Kamis, 16 November 2017

Transmigrasi Untuk Menggembala Domba Di Kebun Sawit, Mungkinkah ?

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. ” (QS 16:10)

“Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54) 

“"Setiap Nabi yang diutus oleh Allah adalah menggembala domba/kambing". Sahabat-sahabat beliau bertanya : “Begitu juga engkau ?” ; Rasulullah bersabda : “Ya, aku menggembalanya dengan upah beberapa qirath penduduk Mekah”. (H.R. Bukhari)
Indonesia memiliki sekitar 12 juta hektar perkebunan kelapa sawit saat ini, yang terdiri dari 4,8 juta hektar perkebunan rakyat, 6,2 juta hektar perkebunan swasta dan 0,8 juta hektar perkebunan negara. Perkebunan sawit tersebut membutuhkan sejumlah perawatan sehingga bisa terus berproduksi apalagi dengan target produksi tandan buah segar (TBS) tertentu per hektarnya. Apalagi produktivitas TBS di Indonesia secara umum juga lebih rendah dari Malaysia, yakni hanya sekitar setengahnya. Menjaga kesuburan tanah adalah faktor penting untuk menjaga kelangsungan dan target produksi TBS kelapa sawit tersebut. Upaya menjaga kesuburan tanah yang murah, mudah, efektif dan berkelanjutan adalah hal yang dicari oleh semua petani atau pengusaha kelapa sawit tersebut. Penggembalaan domba di area perkebunan sawit adalah solusi efektif tersebut.
Grafik diambil dari sini
Mengapa penggembalaan domba bisa menjadi solusi efektif tersebut? Domba-domba yang digembalakan di perkebunan sawit tersebut, akan menyebarkan kotoran yang menjadi pupuk bagi perkebunan sawit. Selain memupuk pohon-pohon sawit, penggembalaan domba di perkebunan sawit tersebut juga berarti produksi daging secara masif dan paling ekonomis. Ditinjau dari sisi pangan, minyak sawit yang digunakan sebagai minyak yang di konsumsi manusia atau minyak pangan (edible oil) menyediakan unsur lemak, sedangkan daging domba menyediakan unsur protein, dua hal unsur pangan esential bagi manusia. Perkebunan sawit perlu terus dijaga kesuburan tanahnya, konsumsi daging penduduk Indonesia yang masih rendah hanya 1/4 rata-rata dunia perlu ditingkatkan, domba juga komoditas export, yang Arab Saudi saja membutuhkan minimal 8 juta ekor/tahun, dan aktivitas ekonomi di luar Jawa perlu terus ditingkatkan sehingga lapangan pekerjaan bisa terus dibuka, pemerataan penduduk Indonesia yang saat ini 60% terkonsentrasi di pulau Jawa, adalah sejumlah daya dorong penggembalaan domba di perkebunan sawit. Domba akan menjadi harta terbaik muslim dan memiliki banyak keunggulan dibanding binatang ternak lain, untuk lebih rinci bisa dibaca di sini, sini dan sini.

Allan Savory, seorang biologist dari Zimbabwe telah membuktikan dengan program penggembalaan yang terencana, atau dengan konsep Holistic Planned Grazing, bahkan telah menyelamatkan bumi dengan kembali menghijaukannya dengan luasan yang tidak main-main yakni 16 juta hektar atau hampir 2,5 kali luas kebun sawit Indonesia. Allan Savory menggunakan sapi sebagai binatang gembalaan tersebut. Domba jelas lebih unggul dalam sejumlah aspeknya, seperti penjelasan dalam link-link di atas. Allan Savory saja yang hanya manusia biasa dengan konsepnya bisa membuktikan menyelamatkan bumi dengan luasan jutaan hektar, nah bagaimana jika sunnah para Nabi diterapkan yakni penggembalaan domba diterapkan? Tentu hasilnya akan jauh mengungguli konsep Allan Savory dalam semua aspeknya, apalagi mengatasi sejumlah  masalah di perkebunan sawit dan pangan kita khususnya daging. Selain itu jelas ayat Al Qur'an di atas juga memberi petunjuk dimana sesungguhnya lokasi penggembalaan yang paling cocok bagi hewan ternak. Apakah para petani dan pengusaha sawit muslim di Indonesia khususnya tidak tertarik menerapkan penggembalaan domba di perkebunan sawitnya sebagai solusi efektif usahanya, mengikuti sunnah dan petunjuk ayat Al Qur'an di atas?

Porsi Sumber Protein Hewani Menurut Al Qur'an
Transmigrasi yang dulu pernah digalakkan pada era orde baru, semestinya bisa dilakukan kembali. Ketika transmigrasi saat itu untuk bertani dengan mengolah tanah dan bercocok tanam, bahkan hingga pembukaan sawah sejuta hektar yang saat ini kondisinya mengenaskan, maka transmigrasi saat ini adalah untuk penggembalaan domba di area perkebunan sawit. Hal tersebut akan lebih mudah, karena perkebunan sawitnya juga sudah ada dan sangat luas. Apabila hal tersebut diterapkan maka akan ada ratusan juta ekor domba digembalakkan di perkebunan sawit dan sangat banyak lapangan pekerjaan tersedia. Al Qur'an juga mengindikasikan sumber protein dari ternak besar menempati porsi terbesar dibanding unggas dan ikan. Sumber protein hewani yakni dari ternak besar terungkap dalam setidaknya 7 ayat atau 64%, dari ikan terungkap dalam 3 ayat atau 27% dan dari unggas terungkap dalam 1 ayat atau 9%. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhan protein prioritasnya adalah dari ternak besar, khususnya yang digembalakan, karena selain menghasilkan protein yang murah, juga menyuburkan lahan-lahan untuk berbagai kebutuhan manusia. 
Ditinjau dari sisi energi, pohon sawit juga sebagai sumber energi terbarukan. Minyaknya selain untuk pangan juga untuk untuk energi yakni biodiesel, sabut dan cangkang juga sebagai bahan bakar. Cangkang sawit bahkan telah menjadi komoditas export yang sangat dicari oleh berbagai negara di dunia. Bahkan ketika cangkang sawit ini habis akibat tingginya permintaan baik untuk pasar export maupun penggunaan dalam negeri, maka tandan kosong sawit (EFB) juga akan bisa digunakan untuk bahan bakar seperti dibuat EFB pellet. Ketika tandan kosong sawit biasa dibuat kompos, dan selanjutnya dibuat pellet, maka kesuburan tanah kembali menjadi masalah maka penggembalaan domba sebagai solusinya, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Penggunaan pohon sawit sebagai sumber pangan dan energi sejalan dengan era bioeconomy yang akan segera kita masuki.

Selasa, 14 November 2017

Wood Pellet Vs Palm Kernel Shell Di Pasar Lokal Dan Pasar Global

Berbeda dengan Kanada dan Amerika, yang menggenjot produksi wood pelletnya dengan orientasi utamanya saat ini untuk eksport, maka Indonesia dan juga Malaysia telah memiliki bahan bakar biomasa yang sifat-sifatnya mirip dengan wood pellet, yakni cangkang sawit atau palm kernel shell. Cangkang sawit ini juga menjadi penantang utama wood pellet di pasar global. Apa saja kemiripan sifat-sifat wood pellet dibandingkan dengan cangkang sawit? Hal-hal tersebut antara lain, pertama, ukuran relatif seragam ;kedua merupakan bahan curah; ketiga nilai kalor yang hampir sama; keempat mudah dalam handling dan kelima mudah dihancurkan (crushing). Indonesia dan Malaysia mungkin tidak sengaja menemukan cangkang sawit sebagai jenis bahan bakar biomasa yang memiliki kualitas superior dan diminati berbagai negara atau komoditas export, sedangkan Kanada dan Amerika, karena tidak punya perkebunan sawit maka mengolah limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu hutan untuk dijadikan wood pellet, karena bahan baku tersebut banyak tersedia disana. Eropa juga banyak memproduksi wood pellet dan sebagian besar digunakan untuk mereka sendiri, bahkan karena kebutuhannya masih lebih besar daripada produksinya, maka harus mengimport dari Kanada dan Amerika. Bahkan Eropa inilah porsi pasar terbesar untuk wood pellet Amerika dan Kanada.

Dengan luas lahan sawit Indonesia saat ini sekitar 12 juta hektar dan Malaysia 5 juta hektar, dengan sekitar 35 juta ton CPO produksi Indonesia dan 19 juta ton CPO Malaysia (85% CPO dunia dari Indonesia dan Malaysia), maka setelah dikurangi untuk bahan bakar internal pada pabrik CPO mereka, masih tersisa cangkang sawit lebih dari 10 juta ton. Sedangkan produksi wood pellet Kanada yakni 3 juta ton dan Amerika yakni 3,5 juta ton. Rupanya cangkang sawit masih lebih banyak daripada produksi wood pellet dari kedua negara besar tersebut saat ini. Tetapi permintaan eksport yakni untuk cangkang sawit tersebut ternyata terus meningkat. Jepang, Korea Selatan dan China adalah ketiga negara dengan kebutuhan besar. Apabila katakan 10 juta ton cangkang sawit tersebut semua di import oleh ketiga tersebut maka itupun akan masih kurang, terutama pada tahun 2020 yang mana prosentase penggunaan bioenergi di ketiga negara tersebut cukup besar. Padahal ternyata peminatnya tidak hanya negara-negara Asia Timur tersebut, tetapi negara-negara di Eropa seperti Polandia dan Italia ternyata juga membutuhkan cangkang sawit tersebut.

Ada lagi pertanyaan, apakah di dalam negeri tidak membutuhkan cangkang sawit tersebut? Ternyata di dalam negeri baik di Malaysia maupun di Indonesia juga menggunakan cangkang sawit tersebut. Kita ambil contoh di Indonesia, sejumlah industri menggunakan cangkang sawit untuk bahan bakar boiler mereka, ada juga yang digunakan untuk proses produksi teh, ada juga digunakan produksi arang bahkan arang aktif, pembuatan briket, dan bahkan akhir-akhir ini sejumlah pembangkit listrik juga menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakarnya. Nah, di titik inilah masalah mulai muncul, cangkang sawit yang awalnya hanya limbah atau sampah pabrik sawit sekarang ramai dicari bahkan menjadi komoditas export. Walaupun saat ini penggunaan untuk konsumsi dalam negeri juga belum banyak. Posisi cangkang sawit yang jauh berada di pedalaman juga umumnya belum bisa termanfaatkan dan hanya menjadi limbah saja. Perihal kompetisi penggunaan cangkang sawit tersebut, mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Tentu saja karena dorongan mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global sehingga menggunakan biomass fuel yang carbon neutral, cangkang sawit juga paling murah, tersedia dalam jumlah besar, berkesinambungan (sustainable) dan kualitasnya bagus yakni propertiesnya tidak berbeda jauh dengan wood pellet. Harga cangkang sawit hanya sekitar separuh dari wood pellet.

Lalu bagaimana solusinya? Seperti kita semua ketahui hukum pasar supply demand akan menentukan harga suatu komoditas, demikian juga cangkang sawit. Kalau melihat proyeksi peta kebutuhan biomass fuel di negara-negara Asia Utara (Jepang, Korea, China) dan Eropa dengan trend terus meningkat secara signifikan, sementara kebutuhan di dalam negeri relatif kecil peningkatannya, maka besar kemungkinan sebagian cangkang sawit tersebut akan terkuras habis untuk export apalagi dengan harga beli lebih tinggi dari pasar dalam negeri. Pengenaan pajak yang tinggi supaya cangkang sawit yang merupakan limbah sawit tersebut juga tidak tepat. Kalau pajak terlalu tinggi maka jelas cangkang sawit menjadi tidak kompetitif lagi, sedangkan apabila tersedia wood pellet yang harganya hampir sama, tentu saja pasar akan memilih produk tersebut. Ingat Kanada memiliki sekitar 150 juta hektar hutan industri dan Amerika sepertiganya atau sekitar 50 juta hektar, begitu juga Rusia yang tidak kalah luasnya. Para pengusaha cangkang sawit akan  gulung tikar dan ekonomi semakin lesu. Padahal nilai bisnis untuk 10 juta ton cangkang sawit setara 10 trilyun rupiah.



Seperti halnya Kanada yang mempromosikan wood pelletnya kemana-mana, seharusnya demikian juga dengan cangkang sawit, dan sambil memperbaiki harga jualnya sehingga memberi keuntungan yang menarik bagi pengusaha cangkang sawit tersebut dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Atau pun jika cangkang sawit harus dalam bentuk olahan untuk bisa export sehingga menggerakkan industri atau produksi dan ekonomi misalnya dibuat arang atau torrified palm kernel shell sebagai produk bahan bakar, ataupun arang aktif, biooil, asap cair, bio-methanol dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan dalam negeri ? Kebun energi adalah solusi untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar biomasa di dalam negeri. Kondisi iklim tropis, curah hujan tinggi, tanah luas dan subur adalah anugrah yang harus disyukuri. Kebun energi dengan tanaman rotasi cepat dan trubusan (coppice) akan menghasilkan kayu dalam tempo sangat cepat yakni 1 tahun dan bisa dipanen setiap tahun tanpa harus replanting. Replanting baru dilakukan 15 tahun maupun 20 tahun sekali. Harga kayu dari kebun energi tersebut juga akan sangat murah.

Solusi lain yang bisa diterapkan adalah pembatasan export cangkang sawit pada sejumlah daerah atau zonasi karena masalah infrastruktur dan sebagainya, dengan maksud untuk digunakan untuk sumber energi daerah yang bersangkutan. Dengan pemetaan yang lengkap, maka titik-titik atau zone-zone tersebut bisa diidentikasi selanjutnya diimplementasikan. Pada akhirnya setelah peta zonasi dan potensi cangkang sawit tersebut telah diketahui, maka porsi cangkang sawit untuk eksport juga mudah dikelola dan diorganisir, sehingga bisa dihitung berapa persen untuk export dan berapa persen untuk dalam negeri. Pengelolaan dan pengorganisir pks seperti melalui berbagai asosiasi yang telah ada saat ini akan memberi banyak manfaat seperti meningkatkan promosi, posisi tawar dan sebagainya. Sangat dimungkinkan juga bagi pengusaha-pengusaha sawit untuk melakukan polikultur dengan pohon kebun energi, untuk uraian lebih rinci bisa dibaca disini.

Contoh Pembuatan Kebun Energi Untuk Produksi Listrik
Lokasi pembangkit listrik biomasa (IPP atau independent power producer) yang umumnya berada di daerah pedalaman yang notabene tanah tersedia luas, maka kebun energi baik yang diusahakan oleh perusahaan, atau diusahakan oleh masyarakat atau sebagian oleh perusahaan (inti) dan sebagian oleh masayakat (plasma), akan berdampak positif bagi lingkungan bahkan masyarakat setempat. Kebun energi dilengkapi dengan penggembalaan ternak yakni domba akan memberikan manfaat semakin besar bagi sejumlah pihak tersebut. Peternakan domba dan kebun energi akan memberikan hubungan yang mutualisme, begitu juga bagi manusia atau pengelolanya. Rincian tentang hal itu bisa dibaca di link  ini, link ini, dan link ini

Apakah setelah cangkang sawit habis terjual, maka tankos sawit /EFB pellet akan menjadi bahan bakar biomasa (biomass fuel) yang menjadi incaran selanjutnya? Mengingat kebutuhan biomass fuel dunia yang semakin meningkat dalam era bioeconomy, maka hal tersebut juga sangat mungkin terjadi. Baik EFB pellet maupun wood pellet akan menjadi biomass fuel selanjutnya pada tahap kedua setelah cangkang sawit tersebut. Ketika kebutuhan biomass fuel untuk IPP dan sejumlah industri dalam negeri, maka kayu-kayu yang diproduksi dari kebun energi juga bisa dijadikan wood pellet untuk pasar export.

Sedangkan kayu dari kebun energi tersebut bisa hanya dibuat serpih kayu (wood chip), tanpa harus dibuat pellet untuk memenuhi IPP dan industri-industri dalam negeri. Dengan luas kebun sawit Indonesia yang saat ini telah mencapai sekitar 12 juta hektar atau hampir 2,5 kali Malaysia, bisa jadi kondisi tersebut juga hampir mencapai titik jenuh luasan yang bisa untuk perkebunan sawit tersebut. Bahkan ketika PLTU-PLTU saat ini yang sedang dibangun maupun yang beroperasi pada waktunya menggunakan biomass fuel, seperti yang terjadi di Kanada, Eropa, dan Inggris, hal tersebut juga sangat dimungkinkan, mengingat jutaan hektar tersedia untuk kebun energi. Dan tentu saja hal ini atau tata kelola lahan tersebut tidak boleh berbenturan dengan masalah pangan manusia.

Mendapatkan kayu dari kebun energi itu prosesnya lama perlu menanam dulu dan sebagainya, demikian beberapa keluhan yang sering muncul. Tapi kalau kita kaji lebih jauh, jelas pertanyaan tersebut juga tidak berdasar. Bukankah untuk mendapatkan cangkang sawit juga perlu menanam pohon sawit yang butuh rata-rata 5 tahun untuk bisa berbuah dan mendapat cangkang sawit tersebut ? Ataukah ingin mencari limbah perkebunan tertentu yang kualitasnya sekelas cangkang sawit? Misalnya cangkang mete (cashew nut shell), ya bisa saja. Tetapi ternyata ketersediaan cangkang mete tidak sebanyak cangkang sawit, bahkan banyak yang dieksport dalam bentuk biji mete, sehingga cangkannya terikut dieksport. Sedangkan kebun energi hanya membutuhkan 1 tahun setelah itu bisa dipanen setiap tahun hingga 20 tahun, dan baru diremajakan (replanting) kembali. Perawatan pohon sawit juga lebih ekstra dibandingkan kebun energi. Perawatan kebun energi salah satunya bisa dilakukan dengan penggembalaan domba untuk pemupukan kebun energi tersebut, juga sebagai produksi daging paling ekonomis. Dengan cara seperti itu kebun energi juga akan berproduksi secara maksimal. Secara teknis penyiapan kebun energi bisa dijalankan bersamaan (parallel) dengan pembangunan pembangkit listrik tersebut, sehingga pada waktunya kebun energi bisa dipanen kayunya maka pembangkit listrik biomasa juga sudah siap beroperasi.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini yang hanya dikisaran 5%, tentu hal tersebut tidak mencukupi untuk menampung tenaga kerja yang jumlahnya sangat banyak. Bagaimana solusinya? Tentu saja solusinya menciptakan lapangan pekerjaan untuk menggerakkan roda ekonomi semakin cepat. Tentu itu bukan hal mudah karena iklim bisnis yang baik juga membutuhkan persyaratan kondisi politik yang sehat dan stabil. Peluang kebun energi dan penggembalaan domba tersebut akan menciptakan banyak pekerjaan. Penggembalaan domba di kebun-kebun sawit juga sangat memungkinkan. Hampir tidak ada yang berpikir menyuburkan tanah perkebunan sawit dengan kotoran domba melalui penggembalaan tersebut. Padahal itu cara produksi dan distribusi pupuk paling ekonomis, seperti halnya produksi daging paling ekonomis. Ditinjau dari pangan, ketika minyak sawit digunakan sebagai minyak pangan maka unsur lemak didapat dari sana, sedangkan daging sebagai unsur protein yang sangat penting bagi pertumbuhan sel dan kecerdasan. Dua unsur penting pangan manusia bisa didapat dengan penggembalaan di perkebunan sawit tersebut. Sedangkan penggembalaan di kebun energi akan mendapatkan protein dan energi atau bahan bakar, dua hal yang penting juga bagi kehidupan manusia, konsep penggembalaan di kebun energi bisa dibaca lebih rinci di 5F projects for the world!

Al Qur'an memberi petunjuk bahwa energi tersebut berasal dari pepohonan, untuk lebih rinci bisa dibaca disini. Cangkang sawit dan wood pellet maupun wood chip merupakan bahan bakar atau sumber energi dari pepohonan. Seiring kemajuan teknologi maka pembangkit-pembangkit listrik pun menjadi semakin kecil ukurannya, bahkan hanya seukuran kulkas. Ketika pembangkit-pembangkit listrik kecil dan kebun energi telah tersebar dimana-mana, maka bumi kembali hijau dan kemakmuran terjadi dimana-mana, seperti diisyaratkan dalam hadist berikut :

"Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah  ruah,  hingga  seorang  laki-laki  pergi  ke  mana-mana  sambil membawa  harta  zakatnya  tetapi  dia  tidak  mendapatkan  seorangpun  yang bersedia  menerima  zakatnya  itu.  Dan  sehingga  tanah Arab  menjadi  subur makmur  kembali  dengan  padang-padang  rumput  dan  sungai-sungai "  (HR.Muslim).

Senin, 13 November 2017

Migrasi Dari Fossil Based Economy ke Bioeconomy

Melengkapi tulisan tentang bioeconomy di Go Biomass, Go Bioeconomy!, tulisan singkat dibawah ini mencoba mempertajam dan memberi berbagai kaidah atau guideline serta motivasi untuk bersama-sama menangkap peluang bioeconomy secara syar'i dengan menggunakan petunjuk Al Qur'an dan Hadist. Bila pada era fossil based economy, negeri-negeri yang kaya minyak (petro dollar) menjadi negeri-negeri makmur dengan kekayaan yang melimpah, maka di era bioeconomy mendatang kesempatan beralih ke negeri-negeri yang memiliki kekayaan biomasa terbanyak. Biomasa dari tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hidup dan berkembang dengan baik di negeri-negeri yang banyak air dan matahari, sehingga negeri-negeri itulah yang berpeluang besar unggul di era bioeconomy nantinya. Hal-hal kunci yang perlu untuk diperhatikan, dipahami dan dikelola dengan baik antara lain bisnis, ekonomi, pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan, pangan, energi, industri, biochemical dan biomaterial.

Eropa mencanangkan bioeconomy pada 2030. Di sektor energi penggunaan energi terbarukan dalam RED I ( Renewable Energy Directive) dengan target 20-20-20 yakni efisiensi energi dinaikkan 20%, lalu pemakaian energi terbarukan mencapai porsi 20% pada 2020, akan segera berakhir dan sedang disiapkan RED II yang diusulkan pemakaian energi terbarukan menjadi 27% pada tahun 2030. Porsi energi terbarukan di Eropa baik di RED I maupun RED II biomasa memegang porsi sekitar 70%-nya. Negara-negara di Amerika Utara yakni Amerika Serikat dan Kanada juga mencanangkan energi terbarukan secara masif, misalnya US Department Energy and Agriculture mencanangkan produksi biomasa kering sebanyak minimal 1 milyar ton pada tahun 2040. Sedangkan di Kanada sejumlah negara bagian bahkan telah banyak menutup PLTU dengan batubara dan gas, serta selanjutnya menggunakan energi terbarukan khususnya biomasa. Kota Alberta di Kanada mencanangkan penghentian semua pembakaran batubara dan gas alam pada tahun 2030. Sedangkan di Asia, dua negara di Asia Utara yakni Jepang dan Korea Selatan telah mencanangkan penggunaan energi terbarukan secara masif sejak tahun 2012.  Negara-negara di Asia lainnya juga mencanangkan program penggunaan energi terbarukan, seperti Indonesia pada Kebijakan Energi Nasionalnya, Malaysia dengan National Renewable Energy Policy and Action Plan , Thailand dengan Alternative Energy Development Plan. 
Bioeconomy seperti apa yang akan kita usung? Apa bedanya dengan bioeconomy yang diterapkan di barat dan belahan dunia lain? Mengapa kita memilih bioeconomy tersebut? Bioeconomy dengan berlandaskan Al Qur'an dan Hadist itulah, bioeconomy yang akan kita usung. Bukan seperti di barat yang bingung masih mana tanaman pangan dan mana untuk energi? Bingung mana tanaman biji-bijian untuk pangan manusia dan mana untuk pakan ternak?  Rerumputan misalnya jelas untuk pakan ternak, tetapi biji-bijian bisa untuk pakan ternak dan lebih banyaknya untuk pangan manusia. Buah-buahan umumnya untuk pangan manusia, tetapi bisa juga dalam jumlah lebih sedikit untuk energi. Kayu-kayuan sebagian besar untuk energi. Dengan pembagian yang jelas masalah pangan, pakan, dan energi jangan sampai kita mengalami krisis pangan akibat bahan pangan dipakai untuk energi seperti huru-hara tortilla di Meksiko, maupun terjadi kelangkaan kedelai akibat China menyedot habis produksi kedelai dunia untuk pakan ternaknya. Berdasarkan penyebutan ayat-ayat Al Qur'an tentang pakan, pangan dan energi, maka akan dihasilkan porsi seperti illustrasi grafik dibawah ini. Setidaknya ada 7 ayat di Al Qur'an yang membicarakan tentang pangan, 6 ayat tentang pakan dan 2 ayat tentang energi. Mayoritasnya tanaman untuk pangan manusia, kemudian dalam jumlah hampir sama untuk pakan ternak dan dalam jumlah yang lebih kecil untuk energi. Aplikasi dan penjelasan bisa lebih rinci disini dan disini

Ketahanan pangan, energi dan air, harus dilakukan bersamaan. Dan yang penting adalah ini tugas kita sebagai muslim. Apabila peran ini tidak kita ambil, sudah pasti peran tersebut akan diambil oleh orang lain. Apabila hal itu terjadi kepentingan ekonomi, politik maupun kepentingan lainnya yang lebih kuat daripada untuk menjaga kehidupan itu sendiri. Terlebih lagi Allah SWT mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan generasi lemah (QS 4:9), tugas untuk memakmurkan bumi (QS 11:61) dan untuk menjaga keseimbangan di alam (QS 55 : 8-9). Sedangkan untuk melaksanakan tugas itu Allah SWT memberi kita petunjuk beserta penjelasannya (QS 2:185), agar bisa menjawab seluruh persoalan dan tantangan jaman kita ini (QS 16:89)-bahkan Allah juga akan mengajari ilmu yang kita belum tahu, bila kita terus meningkatkan ketakwaan kita (QS 2:282).
Dengan serangkaian panduan yang amat detail tersebut, maka bisa dibayangkan bila urusan menjaga keamanan pangan, energi dan air ini dikelola oleh orang yang tidak menggunakan petunjuk-Nya. Dengan mudah mereka akan mengeksploitasi kebutuhan pangan manusia, mengkooptasi mata-mata air yang seharusnya untuk kepentingan bersama dan mengendalikan supplai energi dunia untuk kepentingan ekonomi segelintir manusia saja. Inilah masalah besar dan berat, tetapi bila kita menyerahkan ke orang lain seperti yang kita alami hari-hari ini, kita mengalami krisis tiga dimensi sekaligus, yaitu pangan, air dan energi. Maka seberat apapun, kita harus mulai belajar memikulnya.

Dengan demikian menjadi mudah dipahami, mengapa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengingatkan umat ini untuk bersyirkah (kerjasama ekonomi) dalam tiga hal :"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud). Tiga hal yang diluar sana disebut FEW (Food, Energy, Water), dan menjadi perebutan bahkan menjadi alasan perang, sedangkan dalam dunia Islam malah bisa menjadi titik awal pemersatunya. 

Photo diambil dari sini 
Jauh sebelum dunia modern mengenalkan konsep bioeconomy, muslim sudah selama 1000 tahun lebih berjaya memakmurkan bumi di sebagian besar wilayah dunia, yaitu pada dari masa di Andalusia kemudian dilanjutkan oleh Turki Usmani - Dan baru berakhir ketika penjajah Napoleon memasuki Mesir di awal abad 19. Beberapa waktu lalu Chinese Academy of Science mengadakan workshop di Beijing, judulnya Workshop on Agriculture Culture and Sustainable Development in Asia dengan pembicara Andrew M Watson, professor Sejarah Ekonomi dari University of Toronto -Canada. Professor tersebut sangat menguasai sejarah pertanian Islam, karena lebih dari 30 tahun sebelumnya menerbitkan buku "Agricultural Innovation in the Early Islamic World, The Diffusion of Crops and Farming Techniques, 700-1100" (Cambridge University Press, New York 1983). 
Sang professor-pun mengakui bahwa di rentang waktu sangat panjang tersebut, memang pertanian Islam-lah yang maju. Dia mencatat misalnya, di masa sebelum Islam, pertanian bangsa Romawi, Byzantium dan sebagainya, masih sangatlah sederhana. Paling banter lahan hanya di pakai sekali dalam setahun, dan lebih seringnya hanya sekali dalam dua tahun. Pajak tanah yang tinggi di wilayah Romawi kala itu juga semakin mempersulit aktivitas pertanian. Bahkan semua istilah keren yang kini digandrungi oleh banyak petani modern seperti permaculture, organic farming, natural farming, sustainable agriculture dan lain sebagainya sesungguhnya hanyalah baru sebagian kecil dari Islamic Agriculture yang meliputi aspek yang sangat luas dari dunia pertanian. Maka di pergantian jaman dari fossil-based economy ke arah bio-based economy atau bioeconomy inilah muslim kembali kembali berjaya. InsyaAllah. 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...