali juga dengan pembuatan kebun energi untuk maksud tersebut. Selain mengganti reduktor atau bahan bakar dari batubara ke arang (biochar) pada produksi DRI atau sponge iron, upaya mengurangi emisi karbon pada produksi baja rute DRI – EAF  juga dengan mengganti elektrode EAF dari graphite sintetis berbahan baku fossil ke biographite berbahan baku biochar, untuk lebih detail baca disini.  

Green Aluminium dan Peran Energi Berbasis Biomasa

Kebutuhan alumunium diprediksi semakin besar yakni meliputi sektor konstruksi, transportasi (termasuk pesawat terbang) dan otomatif, peralat...