Minggu, 10 Februari 2019

Sebentar Lagi Sri Lanka Akan Produksi Wood Pellet Besar-Besaran Dari Kebun Energinya, Indonesia?

Sebuah perusahaan Sri Lanka, Trinco Pellets akan memproduksi wood pellet dari tanaman rotasi cepat, yakni gliricidae dan direncanakan akan berproduksi pada tahun 2020-2021. Kapasitas produksinya mencapai 150.000 ton/tahun dengan pasar utama ke Jepang. Perusahaan tersebut mentargetkan menanam 1 milyar pohon gliricidae dengan target menghasilkan 15 juta ton kayu gliricidae. Selain untuk produksi wood pellets, kayu tersebut juga digunakan untuk pembangkit listrik. Tentu hal tersebut suatu terobosan  dan akselerasi bagi perkembangan industri wood pellet. Indonesia jelas memiliki potensi jauh lebih besar, dan hal tersebut juga bisa sebagai referensi bahkan model untuk memacu semangat untuk berperan lebih besar di sektor wood pellet dunia khususnya dan bioeconomy pada umumnya.

Gliricidae atau gamal dengan kaliandra adalah satu kelompok tanaman leguminoceae yang akarnya bisa mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Keduanya juga bisa trubusan (coppice) sehingga bisa dipanen setiap tahun dan replanting dilakukan setelah kurang lebih 20 tahun. Untuk tambahan referensi tentang kaliandra dan gamal bisa dibaca disini. Optimalisasi kebun energi baik kaliandra atau gamal adalah dengan peternakan baik peternakan domba maupun peternakan domba dengan sapi. Hal tersebut karena daun kaliandra maupun gamal sangat baik untuk pakan ternak tersebut karena tingginya kandungan protein serta jumlah yang dihasilkan dari kebun energi tersebut sangat banyak. Sebagai contoh apabila setiap hektar menghasilkan 20 ton daun, maka untuk kebun seluas 1.000 hektar akan menghasilkan 20.000 ton limbah daun. Untuk lebih detail bisa dibaca disini. Dengan pola tersebut kita tidak hanya produksi wood pellet, tetapi juga produksi daging, yang saat ini Indonesia masih defisit. Integrasi perkebunan besar dengan peternakan besar akan memberi hasil yang optimal, seperti bisa dibaca disini. InsyaAllah

Kamis, 07 Februari 2019

EFB Pellet Sulit Diterima Pasar, Saatnya EFB Charcoal Briquette Hadir Sebagai Solusi

Ketika properties EFB pellet atau tankos pellet belum bisa diterima pasar, dan solusi untuk meng-upgrade bahan bakar tersebut belum ekonomis, maka perlu solusi jitu yang benar-benar bisa mengatasi masalah tersebut. Sebagian besar pembangkit listrik yang menggunakan pellet sebagai bahan bakarnya menggunakan teknologi pulverized combustion, dimana EFB pellet yang memiliki kadar klorin tinggi kurang bisa diterima. Klorin tersebut korosif terhadap logam sehingga umur pakai (lifetime) pembangkit listrik menjadi pendek. Sedangkan EFB pellet akan lebih cocok untuk pembangkit listrik yang menggunakan teknologi fluidized bed combustion, atau bahkan gasifikasi, sebagai referensi bisa dibaca disini.

Solusi jitu untuk mengatasi masalah EFB adalah diolah menjadi EFB charcoal briquette, yakni dengan pembriketan dan dilanjutkan dengan pengarangan (karbonisasi). Segmen pasar EFB charcoal briquette untuk barbecue yang jelas sangat berbeda dengan pembangkit listrik. Sehingga spesifikasi produk yang dibutuhkan juga sedikit berbeda. Kebutuhan listrik untuk produksi EFB charcoal briquette juga bisa menggunakan EFB tersebut, sehingga sebagian digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik dan sebagian untuk bahan baku EFB charcoal briquette tersebut. Kebutuhan listrik untuk produksi EFB charcoal briquette yang tidak sebesar pada pabrik sawit dan juga tidak membutuhkan kukus (steam), sehingga tidak harus menggunakan steam turbine, tetapi bisa dengan Stirling engine yang merupakan external combustion engine, ORC (Organic Rankine Cycle) atau bahkan gasifikasi.


EFB adalah limbah padat yang paling banyak dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit, sebagai gambaran untuk pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 60 ton/jam TBS akan menghasilkan 264 ton EFB. EFB tersebut terus dihasilkan dan apabila tidak diolah akan semakin menimbulkan masalah. Sebagian besar EFB saat ini hanya sebagai limbah dan belum dimanfaatkan. Sebagai badan usaha yang berorientasi profit industri kelapa sawit, maka pengolahan atau pemanfaatan EFB tentu diupayakan tidak hanya mengatasi masalah lingkungan tetapi juga menghasilkan keuntungan. Dan dengan produksi EFB charcoal briquette insyaAllah tujuan tersebut bisa tercapai. Walaupun kualitas EFB charcoal briquette akan dibawah sawdust charcoal briquette yang bahan bakunya biomasa kayu-kayuan, tetapi semestinya ada harga yang wajar untuk produk EFB charcoal briquette tersebut.

Pasar utama atau pengguna sawdust charcoal briquette adalah negara-negara Turki, Timur Tengah dan Arab Saudi, yang penggunaanya untuk memanggang daging terutama daging domba. EFB charcoal briquette bisa digunakan untuk subtitusi atau alternatif bagi sawdust charcoal briquette tersebut. Bahkan bagi industri kelapa sawit yang memiliki lahan sangat luas juga bisa mengembangkan industri peternakan di lahan tersebut. Peternakan sapi di kebun sawit telah mulai banyak dilakukan, tetapi bagaimana dengan domba? Mengapa peternakan domba kurang mendapat perhatian? Saya coba memaparkan dalam tulisan disini, untuk mencoba menjawab pertanyaan di atas. Sebagaimana dalam budidaya kelapa sawit di perkebunannya yang luas dengan menggunakan teknik-teknik tertentu untuk tetap menjaga produktivitasnya, demikian juga dengan usaha peternakan juga semestinya menggunakan teknik-teknik tertentu untuk menjaga produktivitasnya seperti teknik penggembalaan rotasi (rotation grazing).

Implementasi bisnis EFB charcoal briquette dan peternakan dalam industri kelapa sawit  juga membutuhkan proses, misalnya penyesuaian struktur organisasi perusahaan. Jika organisasi perusahaan industri kelapa sawit saat ini hanya terbagi menjadi unit kebun dan unit pabrik CPO, maka untuk pengembangan usaha baru bisa membuat divisi baru misalnya divisi EFB charcoal briquette, divisi peternakan domba dan sebagainya, sehingga potensi lahan dan semua sumber daya bisa dioptimalkan.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...