Senin, 11 Agustus 2025

Firelog, Igniter Briquette Produk Unik dan Spesifik untuk Pengguna Wood Briquette

Penggunaan bahan bakar biomasa untuk pemanas ruangan sudah sangat lama, dari perapian sederhana (open fireplace) sampai kompor otomatis yang dilengkapi IoT (Internet of Things). Dari kayu bakar yang dikumpulkan dari hutan hingga penggunaan wood pellet maupun (dalam skala lebih kecil) yakni wood briquette. Daya dorong terkait dekarbonisasi, perubahan iklim dan lingkungan turut berperan kuat pada penggunaan bahan bakar biomasa khususnya wood pellets. Wood pellets grade premium adalah pilihan untuk penggunaan pemanas ruangan tersebut dengan kadar abu sangat rendah, yakni kurang dari 1% atau dikenal dengan A1 / A2 pellets dan untuk lebih detail baca disini, demikian juga untuk wood briquette (consumer briquette). Perbedaan utama antara wood pellets dan wood briquette adalah ukuran, dan kadang-kadang bentuknya serta teknologi produksinya juga lebih beragam daripada wood pellets, untuk lebih detail baca disini

Untuk wood briquette (consumer briquette) ini, ada bermacam-macam kompor yang bisa menggunakannya tetapi secara umum kompor atau oven yang menggunakan kayu bakar bisa menggunakan wood briquette tersebut. Dan karena tidak mudah lagi untuk mendapatkan kayu bakar di Eropa sehingga banyak orang membeli wood briquette tersebut dari pedagang yang biasanya juga menjual kompor atau ovennya. Di Eropa wood briquette tersebut dijual secara langsung kepada pembeli di atas pallet atau lewat supermarket. 

Dengan ukuran briquette yang cukup tidak mudah menyalakannya langsung dengan korek api. Pada umumnya untuk menyalakannya dilakukan ditempat terpisah (firestarter), dengan ranting-ranting kayu kecil atau memecah briquette tersebut sehingga bisa menyala lebih mudah. Tetapi hal ini dirasa sulit dan tidak praktis. Hal inilah sehingga muncul inovasi berupa briquetteyang diperkaya dengan paraffin sehingga mudah dinyalakan untuk starter kompor briquette tersebut. Briquette (igniter briquette) ini bisa dengan mudah dinyalakan dengan korek api dan lebih praktis. Paraffin yang digunakan saat ini pada umumnya berasal dari minyak bumi (petroleum) sehingga merupakan bahan bakar fossil. Supaya lebih sejalan dengan daya dorong dekarbonisasi dan perubahan iklim diatas maka sumber paraffin juga mestinya dari yang terbarukan seperti dari tumbuh-tumbuhan. HRBDPS atau hydrogenated RBD palm stearin yang berasal atau produk turunan dari minyak sawit bisa sebagai subtitusi paraffin dari sumber fossil tersebut.   

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya produktivitas kelapa sawit berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan energi, yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, pada pembukaan ICOPE (International Conference on Palm Oil and Environment) di Sanur, Bali, pertengahan Februari 2025. Konferensi yang dihadiri oleh delegasi berbagai negara yakni Indonesia, Malaysia, India, Belanda, Prancis, Finlandia, Kolombia dan Spanyol bertujuan sebagai untuk merumuskan transformasi berkelanjutan bagi industri sawit. Produktivitas kelapa sawit berkelanjutan tersebut bisa ditingkatkan dengan intensifikasi lahan dan penggunaan bibit unggul. Bahkan jika perluasan lahan harus dilakukan, maka hal tersebut harus dilakukan tanpa menyebabkan deforestasi. Sedangkan untuk replanting di lahan kering, juga bisa digabungkan dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari.

Biochar solusi jitu 
Produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan dengan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk atau NUE (Nutrients Use Efficiency) dan ini bagian dari intensifikasi lahan. Dengan pemakaian dosis pupuk yang sama dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit akan meningkat sekitar 20% atau lebih, atau dengan penghematan pupuk sekitar 30% dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit relatif stabil atau sama dengan produktivitas sebelumnya. Terkait dengan upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit dan ditambah dengan upaya tanpa terjadinya deforestasi maka opsi pertama lebih sesuai, yakni dosis pupuk tidak ditambah atau sama seperti biasanya, tetapi ada tambahan biochar untuk meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk tersebut. 

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton/tahun dengan luas lahan 16,4 juta hektar dengan rata-rata produksi CPO per hektar 3,55 ton/ha atau per satu juta hektar menghasilkan 3,55 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan produktivitas 20% berarti terjadi kenaikan kenaikan 10 juta ton CPO / tahun (total menjadi 60 juta ton CPO/tahun) dan ini menghemat lahan sekitar 2,8 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Selain dari pemakaian biochar untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya, keuntungan lain yang bisa diperoleh dari produksi biochar adalah dari potensi pendapatan carbon credit (BCR = biochar carbon removal) dan pemanfaatan produk samping dari pirolisis untuk perkebunan sawit maupun operasional pabrik sawit pada produksi CPO. Dengan cara tersebut maka ada sejumlah keuntungan bagi perusahaan sawit seperti penghematan pupuk organik cair, pestisida dan 100% canngkang sawit bisa dijual atau dieksport. Selain perusahaan sawit tersebut produksi sendiri biocharnya dengan pirolisis, dimungkinkan juga ada perusahaan tersendiri yang terpisah atau perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan sawit untuk produksi biochar dengan kesepakatan tertentu. 

Tekanan dan sorotan global bagi industri sawit untuk melakukan praktik berkelanjutan yang semakin besar. Dan ditengah melonjaknya permintaan minyak sawit untuk pasar global dan pasar domestik, peningkatan produktivitas sawit adalah sebuah keniscayaan. Dengan pemanfaatan limbah biomasa pabrik dan perkebunan sawit seperti tandan kosong dan batang sawit untuk produksi biochar dan pemakaian biochar untuk peningkatan produktivitas kelapa sawit itu sendiri maka hal ini menjadi solusi jitu dalam merespon tantangan tersebut. Bahkan untuk replanting di lahan kering, dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari, penggunaan biochar juga akan berdampak positif dan signifikan pada tanaman tumpang sari tersebut.  

Sabtu, 02 Agustus 2025

Kadar Abu dan Kualitas Wood Pellet grade Premium

 

Dibandingkan wood pellets untuk industri (industrial pellets) yang memiliki spesifikasi lebih longgar khususnya pada kadar abu yang bisa mencapai 6% sedangkan wood pellet grade pemium yang penggunaannya untuk pemanas ruangan memiliki spesifikasi lebih ketat terutama kadar abu maksimal 1%. Wood pellet grade premium umumnya juga memiliki ukuran diameter 6 mm sedangkan industrial pellets umumnya berukuran 8 mm. Warna atau tampilan wood pellet grade premium juga berpengaruh, dimana warna cerah umumnya lebih disukai. Hal inilah yang membuat wood pellet grade premium wajar memiliki harga yang lebih mahal. Kebutuhan wood pellet grade premium akan meningkat penggunaannya pada musim dingin karena terkait kebutuhan pemanas ruangan pada musim dingin tersebut.  

Terkait kadar abu (ash content) bahkan sejumlah standard menetapkan kadar abu yang lebih rendah dari 1%, seperti DIN Plus maksimal 0,5% lalu ENPlus-A1 maksimal 0,7% dan  Ö NORM M7135  yang mempersyaratkan maksimal 0,5%. Hal ini sehingga kontrol pemilihan bahan baku dan treatment ketat diterapkan dalam produksi wood pelletnya sehingga memenuhi spesifikasi tersebut. Walaupun mungkin secara kimia abu (ash chemistry) untuk  wood pellet grade premium tidak seketat pada industrial pellet karena operasional aplikasinya pada suhu lebih rendah, tetapi produksi wood pellet dengan ash content sangat rendah tersebut membutuhkan kualitas bahan baku yang tinggi. 

Pada wood pellet grade premium tersebut perbedaan kadar abu sedikit saja ternyata berdampak pada perbedaan harga jual yang cukup signifikan, sebagai contoh pada wood pellets dengan ash content maksimal 0,55% dengan wood pellet dengan ash content maksimal 0,35% bisa terpaut harga sekitar USD 30/ton-nya. Dan karena penggunaannya untuk pemanas ruangan maka pada umumnya wood pellet grade premium menggunakan kemasan plastik kecil seperti kemasan 15 kg, sedangkan pada tipe industrial pellet biasa dalam kemasan jumbo bag atau bahkan curah karena alasan volumenya kebutuhan jauh lebih besar.  

Biochar untuk Pembibitan Kelapa Sawit bagian 2

Pada tahun 2024 Malaysia melaporkan luas replanting perkebunan sawit mereka mencapai 114.000 hektar atau 2% dari luasan kebun sawit Malaysia, dari target yang dicanangkan yakni 4% hingga 5%. Sedangkan di Indonesia diperkirakan prosentasenya lebih kecil dari Malaysia tetapi karena luasan kebun sawit Indonesia jauh lebih luas atau sekitar 3 kali Malaysia, sehingga luasannya menjadi lebih besar. Kondisi tersebut membuat produksi minyak sawit menurun karena produktivitas pohon sawit mulai menurun setelah 20 tahun dan perlu diganti atau replanting setelah 25 tahun, untuk menjaga performa produktivitas sawit tersebut. Replanting semestinya dilakukan secara periodik dengan luasan berkisar 5% dari luas kebun sawit.   

Untuk peremajaan kebun sawit (replanting) tersebut dibutuhkan bibit sawit. Jika diperkirakan saat ini replanting kebun sawit di Indonesia 300.000 hektar per tahun (atau 1,8% dari luasan kebun sawit Indonesia) maka dengan populasi kebun sawit rata-rata 125 pohon per hektar maka kebutuhan bibit sawit mencapai 37. 500.000 bibit. Dan dengan 114.000 hektar di Malaysia kebutuhan bibit sawit akan mencapai 14.250.000 bibit. Untuk menghasilkan pohon sawit berkualitas selain pemilihan varietas unggul juga termasuk pembuatan bibit di unit pembibitan sawitnya. Biochar dapat digunakan secara efektif untuk pembibitan sawit tersebut, karena membantu meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan bibit. 

Biochar yang merupakan arang hayati dari biomassa, berfungsi sebagai pembenah tanah yang meningkatkan struktur tanah, retensi air, dan ketersediaan unsur hara, serta memberikan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah. Biochar dapat dicampurkan langsung ke media tanam saat pembibitan dengan dosis biochar yang digunakan perlu disesuaikan dengan jenis media tanam dan kebutuhan tanaman. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa aplikasi biochar pada pembibitan kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan bibit, seperti tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan berat kering akar. Dengan memanfaatkan biochar, pembibitan kelapa sawit dapat menjadi lebih efisien, produktif, dan ramah lingkungan. 

Dan bahkan karena media tanam bibit sawit pada umumnya menggunakan kompos, maka apabila kompos tersebut diperkaya biochar atau proses pengomposan juga menggunakan biochar maka kualitas kompos tersebut semakin baik. Keunggulan proses pengomposan menggunakan biochar antara lain meningkatkan kualitas kompos, mempercepat proses   pengomposan, mengurangi emisi gas rumah kaca berupa metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O), mengurangi kehilangan amonia (NH3), menambah aerasi (bulking agent) pengomposan, dan mengurangi bau. Sedangkan untuk material biochar itu sendiri, akan memperkaya biochar dengan berbagai unsur hara dan biochar tidak rusak atau terdekomposisi selama proses pengomoposan tersebut.  Jadi dengan memanfaatkan biochar dalam pengomposan, kita dapat mengolah limbah organik secara lebih efektif, menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi, dan berkontribusi pada praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. 

Selasa, 29 Juli 2025

Produksi DRI / Sponge Iron Berbasis Biochar

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Tetapi penggunaan EAF yang masih menggunakan listrik dari bahan bakar fosil bisa sebagai media transisi sebelum 100% carbon neutral production karena emisi CO2 yang lebih kecil dibanding blast furnace dari kokas yang berasal dari batubara. Bahan baku yang diolah dengan EAF adalah steel scrap dan besi tereduksi langsung (DRI / sponge iron). Steel scrap atau DRI (sponge iron) langsung dimasukkan ke dalam tungku busur listrik (EAF) untuk pembuatan baja, sehingga menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan metode blast-furnace. Emisi CO2 dari blast furnace tersebut sekitar 2,33 ton untuk setiap crude iron / pig iron sedangkan dengan EAF tersebut hanya sekitar 0,66 ton untuk setiap ton crude steel. 

 

Saat ini sekitar 80% steel scrap saat ini didaur ulang dengan EAF. Secara global produksi baja dengan EAF mencapai sekitar 22% (berbahan baku scrap dan sponge iron). India sebagai produsen terbesar sponge iron atau DRI. Produsen utama lainnya termasuk Iran, Rusia, Meksiko, dan Arab Saudi. Pada tahun 2023, India memproduksi 49,3 juta ton, sementara Iran memproduksi 33,4 juta ton. Produksi sponge iron atau DRI global mencapai 135,5 juta ton pada tahun 2023, sedangkan pig iron hampir 1,5 milyar ton. 

Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan produksi baja carbon neutral tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Pembangunan blast furnace-blast furnace baru tersebut memang cenderung meningkat yang faktanya yakni pada pertengahan 2024 sekitar 207 juta ton per tahun produksi baru telah diumumkan dan sekitar 100 juta ton per tahun dalam tahap pembangunan.

Sponge iron atau DRI diproduksi dari bijih besi (iron ore) yang telah diproses untuk menghilangkan oksigen, menghasilkan bahan seperti spons berpori. Proses pembuatan DRI disebut proses direct reduction.  Proses direct reduction  dapat dibagi secara kasar menjadi dua kategori: berbasis gas dan berbasis batubara. Dan seperti halnya batubara dapat digunakan, arang (biochar) sebagai bahan karbon juga dapat digunakan. Perbedaannya adalah bahwa arang (biochar) berasal dari kayu atau biomassa, yang merupakan sumber daya terbarukan. Proses ini biasanya melibatkan rotary kiln  di mana bijih besi (iron ore) dan batubara atau arang (biochar) diumpankan bersama, dan reaksi pereduksi terjadi dalam keadaan padat. India adalah produsen utama DRI berbasis batubara, dengan produksi meningkat secara substansial dalam beberapa tahun terakhir, seperti pada peta dibawah ini. Sedangkan produsen-produsen besar DRI atau sponge iron lainnya umumnya prosesnya berbasis gas alam.  

Ketersediaan biochar yang memenuhi spesifikasi dan volume yang mencukupi serta pasokannya yang berkelanjutan dibutuhkan untuk subtitusi dari batubara pada produksi DRI tersebut. Hal ini sehingga di sisi hulu ketersediaan bahan baku biomasa baik dari limbah kehutanan, pengolahan kayu, limbah pertanian dan limbah agroindustri sangat penting untuk keberlangsungan produksi biochar tersebut, bahkan tidak terkecuali juga dengan pembuatan kebun energi untuk maksud tersebut. Selain mengganti reduktor atau bahan bakar dari batubara ke arang (biochar) pada produksi DRI atau sponge iron, upaya mengurangi emisi karbon pada produksi baja rute DRI – EAF  juga dengan mengganti elektrode EAF dari graphite sintetis berbahan baku fossil ke biographite berbahan baku biochar, untuk lebih detail baca disini.  

Sabtu, 19 Juli 2025

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan bagian 2

Matahari adalah sumber energi bagi makhluk hidup di bumi. Matahari adalah sumber energi yang sangat melimpah, gratis dan tidak akan habis kecuali pada saat kiamat tiba. Kata matahari disebut sebanyak 25 kali di Al Qur’an dan menjadi salah satu nama surat yang Allah diabadikan dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan isyarat bahwa ada yang perlu digali oleh manusia melalui asy-syams atau matahari. Pemanfaatan matahari untuk produksi listrik menjadi perhatian dan fokus para ilmuwan di seluruh dunia. Dan terkhusus ilmuwan muslim dengan adanya motivasi ilahiah dari Al Qur’an tersebut semestinya menjadi motivasi sebagai daya dorong untuk meneliti dan mengimplementasikannya, apalagi di era dekarbonisasi atau subtitusi energi fossil ke energi terbarukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim dan pemanasan global maka daya dorong tersebut terasa semakin kuat. 

Ibrahim Abdul Matin (2012), seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, dalam bukunya Green Deen : What Islam Teaches about Protecting the Planet menyebut energi baru terbarukan sebagai energy from heaven (energi dari surga). Energi dari surga menurutnya adalah energi berasal dari atas, yakni energi tersebut tidak diekstrak (dikeruk) dari dalam bumi, dan dapat diperbaharui (renewable). “Ekstraksi menyebabkan ketidakseimbangan (penyebab perubahan iklim), sedangkan energi dari atas itu laksana dari surga.” 


Dalam tataran praktis atau implementasi telah banyak pemanfaatan energi matahari menjadi listrik. Manusia ditantang untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaik sehingga bisa memanen atau memanfaatkan sumber energi matahari tersebut secara maksimal. Bahkan peran teknologi dan infrastruktur pendukung telah banyak dijadikan sebagai senjata andalan untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim dan pemanasan global tersebut. Dan dalam prakteknya tidak semua implementasi teknologi tersebut sukses dan mendapat keuntungan financial yang besar. Ivanpah project di California, USA salah satunya, proyek produksi listrik dengan pemanfaatan panas sinar matahari dengan teknologi CSP (Concentrated Solar Plant) tersebut gagal meraih tujuan bisnisnya dan kalah bersaing dengan teknologi pemanfaatan energi matahari dengan Solar PV (photovoltaic) yang lebih mudah dan murah.  

Teknologi CSP atau solar thermal technology tersebut menggunakan cermin-cermin untuk mengkonsentrasikan sinar matahari sehingga menghasilkan panas untuk memproduksi steam untuk menggerakkan turbine sehingga menghasilkan listrik. Sedangkan pada solar PV, maka panel-panel surya tersebut akan sinar matahari secara langsung menggunakan bahan semikonduktor. Ivanpah project yang menelan biaya 2,2 milyar USD (lebih dari 35 trilyun rupiah) menjadi pil pahit pengembangan teknologi pemanfaatan energi matahari tersebut. Perusahaan Pacific Gas & Electric (PG&E) sebagai pembeli utama bahkan memutuskan kontrak jangka panjang (PPA / Power Purchase Agreement) pembelian listrik dari kesepakatan sebelumnya selama 14 tahun dari Ivanpah project tersebut sehingga 2 dari 3 unitnya terpaksa dihentikan operasi. Hal ini karena Ivanpah project dengan teknologi CSP tidak mampu menghasilkan performa atau kinerja yang memadai bahkan untuk operasionalnya masih dengan tambahan gas alam. 

Untuk pembangkit listrik dengan solar PV, China saat ini pemimpin atau produsen terbesar di dunia listrik tenaga surya. Ambisi China adalah membuat “solar great wall” (tembok raksasa panel surya) yang dirancang mampu memenuhi kebutuhan energi Beijing. Proyek multi years itu diperkirakan selesai tahun 2030 dan akan memiliki panjang 400 kilometer (250 mil), lebar 5 kilometer (3 mil), dan mencapai kapasitas pembangkit maksimum 100 gigawatt. Sedangkan saat ini proyek tersebut dikabarkan telah mencapai kapasitas 5,4 gigawatt. Sejak 2024, China memimpin dunia dalam produksi listrik dari panel surya. Per Juni 2024, China memimpin dunia dalam mengoperasikan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dengan 386.875 megawatt, mewakili sekitar 51 persen dari total global, menurut Global Solar Power Tracker dari Global Energy Monitor. Amerika Serikat berada di peringkat kedua dengan 79.364 megawatt (11 persen), diikuti oleh India dengan 53.114 megawatt (7 persen).

Pada beberapa dekade mendatang diprediksi penggunaan baterai berkapasitas besar hingga beberapa MW pada pembangkit listrik solar PV umum digunakan. Dengan adanya baterai tersebut sehingga pembangkit listrik solar PV bisa tetap menyalurkan energi listriknya ketika malam hari ataupun ketika mendung. Riset pengembangan baterai tersebut terus berlangsung, sehingga akan lebih baik apabila sejumlah komponen baterai tersebut juga berasal dari sumber terbarukan seperti elektrode yang digunakan dari bio-graphite (yang berbahan baku biochar), bukan graphite sintetis yang berasal dari sumber fossil yang saat ini juga didominasi oleh China.

Faktor iklim dan cuaca sangat berpengaruh pada operasional pembangkit listrik solar PV. Ketika terjadi masalah cuaca seperti terjadi mendung berhari-hari sehingga matahari tidak bersinar maka produksi listrik terkendala atau kondisi intermittent. Dan apalagi penggunaan baterai kapasitas besar tersebut juga belum terjadi dan butuh waktu cukup lama. Hal ini sehingga sumber energi terbarukan yang siap kapan saja dan tidak terpengaruh cuaca sangat dibutuhkan. Sumber energi biomasa seperti wood pellet adalah tipe sumber energi tersebut. Sumber energi terbarukan berasal dari tanaman (bio-energi) tersebut juga sejalan dengan QS. Yaasin (36) : 80. Untuk menghasilkan sumber energi tersebut baik seperti batang kayu, buah, biji ataupun bagian lain dari tumbuhan tersebut, tumbuhan melakukan photosintesa. Selain dibutuhkan air dan karbondioksida (CO2), proses photosintesa ini membutuhkan sinar matahari. Matahari sangat penting sebagai sumber energi bagi makhluk hidup khususnya bagi tumbuhan tersebut. Sumber energi terbarukan dari biomasa (bio-energi) tersebut ibarat “green battery” yang sangat potensial sebagai sarana juga menangkap energi matahari, dan untuk lebih detail silahkan baca disini.  

Sabtu, 12 Juli 2025

Biochar untuk Biographite sebagai Komponen Penting Baterai Kendaraan Listrik

 

Penggunaan bahan bakar fosil membuat sektor transportasi menyumbang CO2 sebanyak 24% secara global. Dengan emisi CO2 dari penggunaan bahan bakar fossil pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton), berarti sektor transportasi menyumbang 8,71 giga ton (8,71 milyar ton) CO2. Upaya mengurangi emisi CO2 dari sektor transportasi dilakukan dengan 2 hal, yakni penggunaan energi terbarukan dan penggunaan kendaraan listrik. Penggunaan kendaraan listrik harus dengan catatan bahwa sumber energi yang digunakan harus berasal sumber energi terbarukan. Jangan hanya menggunakan kendaraan listrik tetapi sumber energinya masih berasal dari sumber energi fossil. Biofuel adalah sumber energi terbarukan untuk sektor transportasi yang bisa langsung digunakan dengan sedikit modifikasi kendaraan atau bahkan tanpa modifikasi mesin sama sekali. Pertanyaan prioritas kendaraan listrik dulu ataukah penggunaan biofuel dulu, lebih detail bisa dibaca disini.

Kendaraaan listrik memang bisa sebagai solusi dekarbonisasi pada sektor transportasi dengan catatan seperrti diatas. Dan tentu akan lebih baik lagi apabila produksi kendaraaan listrik tersebut juga menggunakan material dari sumber terbarukan misalnya graphite untuk batterai berasal dari biochar ataupun material penyusunnya seperti chasis, body dan komponen logam lainnya dari “green steel” atau “low carbon steel”. Terkait graphite dari biochar atau biographite, dengan rata-rata setiap mobil membutuhkan 70 kg, dengan proyeksi menurut Badan Energi Internasional (IEA) produksi mobil listrik tahun 2030 (termasuk bus, van, dan truk berat) mencapai 145 juta unit maka kebutuhan biographite mencapai lebih dari 10 juta ton. Bahkan menurut the Economist pada tahun tersebut, permintaan graphite diperkirakan akan melebihi pasokan sebesar 2 juta metrik ton, sehingga mengancam industri baja dan baterai. Ini artinya produksi graphite perlu ditingkatkan tetapi tentu akan lebih produksi itu adalah biographite, bukan graphite sintetik yang berasal dari bahan fossil.  Sedangkan di Indonesia sendiri, pemerintah menargetkan 2 juta mobil listrik dan 13 juta kendaraan listrik roda dua pada tahun 2030. Penggunaan biographite bermaksud menggantikan graphite yang berasal dari sumber fossil yang selama ini masih umum digunakan dan dengan China sebagai produsen utamanya (mengendalikan lebih dari 80% produksi graphite global). 

Di samping itu, Indonesia yang kaya akan nikel dengan cadangan mencapai sekitar 5,3 miliar ton bijih, setara dengan sekitar 55 juta ton metrik logam nikel (East Asia Forum, 2024) dan merupakan pemilik cadangan terbesar di dunia. Dan Australia diperingkat kedua yakni sekitar 24 juta ton metrik logam nikel sedangkan cadangan nikel global diperkirakan sekitar 130 juta ton metrik. Hal ini semestinya menempatkan Indonesia di posisi strategis pada era penggunaan kendaraan listrik tersebut. Pada tahun 2023, Indonesia memproduksi sekitar 1,8 juta ton metrik nikel, yang menyumbang hampir setengah dari total produksi dunia (Statista, 2023). Nikel membantu meningkatkan kepadatan energi dan kapasitas penyimpanan baterai, sehingga memungkinkan mobil listrik memiliki jangkauan yang lebih jauh. Setiap baterai mobil listrik diperkirakan menggunakan nikel sebanyak 30 kg dengan proyeksi produksi mobil listrik tahun 2030 menurut Badan Energi Internasional (IEA) mencapai 145 juta unit  maka kebutuhan nikel mencapai hampir 4,5 juta ton.

Selain penambangan nikel yang harus dikelola dengan benar sehingga ramah lingkungan, kekayaan SDA nikel tersebut juga mestinya bisa diolah menjadi produk jadi di dalam negeri. Jangan hanya mengeksport produk setengah jadi atau bahkan bahan mentah yang hanya memberikan nilai tambah kecil yang kurang menguntungkan.  Apalagi kalau semua nikel tersebut di eksport ke China dan di sisi lain juga China sebagai produsen graphite terbesar di dunia maka hal itu akan membuat China sebagai produsen utama baterai mobil listrik dunia. Dengan produksi biographite maka Indonesia menjadi tidak tergantung dari import dan juga hilirisasi nikel maka produksi baterai listrik sendiri sangat dimungkinkan bahkan menjadi pemain utama produk baterai tersebut. Nikel juga digunakan untuk produksi baja tahan karat (stainless steel) yang penggunaannya sangat luas.  

Minggu, 06 Juli 2025

Operasional Pabrik Sawit dengan Integrasi Pirolisis dan Unit Biogas untuk Zero Waste, Memaksimalkan Profit dan Berkelanjutan

Tujuan pabrik sawit  sehingga zero waste, profit maksimal dan berkelanjutan bisa tercapai salah satunya dengan integrasi pirolisis dan unit biogas. Hal ini karena hampir semua limbah padat dan limbah cair dari pabrik sawit bisa diolah menjadi produk-produk yang dibutuhkan pada industri sawit tersebut, baik di pabrik sawitnya untuk produksi CPO, maupun di perkebunan sawitnya untuk produksi TBS. Dengan pirolisis, limbah padat akan diubah menjadi biochar dengan excess energy berupa syngas dan biooil untuk bahan bakar boiler. Biochar sebelum diaplikasikan ke tanah-tanah perkebunan atau pertanian dimanfaatkan terlebih dahulu untuk meningkatkan produksi biogas.

Produk biogas selanjutnya juga bisa untuk bahan bakar boiler pabrik sawit bersama dengan syngas dan biooil tersebut. Dengan cara itu maka cangkang sawit (Palm kernel shell/PKS)100% bisa dijual atau bahkan diexport sehingga memberi tambahan keuntungan bagi industri sawit yang bersangkutan. Dimana saat ini pada umumnya 30- 50% cangkang sawit digunakan untuk bahan bakar boiler dicampur dengan sabut (mesocarp fiber) dan sisanya dijual atau dieksport tersebut. Produksi biochar dengan pirProduk biogas selanjutnya juga bisa untuk bahan bakar boiler pabrik sawit bersama dengan syngas dan biooil tersebut. Dengan cara itu maka cangkang sawit (Palm kernel shell/PKS)100% bisa dijual atau bahkan diexport sehingga memberi tambahan keuntungan bagi industri sawit yang bersangkutan. Dimana saat ini pada umumnya 30- 50% cangkang sawit digunakan untuk bahan bakar boiler dicampur dengan sabut (mesocarp fiber) dan sisanya dijual atau dieksport tersebut. Produksi biochar dengan pirolisis bisa memanfaatkan sabut (MF) dan tandan kosong sawit (EFB). Skema integrasi seperti dibawah ini : 

Pemakaian biochar pada lahan-lahan perkebunan dan pertanian akan menghemat atau mengurangi penggunaan pupuk kimia. Dan lebih khusus lagi pada perkebunan kelapa sawit bahwa operasional terbesarnya adalah penggunaan pupuk kimia tersebut. Apabila penggunaan pupuk kimia bisa dikurangi maka akan terjadi penghematan pada biaya pupuk. Selain itu juga akan memberi manfaat lain bagi lingkungan atau mengurangi dampak lingkungan berupa meminimalisir limbah akibat pemakaian pupuk kimia yang berlebihan. Biochar akan membuat pupuk kimia menjadi slow release sehingga efisiensi penggunaan pupuk atau NUE (Nutrient Use Efficiency) akan meningkat dan apalagi biochar plus pupuk organik dari residue biogas maka pupuk kimia untuk kemampuan slow release akan semakin meningkat sehingga NUE semakin tinggi. Selain itu produk samping pirolisis lainnya yakni pyroligneous acid juga sangat bermanfaat bagi perkebunan sawit untuk pupuk orhabik cair dan biopestisida.  

Selain itu pendapatan lain yang bisa didapatkan adalah dari carbon credit atau BCR (biochar carbon removal) credit. Apalagi carbon credit ini saat ini juga menjadi motivasi kuat bagi para produsen untuk produksi biochar tersebut. Dan untuk bisa mendapatkan carbon credit tersebut produsen biochar harus mendaftarkan ke lembaga karbon standard dan mengikuti metodologinya. Beberapa lembaga karbon standar yang popular antara lain Puro Earth, Verra, dan CSI. Sedangkan untuk produksi biogas juga bisa mendapatkan carbon credit dari mekanisme methane avoidance, tetapi harga biogas dari methane avoidance biasanya lebih murah daripada carbon credit carbon removal atau carbon sequestration dengan biochar. Tetapi tentu kedua-keduanya bisa diakumulasikan dan memberi keuntungan lebih besar.

Potensi operasional pabrik sawit dengan integrasi pirolisis dan unit biogas untuk zero waste, memaksimalkan profit dan berkelanjutan sangat besar dan diprediksi akan menjadi trend karena keuntungan financial sejalan dengan keuntungan / manfaat lingkungan. Apalagi masalah-masalah lingkungan dan keberlanjutannya saat ini telah menjadi perhatian dunia. Dengan luas lahan sawit sekitar 17 juta hektar dan 5,5 juta hektar di Malaysia, maka potensi limbah biomasa khususnya EFB dan mesocarp fiber untuk produksi biochar dan juga limbah POME untuk produksi biogas sangat melimpah. Sedangkan secara global luas kebun sawit mencapai hampir 27 juta hektar. Pada tahun 2024 tercatat bahwa produsen top CPO Dunia yakni Indonesia 56% lalu Malaysia 26% dan Thailand 5%. Ada lebih dari 1.000 unit pabrik sawit di Indonesia dan sekitar 500 unit di Malaysia. 

Rabu, 25 Juni 2025

Berlomba-Lomba dalam Kebaikan dalam Menurunkan Suhu Bumi

Berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi adalah sebuah kebaikan. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Dampak buruk dari kenaikan suhu bumi dapat dirasakan di darat dan di laut, sehingga harus diminimalisir. Hal inilah mengapa antar berbagai pihak dalam upaya ini mestinya saling berkolaborasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan tersebut. Aspek bisnis dari kegiatan ini mestinya menjadi prioritas kedua, sehingga semangat berbuat baik dan berkolaborasi serta bersinergi akan tercipta. Secara teknis sektor-sektor strategis yang menjadi poin-poin utama penyebab kenaikan suhu bumi menjadi prioritas penting untuk ditangani, walaupun hal-hal lain yang lebih mendesak juga harus didahulukan. 

Ada kelebihan konsentrasi karbon (CO2) di atmosfer yang membuat suhu bumi naik karena efek gas rumah kaca, tetapi di sisi lain ada milyaran hektar tanah di bumi yang butuh karbon berupa biochar untuk meningkatkan kesuburan tanah sekaligus untuk menyerap CO2 di atmosfer tersebut dengan carbon sequestration / carbon sink. Apabila kedua hal ini bisa disinkronkan maka menjadi solusi jitu bagi penurunan suhu bumi tersebut. Pada tahun 2024 tercatat emisi CO2 dari bahan bakar fossil sekitar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton) dan kosentrasi CO2 terakhir menurut observatorium Mauna Loa di Hawai mencapai 429.25 ppm (pada 24 Juni 2025). Sedangkan di sisi lahan, secara global diperkirakan 1,66 miliar hektar lahan telah terdegradasi akibat aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, penggembalaan berlebihan, irigasi yang salah kelola, dan penggunaan bahan kimia berlebihan.

Bahan bakar biomasa dengan produksi wood chip dan wood pellet atau biofuel sebagai bahan bakar atau sumber terbarukan carbon neutral sehingga akan saling melengkapi dengan biochar. Wood chip dan wood pellet atau biofuel tersebut tidak menambah emisi CO2 dan biochar yang menyerap CO2 tersebut sebagai carbon sink (carbon sequestration) atau carbon negative. 

Sabtu, 21 Juni 2025

Biochar dan Biographite untuk Dekarbonisasi di Industri Besi dan Baja

Trend dekarbonisasi terus berjalan pada semua sektor khususnya pada industri-industri strategis seperti industri energi, industri besi dan baja serta industri alat-alat transportasi. Kontribusi sejumlah industri tersebut dalam menghasilkan emisi CO2 yang menambah konsentrasi di atmosfer (carbon positive) sangat signifikan yakni industri energi khususnya pembangkit listrik menyumbang 27,45%, industri baja menyumbang 8%, dan dari industri sektor transportasi 24%.  Dengan estimasi total emisi CO2 dari bahan bakar fossil pada tahun 2024 sebesar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton), maka kontribusi industri besi dan baja sekitar 2,9 giga ton (2,9 milyar metrik ton). 

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Tetapi penggunaan EAF yang masih menggunakan listrik dari bahan bakar fosil bisa sebagai media transisi sebelum 100% carbon neutral production karena emisi CO2 yang lebih kecil dibanding blast furnace dari kokas yang berasal dari batubara. Emisi CO2 dari blast furnace tersebut sekitar 2,33 ton untuk setiap crude iron / pig iron sedangkan dengan EAF tersebut hanya sekitar 0,66 ton untuk setiap ton crude steel. Bahan baku yang diolah dengan EAF adalah steel scrap dan sekitar 80% steel scrap saat ini didaur ulang dengan EAF. Secara global produksi baja dengan EAF mencapai sekitar 22%. 

Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Pembangunan blast furnace-blast furnace baru tersebut memang cenderung meningkat yang faktanya yakni pada pertengahan 2024 sekitar 207 juta ton per tahun produksi baru telah diumumkan dan sekitar 100 juta ton per tahun dalam tahap pembangunan.   

Hampir semua emisi CO2 pada sektor produksi baja berasal dari blast furnace (BF) untuk pemunrnian bijih besi (iron ore) menjadi crude iron atau pig iron. Tantangannya sangat besar yakni ada sekitar 1.850 pabrik baja di dunia dengan sekitar 1.000 pabrik tersebut menggunakan blast furnace, dengan produksi pig iron mencapai sekitar 1,5 milyar ton per tahun. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Dengan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya.  

Hal ini sehingga penggunaan arang atau charcoal untuk menggantikan kokas dari batubara di blast furnace menjadi penting. Arang yang berasal dari biomasa adalah material terbarukan yang berkelanjutan sebagai reduktor atau bahan bakar di blast furnace sehingga dari reaksi kimia akan memisahkan atom oksigen dari atom besi dan ini akan mengemisikan CO2. Hal ini akan mengubah bijih besi (iron ore) (Fe2O3) menjadi crude (pig) iron. Tetapi bedanya karena sumber karbon sebagai reduktor atau bahan bakar blast furnace berasal dari sumber terbarukan dan berkelanjutan maka hal tersebut menjadi proses yang carbon neutral. Sedangkan apabila menggunakan kokas dari batubara karena berasal dari sumber fossil maka hal tersebut menjadi proses carbon positive. Demikian juga apabila menggunakan gas alam sebagai sumber karbon untuk reduktor atau bahan bakar di blast furnace tersebut, walaupun dikatakan less carbon intensity. 

Tetapi jika menggunakan hidrogen dari sumber energi terbarukan (green hydrogen) sebagai reductor di blast furnace maka tidak dihasilkan emisi karbon tetapi berupa uap air (H2O), sehingga juga merupakan proses carbon neutral, tetapi hal ini masih butuh lama, diprediksi hingga beberapa puluh tahun ke depan untuk implementasinya. Dan untuk menghasilkan proses yang carbon negative maka pabrik besi dan baja yang sudah beroperasi secara carbon neutral tersebut harus dipasang perangkan CCS (Carbon Capture and Storage), tentu akan menjadi tahap lanjutan selanjutnya. Selain itu penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi EAF juga menjadi semakin penting dan harus dipercepat, yang ini seharusnya juga sejalan dengan penggunaan bio-graphite pada EAF tersebut.  

Penggunaan EAF di pabrik besi dan baja diperkirakan mencapai 550 unit di seluruh dunia dengan produksi baja mencapai sekitar 548 juta ton atau sekitar 30% dari produksi baja dunia yang mencapai sekitar 1,8 milyar ton pada tahun 2024. Penggunaan EAF membutuhkan elektrode graphite dan setiap ton baja yang diproduksi membutuhkan rata-rata 3 kg graphite. Sumber graphite saat ini hampir semua berasal dari sumber fossil sehingga menjadi sumber emisi karbon (carbon positive) dan juga saat ini sekitar 80% suplai graphite dunia berasa dari China. Dengan produksi baja dari EAF sebesar 548 juta ton maka kebutuhan graphite per tahun mencapai lebih 1,6 juta ton. Setiap ton produksi graphite dari bahan fossil mengeluarkan emisi CO2 sebesar 17 – 40 ton.  

Hal ini sehingga penggunaan biographite menjadi penting karena emisi CO2 bersifat carbon neutral. Produksi biographite berasal dari biochar atau arang yang melalui proses pemurnian khusus , biochar atau arang tersebut diubah menjadi graphite dengan kemurnian tinggi yang cocok untuk elektroda EAF tersebut. Penggunaan biographite dilakukan karena selain faktor emisi CO2 di atas juga karena faktor teknis berupa kekuatan, kepadatan dan konduktivitas. Graphite yang ditambang secara alami tidak mampu mencapai spesifikasi teknis tersebut, sedangkan graphite sintetik dari bahan fossil tidak ramah lingkungan dan sangat tergantung dari import. Hal inilah daya dorong untuk produksi biographite tersebut.

Kebutuhan akan biochar atau arang untuk reduktor di BF akan sangat besar, sedangkan untuk biographite sebagai elektrode EAF tidak sebesar pada BF. Hal ini sehingga penting untuk mendapatkan sumber bahan baku biomasa sebagai sumber biochar atau arang tersebut dalam volume yang mencukupi, kualitas yang baik dan berkelanjutan. Hal yang sama juga dari sisi produksi biochar atau arang yang terutama menggunakan teknologi pirolisis / karbonisasi, juga harus mampu menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, berkelanjutan dan proses produksi yang memiliki produktivitas tinggi, efisien dan ramah lingkungan. Biochar  atau arang dengan spesifikasi dengan minimal 85% fixed carbon  dan konversi minimal (gravimetric yield) 30% sebagai acuan untuk memilih teknologi pirolisis tersebut.  


Selain dari kelompok limbah biomasa seperti limbah kehutanan dan limbah perkebunan, kebun - kebun energi secara khusus juga bisa dibuat untuk maksud tersebut, lebih detail baca disini.  Kebun – kebun energi tersebut juga mesti dibuat sesuai peruntukkan lahan dan luasan kebun monokultur kebun energi yang sesuai dengan perencanaan dan prosedur yang benar, dan juga teknologi pirolisis /karbonisasi yang efisien, dan ramah lingkungan. Sumber biomasa sebagai bahan baku arang / biochar juga bisa dikatakan berkelanjutan jika produk yang dipanen lebih sedikit atau sama dengan pertumbuhan kayu kebun tersebut.Hal ini supaya tidak terjadi seperti di Brazil yakni di negara bagian Minas Gerais. Akibat luasnya kebun monokultur eucalyptus yang produk kayunya sebagian besar untuk produksi arang untuk pabrik besi dan baja telah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan.Brasil adalah produsen arang terbesar di dunia dan menghasilkan 5,2 juta ton pada tahun 2017, 90% di antaranya digunakan oleh industri besi dan baja, dengan 80% arang diproduksi dari kayu perkebunan eucalyptus. 

Sekitar 70% produksi besi dan baja Brasil terjadi di negara bagian Minas Gerais, dan sektor ini unik karena 34% produksi besi menggunakan arang, bukan kokas mineral/batu bara, dan arang juga banyak digunakan dalam produksi baja. Secara historis, hal ini terjadi karena kurangnya kokas mineral di Brasil, tetapi hutan yang melimpah untuk menghasilkan arang. Di Minas Gerais saat ini terdapat sembilan pabrik baja dan 41 pabrik besi yang menghasilkan 3,1 juta ton crude iron pada tahun 2018, yang sekitar 50% di antaranya diekspor. Pada tahun 2018, Brasil memiliki 5,7 juta hektar kebun eucalyptus, dan Minas Gerais terus memiliki area perkebunan terbesar di negara tersebut, mencakup 24% (1,4 juta hektar) dari eucaliptus Brasil. Bahkan perusahaan-perusahaan besi dan baja tersebut juga memiliki perkebunan eucalyptus sebagai upaya untuk mengamankan pasokan arang untuk pabrik besi dan bajanya. Sedangkan di Indonesia juga ada potensi lahan sangat luas bahkan hingga ratusan juta hektar untuk kebun energi tersebut.   

Selasa, 10 Juni 2025

Produksi Wood Pellet, Solusi Masalah Sampah Biomasa Kayu-Kayuan di Perkotaan

Pemilahan adalah 50% dari solusi untuk masalah sampah perkotaan. Pemilahan terbaik adalah di lokasi sampah itu dihasilkan seperti di rumah tangga di perumahan atau pemukiman warga. Dengan pemilahan maka pengolahan sampah selanjutnya akan jauh lebih mudah. Semakin baik pemilahan dilakukan maka semakin mudah pengolahan sampah tersebut bisa dilakukan. Keengganan masyarakat untuk memilah sampah membuat permasalahan sampah semakin pelik, rawan konflik sosial dan berlarut-larut. Walaupun sulit dan ribet, membudayakan pemilahan sampah harus terus dilakukan karena apabila tidak ditangani akan menjadi masalah lingkungan serius. Paradigma pengolahan sampah juga terus berubah sesuai kondisi, yakni terkait dampak lingkungan, ketersediaan tempat pembuangan sampah, jenis dan volume sampah, seperti dibawah ini.

Apabila sampah perkotaan bisa dipilah dan diolah dengan baik maka lingkungan akan bersih dan sehat. Sebagai contoh pemilahan tersebut misalnya sampah daun-daunan dibuat kompos, sampah organik dari dapur dan sisa makanan untuk pakan atau peternakan magot, sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya untuk produksi wood pellet, dan sampah plastik untuk dipirolisis sehingga menjadi BBM atau naphta.  Dan untuk bisa diolah dengan memadai maka volume sampah juga harus mencukupi dan kontinyu. Hal ini karena pengadaan unit untuk pengolahan sampah juga cukup mahal. Pengolahan sampah juga sebaiknya ter-desentralisasi, sehingga tidak menumpuk di satu tempat saja.  Kapasitas produksi skala kelurahan atau kecamatan kelihatannya cukup baik dan sesuai untuk pembuatan unit pengolahan sampah tersebut.

Diantara sampah perkotaan tersebut adalah sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya yang bisa digunakan untuk produksi wood pellet atau pellet kayu. Sampah kayu-kayuan tersebut bisa berasal dari pemangkasan dan penebangan pohon, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu-kayu yang menyumbat perairan seperti sungai. Penggunaan wood pellet atau pellet kayu tersebut bisa untuk memasak rumah tangga atau industri UMKM. Penggunaan wood pellet selain sebagai bahan bakar atau energi terbarukan yang ramah lingkungan, mudah penyimpanan dan penggunaan serta solusi mengatasi limbah biomasa dan mengurangi import LPG yang nilainya mencapai sekitar 63,5 trilyun setiap tahunnya.

Seiring inovasi yang terus dilakukan kompor-kompor masak berbahan bakar wood pellet semakin mudah digunakan, efisien, bersih dan aman. Bagi pemerintah daerah, produksi wood pellet dari sampah kayu-kayuan ini juga memberi banyak manfaat yakni sebagai solusi penanganan limbah tersebut, menciptakan lapangan kerja dan sosialisasi penggunaan energi terbarukan ramah lingkungan bagi masyarakat. Apabila hal ini sukses dilakukan maka ke depan pemanfaatan limbah-limbah kayu-kayuan tersebut bisa terus dikembangkan. 

Firelog, Igniter Briquette Produk Unik dan Spesifik untuk Pengguna Wood Briquette

Penggunaan bahan bakar biomasa untuk pemanas ruangan sudah sangat lama, dari perapian sederhana (open fireplace) sampai kompor otomatis yang...