Selasa, 12 Juni 2018

Set Up Produksi Wood Charcoal Briquette di Negara-Negara ASEAN

Negara-negara ASEAN memiliki hutan yang luas dan berbagai sumberdaya kehutanan. Walaupun demikian terjadi penurunan di sejumlah negara dikarenakan penebangan yang tidak beraturan di sejumlah negara. Untuk itulah pengelolaan hutan berkelanjutan dibutuhkan untuk menjaga biomasa sumber daya kehutanan tersebut. Indonesia memiliki luas hutan terbesar, tetapi terjadi penurunan sejak tahun 1990 terutama karena illegal logging dan kebakaran hutan. Malaysia memiliki jumlah biomasa dan pertumbuhan hutan tertinggi berbanding luasan area, sedangkan Thailand terendah. Hal ini juga bisa disebabkan curah hujan yang lebih tinggi di Malaysia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, yakni 2.875 mm/tahun, dengan rata-rata dunia 900 mm/tahun dan Indonesia 2700 mm/tahun. Untuk lebih jelas bisa dilihat ditabel di bawah ini. Indonesia dan Malaysia terutama menghasilkan kayu gergajian (sawn wood) dan kayu lapis (plywood), sedangkan Thailand pada wood chip dan papan particle. Vietnam banyak menghasilkan sawn wood, sedangkan Kamboja dan Laos banyak mengkonsumsi kayu bulat sebagai bahan bakar. 


Woodcharcoal briquette atau sawdust charcoal briquette memiliki pasar yang sangat tinggi terutama di Timur Tengah, Arab Saudi dan Turki. Negara-negara tersebut menggunakan sawdust briquette charcoal untuk memanggang daging khususnya  domba yang menjadi favorit makanan disana. Untuk produksi sawdust briquette charcoal tersebut menggunakan limbah penebangan (logging residues) maupun limbah industri pengolahan kayu (industrial wood residues). Hal ini seharusnya luasnya hutan dan berikut industri pengolahan kayu sebanding dengan industri sawdust briquette charcoal. Limbah penebangan jumlahnya berlimpah biasanya bagian atas pohon (top) yang berdiameter kecil dan cabang-cabang. Limbah penebangan berkisar rata-rata 100% terhadap produksi kayu tebangan itu sendiri, sehingga jumlahnya sangat banyak. Sabah, Malaysia dan Kalimantan, Indonesia banyak menghasilkan limbah penebangan tersebut dengan harga sangat murah. 
Sedangkan untuk limbah industri pengolahan kayu biasanya berbentuk serbuk gergaji, dan potongan-potongan kayu baik papan maupun kayu bulat. Diperkirakan ada 1600 penggergajian kayu (saw mill) dan 120 pabrik kayu lapis di Indonesia. Bahan baku industri kayu lapis pada awalnya dari kayu hutan alam (natural forest), tetapi seiring permintaan yang terus meningkat pasokan kayu hutan alam menipis sehingga beralih dengan kayu dari pohon ditanam. Sewaktu menggunakan kayu dari hutan alam, diameter kayu bisa lebih dari 70 cm dan ketika menggunakan kayu yang pohon yang ditanam diameter kayu hanya sekitar 30 cm. Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia pada awalnya banyak pabrik kayu lapis beroperasi tetapi karena pasokan kayu menipis banyak pabrik-pabrik tersebut yang menutup produksinya. Yield kayu lapis dari bahan baku adalah 50%, sedangkan sisanya menjadi limbah. Sebagian limbah tersebut digunakan untuk bahan baku produk block board dan paking material, tetapi hanya sekitar 10%, sehingga 40% masih sebagai limbah. 
Sedangkan di Malaysia, total volume dari limbah industri kayu yakni 7,5 juta meter kubik per tahun. Limbah penggergajian kayu (saw mill) terbanyak di Sabah, sedangkan limbah kayu lapis (ply wood) di Sarawak. Penggergajian kayu (sawmill) menghasilkan produk berupa kayu gergajian (sawn wood) berkisar 40-65% dan sisanya yakni 35-60% berupa sawdust. Sedangkan yield untuk ply wood berkisar 50-60%, sedangkan 40-50% sebagai limbah. Untuk pabrik molding yield nya lebih tinggi yakni 70-74%, berarti limbahnya 26-30%. Prosentase limbah kayu dari industri ply wood 75% dan 25% dari industri saw mill. Pemanfaatan limbah industri kayu tersebut masih belum optimal, bahkan hanya ditimbun lalu dibakar saja karena dianggap mencemari. 

Sedangkan di Laos ada sekitar 200 pabrik pengolahan kayu (furniture, packing material, flooring, dan pintu) dengan berlokasi sebagian besar di sekitar Vientiane, ibukota Laos dan hanya 1 pabrik ply wood. Produsen arang bertebaran dimana-mana di negara tersebut karena kebutuhan tinggi untuk rumah tangga. Yield dari industri pengolahan kayu tersebut berkisar 60%, sehingga 40% sebagai limbah. Pemanfaatan limbah tersebut juga belum optimal, seperti serbuk gergaji (sawdust) hanya ditimbun saja dibelakang saw mill
Produksi sawdust briquette charcoal (wood briquette charcoal) akan menjadi solusi untuk pemanfaatan limbah tersebut. Serbuk gergaji (saw dust) menjadi bahan baku terbaik karena tidak perlu pengecilan ukuran (size reduction) dan bisa lebih pendek proses produksinya. Sedangkan apabila limbah tersebut masih berupa potongan-potongan kayu maka perlu proses pengecilan ukuran (size reduction) hingga ukuran partikelnya seperti serbuk gergaji (saw dust). Setelah itu apabila serbuk kayu tersebut masih basah (kadar air lebih dari 10%) maka perlu pengeringan yakni dengan alat pengering rotary (drum) dryer. Selanjutnya setelah material serbuk kayu tersebut kering dilanjutkan dengan pembriketan dan pengarangan (karbonisasi) sehingga produk akhir berupa sawdust briquette charcoal (wood briquette charcoal)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...