Jumat, 15 Juni 2018

Set Up Produksi Wood Pellet di Asia Tenggara


Korea dan Jepang adalah tujuan utama pasar wood pellet khususnya bagi produsen-produsen di Asia Tenggara. Korea dengan kebijakan Renewable Portolio Standard (RPS),sedangkan Jepang dengan feed in tarrifnya /Sehingga estimasi kebutuhan wood pellet kedua negara tersebut mencapai 10 juta ton pada 2020 dan seterusnya.  Saat ini sebagian besar supply wood pellet di Jepang dari Kanada dan untuk  Korea di supply terutama dari Vietnam. Pada tahun 2019 dan seterusnya di Jepang akan mengimport wood pellet dalam jumlah besar karena sejumlah fasilitas pembangkit listriknya mulai beroperasi. 

Berdasarkan sejumlah analisis, salah satunya bisa dibaca disini, terjadi penurunan produksi biomasa kayu-kayuan (woody biomass) di Asia Tenggara dari 815,9 juta ton (16,3 EJ) pada tahun 1990 menjadi 359,3 juta ton pada prediksi tahun 2020. Kondisi ini terjadi akibat deforestasi dan penebangan hutan berlebihan (termasuk penebangan illegal). Rusaknya hutan tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran akan bencana juga perlu diupayakan solusi secepatnya. Penghutanan kembali (reforestasi) bisa dilakukan sebagai solusi kerusakan hutan tersebut. Ada dua jenis kelompok pepohonan untuk solusi tersebut yakni dari pohon fast growing species dan slow growing species. Penentuan kedua jenis pepohonan tersebut sesuai dengan visi dan misi area hutan yang bersangkutan. Di samping itu juga ada kawasan hutan produksi yang bisa digunakan produksi kayu-kayuan untuk energi atau khususnya produksi wood pellet. Pohon rotasi cepat seperti kaliandra cocok untuk kawasan hutan produksi atau hutan tanaman industri. 
Produksi wood pellet dari kebun atau hutan energi di atas di kawasan hutan tanaman industri adalah suatu konsep ideal. Dengan kebun energi tersebut bahkan pasokan dan kontinuitas bahan baku akan lebih terjamin serta berkelanjutan karena panen kayu dari kebun yang ditanam sendiri. Kapasitas produksi juga bisa besar sebanding dengan luas kebunnya. Negara-negara di Asia Tenggara memiliki umumnya masih memiliki tanah yang luas dan berada dalam zone iklim tropis sehingga potensi pengembangannya sangat strategis. Iklim tropis tersebut ditambah curah hujan yang tinggi membuat pertumbuhan pohon-pohon di kebun energi menjadi optimal. Negara-negara beriklim subtropis walaupun bisa menghasilkan kayu-kayuan dari kebun energi tetapi akan membutuhkan waktu lebih lama, apalagi juga curah hujan kurang. Waktu 1 tahun di misalnya Indonesia akan setara 4 tahun di negara-negara subtropis untuk produksi biomasa kayu-kayuan dari kebun energi tersebut. 

Negara-negara di Asia Tenggara memiliki posisi strategis untuk menyuplai wood pellet ke Jepang dan Korea tersebut. Ada 2 hal setidaknya yang mendasarinya, yakni : pertama, posisi atau letak Asia Tenggara berdekatan dengan Jepang dan Korea sebagai tujuan pasarnya. Kedua, ketersediaan bahan baku berupa biomasa melimpah di area tersebut, bahkan dengan lokasi dekat dengan katulistiwa sehingga beriklim tropis dengan curah hujan tinggi yang mendukung pertumbuhan tanaman sebagai sumber biomasa tersebut. Secara umum lebih dari 50% kawasan Asia Tenggara ditumbuhi hutan (kecuali Singapura dan Brunei Darussalam). Hutan menghasilkan berbagai jenis kayu. Hutan di Asia Tenggara terdiri atas beberapa jenis, antara lain hutan hujan tropis (khatulistiwa), hutan monsun tropis, hutan belukar, hutan gunung, hutan pantai, dan hutan rawa. Sebagian besar jenis hutan yang tumbuh adalah hutan hujan tropis. Lalu bagaimana ciri-ciri hutan tropis tersebut? Berikut ciri-ciri hutan tropis tersebut :
1) Daunnya hijau sepanjang tahun.
2) Jarak antarpohon rapat dan tutupan daun tebal.
3) Terdapat lapisan-lapisan jenis tumbuhan.
4) Tumbuh-tumbuhan bawah jarang ditemui.
5) Banyak tumbuhan parasit dan menjalar
 Dan berikut gambaran potensi biomasa di negara-negara Asia Tenggara : 
-Indonesia 
Indonesia memiliki hutan terluas diantara negara-negara di Asia Tenggara, selain itu juga memiliki luas wilayah terbesar. Luas hutan mencapai sekitar 60% dengan sebagian besar di luar pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya dengan 60% penduduk Indonesia tinggal disana, terlihat pulau Jawa paling bercahaya ketika difoto dengan satellite di malam hari. Ada 80 juta hektar hutan produksi yang bisa digunakan untuk berbagai tanaman pohon industri khususnya kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet. 

-Malaysia 
Saat ini diperkirakan 59% daratan Malaysia masih berupa hutan. Upaya memperbaiki kerusakan hutan akibat erosi terus dilakukan negara Malaysia. Berbagai tanaman yang memberi nilai tambah tinggi terus diupayakan, termasuk bagaimana menghasilkan keuntungan lebih cepat seperti rotan untuk panen perantara sebelum panen utama yang membutuhkan waktu lebih lama. Kebun atau hutan energi yang bisa dipanen dengan waktu cepat, tanpa replanting hingga puluhan tahun akan menjadi pilihan menarik. 

-Thailand 
Pada tahun 1961 seluas 56% negara Thailand merupakan kawasan hutan. Tetapi pada tahun 1980-an kawasan hutan telah berkurang menjadi kurang dari 30% atau lenyap sebanyak 130.000 km2 (26%). Kayu keras seperti jati telah mendominasi produk kayu hutan tersebut. Upaya mengembalikan luasan hutan, sekaligus mengurangi tekanan hutan untuk deforestasi sangat dibutuhkan. Pembuatan kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet akan memberi solusi pada masalah tersebut, karena akan menggerakkan sektor ekonomi berbasis kehutanan dan berkelanjutan.

-Vietnam 
Topografinya terdiri atas bukit-bukit dan gunung-gunung berhutan lebat, dengan dataran rendah meliputi tidak lebih dari 20%. Pegunungan berkontribusi sebesar 40% dari total luas Vietnam, dengan bukit-bukit kecil berkontribusi sebesar 40% dan hutan tropis 42%. Kebun atau hutan energi juga akan menjadi opsi menarik untuk menjaga keberlangsungan hutan dan menggerakkan sektor ekonomi. 

-Philipina 
Filipina merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak gunung api sebagai rangkaian Pegunungan Sirkum Pasifik. Kondisi tanah yang subur sangat menunjang kegiatan agraris yang meliputi bidang pertanian (berupa padi, jagung, dan abaca atau serat manila), bidang perikanan dan kehutanan (hampir separuh atau 40% wilayah daratannya berupa hutan). Selain itu sungainya yang pendek-pendek dengan aliran yang deras dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet juga akan menarik dikembangkan bahkan dengan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga airnya, sehingga benar-benar terbebas dari bahan bakar fossil. 

-Kamboja
Kamboja sebenarnya memiliki potensi kehutanan yang besar. Tercatat pada tahun 1969 luas hutan di Kamboja lebih dari 70%, tetapi pada tahun 2007 menjadi kurang dari 5%. Negara ini masuk sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Lebih dari 25.000 kilometer persegi hutan lenyap pada masa itu. Upaya penghutanan kembali terus diupayakan. Kebun atau hutan energi bisa sebagai salah satu solusi untuk penghutanan kembali sekaligus menekan lalu deforestasi. 

-Laos 
Hutan di Laos juga sangat luas yang meliputi sekitar setengah negeri. Hutan-hutan tersebut masuk jenis hutan hujan tropis, hutan bambu, dan hutan yang tercampur. Sekitar 70% wilayah Laos berbentuk pegunungan dan terdapat Gunung Bia setinggi 2.819 meter yang merupakan gunung tertinggi di negara ini. Namun hutan ini berada dalam bahaya karena penebangan yang berlebihan di sejumlah daerah seperti Selatan dan Tenggara. Pada awal tahun 1993, pemerintah Laos mencanangkan 21% dari wilayah negara sebagai Area Konservasi Keanekaragaman Hayati Nasional (National Biodiversity Conservation Area/NBCA), yang mungkin akan dikembangkan menjadi sebuah taman nasional. Bila telah selesai, maka ia diperkirakan akan menjadi taman nasional terbaik dan terluas di Asia Tenggara. Kebun atau hutan energi bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk menghutankan kembali hutan yang gundul sekaligus membuka lapangan kerja dengan produksi wood pellet. 

-Myanmar 
Myanmar memiliki bentang alam yang bervariatif dari dataran rendah sampai pegunungan. Banyaknya sungai-sungai besar dan gunung api menyebabkan kondisi tanahnya sangat subur. Hal tersebut sangat menunjang bagi kegiatan agraris seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Hampir 52% wilayahnya masih berupa hutan yang banyak menghasilkan kayu. Kayu jati terutama menjadi hasil utama kayu hutan di Myanmar. Kebun atau hutan energi dengan rotasi cepat untuk produksi wood pellet akan menjadi opsi menarik. Hal ini karena untuk menghasilkan kayu jati dibutuhkan waktu puluhan tahun sedangkan kayu dari kebun energi untuk produksi wood pellet hanya butuh waktu satu tahun dan bisa dipanen terus menerus sepanjang tahun. 
Pengolahan biomasa menjadi wood pellet pada dasarnya adalah pemadatan. Setelah ukuran partikelnya dan tingkat kekeringannya sesuai maka biomasa tersebut selanjutnya bisa dipelletkan. Apabila biomasa tersebut belum memiliki ukuran yang  dan tingkat kekeringan yang sesuai maka perlu disiapkan dengan pretreatment tertentu sehingga bisa mencapai kondisi tersebut. Alat untuk pengecilan ukuran dan pengering biasa digunakan untuk mencapai kondisi tersebut. Alat pengecilan ukuran biasanya berupa chipper dan hammer mill. Dua tahap pengecilan ukuran tersebut untuk memastikan ukuran partikel sesuai yang diinginkan. Ukuran partikel yang sesuai membuat kepadatan pellet bisa sesuai standard yang diharapkan. 

Rotary dryer atau drum dryer adalah peralatan pengeringan yang biasa digunakan untuk mencapai tingkat kekeringan yang diharapkan, yakni dikisaran 10%. Terlalu kering maupun terlalu basah akan berakibat pada pellet yang dihasilkan. Ketika bahan baku terlalu kering maka pellet tidak terbentuk tetapi bila bahan baku terlalu basah maka permukaan pellet akan retak-retak dan mudah pecah ketika didinginkan. Bentuk dan ukuran die pada pelletiser juga bermacam-macam sesuai jenis kayu yang digunakan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal yakni hampir semua bahan baku bisa dikonversi menjadi pellet dan hanya sedikit sekali yang masih tetap berupa serbuk, maka ukuran dan bentuk die tersebut harus sesuai dengan karakteristik serbuk kayu atau bahan bakunya. 

Setelah keluar dari pelletiser dan menjadi wood pellet selanjutnya didinginkan sehingga wood pellet menjadi keras dan memiliki permukaan yang halus dan mengkilap. Pendinginan (cooling) juga dilakukan secara bertahap sehingga pellet tidak retak dan pecah karena terjadi penurunan suhu yang drastis. Pendinginan jenis lawan arah (counter current) biasa digunakan untuk pendinginan tersebut. Dengan mekanisme counter current tersebut proses pendinginan bisa berjalan secara bertahap sehingga kualitas pellet terjaga. Setelah pendinginan, wood pellet lalu diayak untuk memisahkan dengan debu-debunya dan terakhir disimpan atau di packing untuk selanjutnya siap dijual terutama pasar export. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...