Minggu, 11 Mei 2025

Food Estate atau Biochar ? Indonesia menjadi Juara Solusi Iklim Global ?

Saat ini ada jutaan hektar lahan di Indonesia yang sangat membutuhkan biochar yakni lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha. Sedangkan potensi bahan baku untuk produksi biochar juga berlimpah (limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan) seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan biochar, produktivitas pertanian akan meningkat dari rata-rata sekitar 20% bahkan hingga 100%.

Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.

Sebagai contoh produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Ada hitungan kasar yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 200 dollar per ton dan carbon credit 150 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut, pendapatannya menjadi hampir 10 kali lipat investasinya atau diperkirakan kurang dari 2 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Penjual carbon credits atau produsen biochar juga berusaha untuk mendapatan kontrak penjualan selama 5-10 tahun.

Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas serta excess heat dari pirolisis yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik.  

Sabtu, 03 Mei 2025

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 8 : Sebuah Pendekatan Komprehensif dan Peran Biomasa

Upaya-upaya mengurangi atau menurunkan CO2 di industri semen terus berkembang dengan berbagai metode untuk mencapai target yang memadai. Target global adalah mencapai Net-Zero Emission pada 2050 sedangkan target antara tergantung lebih spesifik pada industri semen itu sendiri, misalnya ada industri semen yang mentargetkan menurunkan emisinya sebesar 35% dengan baseline tahun 1990 pada tahun 2025 dan selanjutnya menjadi lebih dari 40% pada 2030. Hal tersebut secara praktis bisa diterjemahkan menjadi pengurangan emisi CO2 pada produksi semen dari sekitar 800 kg CO2/ton semen, menjadu 520 kg/ton semen pada 2025 dan kurang dai 475 kg / ton semen pada 2030. Untuk mencapai target tersebut industri terebut harus membuat roadmap yang mengacu pada solusi iklim terkini di industri semen ini, sehingga lebih mudah pencapaiannya dengan berbasis sains (Science-Based Targets / SBT). 

Walaupun motivasi untuk menurunkan emisi CO2 hampir sama di seluruh dunia, tetapi perkembangannya tidak semua sama di berbagai kawasan. Eropa adalah kawasan tercepat karena kesiapannya yang didukung sejumlah faktor, antara lain :
• Peraturan yang memprioritaskan penggunaan sumber daya yang efisien dan mempromosikan ekonomi sirkular.
• Insentif ekonomi untuk peralihan bahan bakar ke alternatif yang lebih bersih, yang dalam banyak kasus menghasilkan biaya energi negatif.
• Penerimaan pasar yang lebih besar terhadap semen campuran (blended cement) dan permintaan konsumen terhadap produk rendah karbon.
• Dukungan pemerintah yang signifikan untuk penelitian dan pengujian teknologi yang lebih bersih.
• Peraturan emisi karbon, yang menghasilkan harga karbon yang dapat diprediksi.

Upaya menurunkan emisi CO2 pada pabrik semen secara langsung atau yang terkait langsung pada produksi semen yakni berfokus pada tiga hal, yakni penggunaan bahan bakar alternatif atau energi terbarukan atau bahan bakar rendah karbon, menurunkan emisi dari proses kalsinasi dan penggunaan aditif semen (suppplementary cementious material / SCM) atau lowering clinker factor. Sedangkan upaya tidak langsung yakni bisa dilakukan dengan penggunaan listrik dari energi terbarukan untuk operasional pabrik semen tersebut.

Secara teknis atau pendekatan teknologi dalam mencapai target penurunan emisi CO2 pada industri semen, sektor energi alternatif atau lebih khusus lagi bahan bakar biomasa berada di urutan ketiga. Hal ini karena sumber emisi pada pabrik semen paling besar atau sekitar 60% berasal dari proses kalsinasi (produksi clinker), sedangkan pembakaran atau terkait bahan bakar hanya berkisar 40%. Hal ini sehingga penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya mencapai target emisi menempati peringkat pertama, selanjutnya subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) menempati urutan kedua, dan penggunaan bahan bakar alternatif termasuk biomasa berada pada urutan ketiga. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, sehingga praktisnya belum banyak dilakukan tetapi subtitusi clinker dan penggunaan energi alternatif termasuk biomasa lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (net zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Sehingga apabila pabrik semen melakukan hal tersebut prosentase CO2 yang bisa dikurangi maksimal hanya 40%, artinya emisi CO2 dari proses kalsinasi (produksi clinker) sebesar 60% masih tetap terjadi.   Penggunaan clinker untuk produksi semen bisa dikurangi sehingga emisi CO2 dari produksi clinker bisa dikurangi. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Tetapi tentu saja tidak mungkin produksi clinker direduksi hingga nol atau meniadakan proses kalsinasi dan seluruhnya digantikan oleh SCM (loweing clinker factor) untuk mengurangi emisi CO2 yang 60% tersebut. 

Hal inilah sehingga semakin tinggi rasio clinker terhadap semen yang dihasilkan (C/S) maka semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dan demikian sebaliknya. China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,89 yakni di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa 0,77, lalu di India 0,68, di Amerika Latin 0,71 dan  rata-rata global yakni 0,76. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.Hal itulah sehingga untuk mencapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Tentang CCS (carbon capture and storage )sejumlah inovasi sedang dikembangkan sehingga teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan pada pabrik semen. Termasuk juga hal tersebut adalah peningkatan efisiensi penangkapan CO2,  penggunaan pelarut-pelarut generasi baru non-aqueous, serta teknologi modular yang lebih murah. Transformasi CO2 yang ditangkap menjadi produk baru yang dapat dipasarkan juga menjadi fokus berikutnya.  

Penggunaan bahan bakar alternatif dengan kandungan biomasa yang tinggi sangat disarankan untuk pabrik semen untuk mereduksi CO2. Tetapi pada kenyataannya biasanya masih terjadi sejumlah kendala saat implementasinya sehingga bahkan sulit untuk meningkatkan rasionya. Kendala-kendala tersebut seperti ketersediaan, kualitas dan kuantitas limbah biomasa, logistik dan infrastruktur penunjang, dinamika pasar, keekonomian harga bahan bakar berbasis limbah biomasa tersebut dan sejumlah faktor teknis pembatas terkait karakteristik bahan bakar biomasa tersebut. Sejumlah limbah biomasa pertanian atau perkebunan seperti sekam padi, cangkang sawit, cangkang mete dan biji zaitun juga sudah sebagai bahan bakar biomasa di pabrik-pabrik semen. Mendapatkan pasokan bahan bakar biomasa yang volumenya mencukupi, kualitas standar dan kontinyu / berkelanjutan sangat penting bagi pabrik-pabrik semen untuk mendukung penurunan emisi CO2. Dan pada dasarnya tidak ada pilihan bagi pabrik semen untuk menghindar dari masalah iklim, sehingga yang harus dilakukan adalah meresponnya dengan aksi riil. 

Kamis, 17 April 2025

Biochar : Prioritas untuk Kesuburan Tanah atau Solusi Iklim dulu ?

Perspektif atau sudut pandang terhadap biochar sangat dipengaruhi kepakaran atau keahlian seseorang, sedangkan daya dorong aplikasinya sangat dipengaruhi oleh faktor yang menjadi masalah daerah atau kawasan tersebut. Sebagai contoh : ilmuwan iklim melihat tentang perbaikan tanah dari aplikasi biochar sebagai keuntungan tambahan (co-benefit). Untuk ilmuwan tanah atau petani yang menggunakan biochar sebagai soil amendment karena pengalaman praktisnya yang memiliki efek positif pada kesuburan tanahnya dan aspek ekonomis dari pertaniannya, sedangkan keuntungan iklim menjadi keuntungan tambahan (co-benefit). Dan pada kenyataannya akumulasi keuntungan (termasuk ekonomi) dan efektivitas memberi solusi lingkungan tersebut akan mengakselerasi pemakaian biochar di dunia nyata.  

Photo dari sini

Untuk memaksimalkan manfaat terhadap aplikasi biochar, maka kuaitas biochar menjadi sangat penting, atau dengan kata lain sifat-sifat fisika dan kimia biochar mengontrol tingkat keefektifannya untuk berbagai aplikasinya. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh faktor-faktor yakni, bahan baku, kondisi proses serta sebelum dan pasca proses produksinya. Hal tersebut sehingga biochar yang diproduksi berbeda sifat-sifatnya sehingga analisa laboratorium adalah cara yang digunakan untuk memprediksi keefektivan biochar tersebut. Dan juga supaya memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif tertentu yang berlaku di negara-negara tertentu, biochar yang diproduksi juga bisa memenuhi kriteria tertentu, misalnya standar yang dibuat oleh IBI (International Biochar Initiative). Maupun untuk mendapatkan carbon credit atau BCR (biochar carbon removal) credit yang telah berlaku secara internasional juga mensyaratkan biochar dengan kriteria dan kualitas tertentu, dan untuk itu produksi biochar harus mengikuti metodologi tertentu sesuai lembaga karbon standar internasional seperti Puro earth, Verra, dan European Biochar Certificate (EBC). Untuk mendapatkan parameter kualitas atau spesifikasi biochar yang sesuai dengan penggunaannya maka dibutuhkan laboratorium tipe tertentu. Tidak banyak laboratorium yang bisa melakukan uji biochar ini. Beberapa laboratorium yang bisa melakukannya antara lain laboratorium analisis kompos, tanah, batubara dan activated carbon. 

Saat ini fokus utama dan telah berjalan lama, yakni penggunaan biochar untuk pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah meningkatkan produktivitas / yield. Tetapi, sebenarnya nilai tambah yang dapat ditawarkan oleh biochar dalam aplikasinya di tanah, khususnya dalam budidaya tersebut, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di dalam tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. Sedangkan bagaimana entry point tercepat untuk industri biochar, untuk lebih detail baca disini.

Jumat, 11 April 2025

Bioeconomy : Carbon Neutral Economy (wood pellet & pks) VS Carbon Sink Economy (Biochar)

Kesiapan dan ketersediaan pasar menjadi faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu bisnis pada umumnya dan bisnis berbasis biomasa pada khususnya. Dan secara global menurut Hawkin Wright, memprediksi penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric juga memprediksi bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sejak 2025, sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan PKS merupakan kompetitor utama wood pellet di pasar bahan bakar biomasa global. Tetapi dibandingkan wood pellet, perdagangan PKS global relatif kecil yakni diperkirakan hanya 5 juta ton/tahun. Indonesia adalah produsen terbesar PKS di dunia karena sebanding dengan luasnya kebun sawit serta sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia.

Sedangkan biochar, khusus untuk Eropa saja diperkirakan ada 51 pabrik biochar baru atau total ada 220 unit, dengan produksi biocharnya diperkirakan menjadi 115.000 ton per tahunnya. Dan produksi biochar global pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 350 ribu ton atau ekuivalen dengan 600.000 carbon credit dan diperkirakan akan terus meningkat. Dan pada tahun 2025 ini diprediksi pertumbuhan industri biochar lebih dari 5 lipat dibandingkan pada tahun 2023. Adanya carbon credit menjadi salah motivasi terbesar untuk produksi biochar tersebut. Dengan adanya carbon credit tersebut terjadi lonjakan produksi biochar secara signifikan dari sebelumnya. Sebagai ilustrasi bahwa pada tahun 2023 dari carbon credit biochar ini memberi kontribusi terbesar pada yakni 90% carbon removal di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) menurut data dari CDR.fyi.

Pasar atau pengguna utama wood pellet (industrial pellet grade) adalah pembangkit-pembangkit listrik yang melakukan cofiring dengan bahan bakar terbarukan yakni berbasis biomasa khususnya wood pellet. Semakin besar ratio cofiring-nya maka semakin besar kebutuhan wood pelletnya. Dengan kapasitas atau ukuran pembangkit listrik ratusan bahkan ribuan MW maka kebutuhan wood pelletnya juga banyak bahkan walaupun dengan cofiring ratio rendah. Trend pembangkit-pembangkit listrik batubara untuk melakukan cofiring semakin besar dan juga peningkatan ratio cofiringnya bahkan sejumlah pembangkit listik batubara bisa beralih 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Selain itu juga sejumlah pembangkit listrik biomasa baik yang 100% dengan wood pellet ataupun PKS juga banyak dibangun dan mulai beroperasi.  Ada target global bahwa porsi pembangkit listrik batubara harus turun hingga 4% (dari kondisi saat ini sekitar 30% ) pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Hal ini bahkan juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara di Indonesia mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.

Sedangkan biochar walaupun potensi pasarnya juga sangat besar, tetapi masalah karena kesadaran (awareness) yang masih rendah sehingga edukasi dan sosialisasi masih perlu ditingkatkan. Seperti halnya pasar untuk bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS / cangkang sawit yang umumnya adalah perusahaan-perusahaan besar (karena juga merupakan emitter CO2 terbesar), maka untuk mengakselerasi industri biochar dibutuhkan pasar atau pengguna berkapasitas besar tersebut. Pertanian-pertanian dan perkebunan-perkebunan besar demikian juga hutan-hutan tanaman energi atau kebun-kebun energi adalah potensi pasar / pengguna besar biochar. Demikian juga lahan-lahan reklamasi pasca tambang yang akan dilakukan revegetasi juga potensi pengguna / pasar besar untuk biochar. Hal ini juga terkait bahwa butuh volume yang signifikan untuk bisa menghasilkan volume penyerapan CO2 (carbon sequestration / carbon sink) yang memadai. Sedangkan dari sisi pertanian atau perkebunan atau aplikasi ke tanah terkait penggunaan biochar bahwa selama ini, ketika mempertimbangkan efek biochar, fokusnya hanya pada peningkatan hasil panen. Namun, nilai tambah yang dapat ditawarkan biochar dalam penerapannya di tanah, setidaknya dalam sistem pertanian yang optimal, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. 

Dan pada dasarnya baik produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet maupun material penyerap karbon (carbon sink) seperti biochar akan berdampak positif bagi iklim, bahkan keduanya bisa saling mendukung seperti apabila biochar digunakan untuk kebun energi dan lalu produk kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet, lebih detail baca disini. Penggunaan energi terbarukan akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena tidak menambah konsentrasi CO2 tersebut atau carbon neutral, sedangkan biochar akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena menyerap CO2 di atmosfer di dalam biomasa yang kemudian dikonsentrasikan karbonnya dengan pirolisis sehingga menjadi biochar, atau carbon negative. Bahkan membuat carbon sink, tetapi tidak mengurangi sumber emisinya adalah upaya yang sia-sia atau tidak relevan, lebih detail baca disini. Jadi bioeconomy dengan carbon neutral economy yakni bahan bakar biomasa seperti wood pellet atau PKS maupun carbon sink economy yakni dengan biochar akan banyak terkait dari kesiapan bisnisnya seperti aspek pasar / user, bahan baku untuk kapasitas produksi tertentu, bahan baku dan sebagainya. Karakteristik tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dan komprehensif sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal dan berkelanjutan.

Rabu, 19 Maret 2025

Entry Point Tercepat Industri Biochar

Ketika di barat khususnya di Eropa melihat biochar terutama untuk mitigasi iklim yakni sebagai carbon sequestration / carbon sink dan membandingkan dengan berbagai upaya serupa di carbon negative / negative emission technologies dengan kompensasi berupa carbon credits atau BCR (biochar carbon removal) credits maka hal tersebut banyak berbeda dengan khususnya di Asia dan Afrika. Biochar di kedua benua itu terutama untuk meningkatkan kesuburan tanah atau memperbaiki tanah-tanah rusak / terdegradasi sehingga bisa lebih produktif untuk menghasilkan produk pertanian pangan.. Pendekatan yang berbeda itu terutama dilatar belakangi oleh faktor yang mempengaruhinya, yakni khususnya di Eropa ketika masalah perubahan iklim, lingkungan, keberlanjutan dan pemanasan global lebih menjadi konsern mereka maka berbagai upaya yang sejalan dengan itu menjadi penting dan relevan sehingga biochar sebagai salah satu solusi. Sedangkan di Asia dan Afrika, faktor tercukupinya kebutuhan pangan menjadi konsern yang lebih utama. 

Saat ini ada 6 NET (negative emission technologies) atau carbon negative action yang bisa menyerap CO2 dari atomosfer seperti diagram diatas. Pada dasarnya diperlukan skala atau kapasitas yang memadai sehingga upaya mitigasi perubahan iklim bisa berjalan secara efektif dan efisien. Faktor kemudahan, biaya dan manfaat tambahan dari aplikasi-aplikasi teknologi di atas akan mempengaruhi implementasinya. Dari keenam NET tersebut biochar memiliki perkembangan tercepat, hal ini karena biochar bisa memenuhi faktor-faktor di atas. Minat ilmiah dan publik pada Biochar mulai tumbuh pada awal tahun 2010 -an dan telah berkembang pesat sejak itu. Fokus awal penelitian biochar adalah pada terra preta (black earth) dan perbaikan tanah. Dan sekarang telah berkembang ke berbagai bidang, termasuk dalam konteks industri dan konstruksi.

Luasnya lahan terdegradasi yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta hektar di Indonesia bisa diperbaiki dengan menggunakan biochar. Apalagi potensi limbah biomasa yang bisa dimanfaatkan juta sangat besar, puluhan juta ton bahkan lebih lebih serta kebutuhan pangan (bahkan bioenergi) juga terus meningkat. Upaya yang bertahap dan berkelanjutan untuk perbaikan lahan tersebut perlu segera dimulai. Perbaikan tanah, sekaligus upaya pengelolaan limbah biomasa, produksi energi sekaligus menjadi solusi iklim dengan NET adalah upaya simultan yang efektif. Hal inilah daya tarik biochar sehingga semestinya menjadi program unggulan bagi berbagai industri yang concern dengan ketahanan pangan dan energi, lingkungan, dekarbonisasi, iklim dan keberlanjutan. Hal ini juga sehingga pembukaan hutan untuk food estate bisa dihindari apabila biochar ini dipilih sebagai solusi. 

Pertanyaannya adalah bagaimana biochar ini bisa segera menjadi solusi dan terimplementasi secara massif ? Peningkatan kesadaran tentang manfaat biochar menjadi pintu masuknya. Selanjutnya perbaikan tanah sebagai aksi riil-nya diikuti carbon credit atau bisa dilakukan secara simultan menjadi entry point tercepat industri biochar di Indonesia. Hal ini selain carbon credits dengan biochar atau biochar carbon removal (BCR) credit telah berlaku secara global juga carbon credits menjadi salah satu daya dorong utama pertumbuhan industri biochar secara global. Bahkan secara global BCR credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi

Selasa, 18 Maret 2025

Export Domba dan Pellet Pakan Ternak ke Aljazair

Aljazair mencanangkan import domba hingga 1 juta ekor untuk memenuhi kebutuhan Idul Adha. Hal ini karena kebutuhan dalam negeri yang besar sedangkan tidak cukup pasokan dari dalam negeri itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena dalam beberapa tahun terakhir terjadi kekeringan, yang mengakibatkan kekurangan pakan ternak dan kenaikan biaya pakan. Dan karena pakan ternak adalah komponen utama dalam sektor peternakan maka kekurangan pakan dan kenaikan biaya pakan akan sangat berakibat pada produk domba penghasil daging tersebut. Harga domba dan daging domba menjadi sangat tinggi. Dengan memilih impor dalam jumlah besar, pemerintah bertujuan untuk mengatasi kekurangan pasokan di pasar dan menekan kenaikan tajam harga ternak.

Indonesia berpeluang untuk menjadi exportir domba tersebut. Selama pakan tersedia maka peternakan domba tidak akan mengalami kendala berarti. Pakan-pakan domba tersebut bisa diupayakan di banyak tempat di Indonesia, bahkan dengan iklim tropis semestinya memproduksi pakan ternak domba bukan hal yang sulit. Apalagi saat ini juga sejumlah kebun energi telah dibuat dengan tanaman kebun energi tersebut juga sekaligus menghasilkan pakan ternak dari daunnya seperti kaliandra dan gamal. Luasnya kebun energi tersebut yang mencapai puluhan ribu hektar juga akan menghasilkan pakan ternak domba tersebut sangat banyak. Hal ini juga dimungkinkan untuk mengeksport pellet pakan berupa pellet daun tersebut, dan sementara kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet.  

Sumber berita : Hidayatullah

Kamis, 06 Maret 2025

Biochar untuk Kebun-Kebun Energi

Rendahnya produktivitas kayu dari kebun-kebun energi menjadi salah satu penghambat berkembangnya kebun energi. Walaupun tanaman kebun energi seperti kaliandra bisa tumbuh pada lahan-lahan marjinal atau lahan-lahan kritis, tetapi kualitas tanah tersebut berpengaruh pada produktivitas kayu yang dihasilkan. Hal tersebut sehingga menjadi penting untuk meningkatkan kualitas tanah kebun-kebun energi tersebut sehingga bisa menghasilkan produktivitas tanaman yang optimal. Biochar bisa menjadi solusi efektif untuk hal tersebut. Limbah-limbah biomasa yang banyak mencemari lingkungan bisa dimanfaatkan untuk produksi biochar ataupun produk-produk kayu dari kebun energi tersebut bisa sebagian untuk produksi biochar.

Kebun-kebun energi dan biochar adalah dua hal yang positif bagi solusi iklim. Kebun-kebun energi untuk produksi bahan bakar biomasa yang carbon neutral seperti wood pellet, sedangkan biochar untuk meningkatkan kualitas tanah, menghemat pemakaian pupuk dan sebagainya serta sebagai carbon sequestration / carbon sink yang carbon negative. Solusi biochar untuk kebun-kebun energi akan memaksimalkan upaya CO2 reduction dan sustainibility. Luasnya kebun-kebun energi karena mengejar target produksi kuantitas bahan bakar biomasa yang berarti sebanding dengan penggunaan lahan dan juga sebanding dengan penggunaan biocharnya. Hal ini sehingga produksi biochar skala industri dibutuhkan untuk mendukung hal tersebut, lebih detail baca disini. Semakin rusak tanah-tanah atau lahan-lahan kritis tersebut maka kebutuhan biochar akan semakin besar. Dan produksi biochar kapasitas besar tersebut berpeluang mendapat carbon credit atau BCR (Biochar Carbon Removal) credit yang bisa menjadi daya dorong tumbuhnya industri-industri biochar.  

Lahan-lahan kritis dan lahan marjinal semestinya diprioritaskan sebagai lahan-lahan kebun energi. Hal ini selain akan memulihkan kualitas lahan dan akan memberi nilai tambah penggunaan lahan serta upaya mencegah terjadinya bencana. Legalitas lahan juga menjadi perhatian penting. Lahan harus clear and clean artinya bebas dari sengketa sehingga tidak menimubulkan masalah di kemudian hari. Selanjutnya lahan hutan tanaman industri (HTI) yang memang sesuai peruntukannya hutan produksi juga bisa digunakan untuk lahan kebun energi tersebut. Seberapa rusak atau terdegradasinya lahan-lahan tersebut akan menentukan seberapa banyak atau dosis penggunaan biochar. Sedangkan pembuatan kebun energi dari alih fungsi lahan dari hutan lindung / hutan konservasi ke hutan produksi seharusnya dilarang, karena alih-alih akan menyelamatkan lingkungan tetapi malah dampak buruk terhadap lingkungan semakin besar. Jadi membuka lahan hutan (deforestasi) untuk kebun energi sama sekali tidak dianjurkan.  

Minggu, 02 Maret 2025

Taiwan, Pasar Baru Wood Pellet Asia

Setelah Jepang dan Korea menjadi pasar utama wood pellets di Asia selama bertahun-tahun, selanjutnya Taiwan diprediksi akan muncul sebagai tujuan baru pasar wood pellet di Asia. Hal ini karena kebijakan energi Taiwan mentargetkan 20% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025. Yakni dengan berfokus pada transisi energi dari batubara dan bahan bakar fosil lainnya ke sumber energi terbarukan termasuk biomasa, matahari dan angin untuk meningkatkan energi terbarukan dari 10% ke 20% pada 2025. Undang-undang penurunan dan pengelolaan gas rumah kaca (Greenhouse Gas Reduction and Management Act) mensyaratkan penurunan emisi karbon tahunan sebesar 20% pada 2030 dan 50% pada 2050, dibawah 2005 atau penurunan 53 juta ton ekuivalen CO2 pada 2030 dan 133 juta ton pada 2050. Hal tersebut juga bagian dari visi Taiwan bebas nuklir dan mendukung tujuan nasional untuk mencapai net-zero carbon emission pada 2050. Pengembangan energi terbarukan adalah implementasi terpenting untuk mencapai tujuan tersebut dan wood pellet menjadi prioritas utama. Taiwan akan mengimport wood pellet dalam jumlah cukup besar untuk mencapai sasaran produksi baru energi hijaunya. 

Kebutuhan wood pellet di Taiwan mencapai jutaan ton atau lebih detail perkiraannya adalah 1.7 juta ton per tahun khusus untuk Taiwan Power Company, yang segera akan dilaksanakan ketika kebijakannya diterapkan. Dan ada juga sejumlah pembangkit listrik independent yang menggunakan boiler batubara untuk menghasilkan listrik khususnya industri plastik, kilang minyak bumi dan pembuatan kertas. Saat ini energi terbarukan terhitung kurang dari 10% dari total output energi di Taiwan. Sedangkan pemerintah bertujuan memiliki 778 megawatts (MW) pembangkit listrik berbasis biomasa pada 2025, memungkinkan produksi sebanyak 4.1 milyar kWh.

Negara-negara produsen-produsen besar wood pellets dunia mengarahkan pandangannya ke Taiwan seperti Amerika Serikat, Vietnam dan Kanada. Vietnam bahkan telah menjadi produsen wood pellet terbesar kedua di dunia, dengan menggeser Kanada.  Dan secara nasional, eksport produk-produk kayu Vietnam lebih dari 70% merupakan adalah furniture dan  interior application, 7% untuk panel berbahan dasar kayu, 17% wood chip dan 5% untuk wood pellets. Dan untuk menghasilkan produk-produk tersebut, Vietnam juga mengimport kayu dalam jumlah besar dari lebih 114 negara dan 700 spesies / subspesies, sebesar $3.1 milyar dalam bentuk kayu gelondongan, kayu gergajian dan kayu lapis serta mengimport hampir 2 juta meter kubik kayu keras tropis.   

Pada dasarnya negara-negara produsen besar wood pellet berlomba-lomba ingin meyakinkan Taiwan sebagai pengguna atau pembeli wood pellets tentang kemampuan suplai, termasuk kuantitas dan kualitas, kehandalan logistik dan keberlanjutan pasokannya. Walaupun pasar Jepang dan Korea terus bertumbuh tetapi penetrasi ke pasar baru akan menambah para produsen tersebut. Bahkan di Jepang pembangkit listrik baru juga banyak dibangun sehingga kebutuhan wood pellet juga semakin besar. Selain itu peningkatan rasio cofiring pada pembangkit-pembangkit listrik di Jepang juga akan meningkatakan permintaan wood pellet. 

Dan secara global menurut Hawkin Wright, penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Indonesia tetap memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen wood pellet dunia karena potensi bahan baku yang bisa diupayakan, baik dari limbah-limbah industri kayu dan kehutanan maupun dari kebun energi. Dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dengan Taiwan (dibanding negara produsen wood pellet seperti Amerika Serikat dan Kanada) sehingga biaya logistik atau transportasi lebih murah, maka peluang untuk bersaing juga cukup besar. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia maka Indonesia nomer satu untuk itu. 

Senin, 24 Februari 2025

Cogeneration pada Pabrik Sawit dengan Pirolisis, Langkah Awal Produksi dan Implentasi Biochar

Analoginya seperti halnya cofiring yang dilakukan pada pembangkit pembangkit listrik batubara dengan mencampur bahan bakar biomasa dengan rasio tertentu sebagai upaya dekarbonisasi sektor energi di pembangkit listrik. Sedangkan di pabrik sawit, cogeneration dengan pirolisis sebagai langkah awal inovatif memasuki era carbon negative dengan aplikasi biochar, produk utama pirolisis tersebut. Dan karena semua pabrik sawit memang menggunakan bahan bakar biomasa untuk operasional pabriknya maka sudah merupakan berbasis bahan bakar carbon neutral, tidak seperti pembangkit listrik batubara berbasis bahan bakar carbon positive karena berasal dari fossil.

Berbeda dengan cofiring yang mencampur bahan bakar batubara dan biomasa dengan rasio tertentu lalu dibakar bersama dalam tungku pembakaran seperti pulverized combustion, maka cogeneration dilakukan dengan menghasilkan energi secara terpisah tetapi output energinya untuk penggunaan atau khususnya boiler yang sama. Ini dilakukan karena bisa jadi jenis bahan bakarnya berbeda seperti bahan bakar padat dengan bahan bakar cair ataupun teknologi menghasilkan energi tersebut berbeda. Dengan cogeneration tersebut berarti tidak semua energi dihasilkan dari satu sumber energi atau energi dari cogeneration adalah sumber energi sekunder untuk memenuhi kebutuhan energi total, dan dalam hal cogeneration di pabrik sawit ini, energi dari pembakaran (combustion) masih menjadi energi primer-nya. 

Lalu kenapa kok tidak langsung full pyrolysis saja ? Lebih mudah, secara bertahap bagi pabrik sawit mengadopsi teknologi pirolisis dan karakteristiknya. Karena (slow) pyrolysis tujuannya untuk maximize solid / biochar maka produk samping berupa excess energy (syngas dan biooil) sebagai sumber bahan bakar boiler, nilai kalornya tidak sebanyak pembakaran (combustion) yang memang tujuannya untuk maximize heat. Hanya sekitar 1/3 excess energy tersebut berkontribusi (cogeneration) sebagai bahan bakar boiler. Dengan kata lain apabila langsung full pyrolysis maka jumlah biomasa sebagai bahan baku pyrolysis menjadi 3 kali lipat atau unit pyrolysis menjadi sangat besar sehingga semua limbah biomasa pabrik sawit terpakai, dan pabrik tidak bisa menjual cangkang sawitnya.

Keuntungan apa yang didapat oleh pabrik sawit apabila melakukan cogeneration dengan pyrolysis untuk produksi biochar antara produk biocharnya bisa untuk menghemat pemakaian pupuk di perkebunan sawit, mengatasi masalah limbah tandan kosong sawit sehingga pabrik sawit bisa zero waste, cangkang sawit yang selama ini digunakan untuk bahan bakar boiler bisa dijual sehingga menambah pendapatan, produktivitas tandan buah segar (TBS) kelapa sawit meningkat, aplikasi biochar di kebun sawit juga sebagai solusi iklim (carbon sequestration / carbon sink) sehingga bisa mendapat kompensasi carbon credit dan dengan pengelolaan limbah yang baik bahkan zero waste dan aplikasi biochar di kebun-kebun sawit maka perusahaan sawit akan mendapat citra yang baik pada aspek lingkungan dan keberlanjutan (sustainibility).

Sabtu, 15 Februari 2025

Urgensi Produksi Biochar Kapasitas Industri

Pemberian atau aplikasi biochar ke lahan pertanian mengikuti kaidah 4Rs  yakni yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right place (area aplikasi yan tepat), right rate (takaran atau dosis yang tepat) dan right timing (waktu yang tepat). Sifat-sifat fisika dan kimia biochar berbeda tergantung pada bahan baku dan proses produksinya. Dengan mengikuti aturan 4R tersebut maka performa biochar bisa dimaksimalkan. Efek biochar pada tanaman akan terlihat nyata (signifikan) ketika kaidah 4R tersebut dipenuhi. Dengan dosis / rate mencapai 20 ton/ha (tergantung faktor-faktor kondisi yang mempengaruhi), maka kebutuhan biochar juga besar. Hal inilah mengapa produk biochar jarang dijual secara online, yakni karena volume besar tersebut.

Berbeda dengan pembenah tanah seperti kompos, efek biochar bisa dirasakan cukup lama atau untuk beberapa jenis tanaman pertanian yakni tidak hanya satu musim tanam saja, tetapi hingga berulang kali. Hal ini juga membuat pemberian atau aplikasi biochar ini tidak sesering kompos. Dan pada akhirnya tentu saja aspek ekonomi menjadi parameter penentu apakah biochar membuat usaha pertanian lebih menguntungkan atau tidak. Harga biochar di pasaran menjadi perhatian penting bagi pengguna atau para petani. 

Minimnya produksi biochar di Indonesia saat ini menjadi penghalang bagi aplikasi biochar di lahan-lahan pertanian yang luas, bahkan ketika kesadaran petani akan biochar juga meningkat. Hal ini menjadi daya dorong pentingnya produksi biochar yang memadai khususnya kapasitas industri. Hanya dengan jumlah produksi biochar yang memadai maka aplikasi biochar di lahan-lahan pertanian ataupun tanah-tanah terdegrasi akan bisa dilakukan secara optimal. Urgensi produksi biochar kapasitas industri semakin besar apalagi ketika produksi biochar tersebut juga mendapatkan carbon credit, tentu ini akan semakin menarik.  

Kamis, 13 Februari 2025

Biochar dan Ketahanan Pangan & Energi

Seiring pertambahan jumlah penduduk semakin bertambah juga kebutuhan pangan dan energi. Hal ini sehingga produksi pangan dan energi juga harus ditingkatkan. Peningkatan produksi pangan sangat terkait pada kualitas dan kuantitas lahan. Tetapi walaupun kuantitas lahan sangat besar tetapi kualitasnya cenderung menurun sehingga otomatis produktivitas tanamannya juga menurun. Penurunan kualitas lahan atau kerusakan lahan ini terjadi pada lahan yang sangat luas hingga jutaan hektar. Dengan luasnya lahan-lahan sub-optimal dan terdegradasi mencapai ratusan juta hektar yang terdiri dari lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha, bisa dikatakan potensi kehilangan produk-produk pangan juga mencapai jutaan ton juga. Sementara lahan yang rusak maka akan semakin rusak apabila tidak dilakukan upaya perbaikan. Upaya upgrading atau meningkatkan kualitas lahan ini semestinya menjadi prioritas penting dalam upaya mencapai ketahanan pangan dan energi. 

Aplikasi biochar adalah solusi untuk perbaikan lahan-lahan tersebut. Bahan baku untuk produksi biochar juga sangat berlimpah antara lain seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan aplikasi biochar tersebut maka produktivitas pertanian bisa meningkat rata-rata 20% bahkan hingga 100%. Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.  Tetapi mengapa sampai saat ini biochar belum menjadi perhatian dan dijadikan solusi ? 

Selain itu produksi biochar dengan pirolisis juga akan menghasilkan sejumlah produk samping yang bisa digunakan untuk aplikasi energi atau yang lainnya, seperti pada diagram di atas. Banyak agroindustri yang membutuhkan pengeringan dalam proses produksinya, Sehingga hal ini menjadi tambahan keuntungan dari penggunaan teknologi pirolisis untuk produksi biochar tersebut. Sedangkan dari aspek lingkungan demikian juga yakni biochar sebagai carbon sequestration sehingga sebagai solusi iklim dan bisa mendapatkan carbon credit. Demikian juga pada pengelolaan limbah (waste management), karena bahan baku biochar adalah limbah biomasa baik dari pertanian, perkebunan dan kehutanan bahkan juga dari limbah-limbah organik maka bisnis pirolisis dan biochar juga menjadi solusi masalah tersebut.  

Senin, 10 Februari 2025

Mengoptimalkan Pirolisis dan Biochar pada Industri Sawit

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit. 

Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.  Bahkan perluasan lahan sawit terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar.  Dengan membuka hutan 1 juta hektar produksi CPO nasional hanya naik 11% sedangkan tanpa perlu membuka hutan yakni dengan aplikasi biochar bisa terjadi kenaikan produktivitas 20%. Dan kenaikan 20% yield tbs (tandan buah segar) penggunaan biochar adalah estimasi rendah.

Target ideal

Dengan jumlah pabrik sawit di Indonesia yang mencapai lebih dari 1000 unit dan puluhan juta ton limbah biomasa khususnya tandan kosong (tankos) sawit tentu volume produksi biochar yang dihasilkan juga sangat besar. Selain itu teknologi pirolisis bisa menggantikan teknologi pembakaran yang umumnya digunakan di pabrik-pabrik sawit untuk menghasilkan kukus / steam untuk produksi listrik dan sterilisasi tandan buah segar pada produksi CPO. Dengan bahan baku pirolisis menggunakan tankos sawit dan bisa menggantikan cangkang sawit, maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau di eksport. Penjualan cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) tersebut tentu akan memberi tambahan keuntungan yang menarik bagi perusahaan sawit tersebut. Cangkang sawit atau PKS adalah kompetitor utama wood pellet di pasar biomasa global. 

Selain itu penggunaan biochar juga menghemat pemakaian pupuk dan biaya operasional tertinggi pada perkebunan sawit adalah pupuk sehingga ini sangat relevan. Puluhan milyar biaya yang dikeluarkan untuk pupuk bisa dikurangi dengan penggunaan biochar, apalagi biocharnya berasal dari limbah sendiri sehingga otomatis juga akan menjadi solusi pengelolaan limbah biomasa. Termasuk juga biopestisida dan pupuk organik cair juga bisa dihasilkan dari proses pirolisis tersebut. Carbon credit adalah potensi bisnis berikutnya. Hal ini karena aplikasi biochar ke tanah untuk pertanian atau perkebunan tersebut sebagai upaya carbon sequestration / carbon sink. 

Keuntungan yang bisa didapat dari carbon credit biochar ini juga besar bahkan secara global biochar carbon credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi. Tetapi memang banyak produsen besar biochar yang tidak menjual carbon creditnya karena adanya persyaratan metodologi oleh perusahaan-perusahaan carbon standar seperti Puro Earth dan Verra, dan produsen-produsen biochar itu telah nyaman dengan bisnis penjualan biocharnya, apalagi produsen-produsen tersebut telah ada (established) sejak sebelum carbon credit tersedia untuk biochar.  

Masalah Pemanenan Kayu dari Kebun Energi Kaliandra dan Kandungan Kalium Tinggi Pada Abu Wood Pelletnya : Dua Hal yang Perlu Mendapat Perhatian

Faktor efisisensi produksi dan kualitas produk yang standar dan stabil menjadi mindset industri, tidak terkecuali untuk industri wood pellet dari kebun energi kaliandra. Operasional pemanenan kayu yang dilakukan secara manual membuat efisiensi produksi rendah. Kebutuhan harian yang tinggi untuk bahan baku wood pellet dari kebun energi membutuhkan alat mekanisasi untuk pemanenan kebun kaliandra tersebut. Sedangkan produk wood pellet kaliandra yang kadar abunya mengandung kalium yang tinggi juga membutuhkan treatment tertentu sehingga produk wood pelletnya memenuhi standar untuk pembangkit listrik pada umumnya. Stabilitas kualitas dan kuantitas produksi sangat terkait kualitas peralatan produksi yang digunakan. Dua hal tersebut harus menjadi perhatian penting bagi produsen wood pellet dari kebun energi kaliandra yang berkapasitas besar dan berorientasi export. 

Industri wood pellet dari kebun energi kaliandra adalah hal baru, sehingga belum banyak referensi sebagai rujukan. Sejarahnya atau cikal bakal industri ini berasal dari proyek Kementrian Kehutanan Republik Indonesia saat itu yang membuat industri skala inkubator sebagai percontohan untuk produksi wood pellet dari kebun energi kaliandra yang berlokasi di sekitar bukit Geger, Bangkalan, Madura, Jawa Timur sekitar 12 tahun lalu. Pada saat itu sebenarnya sudah ada beberapa industri wood pellet yang beroperasi tetapi semua pabrik atau industri wood pellet tersebut menggunakan bahan baku dari limbah-limbah industri perkayuan, seperti limbah industri penggergajian, limbah industri barecore, limbah industri kayu lapis dan sebagainya. 

Pohon kaliandra juga bukan tanaman yang baru dikenal oleh masyarakat. Pohon ini sudah banyak ditanam tetapi sebelumnya dengan tujuan berbeda yakni untuk penghijauan, untuk pakan ternak ataupun untuk peternakan lebah madu. Sedangkan untuk tujuan bioenergi atau produksi wood pellet, penanaman pohon kaliandra dalam bentuk kebun energi adalah sesuatu yang baru. Hal itulah mengapa pada tahap awal tersebut pemanenan kayu kaliandra masih dilakukan secara manual dan hal ini menjadi tidak efektif dan efisien pada perkebunan kapasitas besar. Selain itu produk wood pelletnya juga belum dianalisa atau diperiksa secara lengkap / komprehensif sehingga tingginya kandungan kalium / potassium (ash chemistry) pada abunya juga belum terdeteksi. Ketika persyaratan tentang kandungan maksimal dari kalium / potassium harus dipenuhi maka treatment khusus perlu dilakukan. 

Selain itu hal penting yang perlu diperhatikan adalah target jenis-jenis produk yang dihasilkan. Apabila kebun kaliandra tersebut tidak hanya menghasilkan kayu sebagai bahan baku produk wood pellet, tetapi juga mengolah daun untuk pakan ternak maka mekanisme pemanenan sangat berpengaruh. Daun dari kebun kaliandra tersebut juga harus bisa dipanen secara efektif dan efisien atau sama dengan produk kayunya. Hal ini bisa saja misalnya pohon dan daun dipanen bersamaan lalu dibawa ke suatu tempat dan dipisahkan untuk diolah masing-masing. Atau bisa juga produk kayu dan daun tersebut sudah dipisahkan pada saat pemanenan, selanjutnya masing-masing menuju ke unit pengolahan masing-masing. Peralatan yang digunakan juga pasti berbeda sesuai pilihan mekanisme pemanenan tersebut. Sedangkan untuk produk madu dari peternakan lebah yang memanfaatkan nektar kaliandra tidak terpengaruh dalam mekanisme ini, hal ini proses prduksi madu terpisah dan terkait dengan musim perbungaan pohon kaliandra itu sendiri.  

Seiring dengan trend dekarbonisasi dunia, maka prospek kebun kaliandra semakin cerah. Diprediksi akan banyak kebun kaliandra dibuat yang dimaksudkan terutama untuk produksi bioenergi seperti produksi wood pellet tersebut.dan ini sejalan dengan scenario carbon neutral yang mendukung program nett zero emission. Penggunaan wood pellet tersebut terutama untuk bahan bakar di pembangkit listrik batubara melalui mekanisme cofiring. Pada tahap selanjutnya bisa dimungkinkan penggunaan 100% bahan bakar pembangkit listrik tersebut menggunakan wood pellet tersebut (fulfiring). Kandungan kalium / potassium yang tinggi pada umumnya menjadi masalah pada aplikasi untuk pembangkit listrik ini, walaupun memang ada tipe pembangkit listrik yang secara teknis tidak mempermasalahkan kandungan kalium tersebut, tetapi produksi wood pellet dari kaliandra yang rendah kandungan kalium tentu lebih disukai.   

Food Estate atau Biochar ? Indonesia menjadi Juara Solusi Iklim Global ?

Saat ini ada jutaan hektar lahan di Indonesia yang sangat membutuhkan biochar yakni lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta h...