Indonesia memang sangat kaya berbagai potensi untuk bisa berjaya di era bioeconomy tersebut. Tetapi jika semua potensi tidak dikelola dengan benar, bukan kejayaan yang didapat tetapi malah kesengsaraan yang didapat. Mengapa bisa begitu? Ya karena semua potensi kekayaan alam malah mengundang negara-negara asing yang kuat untuk menguasainya. Bukankah sejarah telah menunjukkan karena kekayaan alam terutama rempah-rempahnya telah mengundang penjajah ke negeri ini lalu menjajah dan bercokol ratusan tahun? Itu penjajahan secara fisik dan militer yang dialami negeri ini. Setelah era itu berakhir, maka penjajahan ekonomi dengan sistem kapitalis merajalela, maka kembali negeri yang kaya raya ini hanya dikuasai beberapa gelintir orang saja. Tentu kita tidak mau kedua hal tersebut berulang, sehingga tetap saja mayoritas rakyat negeri ini masih dalam kondisi memprihatinkan.
Photo diambil dari sini |
Tanah-tanah yang luas yang banyak terdapat di Indonesia harus kita optimalkan jika memang mau berperan penting dalam era bioeconomy tersebut. Kita ambil contoh Belanda, negeri yang pernah menjajah negeri kita. Belanda bisa kita ambil sebagai referensi dari sisi ini karena produksi biomasa perhektarnya tertinggi di Eropa, negara yang kuantitas produksi biomasanya juga tinggi, bioeconomy sudah cukup maju dan juga turut terlibat dalam program bioeconomy 2020 di Eropa (Renewable Energy Objective) dengan target 14% dan naik menjadi 16% pada 2023. Dengan bioeconomy Eropa menargetkan bisa menggerakan ekonomi sebesar 2 trilyun Euro (sekitar 34.000 trilyun rupiah) dan menciptakan 20 juta lapangan kerja. Belanda bahkan mampu mengeksport sejumlah produk pangannya ke berbagai negara dari hasil olahan pertanian mereka. Belanda hanya memiliki 2 juta hektar tanah pertanian, yang terbagi 0,5 juta hektar untuk tanaman pangan (gandum), produksi susu dan ternak 1,2 juta hektar dan sisanya kebun hortikultura. Kelebihan di Belanda adalah sistem irigasi yang baik sehingga bisa mengairi berbagai pertanian dan peternakan tersebut. Biomasa untuk produksi sektor energi berasal dari kehutanan, limbah pertanian, limbah rumah tangga dan industri. Biomasa untuk energi juga telah digunakan pada skala besar disana. Agroforestry dan peternakan sudah diterapkan untuk optimalisasi produksi biomasa tersebut. Bioeconomy di Belanda diestimasi memberikan nilai tambah ekonomi sebesar 2.6-3 milyar Euro (sekitar 50 trilyun rupiah). Walaupun sudah sedemikian intensif, tetapi Belanda masih mengimport sejumlah biomasa untuk memenuhi kebutuhannya. Bagaimana jika produksi biomasa Indonesia dioptimalkan? InsyaAllah Indonesia akan menjadi pemimpin dalam bidang tersebut.
Mengapa bioeconomy di Belanda bisa sedemikian maju? Salah satu faktor pentingnya adalah karena suku bunga di Belanda sangat rendah atau hampir 0%, yakni hanya 0,05% sehingga orang-orang bergairah untuk berbisnis. (Bandingkan dengan di Indonesia dengan suku bunga sekitar 6%).Dengan gairah tinggi untuk berbisnis tersebut membuat mereka mampu menguasai sejumlah teknologi terkait bidang tersebut, misalnya bio-based polymer, bio-based building block, resin, bio-based chemical, dan bioethanol. Padahal mayoritas penduduk Indonesia muslim dan riba adalah haram, yang derajatnya diatas bangkai, babi, anjing, bangkai dan darah, tetapi bukannya dihilangkan malah prosentasenya tinggi, bisa disimak kajiannya disini. Tingginya suku bunga telah membuat manusianya malas mengembangkan bisnis atau gairah berbisnis menjadi rendah, misalnya usaha peternakan atau industri yang memberikan keuntungan 20-30% pertahun, dengan kongsi maka keuntungan dibagi dua menjadi 10-15%, tetapi karena usaha sektor riil tersebut ada kemungkinan rugi, maka umumnya orang ogah melakukannya dan memilih menyimpan uangnya di bank yang dijamin pemerintah dan tidak perlu kuatir kehilangan uangnya. Sementara di Belanda, keuntungan 5% bahkan 10% menjadi sangat menarik dibandingkan uangnya disimpan di bank. Indonesia semakin kalah pertumbuhan ekonominya, akibat tingginya suku bunga yang diterapkan. Betapa keras ancaman Allah SWT terhadap pelaku riba dan ekonomi berbasis riba telah terbukti menghancurkan perekonomian kita, tetapi herannya belum ada satupun calon bupati/walikota, gubernur hingga presiden yang berjanji untuk menghancurkan riba tersebut.
Produksi wood pellet dari kebun energi, peternakan domba dengan penggembalaan, dan peternakan lebah madu yang diintegrasikan adalah model bioeconomy kita. Wood pellet adalah bentuk energi yang fleksibel, sebagai bahan bakar rumah tangga (memasak), industri dan pembangkit listrik yang ramah lingkungan, sedangkan domba adalah harta terbaik muslim yang bisa dibaca disini, sini, sini dan sini. Domba adalah sumber daging terbaik, karena semua Nabi dan Rasul juga penggembala domba. Hal tersebut juga menunjukkan Allah SWT memberikan makanan terbaik bagi Nabi dan Rasul-Nya berupa daging domba tersebut. Daging domba tersebut merupakan sumber protein terbaik pangan kita. Bukan seperti protein yang diekstrak dari limbah organik tertetu seperti yang dilakukan di Belanda atau sumber protein dari jangkrik seperti yang dilakukan professor di Jepang. Hal ini menegaskan kita juga harus selektif terhadap suatu teknologi dari sejumlah opsi teknologi yang ada, apalagi terkait soal pangan kita.
Selanjutnya peternakan lebah madu juga akan semakin mengoptimalkan kebun energi tersebut. Lebah juga berperan besar untuk berbagai penyerbukan buah-buahan. Nah bagaimana supaya integrasi tersebut bisa maksimal? Lokasi kita beriklim tropis adalah keunggulan tersendiri yang patut kita syukuri, tetapi seperti halnya di Belanda pengairan menjadi faktor penting untuk mengoptimalkan pertanian dan peternakan tersebut. Para pengusaha dan investor muslim yang hendak berbisnis bebas riba, sehingga berkah maka bisa bersyirkah untuk mengupayakan bisnis ini. Dan bukan berbasis riba yang membawa petaka, lebih rinci bisa dibaca disini. Kalau sekarang orientasi hasil investasi adalah yang memberikan imbal hasil materi yang tinggi, suatu waktu akan berubah menjadi bagaimana investasi itu akan mencerdaskan dan menjadi jalan untuk pengamalan ilmu yang bermanfaat – karena orang tahu bahwa ilmu yang bermanfaat inilah yang akan dibawa mati, bukan hasil investasi yang tinggi.