Sabtu, 11 Oktober 2025

Alat Pirolisis Skala Laboratorium untuk Ujicoba Produksi dan Penelitian Biochar

Trend dekarbonisasi terus berkembang di semua sektor kehidupan sebagai bagian konsensus global untuk menyelamatkan bumi. Biomasa memiliki peran strategis melalui biotransition yakni biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral sehingga tidak berkonstribusi pada penambahan emisi CO2 di atmosfer hingga program carbon negative dengan carbon sequestration. Secara subtantif dekarbonisasi dengan program carbon negative (CDR /carbon dioxide removal) akan efektif jika bahan bakar biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral ataupun penggunaaan energi terbarukan lainnya juga ditingkatkan. Atau dengan kata lain upaya mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer ternyata tidak bisa serta merta menyerap CO2 dari atmosfer (carbon capture and storage) saja. Dan dalam konteks energi terbarukan berbasis biomasa, praktisnya produksi wood chip dan wood pellet sebagai bahan bakar terbarukan carbon neutral akan saling melengkapi dengan biochar (carbon negative), lebih detail baca disini.

Biochar produk pirolisis biomasa atau produk biocarbon sebagai media untuk mitigasi perubahan iklim dengan carbon sequestration / carbon sink, belum sepopuler pemanfaaran biomasa sebagai sumber energi terbarukan seperti wood chip, wood pellet ataupun cangkang sawit. Sebagai perbandingan pada tahun 2023 produksi biochar secara global sebanyak 350 ribu ton sedangkan produksi wood pellet 47 juta ton. Dengan konversi dari biomasa menjadi biochar sekitar 30% maka pada tahun 2023 jumlah biomasa kering yang diolah menjadi biochar 1,2 juta ton, sedangkan pada wood pellet pada tahun yang sama sebanyak 47 juta ton atau biomasa untuk wood pellet sekitar 2,6%-nya saja, artinya terpaut sangat jauh. Tetapi diprediksi biochar akan menemukan momentumnya dan akan diproduksi secara masif secara global. Aplikasi biochar tersebut sebagai bagian carbon capture dan storage (CCS) saat ini perkembangannya paling cepat dibandingkan upaya pengurangan CO2 (CDR / Carbon Dioxide Removal) lainnya. Biochar memimpin dalam CDR credits di voluntary carbon market (VCM), yakni dengan lebih dari 90% secara global pada tahun 2023 seperti tertera di database cdr.fyi   

Selain itu aplikasi carbon capture dan storage (CCS) dengan kolom absorber-stripper lalu karbon dioksida yang tertangkap disimpan dilapisan kerak bumi masih mahal. Sedangkan teknologi pirolisis untuk produksi biochar semakin berkembang sehingga selain mudah dioperasikan, efisien, emisi gas buang yang ramah lingkungan juga bisa menghasilkan berbagai produk samping yang memberi keuntungan tambahan. Bahkan unit pirolisis tersebut juga dimungkinkan untuk diintegrasikan dengan suatu industri pengolahan, misalnya pada pabrik sawit, untuk lebih detail baca disini

Termasuk aplikasi BECCS (Bioenergy with Carbon Capture and Storage) yang secara overall merupakan program carbon negative atau penghilangan CO2 dari atmofer (CDR / Carbon Dioxide Removal) tetapi membangun unit bioenergy seperti pembangkit listrik biomasa itu sendiri juga tidak murah apalagi dengan penambahan perangkat carbon capture dan storage (CCS). Sejumlah negara yang sudah memiliki banyak pembangkit listrik biomasa sebagai contoh Jepang dengan sekitar 300 unit pembangkit listrik biomasa maka untuk menjadi operasionalnya carbon negative atau bagian dari penghilangan CO2 dari atmofer (CDR / Carbon Dioxide Removal) akan lebih mudah dengan meng-upgradenya dengan pemasangan perangkat carbon capture dan storage (CCS). Tetapi secara umum untuk menyerap CO2 di atmosfer dan mencapai target iklim maka aplikasi biochar yang diproduksi dengan unit pirolisis lebih mudah, murah dan strategis. 

Untuk mengantisipasi sekaligus preparasi menghadapi era penghilangan CO2 dari atmofer (CDR / Carbon Dioxide Removal) yang semakin berkembang, maka riset biochar juga harus ditingkatkan. Peralatan pirolisis yang bisa meng-cover atau mampu melakukan berbagai ujicoba produksi biochar secara komprehensif dengan semua kondisi operasi proses produksi terukur sangat penting. Parameter kualitas produk biochar ditentukan oleh 3 faktor yakni bahan baku atau jenis biomasa, proses produksi dan pre-treatment biomasanya, untuk lebih detail baca disini. Variabel-variabel penting proses produksi biochar pada unit pirolisis seperti durasi / residence time, suhu dan kecepatan pemanasan (heating rate) juga harus bisa dilakukan dengan peralatan tersebut.

Selain itu masalah emisi gas buang juga sangat penting. Hal ini karena lembaga-lembaga karbon standar seperti Puro, Verra dan CSI mensyaratkan emisi gas buang dengan ambang batas tertentu. Selain itu excess heat dari pirolisis dan/atau produk cair dan gas harus digunakan. Hal tersebut berarti bahwa peralatan pirolisis skala laboratorium tersebut harus cukup canggih untuk mencapai syarat-syarat tersebut. Mengikuti metodologi yang dikembangkan lembaga-lembaga karbon standar tersebut penting dilakukan supaya bisa menghasilkan biochar bersertifikat untuk mendapatkan carbon credit. Dengan setiap ton CO2 ekuivalen yang bisa dihilangkan dari atmosfer atau CORC (CO2 Removal Certificates) nilainya bisa lebih dari $150 maka itu tentu sangat menarik. 

Penggunaan biochar yang beranekaragam seperti pertanian, peternakan, bahkan untuk pembuatan beton bahan bangunan maka semakin mendorong implementasi biochar pada masa depan. Bahkan jika ada pertanyaan misalnya penggunaan biochar pada sektor pertanian yakni biochar : prioritas untuk kesuburan tanah atau solusi iklim dulu ? Tentu ini bukan pertanyaan dikotomis tetapi lebih pada daya dorong aplikasinya yang sangat dipengaruhi oleh faktor yang menjadi masalah daerah atau kawasan tersebut, untuk lebih detail baca disini. Untuk mendapatkan performa terbaik sekaligus meminimalisir resiko dari produksi biochar maka peningkatan kapasitas produksi biochar perlu dilakukan yakni dari skala laboratorium, skala pilot, skala demo hingga pabrik komersialnya, Dengan memahami karakteristik proses produksi secara bertahap dan mendalam maka harapannya angka keberhasilan produksi kapasitas besar atau komersial nantinya juga tinggi.   

Jumat, 03 Oktober 2025

Mengeksplorasi Pasar Produk-Produk Bioenergy dan Biocarbon di era Dekarbonisasi Global

Tuntutan untuk menurunkan suhu bumi dengan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca melalui berbagai kesepakatan global seperti kesepakatan Paris dan Net Zero Emission (NZE) 2050 dengan ditindaklanjuti secara teknis melalui dekarbonisasi untuk berbagai sektor dan industri terus berlangsung. Hal inilah menjadi daya dorong untuk peningkatan bahan bakar terbarukan khususnya yang berbasis biomasa atau produk bioenergy yang memang selama ini telah dilakukan tetapi terjadi dinamika berupa fluktuasi permintaan dan harga. Bioenergy dengan sejumlah kelebihan dan keunikannya sebagai energi terbarukan tidak bisa tergantikan di era dekarbonisasi global ini dan walaupun dalam beberapa waktu mendatang sejumlah subsidi untuk bahan bakar biomasa atau bioenergy akan dihapuskan. 

Hal tersebut sangat terkait dengan prioritas suatu pemerintah dalam dekarbonisasi tersebut dari sejumlah opsi-opsi yang muncul. Produk-produk bioenergy bisa beranekaragam termasuk kualitasnya, tetapi semua memiliki segmen pasar tersendiri pada industri-industri tertentu. Selain itu aspek keberlanjutan (sustainibilty) dari sumber biomasa tersebut juga menjadi aspek penting dalam bisnis dan penggunaan bioenergy tersebut dan diberlakukan secara ketat seperti GGL, FSC, SBP, RED III, dan SURE. Kelompok-kelompok industri seperti semen, besi dan baja, kimia, bahkan sektor penerbangan, yang sebelumnya masih 100% menggunakan bahan bakar atau sumber energi berbasis fossil secara bertahap mulai beralih ke sumber energi terbarukan. 

Produk bioenergy seperti industrial wood pellet dan industrial wood briquette memiliki segmen terutama di industri pembangkit listrik dan pemakaian untuk bahan bakar boiler industri. Industrial wood pellet sangat populer dan diproduksi dalam kapasitas besar dibandingkan dengan industrial wood briquette. Terkait penghapusan subsidi dan pemberlakuan sertifikat keberlanjutan maka produsen bahan bakar biomasa dituntut untuk menghasilkan kualitas produk yang lebih baik dengan bahan baku yang tidak merusak lingkungan atau bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini juga berlaku untuk bioenergy yang berasal dari limbah-limbah pertanian, yang umumnya belum ada sertifikat keberlanjutan pada kapasitas besar.

Pembangkit-pembangkit listrik biomasa yang beroperasi mendekati carbon neutral, selanjutnya bisa ditingkatkan lagi sehingga beroperasi carbon negative atau atmosphere carbondioxide removal (CDR) yakni menambah perangkat penangkap dan penyimpan karbondioksida (CCS / carbon capture and storage). Pembangkit listrik biomasa yang dilengkapi perangkat CCS tersebut populer disebut BECCS (Bio-Energy Carbon Capture and Storage). Diprediksi era BECCS tidak lama lagi dan negara-negara yang memiliki unit pembangkit listrik biomasa bisa dengan mudah meng-upgrade-nya menjadi BECCS. Perangkat CCS yang mahal dan pendapatan carbon credit yang rendah dari CDR masih menjadi kendala saat ini. Jepang yang memiliki sekitar 300 unit pembangkit listrik biomasa sangat berpotensi untuk meng-upgrade-nya menjadi BECCS. Dan sebagai pembangkit listrik biomasa maka kebutuhan bahan bakar akan selalu dibutuhkan seperti wood pellet dan PKS / cangkang sawit, dan untuk lebih detail baca disini

Salah satu contoh sukses BECCS adalah proyek Stockholm Exergi BECCS menggambarkan bagaimana infrastruktur pembangkit listrik biomassa yang ada dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan penyerapan karbon dioksida yang berkelanjutan. Proyek Stockholm ini berbasis bahan bakar biomassa dari sumber yang berkelanjutan, berhasil mendapatkan salah satu kesepakatan penyerapan karbon terbesar di dunia dengan Microsoft, serta kontrak signifikan senilai 500 juta SEK (~89 milyar rupiah).Model mereka mengintegrasikan penangkapan karbon dengan sistem pemanas distrik (District Heating), memaksimalkan efisiensi energi sekaligus mencapai penyerapan karbon dioksida yang permanen.

Demikian juga sejumlah industri besar lain seperti semen, alumunium dan kimia yang juga secara bertahap melakukan dekarbonisasi. Bahan bakar biomasa seperti wood pellet, dan limbah-limbah pertanian / perkebunan seperti PKS / cangkang sawit menjadi preferensi di sektor ini. Selain kandungan energi cukup tinggi, harga bahan bakar biomasa tersebut lebih terjangkau dibanding turunannya seperti torrefied biomass dan charcoal / biochar.  Dengan adanya transisi atau dekarbonisasi bertahap pada industri-industri tersebut maka kebutuhan bahan bakar biomasa juga terus meningkat. 

Sedangkan pada produk biocarbon seperti torrified biomass (biocoal) dan carbonized biomass (biochar / charcoal) mulai menjadi perhatian dan diperkirakan akan mencapai level produksi lebih massal dalam waktu tidak lama lagi. Pembangkit listrik biasanya menyukai biocoal karena kandungan energi lebih tinggi, hidrophobic sehingga bisa ditaruh ditempat terbuka seperti batubara dan lebih mudah dihancurkan (grindability index tinggi). Sedangkan biochar / charcoal terutama pada industri besi dan baja akan sangat cocok untuk menghasilkan low carbon steel bahkan green steel. Reduktor untuk blast furnace yang sebelumnya kokas dari batubara bisa digantikan oleh charcoal atau biochar tersebut. Charcoal atau biochar dengan kemurnian tinggi (fixed carbon >85%) dan impurities rendah dibutuhkan untuk reduktor blast furnace tersebut, dan untuk lebih detail tentang ini bisa baca disini dan disini.  

 

Sedangkan penggunaan biomasa untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel) juga sangat dimungkinkan. Hal ini karena saat ini ada 3 proses produksi terkemuka untuk produksi SAF yakni HEFA (Hydro-processed Esters and Fatty Acids), FT (Fischer-Tropsch) dan ATJ (Alcohol to Jet Fuel). Biomasa melalui proses termokimia yakni pada FT (Fischer-Tropsch) dan biokimia yakni pada ATJ (Alcohol to Jet Fuel) bisa digunakan sebagai bahan baku atau feedstock.   Sedangkan bahan baku atau feedstock untuk proses HEFA bukan solid biomass tetapi vegetable oil, used cooking oil/minyak jelantah, lemak binatang dan sebagainya. Jadi aplikasi yang luas dari biomasa menjadi berbagai sumber energi penting di era dekarboniasi global maka hal itu menjadi daya dorong untuk produksi biomasa tersebut baik melalui sektor kehutanan maupun pertanian / perkebunan yang berkelanjutan.   

Selasa, 30 September 2025

Briket Biomasa Tipe Press Hidroulik, Efisien untuk Kapasitas Kecil

Pabrik-pabrik pengolahaan kayu maupun penggergajian-penggergajian kayu yang menghasilkan limbah biomasa kayu tapi jumlahnya “nanggung” atau tidak terlalu banyak misalnya 5 - 10 ton/hari bisa mengolahnya menjadi produk bernilai tambah, yakni dengan dibuat briket. Briket dan pellet sebenarnya sama-sama menggunakan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification), tetapi memang pellet jauh lebih populer dibandingkan briket. Penggunaan wood pellet biasanya untuk kapasitas besar seperti pembangkit listrik dengan permintaan puluhan bahkan ratusan ribu ton per tahunnya. Sedangkan briket (wood briquette) biasanya untuk kapasitas lebih kecil, dan ada juga wood briquette untuk pemakaian khusus yakni dengan diarangkan dan dipakai untuk BBQ. Dan pertanyaannya wood briquette tipe mana yang cocok untuk kapasitas limbah yang “nanggung” tersebut ? 

Dibandingkan wood pellet yang hanya menggunakan satu macam teknologi untuk produksinya  yakni roller press, pada produksi wood briquette ada 3 macam teknologi yakni piston press, mechanical press dan screw press, untuk lebih detail baca disini. Diantara ketiganya wood briquette tipe hidroulik adalah tipe briket yang paling cocok untuk mengolah limbah yang “sedikit” itu. Hal ini karena konsumsi listriknya paling irit, bisa bekerja secara otomatis dan stabil bahkan untuk operasi 24 jam non-stop. Industri penggerjian maupun pengolahan kayu, selain menjadikan unit produksinya bersih atau zero waste juga akan mendapat keuntungan tambahan yang juga berkontribusi pada energi terbarukan. 

Secara teknis produksi briket juga lebih mudah dibandingkan pellet, hal ini karena moisture content untuk produksi briket lebih longgar, demikian juga untuk ukuran partikelnya. Dan bahkan untuk bahan baku biomasa yang abrasif, pembriketan khususnya dengan teknologi piston press maupun hidroulik press akan bisa menghandle material tersebut secara efektif, dibandingkan pada teknologi  roller – press pada pemelletan. Tingkat keausan peralatan pada pemelletan untuk material tersebut akan jauh besar, sedangkan pada pembriketan jauh lebih kecil. Hal tersebut karena bidang kontak saat pengepressan / pemadatan pada pemelletan jauh lebih besar dibandingkan dengan pembriketan. Dan karena hal itu, maka pada pembriketan akan mudah mengganti komponen mesin tertentu yang aus akibat material abrasif, tidak seperti pemelletan yang harus mengganti die bahkan roller-nya. 

Seiring dengan era dekarbonisasi yang semakin kencang, penggunaan bahan bakar terbarukan khususnya biomasa seperti limbah-limbah kayu juga semakin marak. Dan dengan pembriketan khususnya briket tipe press hidroulik akan memudahkan handling dan pemakaiannya di tungku pembakaran. Boiler biomasa yang bahan bakarnya diumpankan secara manual akan mudah sekali menggunakan briket tipe press hidrolik ini.  Industri-industri kecil dan menengah yang menggunakan boiler kecil akan bisa menyerap produk briket tipe press hidrolik tersebut.      

Kamis, 25 September 2025

Peluang untuk Memasok Bahan Bakar Biomassa ke Jepang

Loading cangkang sawit / pks untuk export

Jepang saat ini mengoperasikan sekitar 290 pembangkit listrik biomasa. Kapasitas terpasangnya 7,3 GW tetapi yang beroperasi secara aktif hanya 4,96 GW (~68% dari kapasitas terpasang) dan output listrik mencapai puncaknya pada tahun 2024. Pada 2030 diproyeksikan akan terjadi penambahan pembangkit sebesar 6 GW tetapi faktanya terjadi beberapa perlambatan karena pengurangan daya pembangkit dan bahkan sampai menutup pembangkit listrik biomasa tersebut. Hal itu terjadi seperti di pembangkit Taketoyo JERA yang mengurangi tingkat operasional atau output daya listriknya dan pembangkit Suzukawa yang sampai ditutup karena tekanan ekonomi. Walaupun demikian tetapi rencana pembangunan pembangkit listrik biomasa baru tetap kuat yakni 11 pembangkit baru yang dijadwalkan beroperasi pada tahun 2025 ini yang dapat meningkatkan permintaan bahan bakar biomasa tahunan sekitar 1,1 juta ton. Kebutuhan bahan bakar biomasa adalah peluang usaha yang mesti dimanfaatkan apalagi bahan bakar biomasa untuk pembangkit listrik biomasa di Jepang tersebut sebagian berasal dari import. Berikut 2 contoh profil singkat pembangkit listrik biomasa di Jepang :


 1. Renova

Renova adalah pembangkit listrik biomasa yang berkapasitas 75 MW. Pembangkit ini berlokasi di Pelabuhan Omaezaki di bagian paling selatan Prefektur Shizuoka. Bahan bakar biomasa untuk pembangkit Renova ini menggunakan wood pellet dan cangkang sawit (PKS).  

Masalah kualitas bahan bakar dan aspek berkelanjutan menjadi perhatian penting bagi Renova misalnya pada cangkang sawit atau PKS seperti keberadaan material pengotor benda asing, dan kadar air harus pada batas yang bisa diterima atau serendah mungkin. Sedangkan pada wood pellet aspek teknis berupa kepadatan dan prosentase partikel halus (fine) menjadi perhatian. Hal inilah yang membuat Renova merasa perlu untuk mendorong investasi dalam pengujian dan analisis bahan bakar. 

Fasilitas energi terbarukan tersebut sebelumnya telah menunda operasi komersialnya dua kali karena dibutuhkannya waktu tambahan untuk penyesuaian akhir pada boiler dan turbin guna memastikan operasi yang stabil. Pada awalnya dijadwalkan beroperasi pada Desember 2023, lalu  Pada Desember 2024, Renova menyatakan bahwa peluncuran juga ditunda, hingga akhirnya mulai beroperasi pada awal 2025. Modifikasi tersebut diperlukan untuk memastikan operasi yang stabil dalam jangka panjang.

Renova adalah pemegang saham terbesar di Omaezakikou dengan 38%. Chubu Electric Power Co Inc berada di posisi kedua dengan 34%, sementara Mitsubishi Electric Financial Solutions Corp dan Suzuyo Shoji Co Ltd masing-masing memegang 18% dan 10%. Perusahaan ini juga sedang menjajaki bahan bakar biomasa alternatif, seperti tandan buah kosong, untuk mendiversifikasi pasokan bahan bakar biomasanya dan mengendalikan biaya dengan harga beli yang lebih murah. 

2. Kanda 

Energi Biomassa di Kota Kanda, timur laut Chiyoda, Tokyo. Diresmikan pada Juni 2021, fasilitas berkapasitas 75 MW ini beroperasi secara eksklusif dengan biomassa. Dengan kapasitas tahunan sekitar 500 juta kWh, pembangkit ini menghasilkan listrik terbarukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik 170.000 rumah tangga—lebih dari sepuluh kali lipat kebutuhan listrik Kota Kanda. 

Kanda Biomassa Energy memanfaatkan tiga jenis biomassa: wood pellet (60 persen), cangkang sawit atau PKS (30 persen), dan wood chip (10 persen). Campuran bahan bakar tersebut mengurangi terjadinya GRK ke atmosfer sebesar 670.000 ton per tahun dibandingkan dengan pembangkit listrik batubara dengan kapasitas yang sama. Wood pellet diimpor dari British Columbia, Kanada dan Vietnam, cangkang sawit atau PKS dari Indonesia, dan wood chip didatangkan secara lokal dari Kyushu utara. 

Pabrik ini memiliki tiga tangki bahan bakar khusus untuk penyimpanan wood pellet. Biomassa dimasukkan ke dalam boiler circulated fluidized bed (CFB), yang kemudian diubah menjadi uap super panas (superheated steam) untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik. Uap tersebut kemudian didinginkan, dikondensasikan, dan didaur ulang kembali ke dalam sistem, memastikan pembangkitan listrik yang efisien dan berkelanjutan bagi pengguna rumah tangga dan industri di wilayah tersebut. 

Saham kepemilikan untuk pembangkit listrik Kanda Biomass adalah: Renova (43,07%), kehutanan Sumitomo (41,5%), Veolia Jepang (10%), Kyuden Mirai Energy (5%), dan Mihara Group (0,43%). Pembangkit listrik biomasa tersebut pada awalnya dikembangkan oleh Nippon Steel Engineering, Renova, dan Sumitomo Heavy Industries. 

Senin, 22 September 2025

Green Aluminium dan Peran Energi Berbasis Biomasa

Kebutuhan alumunium diprediksi semakin besar yakni meliputi sektor konstruksi, transportasi (termasuk pesawat terbang) dan otomatif, peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik. Produksi green alumunium dari pertambangan bauksit lalu diolah menjadi alumina sebagai produk antara dari pemurnian / refining bauksit dan menjadi produk akhir berupa alumunium adalah sangat ideal. Produksi alumunium khususnya dari pengolahan alumina menjadi alumunium membutuhkan energi listrik yang sangat besar, untuk produksi sekitar300.000 ton/tahun alumunium dibutuhkan energi listrik sekitar 1 GW (1.000 MW). Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik tersebut perlu dibangun pembangkit listrik yang sangat besar. Dan apabila menggunakan sumber energi berbasis fossil khususnya batubara maka kebutuhannya akan sangat besar.

PT Inalum di Sumatera Utara adalah contoh produksi green aluminumium pada produksi alumunium dari alumina. Hal ini karena produksi alumunium dari alumina tersebut menggunakan sumber energi dari PLTA (pembangkit listrik tenaga air) untuk mencukupi kebutuhan listriknya.  Tetapi selama 40 tahun lebih pabrik alumunium tersebut mengimport jutaan ton alumina sebagai bahan bakunya. Dan setelah pabrik alumina dari bauksit di Mempawah, Kalimantan Barat beroperasi maka sebagian besar alumina sebagai bahan baku PT Inalum akan disuplai dari pabrik alumina di Mempawah tersebut. Sekitar 1 juta ton alumina akan dihasilkan dari pabrik alumina di Mempawah, Kalimantan Barat tersebut atau lebih dari 80% dari kebutuhan alumina PT Inalum di Sumatera Utara. 

Produksi alumina dari bauksit juga membutuhkan energi listrik yang besar sehingga perlu adanya pembangkit yang mampu memenuhi kebutuhan listrik untuk operasional pabrik tersebut. Sebagian besar dari pabrik alumina juga masih menggunakan sumber energi fosil untuk produksi listriknya. Untuk upaya dekarbonisasi maka penggunaan energi terbarukan seperti yang berbasis biomasa yakni wood pellet bisa dilakukan. Penggunaan wood pellet dengan rasio cofiring bertahap bisa dilakukan hingga akhirnya bisa fulfiring atau 100% menggunakan wood pellet atau energi berbasis biomasa lainnya.

 

Kebutuhan energi terbarukan khususnya berbasis biomasa tersebut sangat besar dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan sumber biomasa yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Sumber biomasa tersebut bisa berasal dari biomasa kayu-kayuan maupun biomasa limbah-limbah pertanian. Sumber biomasa kayu-kayuan bisa berasal dari limbah hutan, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu produksi kebun-kebun energi. Sedangkan dari sumber limbah-limbah pertanian bisa berasal dari limbah pertanian dan perkebunan maupun dari limbah agro-industri. Sertifikat keberlanjutan juga perlu mendapat perhatian bahkan dalam beberapa waktu mendatang bisa menjadi suatu kewajiban terkait asal sumber energi berbasis biomasa tersebut.  

Senin, 15 September 2025

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Berkelanjutan

Sabut kelapa menempati porsi 30% atau sekitar sepertiga dari berat buah kelapa. Bahan ini pada umumnya hanya ditinggal di kebun dan sebagian besar masih belum dimanfaatkan sehingga malah cenderung mencemari lingkungan. Dengan produksi kelapa Indonesia yang mencapai sekitar 2,9 juta ton per tahun atau 15,13 butir per tahun, maka potensi sabut kelapa yang dihasilkan sangat besar yakni sekitar. 1 juta ton basah (kadar air rata-rata 60%) atau 500 ribu ton kering (kadar air 10%). 

Jumlah sabut kelapa ini hampir tidak terpengaruh oleh kebijakan export kelapa bulat oleh pemerintah terutama untuk tujuan ke China akhir-akhir ini, seperti video ini. Banyak industri berbasis kelapa yang kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku bahkan hingga menutup pabriknya. Industri-indstri seperti dessicated coconut, santan, arang tempurung dan briket arang, serta activated carbon sangat terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Menjual produk olahan atau produk-produk turunan kelapa yang melalui proses industrialisasi jelas akan memberi nilai tambah lebih besar dan menciptakan lapangan kerja. Dan negara-negara maju juga tidak mengeksport bahan mentah, tapi barang jadi atau minimal barang setengah jadi. 

Industrialisasi produk berbasis kelapa sangat penting dilakukan. Seperti halnya kelapa sawit, produk-produk pengolahan kelapa terutama untuk produk pangan. Pemanfaatan untuk energi atau biofuel juga sangat dimungkinkan, seperti untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel). Bahkan pada minyak sawit penggunaan untuk biofuel berupa campuran wajib minyak sawit dari CPO (crude palm oil) dalam biodiesel 40% (B40) tahun ini dan sedang dikaji menjadi 50% (B50) pada tahun 2026, serta minyak sawit dari PKO (palm kernel oil) untuk campuran 3% untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF pada tahun 2026. Kandungan utama minyak kelapa berupa asam laurat sama seperti minyak kernel sawit atau PKO. Asam laurat yang terdiri 12  atom karbon (C) atau MCFA (medium chain fatty acid) sangat cocok untuk penggunaan bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF harus memiliki ikatan atom karbon atau ikatan C direntang C10-C15 , untuk lebih detail baca disini

Produktivitas kelapa terus menurun akibat kurang atau lambatnya program replanting, kasus serupa juga dialami oleh kelapa sawit untuk lebih detail baca disini, dan ini menjadi kendala tersendiri. Luas kebun kelapa yang perlu direplanting juga mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektar, sebagai contoh untuk provinsi Riau ditargetkan 43.388 hektar kebun kelapa akan diremajakan pada tahun 2025. Selain produktivitas kelapa bisa ditingkatkan dengan penggunaan bibit unggul, intensifikasi juga perlu dilakukan. Produktivitas kelapa yang tinggi dan harga jual yang tinggi menjadi dorong untuk replanting tersebut.  

Pemanfaatan atau produksi biochar dari sabut kelapa adalah solusi untuk meningkatkan produktivitas kelapa berkelanjutan. Penggunaan biochar juga bisa sangat mendukung untuk perkebunan kelapa organik. Walaupun pada umumnya pohon kelapa tidak dipupuk secara memadai bahkan tidak dipupuk sama sekali tetapi masih tetap berbuah, dengan biochar pemakaian pupuk akan semakin efisien. Hal ini karena biochar adalah sebagai slow release fertilizer agent. Terkait pemupukan, pada kelapa berbeda 180 derajat dengan kelapa sawit yang pemupukan harus dilakukan sehingga pohon sawit bisa berbuah dan ketergantungan dengan pupuk kimia yang tinggi. Bahkan pada perkebunan sawit komponen biaya tertinggi adalah pemupukan itu sendiri. Produk kelapa organik akan menghasilkan produk-produk turunan yang disukai dan harga jual tinggi. 

Potensi pendapatan dari karbon kredit juga akan sangat menarik. Untuk mendapatkan carbon credit atau BCR (Biochar Carbon Removal) credit maka aplikasi biochar termasuk proses produksi harus diverifikasi oleh lembaga karbon standar. Lembaga karbon standar seperti Puro Earth, Verra dan CSI mengembangkan suatu metodologi yang harus diikuti oleh produsen biochar untuk mendapatkan carbon credit tersebut.  

Rabu, 03 September 2025

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit tersebut masih baru sehingga belum banyak aau masih bisa dihitung dengan jari pabrik sawit yang mengaplikasikannya. Salah satu pabrik sawit yang sudah melakukannya adalah Minsawi industries di Kuala Kangsar, Malaysia berkapasitas 45 ton TBS/jam dengan penggunaan AI pabrik tersebut bisa melakukan penghematan RM 1,6 juta (Rp 6,24 milyar) per tahun karena kehilangan minyak lebih kecil dan demikian juga biaya pemeliharaan (maintenance) serta penggunaan tenaga kerja berkurang 33%. Tetapi ada kekhawatiran penggunaan AI untuk pabrik sawit adalah potensi hilangnya sejumlah pekerjaan. Walaupun dengan tenaga kerja lebih sedikit tetapi penghasilan menjadi lebih tinggi. 

Cost to benefit ratio tentu akan menjadi pertimbangan penting suatu teknologi baru termasuk penggunaan AI. Seberapa besar biaya dikeluarkan harus memberi keuntungan yang sepadan atau lebih besar. Dalam hal aplikasi AI pada pabrik sawit tersebut, biaya AI menelan biaya RM 5 juta (~Rp 19,5 Milyar) artinya dengan penghematan sebesar RM 1,6 juta per tahun tersebut maka dalam waktu sekitar 3 tahun investasi untuk perangkat AI tersebut kembali. Pengembalian investasi yang wajar. Tetapi dengan dengan investasi sebesar itu untuk peningkatan efisiensi pada pabrik yang sudah beroperasi atau dimana nilai investasi itu misalnya senilai 15% dari pabrik utama, memang membutuhkan pertimbangan yang komprehensif. 

Sejumlah perangkat diintegrasikan seperti sensor, alat prediktif dan aplikasi AI untuk peningkatan efisiensi produksi minyak sawit atau CPO tersebut. Lebih detailnya komponen-komponen kunci untuk pabrik sawit berbasis AI tersebut meliputi : pertama, advanced sensors. Sensor-sensor tersebut dipasang diseluruh bagian pabrik sawit untuk mendapatkan data real-time pada parameter-parameter penting seperti suhu, tekanan, amper, dan kinerja mesin. Kedua, kamera-kamera CCTV berkemampuan AI. Sejumlah kamera dipasang pada tempat-tempat strategis untuk memonitor area-area kunci, seperti untuk mendeteksi volume TBS, kualitasnya dan menyediakan informasi tersebut untuk mengontrol proses produksi. Ketiga, sistem kontrol yang digerakkan oleh AI. Sistem-sistem tersebut secara otomatis dan mengoptimalkan proses, mengatur operasional peralatan dan pemanfaatan sumber daya berbasis pada real time data analysis. 

Sedangkan pada pengembangan produk baru, berarti akan meningkatkan nilai tambah dari bahan-bahan yang ada. Peningkatan nilai tambah ini bisa jauh lebih besar daripada yang didapat dari peningkatan efisiensi pabrik aplikasi dari penggunaan AI. Bahan baku yang sebelumnya tidak dimanfaatkan atau bahkan dibuang begitu saja sehingga mencemari lingkungan bisa mendatangkan banyak keuntungan dari pengembangan produk baru tersebut. Tentu saja mengoptimalkan performa atau kinerja pabrik sangat penting karena menghasilkan efisiensi yang tinggi, tetapi inovasi untuk pengembangan produk baru juga tidak kalah penting. 

Pada industri sawit pengembangan produk baru bisa dilakukan dengan cara yakni membuat berbagai produk turunan dari minyak mentah sawit (CPO) dan mengolah berbagai limbah biomasa dari operasional industri sawit tersebut, baik limbah biomasa dari pabrik sawitnya maupun dari perkebunannya. Ada banyak produk yang bisa dihasilkan dari pengolahan-pengolahan tersebut. Sebagai contoh pada turunan CPO akan dihasilkan biofuel seperti biodiesel, minyak goreng, stearin, olein dan sebagainya sedangkan pengolahan limbah biomasa bisa menjadi bioenergy, biocarbon, biofuel, biomaterial dan biochemical. 

Merancang proses produksi yang efisien sangat penting untuk menghasilkan produk yang kompetitif. Demikian juga dengan produksi yang rendah emisi atau limbah sekecil mungkin bahkan zero waste juga menjadi perhatian penting. Integrasi berbagai proses produksi terutama untuk penghematan energi termasuk waste heat recovery sangat dimungkinkan untuk mencapai tingkat efisiensi atau biaya produksi yang rendah. Keuntungan yang besar karena aplikasi AI pada pabrik sawit atau produksi CPO selanjutnya bisa digunakan untuk pengembangan produk baru termasuk merancang proses produksi seefisien mungkin. 

 

Pada akhirnya apabila pengembangan produk-produk baru tersebut bisa dilakukan dan sekaligus AI  diintegrasikan maka kebutuhan tenaga kerja akan bertambah pada unit-unit bisnis tersebut, walaupun setiap unit bisnis bekerja secara efisien. Produksi berbagai produk turunan hingga specialty chemical sangat dimungkinkan dengan pengembangan produk baru mengikuti perkembangan zaman. Selain itu di sisi perkebunannya juga bisa memanfaatkan AI dan mekanisasi untuk mengurangi 3D (dirty, dangerous, demeaning) jobs, sehingga pekerjaan juga semakin efisien dengan penghasilan meningkat.  Bahkan mekanisasi di perkebunan sawit juga masih rendah sehingga lebih mendesak dilakukan dibanding aplikasi AI.   

Minggu, 31 Agustus 2025

Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Batang Sawit Tua (Versi Presentasi)

Tanaman tua menjadi salah satu faktor menurunnya produktivitas kelapa sawit. Pohon sawit mulai terjadi penurunan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun. Hal ini sehingga peremajaan atau replanting harus dilakukan berkala sesuai umur tanaman tersebut.

Disamping itu kebutuhan minyak sawit terus seiring meningkat pertumbuhan jumlah penduduk dunia. Untuk pasar domestik atau dalam negeri, penggunaan untuk biofuel berupa campuran wajib minyak sawit dalam biodiesel 40% (B40) tahun ini dan sedang dikaji menjadi 50% (B50) pada tahun 2026, serta untuk campuran 3% untuk bahan bakar jet pada tahun 2026, selanjutnya untuk pasar internasional juga kebutuhannya terus meningkat. Tujuan utama minyak sawit dari Indonesia yakni India, China, Pakistan, Bangladesh, Amerika Serikat,  Belanda, Spanyol, Italia, Mesir dan Afrika Selatan.  

Replanting kebun sawit menjadi sangat penting dilakukan karena akan bisa menjaga produktvitas kelapa sawit berkelanjutan dan menghindari atau mengurangi deforestasi untuk lahan baru. Potensi volume limbah batang sawit tua yang dihasilkan sangat besar dan juga ada banyak opsi pemanfaatannya seperti bioenergy, biocarbon, biomaterial, biofuel dan biochemical.

Untuk membaca dan mendapatkan presentasinya, silahkan download disini.    

Sabtu, 30 Agustus 2025

Produksi Biochar dan Kompos Premium dari Pengolahan Limbah Organik

Produksi biochar dan kompos sama-sama menggunakan bahan organik. Perbedaannya adalah level kecocokannya. Bahan organik yang basah, kaya nutrisi dan sedikit mengandung lignin lebih cocok untuk produksi kompos. Sedangkan bahan organik yang kering, dan banyak mengandung lignin lebih cocok untuk produksi biochar. Hal ini sehingga pemilahan untuk bahan oganik tersebut perlu dilakukan sehingga akan mendapatkan hasil yang optimal. Dengan komposisi limbah organik yag mencapai 60% dalam sampah kota maka bahan baku untuk produksi biochar maupun kompos diperkirakan sangat besar. 

Produksi biochar adalah proses thermal sedangkan produksi kompos adalah proses biologis. Alat produksi biochar yakni unit pirolisis bisa dipasang berdekatan dan terintegrasi dengan unit produksi kompos pada instalasi pengolahan sampah kota dan sejenisnya. Produk biochar lalu digunakan untuk produksi kompos sehingga meningkatkan kualitas kompos menjadi kompos premium dan waktu pengomposan lebih cepat, untuk lebih detail baca disini. Kompos premium juga bisa dijual lebih mahal sebanding dengan kualitasnya. Kelebihan energi dari produksi biochar atau operasional pirolisis bisa dimanfaatkan pada pengolahan sampah fraksi RDF atau yang lainnya. 

Potensi produksi kompos premium tersebut sangat besar. Hal ini sehingga bisa dimanfaatkan pada lahan-lahan kritis dari reklamasi pasca tambang yang luasnya jutaan hektar atau bahkan lahan-lahan kering terdegradasi yang mencapai ratusan juta hektar. Lahan-lahan yang tidak atau kurang produktif tersebut ketika diaplikasikan kompos premium tersebut akan menjadi subur sehingga misalnya lahan reklamasi pasca tamang ditanami kembali (revegetasi) maka akan menghasilkan berbagai produk-produk pertanian atau perkebunan yang bermanfaat atau menguntungkan secara ekonomi, lingkungan dan sosial. Biochar dengan kandungan karbon tinggi akan bertahan di dalam tanah hingga ratusan tahun dan merupakan carbon sequestration bisa dikompensasi dengan mendapatkan carbon credits.  

Rabu, 20 Agustus 2025

Produksi Kompos dengan Biochar untuk Peningkatkan Kualitas Produk Kompos dan Keuntungan Usaha

Walaupun produksi kompos dan biochar sama-sama memanfaatkan dan mendaur ulang (recycle) limbah organik tetapi ada beberapa perbedaan yakni produksi kompos dengan fermentasi aerob yang merupakan rute biologi sedangkan produksi biochar dengan pirolisis yang merupakan rute thermal. Selain itu terkait bahan baku, untuk produksi kompos bahan yang ideal memiliki kadar air 60 – 70%, memiliki kandungan hara tinggi dan kandungan lignin yang rendah seperti sisa makanan dan kotoran hewan. Sebaliknya untuk produksi biochar bahan baku yang ideal memiliki kadar air 10-20% dan kandungan lignin yang tinggi seperti biomasa kayu-kayuan. 

Sejumlah riset terkini menyatakan bahwa penambahan biochar pada proses pengomposan akan membuat proses pengomposan lebih cepat, mengurangi emisi GRK seperti metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O), mengurangi kehilangan amonia (NH3), menambah aerasi dan mengurangi kepadatan kompos, serta mengurangi terjadinya bau. Sedangkan untuk biochar itu sendiri tidak rusak atau terdekomposisi / terurai pada proses pengomposan tersebut tetapi memperkaya biochar dengan berbagai unsur hara.

Untuk bisa mendapatkan proses dan hasil terbaik, dosis biochar juga harus sesuai dengan jumlah bahan organik bahan baku kompos tersebut. Penggunaan biochar terlalu banyak malah akan mengganggu proses biodegradasi pengomposan ataupun jika biochar yang digunakan terlau sedikit maka efek - efek positif seperti yang disebutkan di atas tidak terasa atau tidak terjadi. Dengan dosis biochar yang sesuai biochar dapat mempercepat proses pengomposan. Hal ini terjadi karena homogenitas dan struktur campuran meningkat serta menstimulasi aktivitas mikroba pada proses pengomposan tersebut. 

Peningkatan aktivitas mikroba tersebut akan membuat suhu meningkat dan membuat waktu pengomposan lebih cepat. Berdasarkan sejumlah penelitian dosis 5% sampai 10% volume biochar pada saat awal pengomposan akan mempercepat proses pengomposan 20%. Dengan rata-rata produksi kompos memakan waktu 2 bulan (9 pekan) , dengan penambahan biochar dengan dosis tersebut di atas, maka pengomposan bisa lebih cepat 20% atau hanya menjadi sekitar 1,6 bulan (7 pekan). Dengan waktu produksi lebih pendek dan kualitas kompos lebih baik dengan tambahan biochar, maka harga jual kompos bisa lebih tinggi atau mungkin setara kompos premium. Hal tersebut sehingga bisa menutupi biaya penambahan biochar pada produksi kompos tersebut. 

Pori-pori biochar akan mengurangi bulk density dari kompos dan membantu aerasi saat pengomposan. Untuk bahan baku kompos yang kaya nitrogen (N) seperti kotoran ternak, penambahan biochar bisa mengurangi kehilangan N sewaktu pengomposan, khususnya NH3. Munculnya bau tidak enak tersebut karena lepasnya NH3 selama pengomposan sehingga karena alasan inilah banyak pembangunan fasilitas pengomposan ditolak warga masyarakat. Pada penelitian penambahan 20% biochar (mass basis) pada kotoran ayam mengurangi konsentrasi NH3 pada emisi gas hingga 64% dan kehilangan N hingga 52% tanpa mengakibatkan pengaruh negatif pada proses pengomposan. 

Pada penggunaannya kompos akan terdekomposisi dengan nutrisi / unsur hara terserap di tanaman, sedangkan biochar akan bertahan lama di tanah bahkan hingga ratusan tahun. Hal ini membuat biochar menjadi solusi jangka panjang untuk perbaikan kualitas tanah. Penggunaan biochar pada kompos akan memberi manfaat ganda, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Manfaat jangka pendek sebagai pupuk organik, sedangkan manfaat jangka panjang perbaikan atau stabilisasi kualitas tanah serta sebagai carbon sequestration. CO2 yang diserap melalui photosintesa akan menjadi biomasa atau bahan organik sebagai bahan baku biochar dan karbon dalam biochar tidak akan terurai hingga ratusan tahun atau tidak lepas ke atmosfer selama masa tersebut. 

Belum ada data yang menunjukkan jumlah kalkulasi produksi kompos di Indonesia per tahun Namun, potensi produksi kompos dari sampah organik domestik sangat besar, mencapai sekitar 60% dari total timbuan sampah nasional yang mencapai lebih dari 60 juta ton per tahun atau lebih dari 36 juta ton sampah organik sebagai bahan baku kompos. Ada sejumlah pihak yang melakukan produksi kompos di berbagai daerah di Indonesia baik pemerintah maupun swasta yang berkontribusi dalam produksi kompos, dengan kapasitas produksi bervariasi. Dengan bahan baku bahan organik yang sangat melimpah (lebih dari 36 juta ton/tahun) tersebut produksi kompos yang diperkaya biochar bisa dilakukan sehingga memaksimalkan kualitas kompos dan manfaat-manfaat lainnya. 

Hal ini bisa dilakukan dengan membuat unit produksi biochar atau pemasangan unit pirolisis di lokasi sumber sampah organik tersebut. Bahan baku limbah organik yang kurang cocok untuk kompos bisa digunakan untuk produksi biochar. Sejumlah perusahaan sudah berencana melakukan hal tersebut. Artikel terkait baca disini

Rabu, 13 Agustus 2025

Gerakan Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Biomasanya

Pohon sawit mulai kehilangan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun, sementara pohon baru membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk mulai berbuah. Hal itu pada umumnya menjadikan lahan tidak produktif selama rentang waktu 4 tahun tersebut dan ini yang membuat petani enggan melakukan peremajaan sawitnya (replanting). Tetapi dengan tumpang sari masa tersebut bisa tetap memberi keuntungan bagi petani. Menanam tanaman berumur pendek seperti padi gogo dan jagung, di samping kelapa sawit dapat membantu petani memperoleh penghasilan tambahan sambil menunggu pohon kelapa sawit berbuah dan tumbuh dewasa. 

Pada tahun 2024 Malaysia sebagai produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia dan mulai menerapkan intensifikasi lahan karena luas lahan yang terbatas, hanya melakukan penanaman kembali (replanting) 2% atau sekitar 114.000 hektar saja. Padahal negara tersebut mentargetkan 5% lahan bisa dilakukan replanting kebun sawit tersebut. Kondisi di Indonesia juga tidak jauh berbeda, bahkan diprediksi replanting yang dilakukan kurang dari 2%. Dan misalkan jika hanya 1,5%  atau sekitar 246.000 hektar melakukan replanting maka sangat tidak proporsional dengan luas lahan sawitnya yang hampir 3 kali luas lahan sawit Malaysia. Selain itu replanting semestinya dilakukan secara periodik setiap tahun untuk menghasilkan performa produksi sawit yang optimal. 

 

Dampak keengganan atau lambatnya replanting tersebut berdampak pada penurunan produksi minyak mentah sawit atau CPO secara nasional. Bahkan produksi minyak sawit Malaysia stagnan lebih dari dekade lalu akibat keterbatasan lahan untuk perkebunan baru dan dan lambatnya penanaman kembali (replanting) tersebut. Sementara di Indonesia kekhawatiran terhadap deforestasi juga berpengaruh terhadap perluasan lahan untuk perkebunan sawit baru. Dan produksi minyak mentah sawit atau CPO akan semakin menurun lagi apabila ditambah faktor kekuragan tenaga kerja dan penyebaran jamur ganoderma yang mengurangi hasil panen.

Dengan kondisi di atas maka gerakan replanting kebun sawit harus digalakkan sehingga produksi minyak sawit bisa dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Masalah limbah biomasa dari pohon sawit yang mencapai ribuan hektar juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan volume pohon sawit tua yang sangat besar maka pemanfaatan menjadi produk yang bernilai tambah penting dilakukan.   Dengan rata-rata setiap hektar kebun sawit terdiri 125 pohon dan setiap pohonnya memiliki rata-rata berat kering 2 ton, maka per hektar di dapat 250 ton berat kering biomasa. Untuk luasan 10 ribu hektar menjadi 2,5 juta ton berat kering dan untuk luasan 100 ribu hektar berarti mencapai 25 juta ton berat kering. Atau jika perkiraan optimis Indonesia bisa melakukan 5% replanting atau 820 ribu hektar berarti ada 205 juta ton berat kering biomasa dan juga Malaysia dengan 5% replanting atau 285 ribu hektar akan dihasilkan 71,25 juta ton berat kering.  

Faktor kesiapan bisnis ditinjau dari teknologi dan pasar atau pengguna produk tersebut perlu dikaji secara seksama. Dengan volume yang sangat besar tersebut maka pabrik atau industri pengolahan biomasa bisa didirikan dan beroperasi secara maksimal, tanpa khawatir kekurangan bahan baku. Produk-produk seperti pellet, briquette dan biochar dari limbah biomasa batang sawit tua tersebut. Batang sawit tua yang mati dan biasa ditinggal begitu saja di lahan semestinya dimanfaatkan untuk menjadi produk-produk yang bermanfaat dan bernilai tambah tersebut.    

Alat Pirolisis Skala Laboratorium untuk Ujicoba Produksi dan Penelitian Biochar

Trend dekarbonisasi terus berkembang di semua sektor kehidupan sebagai bagian konsensus global untuk menyelamatkan bumi. Biomasa memiliki pe...