Selasa, 24 Desember 2013

Fluidized Bed Combustion System Paling Sesuai Untuk Biomasa Limbah Agroindustri



Fluidized bed combustion (FBC) system banyak digunakan untuk pembangkit listrik. FBC system dapat dimodifikasi menjadi circulating FBC(CFBC), dimana material disirkulasikan kembali ke ruang pembakaran untuk pembakaran lanjut. FBC system umumnya dibatasi hingga ukuran kurang dari 300 MW, tetapi ada pembangkit listrik di Lagisza, Polandia yang merancangnya hingga 460 MW dan harapannya bisa di scale up hingga 600 – 800 MW pada masa mendatang. 

FBC dan CFBC system menjadi penting karena PLTU batubara yang telah lama beroperasi bisa di repowered, membuka kemungkinan cofiring dengan biomasa pada skala kondisi lebih luas. Keuntungan-keuntungan dari FBC system antara lain :
-         - Kemampuannya untuk membakar bahan bakar dengan kisaran yang lebar pada kadar air, ukuran partikel, dan kepadatan. Dan potensial untuk jenis bahan bakar batubara, biomasa, tire-derivated-fuel, agricultural residues, dan urban wood wastes.
-          -Transfer panas pembakaran lebih efisien sehingga suhu pembakaran lebih rendah, yang pada gilirannya akan menurunkan emisi NOx.
-          -Biaya lebih rendah untuk SO2 capture karena limestone dapat ditambahkan secara langsung pada media fluidisasi dengan biaya lebih rendah dibandingkan memasang scrubber  setelah pembakaran.

PLTU batubara yang memasang FBC system sebagai bagian dari retrofit ataupun new plant construction akan sangat terbuka untuk pemakaian biomasa (bahkan jika tanpa biomasa pada awalnya). FBC system memiliki banyak keuntungan terkait dengan kemampuan fleksibilitas bahan bakar. Transport biomasa dari sumber bahan baku hingga pembangkit listrik akan efisien jika dipadatkan (densifikasi) dibuat menjadi seperti pellet. Wood pellet berbahan baku biomasa berkayu semakin terbatas ketersediaanya kecuali jika diupayakan secara intensif seperti membuat kebun energi, sedangkan limbah-limbah biomasa agroindustri seperti kelapa sawit banyak tersedia dan belum termanfaatakan sehingga sangat potensial untuk didensifikasi sebagai bahan bakar FBC system. Aspek lingkungan, perubahan iklim dan pemanasan global adalah faktor utama penggunaan bahan bakar biomasa ini. 

Jumat, 13 Desember 2013

Optimasi Cofiring Biomasa-Batubara di PLTU Batubara


Cofiring biomasa-batubara telah umum dilakukan oleh sejumlah PLTU batubara di Eropa dan Amerika dengan motivasi utama untuk mengurangi dampak lingkungan akibat emisinya. Saat ini prosentase cofiring biomasa dengan batubara masih kecil rata-rata dibawah 10%. Hal ini bisa juga terjadi akibat pasokan wood pellet yang terbatas. Tetapi ditinjau dari operasional cofiring biomasa-batubara akan mengurangi  fly ash secara signifikan.  Di lain sisi apabila prosentase cofiring biomasa-batubara ini akan menyebabkan deposit pada pipa-pipa boiler sehingga akan menganggu proses transfer panas dalam tungku tersebut menyebabkan borosnya bahan bakar dengan terindikasi salah satunya dengan suhu flue gas yang tinggi.


Ada tiga teknik yang sering digunakan pada cofiring biomasa-batubara     :
1.       Mencampur biomasa dan batubara pada fuel handling system (kemudian diumpankan ke boiler).
2.       Menyiapkan biomasa secara terpisah dengan batubara, kemudian menginjeksikan ke boiler.
3.      Gasifikasi biomasa sehingga menghasilkan gas yang kemudian dibakar di boiler secara langsung atau menggunakan integrated gasification combined cycle (IGCC) system.
 Seluruh dunia dilaporkan lebih dari 200 PLTU batubara yang telah melakukan ujicoba dengan biomasa (IEA 2010).


 
Beberapa cofiring options yang tersedia pada PLTU batubara, antara lain :
-Cofire dengan prosentase biomasa rendah, dengan sedikit modifikasi peralatan.
-Cofire dengan prosentase biomasa tinggi, dengan meng-upgrade peralatan.
-Convert/repower individual coal burners to be fired with biomass
-Convert/repower entire coal plants to be fired with biomass
-Cofire with torrefied wood
Kadar abu pada batubara dan biomasa umumnya terpaut cukup besar dan apalagi kimia abunya juga banyak berbeda. Faktor inilah yang menyebabkan terjadi banyak sedikitnya deposit di pipa-pipa boiler. Prosentase cofiring biomasa-batubara sampai dengan 10% umumnya masih bisa diterima. Prosentase optimal yang menyebabkan deposit pipa boiler minimal dan pengurangan fly ash secara signifikan bisa dicari berdasarkan variable karakteristik batubara dan biomasa yang digunakan.    

Biomasa Kayu Lebih Diminati Daripada Biomasa Limbah Agroindustri Untuk Produksi Pellet?

Nilai kalor, kadar abu dan kimia abu adalah tiga parameter penting dalam penentuan kualitas pellet. Tiga parameter diatas sangat dipengaruhi oleh bahan baku untuk produksi pellet. Nilai kalor tinggi, kadar abu rendah  dan kimia abu yang ramah terhadap pipa-pipa boiler adalah kondisi ideal yang dicari oleh pengguna pellet. Pemilihan bahan baku untuk produksi pellet adalah kata kunci untuk mencapai kondisi ideal tersebut.

Permintaan wood pellet untuk eksport dalam skala besar yang rata-rata diatas 5000 ton/bulan membutuhkan suplai bahan baku serbuk gergaji ataupun kayu-kayu limbah penggergajian kayu dalam jumlah besar.  Hal tersebut sulit dipenuhi.  Produsen wood pellet skala kecil dengan kapasitas kurang dari 1000 ton/bulan  mungkin bisa mempertahankan kelangsungan usahanya. Masalah suplai bahan baku inilah salah satu faktor kunci keberlangsungan dan kesuksesan usaha wood pellet tersebut.

Limbah-limbah agroindustri seperti tandan kosong sawit, kulit kopi, sekam padi, tongkol jagung dan sebagainya sangat potensial sebagai bahan baku pellet. Secara kuantitas memang bahan baku dari limbah tersebut melimpah sehingga lebih bisa diandalkan pasokan bahan bakunya, tetapi secara kualitas memang masih dibawah bahan baku biomasa kayu berdasarkan tiga parameter tersebut di atas.

Cara yang ideal untuk mendapatkan bahan baku berkualitas  dan jumlahnya memadai walaupun membutuhkan waktu lebih lama adalah dengan membuat kebun energi atau hutan tanaman industri energi (HTIE). Biomasa berkayu bisa dihasilkan dalam waktu relatif cepat dan jumlah pasokannya lebih terjamin. Tanah Indonesia yang luas dan subur karena banyaknya gunung berapi dan beriklim tropis karena berada di katulistiwa sangat memungkinkan untuk hal ini.      

Rabu, 13 November 2013

Torrefied Wood : Bahan Bakar Biomasa Subtitusi Batubara Masa Depan



Dibandingkan bahan bakar biomasa konvensional seperti wood pellet yang hanya mampu maksimal 10% di co-firing dengan batubara karena sifat fisika kimia yang jauh berbeda sedangkan apabila prosentase co-firing dengan batubara dinaikkan menjadi 20% diperlukan penambahan investasi yang besar untuk handling dan processingnya, maka torrefied wood bahkan mampu dico-firing dengan batubara hingga 40%. Keuntungan lainnya adalah pada sisi powerplant juga hanya dibutuhkan sedikit tambahan investasi untuk handling dan processingnya untuk torrefied wood, dikarenakan sifat fisika-kimia yang tidak jauh berbeda.


Densifikasi atau pemadatan torrefied wood menjadi pellet atau briket juga akan memberi penghematan yang lebih significant dibandingkan wood pellet, yakni 15.0-18.7 MJ/M3 pada torrefied pellet dan 7.5-10.4 MJ/M3 pada wood pellet. Karena torrefied wood rapuh, sehingga bisa dipulverize dan dibakar dengan batubara lebih disarankan, daripada menggunakan material handling, pemrosesan hingga sistem injeksi terpisah. Hal ini akan menghasilkan penghematan yang signifikan pada modifikasi peralatan ketika cofiring pada prosentase lebih besar. Sejumlah limbah biomasa agroindustri seperti tandan kosong sawit dan jerami bisa di torrefaksi seperti halnya biomasa berkayu, untuk menyempurnakan kondisi pemakaran di sistem batubara.   

Cofiring torrefied wood telah sukses  dilakukan salah satunya di PLTU batubara di Borselle, Belanda.Riset juga menunjukkan bahwa penghalusan torrefied wood menjadi bubuk dengan distibusi dan ukuran partikel tertentu memungkinkan untuk terjadinya smooth fluidization regimes pada pengumpanannya pada entrained flow process (gasifier & pulverized coal boiler).

Kamis, 24 Oktober 2013

Korean delegates see wood pellet potential in RI

Dr Ir Yetti Rusli,  The Forestry Ministry's environment and climate change expert



Abundant forests in Indonesia have the potential to supply Korea with much-needed biomass energy, says a Korean business delegate. 
Han Gyu-seong, chairman of Korea Association of Pellet, made the statement before around 50 Korean business delegates during the “Biomass Industry in Indonesia” business forum organized by the South Korea Embassy in Jakarta on Thursday.

Prof Gyu-Seong Han,  chairman of Korea Association of Pellet 

Thee forum discussed the prospects and challenges in developing Indonesia’s biomass potential, specifically wood pellets.

The East Asia nation saw an increase in pellet consumption, with 2013 figures estimated at 500,000 tons, compared to 174,000 tons in 2012.

Wood pellets, which can be used to fuel power plants, are compressed biomass deriving from sawdust and waste from sawmilling.
Many forum participants said the energy from wood pellets was “renewable, clean and economical”.
Kim Young-Sun, South Korean Ambassador

Korea is currently looking for biomass sources overseas, including from Indonesia, as the East Asian country is enforcing a 2012 energy policy mandating firms to resort to renewable energy to cut carbon emissions.

It is also targeting a 20 percent boost in renewable energy use as well as aiming to reduce fossil fuel consumption.

“Korea is the world’s 10th-largest energy consumer, fifth-largest oil importer, second-largest coal importer. Sixty-four percent of its electricity is produced from fossil fuels,” Han said.

To reach their objective, Korean firms have sought investments in a number of Asian countries for the development of wood pellets, mainly Vietnam and Malaysia.

Korea imported 122,447 tons of wood pellets in 2012, mainly from Russia, Malaysia and Vietnam.

According to data from Korea, Indonesia offers the cheapest pellet, with the cost, insurance and freight (CIF) price of US$ 131 per ton, below Vietnam’s US$ 144 per ton, and Malaysia’s US$ 141 per ton.

In Indonesia, Korean firm Depian Co. Ltd will work with state-run PT Inhutani III toward developing forest industries and a facility in Pelaihari, South Kalimantan, through PT SL Agri.

Depian has stated its readiness to invest US$20 million in the project, which will supply wood pellets to South Korea.

They will start building the planned facility in October and expect to start operating the plant by March 2014.

The plant will be able to produce 30,000 tons of wood pellets annually, before being upgraded to 100,000 tons annually in 2016.

Trees would be planted on 5,000 hectares to 8,000 hectares of industrial forest that PT Inhutani III was currently preparing, said SL Agri president director Muhammad Akbariah last month.

Depian plans to export all wood pellets produced at the plant back to South Korea.

Association of Indonesian Forest Concessionaires (APHI) executive director Purwadi Soeprihanto said the government should accelerate plantation forest development by issuing new licenses for industrial plantation forests, a key factor in supporting wood pellets.

“But if that is not possible, Korean firms can cooperate with domestic companies to use their licenses,” he said.

He said that out of the total industrial forest permits (HTIs) issued, only 45 percent were active. Many companies holding licenses had ceased operations due to losses.

“The government should also encourage clear incentives to utilize logging waste, as well as reduce
the fossil fuel subsidy,” Purwadi added. (asw)

Source : http://www.thejakartapost.com/news/2013/09/06/korean-delegates-see-wood-pellet-potential-ri.html

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...