Sabtu, 15 Februari 2025

Urgensi Produksi Biochar Kapasitas Industri

Pemberian atau aplikasi biochar ke lahan pertanian mengikuti kaidah 4Rs  yakni yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right place (area aplikasi yan tepat), right rate (takaran atau dosis yang tepat) dan right timing (waktu yang tepat). Sifat-sifat fisika dan kimia biochar berbeda tergantung pada bahan baku dan proses produksinya. Dengan mengikuti aturan 4R tersebut maka performa biochar bisa dimaksimalkan. Efek biochar pada tanaman akan terlihat nyata (signifikan) ketika kaidah 4R tersebut dipenuhi. Dengan dosis / rate mencapai 20 ton/ha (tergantung faktor-faktor kondisi yang mempengaruhi), maka kebutuhan biochar juga besar. Hal inilah mengapa produk biochar jarang dijual secara online, yakni karena volume besar tersebut.

Berbeda dengan pembenah tanah seperti kompos, efek biochar bisa dirasakan cukup lama atau untuk beberapa jenis tanaman pertanian yakni tidak hanya satu musim tanam saja, tetapi hingga berulang kali. Hal ini juga membuat pemberian atau aplikasi biochar ini tidak sesering kompos. Dan pada akhirnya tentu saja aspek ekonomi menjadi parameter penentu apakah biochar membuat usaha pertanian lebih menguntungkan atau tidak. Harga biochar di pasaran menjadi perhatian penting bagi pengguna atau para petani. 

Minimnya produksi biochar di Indonesia saat ini menjadi penghalang bagi aplikasi biochar di lahan-lahan pertanian yang luas, bahkan ketika kesadaran petani akan biochar juga meningkat. Hal ini menjadi daya dorong pentingnya produksi biochar yang memadai khususnya kapasitas industri. Hanya dengan jumlah produksi biochar yang memadai maka aplikasi biochar di lahan-lahan pertanian ataupun tanah-tanah terdegrasi akan bisa dilakukan secara optimal. Urgensi produksi biochar kapasitas industri semakin besar apalagi ketika produksi biochar tersebut juga mendapatkan carbon credit, tentu ini akan semakin menarik.  

Kamis, 13 Februari 2025

Biochar dan Ketahanan Pangan & Energi

Seiring pertambahan jumlah penduduk semakin bertambah juga kebutuhan pangan dan energi. Hal ini sehingga produksi pangan dan energi juga harus ditingkatkan. Peningkatan produksi pangan sangat terkait pada kualitas dan kuantitas lahan. Tetapi walaupun kuantitas lahan sangat besar tetapi kualitasnya cenderung menurun sehingga otomatis produktivitas tanamannya juga menurun. Penurunan kualitas lahan atau kerusakan lahan ini terjadi pada lahan yang sangat luas hingga jutaan hektar. Dengan luasnya lahan-lahan sub-optimal dan terdegradasi mencapai ratusan juta hektar yang terdiri dari lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha, bisa dikatakan potensi kehilangan produk-produk pangan juga mencapai jutaan ton juga. Sementara lahan yang rusak maka akan semakin rusak apabila tidak dilakukan upaya perbaikan. Upaya upgrading atau meningkatkan kualitas lahan ini semestinya menjadi prioritas penting dalam upaya mencapai ketahanan pangan dan energi. 

Aplikasi biochar adalah solusi untuk perbaikan lahan-lahan tersebut. Bahan baku untuk produksi biochar juga sangat berlimpah antara lain seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan aplikasi biochar tersebut maka produktivitas pertanian bisa meningkat rata-rata 20% bahkan hingga 100%. Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.  Tetapi mengapa sampai saat ini biochar belum menjadi perhatian dan dijadikan solusi ? 

Selain itu produksi biochar dengan pirolisis juga akan menghasilkan sejumlah produk samping yang bisa digunakan untuk aplikasi energi atau yang lainnya, seperti pada diagram di atas. Banyak agroindustri yang membutuhkan pengeringan dalam proses produksinya, Sehingga hal ini menjadi tambahan keuntungan dari penggunaan teknologi pirolisis untuk produksi biochar tersebut. Sedangkan dari aspek lingkungan demikian juga yakni biochar sebagai carbon sequestration sehingga sebagai solusi iklim dan bisa mendapatkan carbon credit. Demikian juga pada pengelolaan limbah (waste management), karena bahan baku biochar adalah limbah biomasa baik dari pertanian, perkebunan dan kehutanan bahkan juga dari limbah-limbah organik maka bisnis pirolisis dan biochar juga menjadi solusi masalah tersebut.  

Senin, 10 Februari 2025

Mengoptimalkan Pirolisis dan Biochar pada Industri Sawit

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit. 

Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.  Bahkan perluasan lahan sawit terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar.  Dengan membuka hutan 1 juta hektar produksi CPO nasional hanya naik 11% sedangkan tanpa perlu membuka hutan yakni dengan aplikasi biochar bisa terjadi kenaikan produktivitas 20%. Dan kenaikan 20% yield tbs (tandan buah segar) penggunaan biochar adalah estimasi rendah.

Target ideal

Dengan jumlah pabrik sawit di Indonesia yang mencapai lebih dari 1000 unit dan puluhan juta ton limbah biomasa khususnya tandan kosong (tankos) sawit tentu volume produksi biochar yang dihasilkan juga sangat besar. Selain itu teknologi pirolisis bisa menggantikan teknologi pembakaran yang umumnya digunakan di pabrik-pabrik sawit untuk menghasilkan kukus / steam untuk produksi listrik dan sterilisasi tandan buah segar pada produksi CPO. Dengan bahan baku pirolisis menggunakan tankos sawit dan bisa menggantikan cangkang sawit, maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau di eksport. Penjualan cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) tersebut tentu akan memberi tambahan keuntungan yang menarik bagi perusahaan sawit tersebut. Cangkang sawit atau PKS adalah kompetitor utama wood pellet di pasar biomasa global. 

Selain itu penggunaan biochar juga menghemat pemakaian pupuk dan biaya operasional tertinggi pada perkebunan sawit adalah pupuk sehingga ini sangat relevan. Puluhan milyar biaya yang dikeluarkan untuk pupuk bisa dikurangi dengan penggunaan biochar, apalagi biocharnya berasal dari limbah sendiri sehingga otomatis juga akan menjadi solusi pengelolaan limbah biomasa. Termasuk juga biopestisida dan pupuk organik cair juga bisa dihasilkan dari proses pirolisis tersebut. Carbon credit adalah potensi bisnis berikutnya. Hal ini karena aplikasi biochar ke tanah untuk pertanian atau perkebunan tersebut sebagai upaya carbon sequestration / carbon sink. 

Keuntungan yang bisa didapat dari carbon credit biochar ini juga besar bahkan secara global biochar carbon credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi. Tetapi memang banyak produsen besar biochar yang tidak menjual carbon creditnya karena adanya persyaratan metodologi oleh perusahaan-perusahaan carbon standar seperti Puro Earth dan Verra, dan produsen-produsen biochar itu telah nyaman dengan bisnis penjualan biocharnya, apalagi produsen-produsen tersebut telah ada (established) sejak sebelum carbon credit tersedia untuk biochar.  

Masalah Pemanenan Kayu dari Kebun Energi Kaliandra dan Kandungan Kalium Tinggi Pada Abu Wood Pelletnya : Dua Hal yang Perlu Mendapat Perhatian

Faktor efisisensi produksi dan kualitas produk yang standar dan stabil menjadi mindset industri, tidak terkecuali untuk industri wood pellet dari kebun energi kaliandra. Operasional pemanenan kayu yang dilakukan secara manual membuat efisiensi produksi rendah. Kebutuhan harian yang tinggi untuk bahan baku wood pellet dari kebun energi membutuhkan alat mekanisasi untuk pemanenan kebun kaliandra tersebut. Sedangkan produk wood pellet kaliandra yang kadar abunya mengandung kalium yang tinggi juga membutuhkan treatment tertentu sehingga produk wood pelletnya memenuhi standar untuk pembangkit listrik pada umumnya. Stabilitas kualitas dan kuantitas produksi sangat terkait kualitas peralatan produksi yang digunakan. Dua hal tersebut harus menjadi perhatian penting bagi produsen wood pellet dari kebun energi kaliandra yang berkapasitas besar dan berorientasi export. 

Industri wood pellet dari kebun energi kaliandra adalah hal baru, sehingga belum banyak referensi sebagai rujukan. Sejarahnya atau cikal bakal industri ini berasal dari proyek Kementrian Kehutanan Republik Indonesia saat itu yang membuat industri skala inkubator sebagai percontohan untuk produksi wood pellet dari kebun energi kaliandra yang berlokasi di sekitar bukit Geger, Bangkalan, Madura, Jawa Timur sekitar 12 tahun lalu. Pada saat itu sebenarnya sudah ada beberapa industri wood pellet yang beroperasi tetapi semua pabrik atau industri wood pellet tersebut menggunakan bahan baku dari limbah-limbah industri perkayuan, seperti limbah industri penggergajian, limbah industri barecore, limbah industri kayu lapis dan sebagainya. 

Pohon kaliandra juga bukan tanaman yang baru dikenal oleh masyarakat. Pohon ini sudah banyak ditanam tetapi sebelumnya dengan tujuan berbeda yakni untuk penghijauan, untuk pakan ternak ataupun untuk peternakan lebah madu. Sedangkan untuk tujuan bioenergi atau produksi wood pellet, penanaman pohon kaliandra dalam bentuk kebun energi adalah sesuatu yang baru. Hal itulah mengapa pada tahap awal tersebut pemanenan kayu kaliandra masih dilakukan secara manual dan hal ini menjadi tidak efektif dan efisien pada perkebunan kapasitas besar. Selain itu produk wood pelletnya juga belum dianalisa atau diperiksa secara lengkap / komprehensif sehingga tingginya kandungan kalium / potassium (ash chemistry) pada abunya juga belum terdeteksi. Ketika persyaratan tentang kandungan maksimal dari kalium / potassium harus dipenuhi maka treatment khusus perlu dilakukan. 

Selain itu hal penting yang perlu diperhatikan adalah target jenis-jenis produk yang dihasilkan. Apabila kebun kaliandra tersebut tidak hanya menghasilkan kayu sebagai bahan baku produk wood pellet, tetapi juga mengolah daun untuk pakan ternak maka mekanisme pemanenan sangat berpengaruh. Daun dari kebun kaliandra tersebut juga harus bisa dipanen secara efektif dan efisien atau sama dengan produk kayunya. Hal ini bisa saja misalnya pohon dan daun dipanen bersamaan lalu dibawa ke suatu tempat dan dipisahkan untuk diolah masing-masing. Atau bisa juga produk kayu dan daun tersebut sudah dipisahkan pada saat pemanenan, selanjutnya masing-masing menuju ke unit pengolahan masing-masing. Peralatan yang digunakan juga pasti berbeda sesuai pilihan mekanisme pemanenan tersebut. Sedangkan untuk produk madu dari peternakan lebah yang memanfaatkan nektar kaliandra tidak terpengaruh dalam mekanisme ini, hal ini proses prduksi madu terpisah dan terkait dengan musim perbungaan pohon kaliandra itu sendiri.  

Seiring dengan trend dekarbonisasi dunia, maka prospek kebun kaliandra semakin cerah. Diprediksi akan banyak kebun kaliandra dibuat yang dimaksudkan terutama untuk produksi bioenergi seperti produksi wood pellet tersebut.dan ini sejalan dengan scenario carbon neutral yang mendukung program nett zero emission. Penggunaan wood pellet tersebut terutama untuk bahan bakar di pembangkit listrik batubara melalui mekanisme cofiring. Pada tahap selanjutnya bisa dimungkinkan penggunaan 100% bahan bakar pembangkit listrik tersebut menggunakan wood pellet tersebut (fulfiring). Kandungan kalium / potassium yang tinggi pada umumnya menjadi masalah pada aplikasi untuk pembangkit listrik ini, walaupun memang ada tipe pembangkit listrik yang secara teknis tidak mempermasalahkan kandungan kalium tersebut, tetapi produksi wood pellet dari kaliandra yang rendah kandungan kalium tentu lebih disukai.   

Minggu, 02 Februari 2025

Optimalisasi Kebun Energi Kaliandra untuk Energi, Pangan dan Pakan, Mungkinkah ?

Kebun-kebun energi kaliandra sesuai namanya memang diprioritaskan atau untuk maksud utama yakni produksi energi dari biomasa baik wood pellet atau hanya wood chip. Hal ini karena kayu adalah produk utama dari kebun energi tersebut,sedangkan daun dan nektar bunga sebagai produk samping atau dianggap limbah usaha wood pellet atau wood chip tersebut. Tetapi apabila pemanfaatan daun untuk pakan ternak dan nektar bunga untuk produksi madu memiliki nilai keekonomian yang mendekati atau bahkan melampaui produk wood pelletnya, maka akan lain cerita. Daun kaliandra seperti halnya daun indigofera dan daun gamal memiliki kandungan protein tinggi, sementara unsur protein inilah yang merupakan sumber nutrisi dengan biaya termahal dari semua unsur dalam produk pakan ternak, sedangkan madu kaliandra adalah salah satu madu dengan kualitas terbaik dibandingkan produk-produk madu lain seperti madu akasia,madu randu, madu karet dan sebagainya. 

Sinkronisasai antara produksi madu dan kayu sangat penting dalam kebun energi tersebut untuk memaksimalkan profit. Pada produksi madu sangat diperhatikan yakni waktu pertama kali kaliandra berbunga dan siklus bunga berikutnya. Jangan sampai hanya karena ketidaktahuan siklus bunga tersebut maka banyak keuntungan yang seharusnya bisa didapat tetapi melayang begitu saja. Selain itu untuk produksi madu yang berkelanjutan dan optimal maka tidak hanya nekar kaliandra saja yang dibutuhkan, tetapi sejumlah tanaman tertentu sebagai pendukung, baik untuk tambahan pakan lebah, maupun untuk pembuatan sarang lebahnya. Ketika yang ada hanyalah nektar kaliandra maka produksi madu akan maksimal tetapi tidak akan berkelanjutan karena koloni lebah semakin mengecil dan selanjutnya lenyap. Hal inilah pentingnya rekayasa kebun dengan sejumlah spesies atau jenis tanaman tertentu apabila memang produksi madu juga menjadi produk penting dalam usaha berbasis kebun kaliandra tersebut. 

Daun kaliandra yang jumlahnya berlimpah otomatis akan didapat ketika pohon-pohon kaliandra tersebut ditebang atau dipanen. Daun kaliandra tersebut perlu dipisahkan dari kayu dan ranting untuk bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Produk pakan ternak dari daun kaliandra tersebut bisa berupa daun segar maupun daun olahan berupa pellet, ataupun hay. Hal tersebut sehingga dimungkinkan adanya pabrik pellet daun (leaf pellet) selain pabrik wood pelletnya. Dengan estimasi volume daun 1/4 dari kayu tetapi harga pellet daun sekitar 3 kali harga pellet kayu (wood pellet)-nya. Maka keuntungan dari pemanfaatan daun menjadi pellet (leaf pellet) sangat besar, perkiraan 1/2 s.d 3/4 dari omset wood pellet.  Hal ini tentu menjadi pertimbangan serius dan tidak bisa diabaikan begitu saja. 

Pemahaman yang komprehensif tentang kebun kaliandra untuk energi, pangan dan pakan memang sangat penting untuk memaksimalkan  profit dari usaha berbasis kebun kaliandra tersebut. Hal ini akan mendorong kebun energi kaliandra ini akan semakin berkembang. Selain itu aspek legalitas dan pemilihan lahan untuk lokasi kebun kaliandra tersebut. Hal ini karena terutama karena untuk produk wood pellet pada umumnya adalah untuk orientasi export dan khususnya untuk Jepang dan Eropa sertifikasi terkait lingkungan atau keberlanjutan (sustainibility) sangat penting bahkan diwajibkan sehingga aspek legalitas (yang clear and clean) dan selektivitas lahan yang sesuai peruntukannya termasuk riwayat lahan tersebut menjadi hal yang sangat penting juga. Jadi optimalisasi kebun energi kaliandra untuk energi, pangan dan pakan, mungkin dilakukan apabila syarat dan ketentuannya dipenuhi.  

Minggu, 12 Januari 2025

Tidak Seperti Lebah Madu, Kenapa Perkembangan Kebun Energi Sepi Perhatian dari Industri Peternakan Kambing/Domba dan Sapi ?

Seiring trend dekarbonisasi global, kebun energi semakin berkembang di Indonesia. Pembuatan kebun energi tersebut memiliki tujuan utama untuk produksi bahan bakar biomasa seperti wood chip dan wood pellet. Produksi wood chip karena lebih mudah dan peralatan produksi lebih mudah dan murah biasanya akan dilakukan terlebih dahulu sebelum produksi wood pellet dan untuk lebih detail bisa dibaca disini. Selain pemanfaatan kayu sebagai produk utama dari kebun energi, produk samping yang bisa dihasilkan dari kebun energi yakni pakan ternak dari pemanfaatan daun dan madu dari peternakan lebah madu. Dan dengan pemanfaatan seluruh bagian pohon (whole tree utilization) tersebut maka usaha berbasis kebun energi tersebut tidak hanya semakin menguntungkan, tetapi bisa tetap berkelanjutan (sustainable). 

Produksi madu yang bisa dihasilkan dari perkembangan kebun energi juga akan sangat besar yakni berton-ton bahkan ratusan hingga ribuan ton sebanding dengan luas area kebun energi tersebut. Apalagi tanaman yang dibudidayakan adalah kaliandra merah yang dari nektarnya akan dihasilkan salah satu kualitas madu terbaik. Terkait perkembangan kebun energi tersebut bahkan API (Asosiasi Perlebahan Indonesia) merespon optimis perkembangan kebun energi tersebut, karena dalam 5 tahun ke depan ditargetkan produksi madu akan meningkat 300% sehingga import madu yang puluhan ribu ton dari China bisa dikurangi bahkan bisa dicukupi sendiri, lebih detail baca disini. Selain madu, dari peternakan lebah madu juga akan dihasilkan beberapa produk turunan yakni royal jelly, bee pollen, bee wax dan bee venom yang juga memiliki banyak manfaat. Moto “Gertakanlah” yakni Gerakan Tanam Pakan Lebah sangat sejalan dengan perkembangan kebun energi ini.

Tetapi kondisi ini berbeda dengan dunia peternakan khususnya peternakan ruminansia yakni kambing/domba dan sapi. Padahal kebutuhan daging Indonesia juga sangat besar yang sebagian besar masih dicukupi dari import. Berbeda dengan perlebahan yang responsif dengan perkembangan trend global dekarbonisasi yakni lebih spesifik dengan kebuin energi tersebut, dunia atau pelaku industri peternakan tidak ada respon terkait ini, padahal produksi pakan dari kebun energi ini juga akan sangat besar. Bahkan unsur utama dari pakan ternak dari daun kaliandra merah adalah protein dan protein adalah unsur paling mahal dari nutrisi pakan ternak. Selain itu juga dengan peternakan tersebut juga dimungkinkan untuk terjadi integrasi seperti diagram di atas. Integrasi akan memberi manfaat optimal dan produksi menjadi efisien, sehingga memberi keuntungan lebih besar lagi. 

Jumat, 10 Januari 2025

Stationary Auger : Industrial Pyrolysis for Indonesia and SE Asia

Produksi biochar global pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 350 ribu ton atau ekuivalen dengan 600.000 carbon credit dan diperkirakan akan terus meningkat. Dari perspektif ekonomi pendapatan dari produsen biochar, distributor, produsen pengolahan lanjut biochar (value-added producers) dan pembuat peralatan melampaui $600 juta pada 2023, dengan CAGR 97% antara 2021 dan 2023. Pendapatan diproyeksikan akan tumbuh mendekati $3,3 milyar pada tahun 2025 ini. Adanya carbon credit menjadi motivasi terbesar kedua untuk produksi biochar tersebut. Dengan adanya carbon credit tersebut terjadi lonjakan produksi biochar secara signifikan dari sebelumnya.  Pada tahun 2023 dari carbon credit biochar ini memberi kontribusi terbesar pada yakni 90% carbon removal di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) menurut data dari CDR.fyi

Dan bahkan produksi biochar dimana pendapatan dari penjualan langsung biochar tidak begitu besar atau dengan kata lain mereka mengandalkan pendapatan dari produksi biochar maka hal tersebut juga tetap menjadi bisnis yang menguntungkan. Sebagai negeri tropis maka Indonesia bisa dikatakan sebagai surga biomasa baik dari biomasa pertanian / perkebunan ataupun kehutanan. Apabila biomasa tersebut dikonversi menjadi biochar maka produksinya akan sangat besar begitu juga carbon creditnya. Penjualan biochar secara langsung (physical biochar) juga bisa dilakukan dengan baik karena sangat banyak lahan sub-optimal yang bisa diperbaiki ata diupgrade dengan menggunakan biochar, seperti lahan-ahan kering,lahan-lahan kritis, lahan pasca tambang dan sebagainya, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan juta hektar.

Hampir 80% produsen biochar tahun 2023 masuk kategori sedang, besar, sangat besar

Pemilihan alat produksi yang bisa menghasilkan biochar bersertifikat sehingga bisa mendapatkan carbon credit adalah hal yang penting selain itu juga memaksimalkan kapasitas produksi maka perlu peralatan produksi yang memadai. Alat pirolisis stationary auger adalah pilihan tepat untuk memenuhi persyaratan di atas. Selain menghasilkan biochar sebagai produk utama, produk-produk samping seperti excess heat, biooil dan syngas adalah keuntungan tambahan dari proses pirolisis dengan stationary auger tersebut. Pemanfaatan dan monetisasi produk-produk samping tersebut menjadi daya dorong semakin besar untuk produksi biochar dengan stationary auger. Saat ini juga masih banyak produsen biochar yang tidak memiliki sertifikasi atau standar untuk carbon credit  tersebut hal ini juga membuat mereka tidak bisa mendapatkan pendapatan dari carbon credit atau hanya business as usual dengan penjualan biochar saja. Tentu hal ini tidak menarik bagi perusahaan-perusahaan yang akan produksi biochar kapasitas besar.

Tapi mengapa produksi biochar di Indonesia dan Asia Tenggara masih sangat kecil dan bahkan belum banyak orang belum tahu tentang biochar ? Hal ini terkait kesadaran akan iklim, keberlanjutan dan lingkungan yang rendah dan lebih spesifik lagi pada biochar. Biochar sebagai solusi perbaikan kesuburan tanah sehingga produktivitasnya meningkat (baik tanaman pertanian/perkebunan maupun kehutanan) juga sebagai solusi iklim dengan carbon sequestration. Tetapi dengan tingginya masalah kesadaran iklim, keberlanjutan dan lingkungan apalagi dengan daya dorong ekonomi berupa carbon credit, sepertinya untuk tahun-tahun mendatang akan berbeda ceritanya. Tetapi memang ada alasan terkait rendahnya partisipasi produsen biochar di pasar karbon yakni terkait biaya dan kesulitan untuk mendapatkan sertifikat untuk menjual carbon credit tersebut, selain juga biaya untuk berpartisipasi pada carbon marketplaces. Tetapi dengan besarnya kapasitas produksi kapasitas industri dengan peralatan stationary auger tersebut, biaya dan kesulitan untuk mendapatkan carbon credit akan sepadan dengan keuntungan yang didapat.  

Urgensi Produksi Biochar Kapasitas Industri

Pemberian atau aplikasi biochar ke lahan pertanian mengikuti kaidah 4Rs  yakni yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right pl...