Senin, 15 April 2024

Bisnis Protein Pakan Ternak dari Produk Samping Pabrik Sawit

Pakan ternak adalah mata rantai pangan bagi manusia. Kebutuhan pakan juga akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk atau populasi manusia. Bahkan sejumlah perusahaan pakan ternak memiliki pabrik-pabrik pakan ternak dengan kapasitas produksi sangat besar atau jutaan ton setiap tahunnya, untuk lebih detail baca disini. Diprediksi populasi manusia akan berjumlah 9 milyar jiwa pada 2050. Sembilan milyar orang yang diprediksi tinggal di planet bumi tahun 2050 tersebut, butuh tambahan protein 250 juta ton per tahun atau naik 50% dibandingkan hari ini. Kebutuhan protein tersebut akan bisa dipenuhi salah satunya dari sektor peternakan dan supaya industri peternakan bisa mencapai targetnya maka dibutuhkan industri pakan ternak.

Tidak hanya untuk manusia, protein juga merupakan salah satu unsur utama bagi pakan ternak dan diantara unsur-unsur pakan ternak protein paling mahal. Hal inilah mengapa produksi protein untuk pakan ternak merupakan hal penting bagi industri pakan pada khususnya atau industri peternakan pada umumnya. Dunia khususnya Eropa kekurangan unsur protein pakan ternak tersebut. Hal inilah mengapa ada organisasi di Eropa yang mendorong penggunaan serangga sebagai sumber protein pakan tersebut yakni IPIFF (International Platform of Insects for Food and Feed). Jenis serangga yang diijinkan untuk dikembangbiakkan oleh komisi Eropa untuk maksud tersebut meliputi hanya 7 spesies serangga yakni 3 jenis jangkrik, 2 jenis ulat dan 2 jenis lalat. Selain telah menentukan dan melegitimasi beberapa jenis serangga tersebut, ternyata protein dari serangga tersebut tidak 100% untuk pakan ternak, tetapi sekitar 30% untuk pangan yang dikonsumsi manusia. 

Bungkil sawit (PKE / Palm Kernel Expeller)  adalah produk samping atau limbah dari pabrik minyak kernel sawit atau PKO (palm kernel oil) dengan kandungan protein berkisar 15%. Dibandingkan pabrik CPO, pabrik PKO lebih sedikit. Hal ini karena tidak semua pabrik CPO juga memiliki pabrik PKO. Diperkirakan perbandingan pabrik CPO berbanding pabrik PKO adalah 10 : 1. Dengan jumlah pabrik CPO di Indonesia saat ini sekitar 1.000 unit maka jumlah pabrik PKO diperkirakan hanya 100 unit. Bungkil sawit ini sangat potensial digunakan sebagai pakan maggot. Budidaya maggot dari bungkil sawit akan menghasilkan maggot kualitas premium. Dengan kandungan utama protein (~ 45%) maka maggot akan menjadi sumber protein pakan berkualitas tinggi. Sedangkan apabila budidaya maggot tersebut menggunakan lumpur sawit (palm oil sludge) atau bagian dari limbah cair pabrik CPO maka kualitas maggot yang dihasilkan tidak sebaik apabila diberi pakan dari bungkil sawit. Akan tetapi dengan banyaknya pabrik CPO maka potensi produksi maggot dari lumpur sawit ini juga tidak kalah besar. 

Produk-produk yang bisa dihasilkan dari peternakan maggot ini antara lain maggot kering, tepung maggot, dan minyak maggot, serta produk samping berupa kotorannya. Produk-produk dari maggot berupa maggot kering,minyak maggot dan tepung maggot adalah bahan pakan untuk unggas, ikan dan hewan peliharaan. Produksi pakan dunia diperkirakan sekitar 1 milyar ton setiap tahunnya dengan komposisinya sebagai berikut yakni, produksi pakan unggas diperingkat pertama dengan porsi 45% atau hampir setengah produksi pakan dunia, disusul urutan kedua pakan babi 11%, ketiga ruminansia 10% dan sisanya lain-lain seperti pakan ikan, binatang peliharaan dan kuda. Negara-negara besar produsen pakan ternak dunia yakni China dengan porsi mencapai 19,6% disusul sejumlah negara yakni Amerika dengan 17,4%, Brazil 6,8% lalu negara-negara seperti Mexico, Spanyol, India, Russia, Jepang dan Jerman juga merupakan produsen-produsen besar pakan ternak. sisanya oleh negara-negara seluruh dunia. 

Kotoran maggot yang merupakan produk samping atau limbah dari peternakan maggot tersebut bisa digunakan sebagai pupuk organik yakni pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Penggunaan pupuk tersebut bisa digunakan pada berbagai perkebunan dan pertanian termasuk juga pada perkebunan sawit itu sendiri. Dan bahkan akan lebih baik lagi apabila pupuk organik tersebut ditambahkan atau diperkaya biochar sehingga menjadi pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) dan meningkatkan efisiensi penggunaan haranya (NUE : Nutrient Use Efficiency). 

Jumat, 05 April 2024

Bisnis Utilitas untuk Pabrik Sawit

Ketika prioritas untuk mendapatkan keuntungan maksimal, pengelolaan lingkungan yang baik dan kemudahan, efisiensi serta stabilitas produksi menjadi pilihan, maka bisa jadi masalah atau urusan utilitas pada pabrik sawit dikerjasamakan dengan pihak lain. Spesialisasi tersebut menjadi penting karena pilihan prioritas di atas. Masalah utilitas yang dimaksud adalah listrik dan kukus (steam). Listrik dihasilkan dari steam turbine dan steam dihasilkan dari boiler. Steam tekanan tinggi masuk steam turbine untuk menggerakkan generator dan menghasilkan listrik dan steam tekanan rendah output dari steam turbine digunakan untuk proses sterilisasi TBS. Pengolahan air (water treatment) untuk umpan boiler juga bagian dari masalah utilitas tersebut, demikian juga untuk operasional boiler hingga menghasilkan output berupa listrik dan steam tersebut. 

Terkait kerjasama atau model bisnisnya pabrik sawit bisa membayar untuk listrik dan steam yang diterimanya. Tetapi karena bahan bakar atau energi untuk menghasilkan listrik dan steam berasal dari pabrik sawit maka tentu saja harganya lebih murah. Apabila saat ini hampir semua pabrik sawit menggunakan bahan bakar boilernya dari sabut (mesocarp fibre) dan cangkang sawit (palm kernel shell), maka dengan spesialisasi ini maka bisa saja sabut dan tandan kosong sawit yang digunakan sebagai bahan bakar atau sumber energi sedangkan cangkang sawit bisa 100% dijual bahkan dieksport. Cangkang sawit sebagai bahan bakar biomasa memang bisa langsung dijual dan banyak peminat, dan juga merupakan pesaing utama wood pellet di pasar global bahan bakar biomasa. 

Dengan kondisi tersebut maka ada upaya peningkatan efisiensi produksi utilitas seperti steam dan listrik seoptimal mungkin, bahkan tidak hanya teknologi pembakaran dengan static grate, moving grate, reciprocating grate hingga fluidized bed, tetapi bahkan juga dimungkinkan penggunaan pyrolysis. EFB atau tandan kosong sawit yang sebelumnya banyak tidak diolah dan menjadi masalah lingkungan bisa menjadi sumber energi potensial sehingga 100% cangkang sawit / pks dari pabrik sawit bisa dikomersialisasi / dijual. Dan bahkan apabila penyedia utilitas tersebut menggunakan pirolisis maka akan didapat juga biochar. Biochar banyak memberi keuntungan terkait kesuburan tanah dan iklim.

Kamis, 04 April 2024

Meng-upgrade Industri Sawit di Indonesia

Dengan luas perkebunan sawit Indonesia yang mencapai sekitar 15 juta hektar dan pabrik sawitnya mencapai 1000 unit, maka upaya meng-upgrade industri sawit menjadi penting dan strategis. Produksi minyak sawit atau CPO Indonesia per tahun sekitar 46 juta ton (sedangkan Malaysia di urutan kedua sekitar 19 juta ton/tahun).  Upaya meng-upgrade industri sawit tersebut akan meningkatkan produktivitas / efisiensi, sustainability dan mendorong penciptaan produk/pasar baru serta nilai tambah kelapa sawit. Hal-hal yang bisa diupgrade meliputi sejumlah bidang kunci antara lain bioenergi, biomaterial dan oleokimia, pangan dan pakan, kesuburan tanah (lahan, tanah dan budidaya), pasca panen dan pengolahan, pengolahan limbah dan lingkungan serta  sosial ekonomi, manajemen dan bisnisnya. 

Salah satu hal konkrit yang bisa dilakukan adalah produksi biochar dari limbah pabrik sawit khususnya tandan kosong sawit (empty fruit bunch) dan sabut sawit (mesocarp fiber). Produksi biochar dengan pirolisis akan menghasilkan excess energy (syngas & biooil) yang bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler pada pabrik sawit. Selanjutnya aplikasi biochar dengan pupuk pada perkebunan sawit akan menjadi slow release fertilizer (SRF) sehingga  meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi (NUE/nutrient use efficiency). Kondisi banyaknya perkebunan sawit yang berada pada tanah masam juga akan menjadi meningkat pH -nya ketika ada aplikasi biochar tersebut. 

Pada operasional perkebunan sawit, pupuk adalah komponen biaya tertinggi sehingga apabila bisa meningkatkan efisiensi pupuk akan memberi keuntungan signifikan. Penggunaan biochar menjadi solusinya, yakni dengan SRF tersebut. SRF juga meminimalisir pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk. Sedangkan pada operasional pabrik sawit energi adalah komponen vitalnya, dan apabila ini bisa memaksimalkan penggunaan limbah yang tidak punya nilai ekonomis tentu akan sangat ekonomis selain tentu saja mengatasi masalah lingkungan akibat limbah tersebut. Saat ini untuk bahan boiler pabrik sawit menggunakan sabut sawit dan sebagian cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) sedangkan umumnya tandan kosongnya belum dimanfaatkan, padahal cangkang sawit ini bisa langsung dijual dan laku keras. Hal ini sehingga apabila sumber energi hanya berasal dari sabut sawit dan tandan kosong maka 100% cangkang sawit bisa dijual. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pirolisis.

Biochar di dalam tanah mampu bertahan ratusan bahkan ribuan tahun. Biochar yang berasal dari limbah pertanian seperti tandan kosong dan sabut sawit tersebut akan menjadi carbon sink melalui simpanan karbon (carbon sequestration), sehingga konsentrasi CO2 di atmosfer berkurang sepanjang biochar tidak terdekomposisi. Dari perspektif iklim hal ini sangat bermanfaat dan nantinya bisa mendapatkan kompensasi berupa carbon credit. Sejumlah standar dan metode verifikasi-nya untuk memudahkan monetisasinya sedang dikembangkan saat ini.

Tandan kosong dan sabut sawit adalah limbah dari pabrik sawit sedangkan aplikasi biochar di perkebunan sawit. Manajemen pada industri sawit pada umumnya memisahkan antara divisi pabrik dan divisi kebunnya sehingga perlu cara pengelolaan baru apabila produksi biochar dengan pirolisis ini dilakukan. Selain penggunaan biochar tersebut untuk kebun inti, penggunaannya juga bisa untuk kebun plasma. 

Minggu, 31 Maret 2024

Biofuel atau Kendaraan Listrik dulu ?

Trend dekarbonisasi terus berlanjut dan merambah hampir semua lini termasuk sektor transportasi. Pada sektor transportasi ada 2 hal yang bisa dilakukan yakni penggunaan bahan bakar dari energi terbarukan atau biofuel dan penggunaan kendaraan bebas emisi seperti kendaraan listrik. Pada kendaraan dengan energi terbarukan atau biofuel 100% maka emisi yang dihasilkan adalah karbon netral (walaupun emisinya mengandung CO2) sedangkan pada kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi sama sekali karena tidak ada proses pembakaran pada operasional kendaraan listrik tersebut.

Saat ini mayoritas kendaraan adalah kendaraan berteknologi mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) sehingga menggunakan bahan bakar untuk operasionalnya dan bahan bakar yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar dari fossil khususnya yang berbentuk cair atau bahan bakar cair. Untuk mencapai kondisi karbon netral maka bahan bakar tersebut harus digantikan dengan biofuel 100%. Tetapi saat ini walaupun penggunaan biofuel tersebut sudah dilakukan tetapi porsinya belum 100%. Memang secara teknis ada pembatas untuk pemakaian biofuel sehingga tidak bisa 100% seperti bioethanol sehingga hal ini juga menjadi perhatian tersendiri. Walaupun begitu tentu upaya penggunaan biofuel 100% tentu juga akan menjadi target utama, selain faktor emisi sehingga mencapai kondisi karbon netral juga teknologi mesin pembakaran dalam yang memang mayoritas sehingga hanya perlu modifikasi minor atau bahkan tanpa modifikasi sama sekali. 

Fakta lainnya adalah kendaraan listrik saat ini juga sebagian besar masih menggunakan sumber energi listrik dari pembangkit listrik dari fossil fuel khususnya batubara. Walaupun kendaraan listrik tersebut nir-emisi tetapi pada dasarnya sumber energinya adalah energi fossil, hanya lokasinya saja yang berjauhan. Mobil listrik sebagai produk baru juga harganya umumnya lebih mahal bahkan bisa dua kali lipat atau lebih dari mobil pada umumnya. Kondisi ini juga mempengaruhi jumlah penggunaan mobil atau kendaraan listrik itu sendiri. 

Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sangat besar sebagai produsen biofuel tersebut karena berbagai tanaman atau pohon bisa tumbuh dengan baik. Walaupun kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar saat ini dan Indonesia menempati peringkat pertama di dunia dengan luas kebun perkebunan sawitnya mencapai sekitar 15 juta hektar, tetapi minyak dari kelapa sawit ini bersaing (kompetisi) dengan minyak makan (edible oil) dan biaya perawatan yang tidak murah. Sedangkan minyak nabati dari pohon energi seperti nyamplung (calophyllum inophyllum) selain produktivitas minyaknya tidak kalah dengan minyak sawit, juga minyaknya tidak berkompetisi dengan minyak makan, lebih detail baca disini. Selain itu pohon nyamplung tersebut yang tumbuh baik pada area dekat pesisir pantai juga memberi keuntungan tersendiri yakni karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yakni 99.093 km dan juga pohon nyamplung tersebut juga pohon serbaguna. Sedangkan biofuel dari limbah-limbah biomasa juga bisa dilakukan tetapi karena biaya produksi masih mahal, maka masih perlu sejumlah tahapan untuk implementasinya.  

Dengan kondisi tersebut seharusnya pengembangan biofuel khususnya dari pohon seperti nyamplung ini diprioritaskan. Sedangkan kendaraan listrik meskipun bebas emisi tetapi sumber listriknya masih menggunakan bahan bakar fossil. Upaya mengurangi bahan bakar fossil pada pembangkit listrik dengan cofiring sudah dilakukan tetapi porsinya masih sangat kecil, sehingga manfaat iklim belum signifikan. Apabila sumber energi listriknya bisa 100% dari energi terbarukan maka penggunaan kendaraan listrik juga bisa dikatakan seperti penggunaan 100% biofuel pada mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine). 

Kamis, 14 Maret 2024

Dari Karbon Netral ke Karbon Negatif : Pengembangan Baterai, Wood Pellet, Carbon Capture and Storage (CCS) dan Biochar

Riset untuk pengembangan baterai kapasitas besar terus dilakukan sehingga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan seperti berasal angin dan matahari bisa disimpan dan digunakan kapan saja. Pembangkit listrik yang berasal dari angin dan matahari bersifat intermittent yakni sewaktu-waktu angin bisa tidak berhembus atau terjadi awan tebal ataupun pada malam hari sehingga tidak ada sinar matahari dan listrik tidak bisa diproduksi. Kondisi inilah perlu digunakan baterai berkapasitas besar yang bisa menyimpan listrik tersebut. Pengembangan baterai tersebut diprediksi selain membutuhkan biaya besar juga memakan waktu yang lama. Diprediksi butuh waktu beberapa dekade ke depan untuk terwujudnya baterai tersebut.

Pasokan listrik saat ini yang mayoritas masih menggunakan bahan bakar fossil khususnya batubara yang terbukti tidak ramah lingkungan (karbon positif) perlu terus dikurangi dan ditambah porsi energi terbarukan berupa wood pellet (karbon netral) dengan cara cofiring. Porsi atau rasio cofiring bisa terus ditingkatkan bahkan bisa 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Apabila pembangkit listrik batubara tersebut bisa berubah 100% menjadi pembangkit listrik biomasa atau berbahan bakar wood pellet maka pembangkit listrik tersebut menjadi ramah lingkungan atau karbon netral. Dan pada masanya ketika sumber energi terbarukan melimpah dan produk energi listriknya bisa disimpan dalam baterai berkapasitas besar tersebut maka bisa saja pembangkit-pembangkit listrik dengan teknologi pembakaran tersebut bisa ditutup atau dihentikan. 

Penggunaan wood pellet tersebut bisa dikatakan sebagai solusi antara (intermediate) sebelum ke era baterai tersebut. Produksi wood pellet berkapasitas besar idealnya akan menggunakan kebun energi sebagai pemasok atau sumber bahan bakunya. Tanaman rotasi cepat dan trubusan dari kelompok legum seperti kaliandra dan gliricidae adalah pilihan tepat bagi kebun energi tersebut. Kebun energi sendiri bisa sebagai carbon sink atau menyerap CO2 dari atmosfer. Dengan pengelolaan yang baik sehingga volume biomasa atau kayu yang dipanen lebih kecil atau maksimal sama dengan tingkat pertumbuhan tanaman maka fungsi kebun energi sebagai carbon sink terus terjaga. Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar karbon netral sedangkan pengelolaan kebun energi sebagai carbon sink atau karbon negatif sehingga memberikan keuntungan lingkungan optimal. 

Penggunaan 100% bahan bakar biomasa pada pembangkit listrik bersifat karbon netral, sama seperti penggunaan energi terbarukan dari angin, air dan matahari. Tetapi penggunaan energi biomasa khususnya wood pellet tidak intermittent dan selalu tersedia ketika dibutuhkan. Penggunaan baterai akan menjadi solusi atas masalah intermittent tersebut. Pembangkit listrik 100% berbahan bakar biomasa tersebut bisa menjadi karbon negatif ketika menggunakan perangkat CCS (carbon capture and storage). Dan ini sangat bagus karena bisa mengembalikan CO2 yang diemisikan ke atmosfer kembali ke perut bumi (karbon negatif). Dan ketika pembangkit listrik batubara dipasang perangkat CCS maka akan  menjadi karbon netral. Tetapi perangkat CCS tersebut juga masih sangat mahal dan operasionalnya juga tidak murah. 

Dan ketika era baterai telah tiba sehingga pembangkitan listrik dengan teknologi pembakaran ditutup atau dihentikan, maka kayu-kayu dari kebun-kebun energi yang telah dibuat akan digunakan sebagai bahan baku biochar. Bisa saja kayu-kayu dari kebun-kebun energi tersebut tetap dibuat wood pellet untuk menghemat biaya transportasi dan memudahkan handling untuk kemudian dibawa ke fasilitas-fasilitas pirolisis untuk produksi biochar. Biochar yang digunakan pada bidang pertanian memiliki manfaat ganda yakni memperbaiki kualitas tanah dan sebagai carbon sink. Penggunaan biochar bersama pupuk akan membuat pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) sehingga meningkatkan NUE (nutrient use effiency) bagi tanaman sehingga menghemat biaya pupuk dan mengurangi pencemaran lingkungan. Biochar mampu bertahan atau tidak terdekomposisi selama ratusan tahun atau permanen di tanah. Semakin banyak biochar digunakan akan semakin banyak memberikan keuntungan atau manfaat bagi kesuburan tanah dan iklim. Biochar sebagai carbon sink atau carbon sequestration juga merupakan karbon negatif.  Kebun energi dengan pengelolaan yang baik akan menjadi carbon sink dan biocharnya juga carbon sink berupa carbon sequestration, tentu ini memberikan manfaat iklim yang paling optimal. 

Selasa, 12 Maret 2024

Perusahaan Eksportir Cangkang Sawit dan Mengembangkan Usaha Produksi Wood Pellet

Loading cangkang sawit / pks untuk export

Trend dekarbonisasi yang terus meningkat seiring dengan kebutuhan bahan bakar biomasa yang terus meningkat membuat sejumlah perusahaan eksportir cangkang sawit / pks (palm kernel shell) berencana mengembangkan usaha ke produksi wood pellet. Eksportir cangkang sawit yang sudah mapan biasanya telah memiliki kontrak penjualan dengan pembeli di luar negeri, yang bisa jangka pendek maupun kontrak jangka panjang. Eksportir cangkang sawit ini hanya mengumpulkan cangkang sawit dari sejumlah pabrik sawit / pabrik CPO selanjutnya dibersihkan dan pengeringan sederhana untuk siap dikapalkan.  Memang ada juga sejumlah pembeli cangkang sawit di luar negeri yang tidak perlu dibersihkan dan pengeringan sehingga harganya juga lebih murah. Pembersihan cangkang sawit itu biasanya menggunakan mesin ayakan (screening) baik vibrating screen maupun rotary screen, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk pengeringan biasanya juga hanya diangin-anginkan saja dengan sesekali dibalik tumpukan cangkang sawit tersebut dengan mesin excavator.

Cangkang sawit dan wood pellet adalah dua bahan bakar biomasa yang populer di pasar bahan bakar biomasa global. Cangkang sawit adalah kompetitor utama produk wood pellet karena memiliki sifat-sifat / properties yang hampir sama seperti calorific value, ash content, ukuran dan sebagainya tetapi cangkang sawit biasanya lebih murah karena merupakan produk samping atau limbah dari pabrik sawit dan hanya membutuhkan proses sederhana untuk bisa dieksport. Sedangkan wood pellet walaupun bahan baku bisa berasal dari limbah-limbah industri perkayuan ataupun penggergajian kayu tetapi membutuhkan proses produksi lebih kompleks berikut investasi peralatan yang dibutuhkan.

Tipikal Circulating Fluidized Bed (CFB) di Jepang

Cangkang sawit dan wood pellet sebagian besar digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik di luar negeri seperti Jepang dan Korea. Wood pellet hampir bisa digunakan pada semua pembangkit listrik batubara secara cofiring sedangkan cangkang sawit lebih terbatas. Hal tersebut terutama karena untuk menghancurkan cangkang sawit dan dicampur dengan bubuk batubara pada pulverized combustion lebih sulit. Cangkang sawit bisa digunakan 100% pada pembangkit listrik yang berteknologi fluidized bed ataupun stoker. Dan saat ini cukup banyak pembangkit listrik di Jepang yang menggunakan teknologi fluidized bed tersebut. 

Dan karena berada di pasar yang sama, para eksporter cangkang sawit juga sangat mungkin mengetahui kebutuhan wood pellet. Pembeli-pembeli cangkang sawit di luar negeri tersebut biasanya juga pembeli wood pellet juga. Praktek mengumpulkan cangkang sawit dari pabrik-pabrik sawit juga sama seperti mengumpulkan limbah-limbah kayu dari industri pengolahan kayu maupun penggergajian kayu, sehingga seharusnya bukan hal yang sulit bagi eksporter cangkang sawit tersebut. Tetapi pembuatan kebun energi sebagai bahan baku produksi wood pellet adalah solusi idealnya. Pengumpulan limbah-limbah kayu atau bekerjasama dengan industri kayu yang produksi limbah tersebut sebagai solusi antara dan kebun energi sebagai solusi ideal. Dengan demikian bagi eksportir cangkang sawit dengan ekspansi ke usaha produksi wood pellet memang sangat beralasan.    

Kamis, 29 Februari 2024

Proyeksi Pengelolaan Sampah Indonesia Masa Depan : Produksi RDF dan kompos yang Diperkaya Biochar

Photo diambil dari sini

Masalah persampahan menjadi perhatian di sejumlah daerah saat ini. Hal ini karena sampah selain telah menjadi masalah lingkungan yang serius juga berdampak pada masalah sosial. Masyarakat mulai semakin menyadari tentang permasalahan sampah ini khususnya bagi masyarakat-masyarakat perkotaan yang sudah tidak memiliki lahan untuk menimbun atau membakar sampahnya dan ditambah lagi karena tempat pembuangan akhir (TPA) sudah tidak mampu lagi menampung sampah yang dihasilkan masyarakat tersebut.  Masalah banjir, pencemaran air tanah, polusi udara adalah beberapa masalah lingkungan tersebut yang apabila tidak diatasi akan menimbulkan sejumlah masalah lingkungan serius. Kesadaran masyarakat terkait sampah semakin hari seharusnya semakin baik, dan mengupayakan berbagai upaya untuk mengatasinya.

Pengomposan sampah organik di Depok, Jawa Barat

Saat ini pemerintah pusat dan juga pemerintah-pemerintah daerah sedang berupaya keras untuk mengatasi masalah sampah tersebut. Walaupun sudah berupaya keras tetapi umumnya baru sebagian kecil sampah tersebut yang bisa tertangani dan sebagian besar masih menumpuk dan terakumulasi sehingga terus menggunung. Sebagai contoh adalah masalah sampah di DKI Jakarta saat ini, yakni dengan volume sampah harian rata-rata 7.500 ton/hari baru sekitar 1.000 ton per harinya yang bisa diolah. Dengan unit produksi RDF di TPST Bantar Gebang, dengan bahan baku 2.000 ton sampah per hari yang berasal dari 1.000 ton sampah baru dan 1.000 ton sampah lama (landfill mining)  dihasilkan kurang lebih 700 ton/hari RDF. Jadi dengan hanya 1.000 ton/hari sampah baru yang bisa diolah itu artinya hanya 13% saja dari total volume sampah harian. Sedangkan kondisi-kondisi di sejumlah daerah di Indonesia juga hampir sama. 

Pengolahan sampah masa depan harus bisa mengolah sampah tersebut 100% atau zero waste. Selain itu juga produk pengolahan sampah tersebut juga harus memiliki nilai manfaat dan ekonomi. Salah satunya adalah produksi RDF dan kompos kapasitas besar. Hampir semua limbah organik bisa untuk dikomposkan sedangkan yang non-organik khususnya plastik dibuat RDF. Sampah-sampah lainnya seperti besi, kaca, keramik, dan logam-logam dipisahkan terlebih dahulu sehingga tidak menganggu proses produksi RDF dan kompos tersebut. RDF biasa digunakan sebagai bahan bakar alternatif terutama pada pabrik semen. Tetapi dengan kandungan klorin yang tinggi penggunaan RDF pada pabrik semen perlu dibatasi. 

Kadang jarak antara produksi RDF dengan pabrik semen yang jauh membuat biaya transportasi mahal dan produk RDF menjadi tidak kompetitif. Hal tersebut sehingga RDF perlu dipadatkan menjadi pellet RDF. Dengan menaikkan kepadatan dari RDF menjadi pellet selain menghemat biaya transportasi juga akan memudahkan handling, penyimpanan dan sekaligus penggunaannya. Sedangkan pada kompos untuk meningkatkan kualitasnya bisa ditambahkan biochar. Biochar tersebut ditambahkan pada saat proses pengomposan dan nantinya akan semakin banyak nutrient yang terkandung dalam kompos tersebut. Biochar dengan pori-pori mikronya akan digunakan sebagai tempat menyimpan nutrient tersebut. Selain itu penggunaan biochar sebagai carbon sink / carbon sequestration dan bisa bertahan di dalam tanah hingga ratusan bahkan ribuan tahun. Hal ini juga berpotensi sebagai tambahan pendapatan dari carbon credit. Produksi biochar dengan pirolisis juga akan menghasilkan energi panas yang bisa dimanfaatkan untuk pengeringan sampah pada produksi RDF maupun pirolisis bahan organik. 

Bisnis Protein Pakan Ternak dari Produk Samping Pabrik Sawit

Pakan ternak adalah mata rantai pangan bagi manusia. Kebutuhan pakan juga akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk at...