Jumat, 01 Maret 2019

Keterlambatan Pembangunan Biomass Powerplant di Jepang dan Pengaruhnya Terhadap Supplai PKS dari Indonesia dan Malaysia

Sebuah program ambisius selalu membutuhkan persiapan yang matang untuk bisa mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Apalagi program ambisius tersebut terkait suatu sektor strategis seperti energi maka persiapan juga perlu lebih serius lagi. Tergesa-gesa untuk segera terealisasi dan mencapai target akan semakin memperburuk keadaaan dan membawa kerugian pada akhirnya. Kesiapan tersebut juga melibatkan banyak pihak sehingga perlu sinkronisasi yang juga tidak mudah dan infrastruktur pendukung. Salah satu program ambisius dalam bidang energi khususnya energi terbarukan dan lebih khusus lagi penggunaan biomasa adalah program pembangkit listrik di Jepang. Jepang sebagai negara yang paling bergantung dengan energi maka keberlanjutan pasokan energi menjadi sangat penting, sehingga kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk hal tersebut. Setelah tragedi atau kecelakaan pada pembangkit nuklir Fukushima Maret 2011, Jepang mulai menggunakan energi terbarukan sebagai salah satu sumber energi yang penting. Penggunaan biomasa sebagai sumber energi ditargetkan sebanyak 4 - 6 GW pada 2030, bahkan kondisi tersebut memacu para pengembang sehingga terjadi surplus hingga hampir 3 kali lipatnya. Kondisi tersebut membuat adanya kebijakan khusus untuk mengontrol hal tersebut sehingga tidak semua disetujui untuk pengembangan pembangkit listrik.
Tentang penggunaan biomasa sebagai sumber energi, negara-negara Uni Eropa bahkan menempatkan porsi biomasa mencapai 70% dalam program energi terbarukannya. Program RED (Renewable Energy Directive) pertama dari Uni Eropa akan berakhir pada 2020. RED I mentargetkan pengurangan emisi sebesar 20% dan penggunaan energi terbarukan mencapai 20% pada tahun 2020, program itu juga terkenal dengan target 20-20-20. Saat ini Uni Eropa juga telah menyiapkan RED II untuk mengganti RED I yang tidak lama lagi segera berakhir. Pada RED II target yang ingin dicapai adalah penurunan emisi sebesar 30% dan penggunaan energi terbarukan hingga 32%.Untuk energi biomasa, saat ini Eropa merupakan produsen wood pellet terbesar yakni diperkirakan 13,5 juta ton/tahun sementara konsumsinya 18,8 juta ton/tahun, artinya masih terjadi kekurangan sebesar 5,3 juta ton/tahun. Amerika dan Kanada adalah pemasok utama kebutuhan wood pellet negara-negara Eropa tersebut dengan sebagian besar penggunaan wood pellet untuk pembangkit listrik. Indonesia sebagai negara tropis dan kaya akan berbagai biomasa khususnya biomasa kayu-kayuan sangat potensial menjadi produsen wood pellet utama dunia. Seiring meningkatnya porsi energi terbarukan dalam program RED II yang akan dicanangkan tersebut maka penggunaan wood pellet juga semakin besar.

Peta status biomass power plant Jepang, merah berarti sudah beroperasi, kuning berarti dalam tahap pembangunan, biru berarti dalam perencanaan.
Jepang menerapkan FIT (feed in tarrif) untuk mendorong penggunaan energi terbarukan pada produksi listrik. FIT mulai diterapkan sejak tahun 2012 dan ada perbedaan signifikan tentang minat perusahaan terkait FIT tersebut. Terjadi lonjakan peminat hingga puluhan kali lipat dibandingkan sebelum diterapkan FIT dengan jumlah pembangkit listrik mencapai 1028 pada 2017 atau 5 tahun setelah penerapan FIT. Lonjakan peminat tertinggi pada pembangkit tenaga matahari yakni solar PV hingga lebih dari 10  kali lipat, sedangkan untuk biomasa melonjak sekitar 3 kali lipat. PKS bahkan menjadi bahan bakar favorit untuk pembangkit listrik tersebut. Pada Maret 2017, 38% dari FIT yang disetujui dalam kategori "general wood" menggunakan PKS sebagai bahan bakar atau sumber energinya. Hal ini membuat export PKS bisa menjadi peluang bisnis yang sangat menarik. Biaya produksi listrik ternyata juga mengalami penurunan dengan penerapan FIT tersebut. Penurunan biaya paling besar pada pembangkit listrik solar PV mencapai 38%, sedangkan pada pembangkit listrik biomasa dengan kapasitas rata-rata 19 MW terjadi penurunan biaya 16%. Sedangkan tinjauan dari aspek lingkungan yakni emisi karbon (CO2 reduction) juga telah terjadi penurunan hingga 6 poin.

Pada tahun 2019 semula direncanakan sebagian besar pembangkit listrik yang dibangun sudah beroperasi tetapi ternyata tahun ini masih banyak pembangkit listrik tersebut belum beroperasi. Hal ini berarti terjadi keterlambatan dari yang direncanakan. Banyak faktor yang menyebabkan keterlambatan tersebut baik aspek teknis seperti koneksi ke jaringan dan pembuatan peralatan maupun aspek non teknis seperti permodalan dan ketersediaan supplai bahan bakar biomasa. Salah satu contoh pada sisi peralatan yakni hanya ada 4 atau 5 pembuat boiler untuk pembangkit listrik di negara tersebut sehingga kewalahan dengan tingginya permintaan. Banyak pembangkit listrik tersebut yang menggunakan bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS. Untuk wood pellet Indonesia juga punya peluang besar seperti yang akan dilakukan oleh Sri Lanka, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk PKS sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia dengan kebun sawit mencapai 12 juta hektar  maka potensi Indonesia sangat besar, diurutan kedua  yakni Malaysia dengan luas perkebunan sawit mencapai 5 juta hektar.
Export PKS dari Indonesia sempat terjadi penurunan beberapa waktu lalu akibat tingginya bea keluar (tarif pungutan export plus pajak) yang totalnya mencapai $17 per ton, sedangkan hal tersebut tidak terjadi di Malaysia karena tidak dikenakan biaya seperti di Indonesia. Bea keluar export PKS di Indonesia dikaitkan dengan harga CPO. Banyak pihak sebenarnya menginginkan supaya bea keluar PKS di Indonesia ditiadakan seperti di Malaysia atau minimal dikurangi sehingga bisa lebih kompetitif. Hal ini karena PKS adalah limbah dan mengeksport adalah bagian dari solusi limbah. Penurunan harga CPO di pasar internasional sebesar 15% ternyata telah menurunkan pungutan export  PKS menjadi 0 sehingga hanya membayar pajak $7 per ton. Tetapi ketika nanti harga CPO naik maka bea keluar (tarif pungutan export) juga naik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018, pemerintah menolkan (US$ 0/ton) seluruh tarif pungutan export apabila harga CPO internasional berada dibawah US$ 570/ton. Sementara itu, jika harga CPO berada di kisaran US$ 570-US$ 619/ton, maka pungutan export PKS menjadi US$5/ton, sedangkan apabila harga CPO internasional sudah kembali normal yakni di atas US$ 619/ton, pungutan export PKS menjadi $10/ton. Apabila ditambah dengan pajak senilai US$ 7 / ton, maka ketika harga CPO dibawah US$ 570 maka hanya pajak saja senilai US$ 7/ton seperti saat ini, tetapi nanti ketika harga CPO naik dikisaran US$ 570-US$ 619/ton, maka pajak dan pungutan export menjadi US$ 12/ton, sedangkan ketika harga CPO telah di atas US$ 619/ton maka pajak dan pungutan export PKS menjadi US$ 17/ton. Semakin tinggi pajak dan pungutan export membuat harga PKS kurang kompetitif.
Para exporter PKS yang telah mengumpulkan banyak PKS dengan harapan bisa dikirim atau di export dalam jumlah besar pada tahun 2019 menjadi kecewa. Harapan dan rencana ternyata tidak sesuai kenyataan. Jepang masih terus melanjutkan program FIT tersebut tetapi realisasinya diperkirakan ada keterlambatan. Pengumpulan dan penumpukan PKS dalam waktu lama juga selain akan membuat rusak PKS bila ditimbun terlalu lama, juga tentunya mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk penyimpanannya. Rencana realisasi yang seharusnya 2019 tetapi mundur menjadi 2022-2023 tentu menunggu 3-4 tahun sangat lama untuk penyimpanan PKS tersebut. Sedangkan untuk bahan bakar wood pellet untuk waktu 3-4 tahun bisa dimanfaatkan untuk membuat kebun energi dan pabrik wood pelletnya. Potensi hutan tanaman industri (HTI) untuk kebun energi dan produksi wood pellet di Indonesia sangat besar, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...