Rabu, 25 Juni 2025

Berlomba-Lomba dalam Kebaikan dalam Menurunkan Suhu Bumi

Berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi adalah sebuah kebaikan. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Dampak buruk dari kenaikan suhu bumi dapat dirasakan di darat dan di laut, sehingga harus diminimalisir. Hal inilah mengapa antar berbagai pihak dalam upaya ini mestinya saling berkolaborasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan tersebut. Aspek bisnis dari kegiatan ini mestinya menjadi prioritas kedua, sehingga semangat berbuat baik dan berkolaborasi serta bersinergi akan tercipta. Secara teknis sektor-sektor strategis yang menjadi poin-poin utama penyebab kenaikan suhu bumi menjadi prioritas penting untuk ditangani, walaupun hal-hal lain yang lebih mendesak juga harus didahulukan. 

Ada kelebihan konsentrasi karbon (CO2) di atmosfer yang membuat suhu bumi naik karena efek gas rumah kaca, tetapi di sisi lain ada milyaran hektar tanah di bumi yang butuh karbon berupa biochar untuk meningkatkan kesuburan tanah sekaligus untuk menyerap CO2 di atmosfer tersebut dengan carbon sequestration / carbon sink. Apabila kedua hal ini bisa disinkronkan maka menjadi solusi jitu bagi penurunan suhu bumi tersebut. Pada tahun 2024 tercatat emisi CO2 dari bahan bakar fossil sekitar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton) dan kosentrasi CO2 terakhir menurut observatorium Mauna Loa di Hawai mencapai 429.25 ppm (pada 24 Juni 2025). Sedangkan di sisi lahan, secara global diperkirakan 1,66 miliar hektar lahan telah terdegradasi akibat aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, penggembalaan berlebihan, irigasi yang salah kelola, dan penggunaan bahan kimia berlebihan.

Bahan bakar biomasa dengan produksi wood chip dan wood pellet atau biofuel sebagai bahan bakar atau sumber terbarukan carbon neutral sehingga akan saling melengkapi dengan biochar. Wood chip dan wood pellet atau biofuel tersebut tidak menambah emisi CO2 dan biochar yang menyerap CO2 tersebut sebagai carbon sink (carbon sequestration) atau carbon negative. 

Sabtu, 21 Juni 2025

Biochar dan Biographite untuk Dekarbonisasi di Industri Besi dan Baja

Trend dekarbonisasi terus berjalan pada semua sektor khususnya pada industri-industri strategis seperti industri energi, industri besi dan baja serta industri alat-alat transportasi. Kontribusi sejumlah industri tersebut dalam menghasilkan emisi CO2 yang menambah konsentrasi di atmosfer (carbon positive) sangat signifikan yakni industri energi khususnya pembangkit listrik menyumbang 27,45%, industri baja menyumbang 8%, dan dari industri sektor transportasi 24%.  Dengan estimasi total emisi CO2 dari bahan bakar fossil pada tahun 2024 sebesar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton), maka kontribusi industri besi dan baja sekitar 2,9 giga ton (2,9 milyar metrik ton). 

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Tetapi penggunaan EAF yang masih menggunakan listrik dari bahan bakar fosil bisa sebagai media transisi sebelum 100% carbon neutral production karena emisi CO2 yang lebih kecil dibanding blast furnace dari kokas yang berasal dari batubara. Emisi CO2 dari blast furnace tersebut sekitar 2,33 ton untuk setiap crude iron / pig iron sedangkan dengan EAF tersebut hanya sekitar 0,66 ton untuk setiap ton crude steel. Bahan baku yang diolah dengan EAF adalah steel scrap dan sekitar 80% steel scrap saat ini didaur ulang dengan EAF. Secara global produksi baja dengan EAF mencapai sekitar 22%. 

Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Pembangunan blast furnace-blast furnace baru tersebut memang cenderung meningkat yang faktanya yakni pada pertengahan 2024 sekitar 207 juta ton per tahun produksi baru telah diumumkan dan sekitar 100 juta ton per tahun dalam tahap pembangunan.   

Hampir semua emisi CO2 pada sektor produksi baja berasal dari blast furnace (BF) untuk pemunrnian bijih besi (iron ore) menjadi crude iron atau pig iron. Tantangannya sangat besar yakni ada sekitar 1.850 pabrik baja di dunia dengan sekitar 1.000 pabrik tersebut menggunakan blast furnace, dengan produksi pig iron mencapai sekitar 1,5 milyar ton per tahun. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Dengan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya.  

Hal ini sehingga penggunaan arang atau charcoal untuk menggantikan kokas dari batubara di blast furnace menjadi penting. Arang yang berasal dari biomasa adalah material terbarukan yang berkelanjutan sebagai reduktor atau bahan bakar di blast furnace sehingga dari reaksi kimia akan memisahkan atom oksigen dari atom besi dan ini akan mengemisikan CO2. Hal ini akan mengubah bijih besi (iron ore) (Fe2O3) menjadi crude (pig) iron. Tetapi bedanya karena sumber karbon sebagai reduktor atau bahan bakar blast furnace berasal dari sumber terbarukan dan berkelanjutan maka hal tersebut menjadi proses yang carbon neutral. Sedangkan apabila menggunakan kokas dari batubara karena berasal dari sumber fossil maka hal tersebut menjadi proses carbon positive. Demikian juga apabila menggunakan gas alam sebagai sumber karbon untuk reduktor atau bahan bakar di blast furnace tersebut, walaupun dikatakan less carbon intensity. 

Tetapi jika menggunakan hidrogen dari sumber energi terbarukan (green hydrogen) sebagai reductor di blast furnace maka tidak dihasilkan emisi karbon tetapi berupa uap air (H2O), sehingga juga merupakan proses carbon neutral, tetapi hal ini masih butuh lama, diprediksi hingga beberapa puluh tahun ke depan untuk implementasinya. Dan untuk menghasilkan proses yang carbon negative maka pabrik besi dan baja yang sudah beroperasi secara carbon neutral tersebut harus dipasang perangkan CCS (Carbon Capture and Storage), tentu akan menjadi tahap lanjutan selanjutnya. Selain itu penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi EAF juga menjadi semakin penting dan harus dipercepat, yang ini seharusnya juga sejalan dengan penggunaan bio-graphite pada EAF tersebut.  

Penggunaan EAF di pabrik besi dan baja diperkirakan mencapai 550 unit di seluruh dunia dengan produksi baja mencapai sekitar 548 juta ton atau sekitar 30% dari produksi baja dunia yang mencapai sekitar 1,8 milyar ton pada tahun 2024. Penggunaan EAF membutuhkan elektrode graphite dan setiap ton baja yang diproduksi membutuhkan rata-rata 3 kg graphite. Sumber graphite saat ini hampir semua berasal dari sumber fossil sehingga menjadi sumber emisi karbon (carbon positive) dan juga saat ini sekitar 80% suplai graphite dunia berasa dari China. Dengan produksi baja dari EAF sebesar 548 juta ton maka kebutuhan graphite per tahun mencapai lebih 1,6 juta ton. Setiap ton produksi graphite dari bahan fossil mengeluarkan emisi CO2 sebesar 17 – 40 ton.  

Hal ini sehingga penggunaan biographite menjadi penting karena emisi CO2 bersifat carbon neutral. Produksi biographite berasal dari biochar atau arang yang melalui proses pemurnian khusus , biochar atau arang tersebut diubah menjadi graphite dengan kemurnian tinggi yang cocok untuk elektroda EAF tersebut. Penggunaan biographite dilakukan karena selain faktor emisi CO2 di atas juga karena faktor teknis berupa kekuatan, kepadatan dan konduktivitas. Graphite yang ditambang secara alami tidak mampu mencapai spesifikasi teknis tersebut, sedangkan graphite sintetik dari bahan fossil tidak ramah lingkungan dan sangat tergantung dari import. Hal inilah daya dorong untuk produksi biographite tersebut.

Kebutuhan akan biochar atau arang untuk reduktor di BF akan sangat besar, sedangkan untuk biographite sebagai elektrode EAF tidak sebesar pada BF. Hal ini sehingga penting untuk mendapatkan sumber bahan baku biomasa sebagai sumber biochar atau arang tersebut dalam volume yang mencukupi, kualitas yang baik dan berkelanjutan. Hal yang sama juga dari sisi produksi biochar atau arang yang terutama menggunakan teknologi pirolisis / karbonisasi, juga harus mampu menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, berkelanjutan dan proses produksi yang memiliki produktivitas tinggi, efisien dan ramah lingkungan. Biochar  atau arang dengan spesifikasi dengan minimal 85% fixed carbon  dan konversi minimal (gravimetric yield) 30% sebagai acuan untuk memilih teknologi pirolisis tersebut.  


Selain dari kelompok limbah biomasa seperti limbah kehutanan dan limbah perkebunan, kebun - kebun energi secara khusus juga bisa dibuat untuk maksud tersebut, lebih detail baca disini.  Kebun – kebun energi tersebut juga mesti dibuat sesuai peruntukkan lahan dan luasan kebun monokultur kebun energi yang sesuai dengan perencanaan dan prosedur yang benar, dan juga teknologi pirolisis /karbonisasi yang efisien, dan ramah lingkungan. Sumber biomasa sebagai bahan baku arang / biochar juga bisa dikatakan berkelanjutan jika produk yang dipanen lebih sedikit atau sama dengan pertumbuhan kayu kebun tersebut.Hal ini supaya tidak terjadi seperti di Brazil yakni di negara bagian Minas Gerais. Akibat luasnya kebun monokultur eucalyptus yang produk kayunya sebagian besar untuk produksi arang untuk pabrik besi dan baja telah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan.Brasil adalah produsen arang terbesar di dunia dan menghasilkan 5,2 juta ton pada tahun 2017, 90% di antaranya digunakan oleh industri besi dan baja, dengan 80% arang diproduksi dari kayu perkebunan eucalyptus. 

Sekitar 70% produksi besi dan baja Brasil terjadi di negara bagian Minas Gerais, dan sektor ini unik karena 34% produksi besi menggunakan arang, bukan kokas mineral/batu bara, dan arang juga banyak digunakan dalam produksi baja. Secara historis, hal ini terjadi karena kurangnya kokas mineral di Brasil, tetapi hutan yang melimpah untuk menghasilkan arang. Di Minas Gerais saat ini terdapat sembilan pabrik baja dan 41 pabrik besi yang menghasilkan 3,1 juta ton crude iron pada tahun 2018, yang sekitar 50% di antaranya diekspor. Pada tahun 2018, Brasil memiliki 5,7 juta hektar kebun eucalyptus, dan Minas Gerais terus memiliki area perkebunan terbesar di negara tersebut, mencakup 24% (1,4 juta hektar) dari eucaliptus Brasil. Bahkan perusahaan-perusahaan besi dan baja tersebut juga memiliki perkebunan eucalyptus sebagai upaya untuk mengamankan pasokan arang untuk pabrik besi dan bajanya. Sedangkan di Indonesia juga ada potensi lahan sangat luas bahkan hingga ratusan juta hektar untuk kebun energi tersebut.   

Selasa, 10 Juni 2025

Produksi Wood Pellet, Solusi Masalah Sampah Biomasa Kayu-Kayuan di Perkotaan

Pemilahan adalah 50% dari solusi untuk masalah sampah perkotaan. Pemilahan terbaik adalah di lokasi sampah itu dihasilkan seperti di rumah tangga di perumahan atau pemukiman warga. Dengan pemilahan maka pengolahan sampah selanjutnya akan jauh lebih mudah. Semakin baik pemilahan dilakukan maka semakin mudah pengolahan sampah tersebut bisa dilakukan. Keengganan masyarakat untuk memilah sampah membuat permasalahan sampah semakin pelik, rawan konflik sosial dan berlarut-larut. Walaupun sulit dan ribet, membudayakan pemilahan sampah harus terus dilakukan karena apabila tidak ditangani akan menjadi masalah lingkungan serius. Paradigma pengolahan sampah juga terus berubah sesuai kondisi, yakni terkait dampak lingkungan, ketersediaan tempat pembuangan sampah, jenis dan volume sampah, seperti dibawah ini.

Apabila sampah perkotaan bisa dipilah dan diolah dengan baik maka lingkungan akan bersih dan sehat. Sebagai contoh pemilahan tersebut misalnya sampah daun-daunan dibuat kompos, sampah organik dari dapur dan sisa makanan untuk pakan atau peternakan magot, sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya untuk produksi wood pellet, dan sampah plastik untuk dipirolisis sehingga menjadi BBM atau naphta.  Dan untuk bisa diolah dengan memadai maka volume sampah juga harus mencukupi dan kontinyu. Hal ini karena pengadaan unit untuk pengolahan sampah juga cukup mahal. Pengolahan sampah juga sebaiknya ter-desentralisasi, sehingga tidak menumpuk di satu tempat saja.  Kapasitas produksi skala kelurahan atau kecamatan kelihatannya cukup baik dan sesuai untuk pembuatan unit pengolahan sampah tersebut.

Diantara sampah perkotaan tersebut adalah sampah kayu-kayuan berupa ranting, potongan kayu dan sebagainya yang bisa digunakan untuk produksi wood pellet atau pellet kayu. Sampah kayu-kayuan tersebut bisa berasal dari pemangkasan dan penebangan pohon, limbah industri pengolahan kayu maupun kayu-kayu yang menyumbat perairan seperti sungai. Penggunaan wood pellet atau pellet kayu tersebut bisa untuk memasak rumah tangga atau industri UMKM. Penggunaan wood pellet selain sebagai bahan bakar atau energi terbarukan yang ramah lingkungan, mudah penyimpanan dan penggunaan serta solusi mengatasi limbah biomasa dan mengurangi import LPG yang nilainya mencapai sekitar 63,5 trilyun setiap tahunnya.

Seiring inovasi yang terus dilakukan kompor-kompor masak berbahan bakar wood pellet semakin mudah digunakan, efisien, bersih dan aman. Bagi pemerintah daerah, produksi wood pellet dari sampah kayu-kayuan ini juga memberi banyak manfaat yakni sebagai solusi penanganan limbah tersebut, menciptakan lapangan kerja dan sosialisasi penggunaan energi terbarukan ramah lingkungan bagi masyarakat. Apabila hal ini sukses dilakukan maka ke depan pemanfaatan limbah-limbah kayu-kayuan tersebut bisa terus dikembangkan. 

Minggu, 08 Juni 2025

Optimalisasi Operasional Pabrik Sawit untuk Memaksimalkan Keuntungan dengan Pemanfaatan Limbah Tankos

Sebagai perusahaan yang berorientasi profit, perusahaan sawit juga akan melakukan berbagai hal yang diperlukan untuk memaksimalkan keuntungannya yakni baik pada operasional pabrik sawitnya maupun pada perkebunannya. Semakin efisien operasional pabrik sawit, demikian juga di perkebunannya maka akan semakin tinggi keuntungan yang didapat. Meminimalisir dampak lingkungan dari limbah yang dihasilkan bahkan zero waste, serta menjadi bagian praktek yang pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan (sustainable) bahkan termasuk bagian dari solusi iklim merupakan bagian penting industri ini yang tidak bisa ditinggalkan. Hal itulah mengapa pabrik-pabrik sawit harus melakukan inovasi untuk mencapai kondisi optimal tersebut.  Untuk mencapai kondisi tersebut bisa dilakukan dengan mengevaluasi praktek yang dilakukan saat ini dan mencari solusi lebih baik tersebut.

Produksi CPO atau minyak mentah sawit membutuhkan kukus / steam untuk proses sterilisasinya. Hal inilah mengapa pabrik sawit pasti membutuhkan boiler untuk proses produksinya, untuk lebih detail baca disini. Steam / kukus dari boiler tersebut juga digunakan untuk pembangkit listrik dengan steam turbine untuk menggerakkan generator. Untuk operasional boiler tersebut umumnya dilakukan dengan membakar sabut (mesocarp fiber) dan sebagian cangkang sawit (palm kernel shell), sehingga sebagian cangkang sawit masih bisa dijual bahkan untuk export. Praktek umum pabrik sawit ini juga sudah berjalan puluhan tahun, tetapi ternyata masih banyak limbah biomasa dari pabrik sawit yang belum termanfaatkan terutama tandan kosong kelapa sawit atau EFB (empty fruit bunch) yang porsinya sekitar 23% dari tandan buah segar (TBS) yang diolah. Tankos sawit atau EFB ini biasanya hanya ditumpuk di belakang pabrik sawit dan cenderung akan mencemari lingkungan.  

Tankos sawit atau EFB tersebut bisa diolah menjadi biochar. Produksi biochar dengan proses thermal baik pirolisis atau gasifikasi akan menghasilkan energi sebagai cogeneration pada pabrik sawit. Cogeneration menjadi solusi jitu untuk produksi biochar sekaligus memasok kebutuhan energi untuk operasional boiler. Dengan cara ini maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau bahkan dieksport artinya keuntungan perusahaan sawit semakin besar. Tetapi untuk memaksimalkan produksi biochar pirolisis adalah pilihan yang cocok. Hal ini karena teknologi gasifikasi adalah untuk memaksimalkan produk gas sedangkan pirolisis untuk memaksimalkan produk padat (biochar).  Produk-produk samping dari pirolisis juga bermanfaat bagi industri sawit. 

Tandan kosong (tankos) atau EFB adalah limbah padat dari produksi minyak sawit atau CPO yang jumlahnya paling banyak. Hal inilah yang membuat banyak produsen mesin yang membuat mesin pengolah tankos ini. Sebagian besar mesin yang dibuat adalah alat untuk memotong dan mengepres tankos tersebut sehingga kadar airnya turun dan ukurannya menjadi lebih kecil. Tetapi baik kadar air dan ukuran tankos sebagai output mesin atau peralatan tersebut masih belum memenuhi syarat untuk bisa diolah lanjut menjadi biochar. Tipikal output tersebut lebih dari 4 inch dan kadar air lebih dari 45%. Tankos atau EFB harus memiliki kadar air rendah yakni 10% dan bisa dengan ukuran kurang dari 1 inch untuk produksi biochar ataupun sebagai bahan bakar di boiler. 

Untuk bisa mendapatkan tankos atau EFB dengan tingkat kekeringan atau kadar air 10%, maka waste heat recovery dari pabrik sawit bisa dimanfaatkan untuk proses pengeringan tersebut. Limbah biomasa lainnya dari industri sawit bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber energi panas untuk pengeringan tankos atau EFB tersebut. Dengan memanfaatkan limbah-limbah biomasa tersebut maka operasional pabrik bisa semakin efisien sehingga keuntungan semakin maksimal dan ramah lingkungan dengan zero waste. 

Jumat, 30 Mei 2025

Pengolahan Tankos Sawit : untuk Pellet, Briket atau Biochar ?

Tandan kosong (tankos) atau EFB adalah limbah padat dari produksi minyak sawit atau CPO yang jumlahnya paling banyak. Hal inilah yang membuat banyak produsen mesin yang membuat mesin pengolah tankos ini. Sebagian besar mesin yang dibuat adalah alat untuk memotong dan mengepres tankos tersebut sehingga kadar airnya turun dan ukurannya menjadi lebih kecil. Tetapi baik kadar air dan ukuran tankos sebagai output mesin atau peralatan tersebut masih belum memenuhi syarat untuk bisa diolah lanjut menjadi pellet, briquette atau bahkan biochar. Tipikal output tersebut lebih dari 4 inch dan kadar air lebih dari 45%. Tankos atau EFB harus memiliki kadar air rendah yakni 10% dan ukuran 5-6 mm untuk bisa dibuat pellet atau briquette, dan kurang dari 1 inch untuk produksi biochar. 

Untuk mendapatkan bahan baku yang sesuai untuk produksi pellet, briquette maupun biochar, tankos yang telah dipotong-potong dan dipress tersebut masih perlu dikecilkan ukurannya (size reduction) dan diturunkan kadar airnya hingga sekitar 1/3-nya sehingga cukup kering. Peralatan seperti hammer mill atau crusher dibutuhkan untuk mnngecilkan ukuran dan alat pengering seperti rotary dryer dibutuhkan untuk menurunkan kadar air. Semakin kecil ukuran bahan (particle size) dan semakin rendah kadar air atau semakin kering maka semakin besar energi dibutuhkan. Peralatan seperti hammer mill dan rotary dryer belum menjadi bagian integral untuk pengolahan tankos saat ini. Tetapi biasanya produsen pengolah tankos sawit, juga memproduksi alat press untuk kernel untuk poduksi minyak kernel atau PKO di pabrik pengolahan kernel atau KCP (kernel crushing plant) dengan produk samping berupa bungkil sawit atau PKE (palm kernel expeller). 

Pertimbangan pemilihan produksi pellet, briquette maupun biochar dari tankos sawit sangat tergantung dari kesiapan bisnisnya. Diperkirakan ada 30 juta ton per tahun tankos sawit kering di Indonesia dan 10 juta ton per tahun tankos sawit kering di Malaysia untuk bahan baku produk-produk tersebut. Pemanfaatan limbah tankos sawit selain menjadi solusi masalah limbah di pabrik sawit juga akan memberikan keuntungan tambahan bagi pabrik atau perusahaan sawit tersebut. Seberapa besar keuntungan biasanya juga sebanding dengan investasi dan kapasitas produksi yang dilakukan. Dengan melimpahnya potensi bahanbaku dan daya dorong sustainibility serta zero waste maka limbah tankos sawit akan menjadi bisnis baru yang menarik.   

Minggu, 25 Mei 2025

Biochar untuk Biographite, Material Penting untuk Industri Strategis Masa Depan

Trend dekarbonisasi terus berjalan pada semua sektor khususnya pada industri-industri strategis seperti industri energi, industri besi dan baja serta industri alat-alat transportasi. Kontribusi sejumlah industri tersebut dalam menghasilkan emisi CO2 yang menanmbah konsentrasi di atmosfer (carbon positive) sangat signifikan yakni industri energi khususnya pembangkit listrik menyumbang 27,45%, industri baja menyumbang 8%, dan dari industri sektor transportasi 24%. Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi emisi CO2 dari sumber fossil tersebut. Biographite menjadi salah satu komponen penting untuk maksud tersebut. Penggunaan graphite saat ini berasal dari sumber fossil yakni petcoke dan tar batubara yang merupakan graphite sintetis. Hal ini karena graphite yang ditambang di alam tidak bisa memenuhi spesifikasi teknis yang diharapkan berupa kekuatan, kepadatan dan konduktivitas. 

Graphite adalah bahan yang penggunaannya yakni untuk pembuatan baja, baterai lithium ion, pembangkit listrik tenaga nuklir, fuel cell dan industri pertahanan. Pada industri baja setiap ton baja yang dihasilkan dengan EAF menghabiskan 2 – 4 kg elektrode graphite. Rata-rata setiap baterai mobil listrik mengandung graphite 70 kg. Menurut the Economist pada tahun 2030 permintaan graphite diperkirakan akan melebihi pasokan sebesar 1,2 juta metrik ton, sehingga mengancam industri baja dan baterai. Sedangkan menurut IEA untuk Eropa kebutuhan graphite diprediksi akan meningkat berkisar 20 – 25 kali dari tahun 2020 sampai 2040. Termasuk mengapa saat ini belum adanya kapasitas baterai sangat besar sehingga bahkan pembangkit listrik batubara atau dari sumber fossil bisa ditiadakan sangat mungkin karena terkendala masalah graphite ini. Selain graphite, nikel merupakan komponen penting dalam baterai lithium-ion yang digunakan pada mobil listrik dengan rata-rata 30 kg, khususnya pada katoda. Nikel membantu meningkatkan kepadatan energi dan kapasitas penyimpanan baterai, sehingga memungkinkan mobil listrik memiliki jangkauan yang lebih jauh. 

Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Dengan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya. Hal ini sehingga penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi EAF menjadi semakin penting dan harus dipercepat, yang ini seharusnya juga sejalan dengan penggunaan bio-graphite pada EAF tersebut.

Penggunaan biographite ini akan mengurangi emisi CO2 dan mengurangi ketergantungan terhadap import. Bio-graphite yang pada dasarnya berasal dari biomasa menawarkan solusi alternative yang berkelanjutan terhadap graphite yang berasal dari bahan fossil. Ketika pada aplikasi di pabrik baja dengan EAF walaupun biographite mengeluarkan emisi CO2 ketika digunakan, tetapi CO2 atau karbon ini berasal dari biomasa. Dan biomasa dari tumbuhan tersebut menyerap CO2 dari atmosfer ketika tumbuhnya, membuatnya proses tersebut carbon neutral. Proses produksi bio-graphite dimulai dari mengkonversi biomasa menjadi biochar. Selanjutnya dengan pemurnian khusus biochar tersebut diubah menjadi graphite dengan kemurnian tinggi yang cocok untuk elektroda baja tanur busur listrik (EAF) dan anoda baterai.

Graphite demand / supply showing market deficit beginning 2025E  

 Source: Macquarie Research (March 2023)

Dengan potensi berbagai aplikasi pada sejumlah industri strategis tersebut, maka bio-graphite bukan sekedar material baru yang ramah lingkungan tetapi merupakan material penting penopang industri masa depan. Kekurangan akan material ini dapat memperlambat transisi ke kendaraan listrik dan penyimpanan energi terbarukan, yang berdampak pada banyak industri. Dan khusus pada industri baja kekurangan material ini akan mengancam akan meningkatkan biaya pembuatan baja dan menghambat kemajuan menuju tujuan iklim. Hal inilah sehingga pengembangan produksi biochar untuk biographite sangat penting dan perlu diakselerasi untuk tumbuhnya berbagai green industry atau renewable industry masa depan. 

Jumat, 16 Mei 2025

Parameter-parameter Penting Kualitas Biochar dan Standar-Standar Biochar

Sifat-sifat kimia fisika (karakteristik) biochar menjadi parameter keefektifannya pada berbagai aplikasinya yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat-sifat kimia fisika biochar tersebut adalah bahan baku (feedstock), kondisi operasi produksi (production process), serta treatment sebelum dan setelah pengolahannya (pre- or post- processing). Dan karena biochar berbeda-beda sifat-sifat kimia fisikanya itulah maka analisa laboratorium dibutuhkan untuk memprediksi keefektifan biochar tersebut. Secara spesifik aplikasi tertentu akan membutuhkan sifat kimia fisika tertentu sehingga pemilihan produk biochar yang sesuai menjadi sangat penting. Sebagai contoh misalnya biochar dengan surface area yang tinggi memiliki potensi besar untuk menyerap enviromental toxins, logam / metal dan hara. Hal ini sehingga biochar dengan karakteristik tersebut cocok untuk aplikasi remediasi lingkungan. Dan karena biochar bekerja pada berbagai kontaminan yang berbeda-beda sehingga biochar tersebut perlu dimodifikasi untuk suatu aplikasi spesifik tersebut. 

Sifat-sifat kimia biochar yang biasa sebagai acuan yakni organic carbon (Corg) dan carbonates (sebagai CaCO3), H/C ratio dan fixed carbon (FC), ash content, dan volatile matter (VM). Sedangkan sifat-sifat fisika yang biasa sebagai acuan yakni bulk density, surface area dan particle size distribution. Dan karena aplikasi utama biochar adalah untuk pertanian termasuk perkebunan dan kehutanan yakni untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan dengan cara meningkatkan kesuburan tanah, maka parameter-parameter terkait kesuburan tanah (soil fertility) juga menjadi acuan penting. Parameter-parameter tersebut yakni nitrogen, pH & liming, liming equivalent, electrical conductivity, total potassium (K), total phosphorus (P) dan metal. 

Walaupun biochar memiliki multi-manfaat baik untuk memperbaiki kesuburan tanah dan juga solusi iklim berupa carbon sequestration / carbon sink, sehingga produk biochar bisa dipilih sesuai prioritas penggunaan. Optimalisasi manfaat / benefit antara dua hal penting itu tentu pilihan terbaiknya. Perspektif atau sudut pandang untuk optimalisasi manfaat / benefit sangat tergantung dari profesi atau kepakaran seseorang, untuk lebih detail baca disini. Parameter berupa organic carbon (Corg), H/C ratio dan fixed carbon (FC) terutama terkait dengan solusi iklim yakni carbon sequestration / carbon sink atau juga biasa disebut BCR (biochar carbon removal) yang bisa mendapatkan kompensasi berupa carbon credit. Untuk bisa mendapatkan carbon credit maka produsen biochar harus mengikuti metodologi yang dibuat lembaga carbon standard (Puro Earth, Verra, European Biochar Certificate), sehingga BCR bisa dikuantifikasi dan dijual di pasar karbon (saat ini di VCM = voluntary carbon market).

 

Sedangkan terkait prioritas di kesuburan tanah maka produk biochar yang dibuat harus berasal dari sumber yang kaya nutrisi atau hara tanaman seperti dari kotoran ternak. Biochar dari kotoran ternak (manure) cenderung memiliki organic carbon (Corg) lebih rendah dibandingkan biochar yang dibuat dari kayu. Biochar dengan kandungan abu tinggi seperti yang berasal dari kotoran ternak biasanya juga liming equivalent lebih tinggi dibandingkan biochar dari kayu. Tingginya volatile matter (VM) juga bermanfaat bagi kesuburan tanah. VM yang mengandung gas-gas seperti karbonmonoksida dan metana, organic hydrocarbon, asam-asam dan tar dan sejumlah senyawa anorganik bisa sebagai sumber pakan penting untuk mikroba tanah. Sejumlah studi juga menunjukkan biochar dari kotoran ternak memiliki porsi phosphorus (P) tinggi sehingga bisa memenuhi kebutuhan P tanaman, demikian juga kandungan potassium / kalium (K) nya.  

Transaksi atau jual beli biochar (fisik) maupun BCR credit membutuhkan standar kualitas tertentu. Tanpa ada standar yang disepakati tentu akan sangat sulit menentukan titik temu antara penjual dan pembeli.  Ada sejumlah lembaga yang mengembangkan standar-standar untuk biochar antara lain European Biochar Certificate (EBC), Organic Material Review Institute (OMRI), USDA Certified Bio-based Product dan World Biochar Certificate (WBC). Untuk mendapatkan parameter kualitas atau spesifikasi biochar yang sesuai dengan penggunaannya maka dibutuhkan laboratorium tipe tertentu. Tidak banyak laboratorium yang bisa melakukan uji biochar ini. Beberapa laboratorium yang bisa melakukannya antara lain laboratorium analisis kompos, tanah, batubara dan activated carbon. Dengan sejumlah perangkat teknis tersebut tentu pengembangan biochar untuk masa depan akan lebih mudah apalagi dengan berbagai manfaat nyata biochar serta kesadaran publik masalah keberlanjutan lingkungan yang semakin besar khusunya pada masalah iklim.  

Minggu, 11 Mei 2025

Food Estate atau Biochar ? Indonesia menjadi Juara Solusi Iklim Global ?

Saat ini ada jutaan hektar lahan di Indonesia yang sangat membutuhkan biochar yakni lahan kering 122,1 juta ha; lahan pasca tambang 8 juta ha; lahan kristis 24,3 juta hektar; total sekitar 154,4 juta ha. Sedangkan potensi bahan baku untuk produksi biochar juga berlimpah (limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan) seperti tankos sawit kering sekitar 30 juta ton/tahun, baggase 2 juta ton/tahun, tongkol jagung 5 juta ton/tahun, batang singkong 3 juta ton/tahun, kayu limbah 50 juta ton/tahun, sekam padi 15 juta ton/tahun, kulit kakao dan seterusnya. Dengan biochar, produktivitas pertanian akan meningkat dari rata-rata sekitar 20% bahkan hingga 100%.

Jika diaplikasikan pada skala makro atau nasional dengan katakan dengan peningkatan produksi 20% saja maka misalnya produksi beras akan meningkat menjadi 36 juta ton/tahun dari sebelumnya 30 juta ton/tahun, jagung meningkat menjadi 18 juta ton/tahun dari sebelumnya 15 juta ton/tahun, minyak sawit atau CPO menjadi 60 juta ton/tahun dari sebelumnya 50 juta ton/tahun. Hal ini akan menghemat pemakaian lahan sehingga pembukaan lahan hutan untuk tanaman pangan dan (bio)energi seperti food estate bisa tidak diperlukan atau setidaknya memperlambat hal tersebut.

Sebagai contoh produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Ada hitungan kasar yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 200 dollar per ton dan carbon credit 150 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut, pendapatannya menjadi hampir 10 kali lipat investasinya atau diperkirakan kurang dari 2 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Penjual carbon credits atau produsen biochar juga berusaha untuk mendapatan kontrak penjualan selama 5-10 tahun.

Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas serta excess heat dari pirolisis yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik.  

Sabtu, 03 Mei 2025

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 8 : Sebuah Pendekatan Komprehensif dan Peran Biomasa

Upaya-upaya mengurangi atau menurunkan CO2 di industri semen terus berkembang dengan berbagai metode untuk mencapai target yang memadai. Target global adalah mencapai Net-Zero Emission pada 2050 sedangkan target antara tergantung lebih spesifik pada industri semen itu sendiri, misalnya ada industri semen yang mentargetkan menurunkan emisinya sebesar 35% dengan baseline tahun 1990 pada tahun 2025 dan selanjutnya menjadi lebih dari 40% pada 2030. Hal tersebut secara praktis bisa diterjemahkan menjadi pengurangan emisi CO2 pada produksi semen dari sekitar 800 kg CO2/ton semen, menjadu 520 kg/ton semen pada 2025 dan kurang dai 475 kg / ton semen pada 2030. Untuk mencapai target tersebut industri terebut harus membuat roadmap yang mengacu pada solusi iklim terkini di industri semen ini, sehingga lebih mudah pencapaiannya dengan berbasis sains (Science-Based Targets / SBT). 

Walaupun motivasi untuk menurunkan emisi CO2 hampir sama di seluruh dunia, tetapi perkembangannya tidak semua sama di berbagai kawasan. Eropa adalah kawasan tercepat karena kesiapannya yang didukung sejumlah faktor, antara lain :
• Peraturan yang memprioritaskan penggunaan sumber daya yang efisien dan mempromosikan ekonomi sirkular.
• Insentif ekonomi untuk peralihan bahan bakar ke alternatif yang lebih bersih, yang dalam banyak kasus menghasilkan biaya energi negatif.
• Penerimaan pasar yang lebih besar terhadap semen campuran (blended cement) dan permintaan konsumen terhadap produk rendah karbon.
• Dukungan pemerintah yang signifikan untuk penelitian dan pengujian teknologi yang lebih bersih.
• Peraturan emisi karbon, yang menghasilkan harga karbon yang dapat diprediksi.

Upaya menurunkan emisi CO2 pada pabrik semen secara langsung atau yang terkait langsung pada produksi semen yakni berfokus pada tiga hal, yakni penggunaan bahan bakar alternatif atau energi terbarukan atau bahan bakar rendah karbon, menurunkan emisi dari proses kalsinasi dan penggunaan aditif semen (suppplementary cementious material / SCM) atau lowering clinker factor. Sedangkan upaya tidak langsung yakni bisa dilakukan dengan penggunaan listrik dari energi terbarukan untuk operasional pabrik semen tersebut.

Secara teknis atau pendekatan teknologi dalam mencapai target penurunan emisi CO2 pada industri semen, sektor energi alternatif atau lebih khusus lagi bahan bakar biomasa berada di urutan ketiga. Hal ini karena sumber emisi pada pabrik semen paling besar atau sekitar 60% berasal dari proses kalsinasi (produksi clinker), sedangkan pembakaran atau terkait bahan bakar hanya berkisar 40%. Hal ini sehingga penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya mencapai target emisi menempati peringkat pertama, selanjutnya subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) menempati urutan kedua, dan penggunaan bahan bakar alternatif termasuk biomasa berada pada urutan ketiga. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, sehingga praktisnya belum banyak dilakukan tetapi subtitusi clinker dan penggunaan energi alternatif termasuk biomasa lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (net zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Sehingga apabila pabrik semen melakukan hal tersebut prosentase CO2 yang bisa dikurangi maksimal hanya 40%, artinya emisi CO2 dari proses kalsinasi (produksi clinker) sebesar 60% masih tetap terjadi.   Penggunaan clinker untuk produksi semen bisa dikurangi sehingga emisi CO2 dari produksi clinker bisa dikurangi. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Tetapi tentu saja tidak mungkin produksi clinker direduksi hingga nol atau meniadakan proses kalsinasi dan seluruhnya digantikan oleh SCM (loweing clinker factor) untuk mengurangi emisi CO2 yang 60% tersebut. 

Hal inilah sehingga semakin tinggi rasio clinker terhadap semen yang dihasilkan (C/S) maka semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dan demikian sebaliknya. China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,89 yakni di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa 0,77, lalu di India 0,68, di Amerika Latin 0,71 dan  rata-rata global yakni 0,76. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.Hal itulah sehingga untuk mencapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Tentang CCS (carbon capture and storage )sejumlah inovasi sedang dikembangkan sehingga teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan pada pabrik semen. Termasuk juga hal tersebut adalah peningkatan efisiensi penangkapan CO2,  penggunaan pelarut-pelarut generasi baru non-aqueous, serta teknologi modular yang lebih murah. Transformasi CO2 yang ditangkap menjadi produk baru yang dapat dipasarkan juga menjadi fokus berikutnya.  

Penggunaan bahan bakar alternatif dengan kandungan biomasa yang tinggi sangat disarankan untuk pabrik semen untuk mereduksi CO2. Tetapi pada kenyataannya biasanya masih terjadi sejumlah kendala saat implementasinya sehingga bahkan sulit untuk meningkatkan rasionya. Kendala-kendala tersebut seperti ketersediaan, kualitas dan kuantitas limbah biomasa, logistik dan infrastruktur penunjang, dinamika pasar, keekonomian harga bahan bakar berbasis limbah biomasa tersebut dan sejumlah faktor teknis pembatas terkait karakteristik bahan bakar biomasa tersebut. Sejumlah limbah biomasa pertanian atau perkebunan seperti sekam padi, cangkang sawit, cangkang mete dan biji zaitun juga sudah sebagai bahan bakar biomasa di pabrik-pabrik semen. Mendapatkan pasokan bahan bakar biomasa yang volumenya mencukupi, kualitas standar dan kontinyu / berkelanjutan sangat penting bagi pabrik-pabrik semen untuk mendukung penurunan emisi CO2. Dan pada dasarnya tidak ada pilihan bagi pabrik semen untuk menghindar dari masalah iklim, sehingga yang harus dilakukan adalah meresponnya dengan aksi riil. 

Kamis, 17 April 2025

Biochar : Prioritas untuk Kesuburan Tanah atau Solusi Iklim dulu ?

Perspektif atau sudut pandang terhadap biochar sangat dipengaruhi kepakaran atau keahlian seseorang, sedangkan daya dorong aplikasinya sangat dipengaruhi oleh faktor yang menjadi masalah daerah atau kawasan tersebut. Sebagai contoh : ilmuwan iklim melihat tentang perbaikan tanah dari aplikasi biochar sebagai keuntungan tambahan (co-benefit). Untuk ilmuwan tanah atau petani yang menggunakan biochar sebagai soil amendment karena pengalaman praktisnya yang memiliki efek positif pada kesuburan tanahnya dan aspek ekonomis dari pertaniannya, sedangkan keuntungan iklim menjadi keuntungan tambahan (co-benefit). Dan pada kenyataannya akumulasi keuntungan (termasuk ekonomi) dan efektivitas memberi solusi lingkungan tersebut akan mengakselerasi pemakaian biochar di dunia nyata.  

Photo dari sini

Untuk memaksimalkan manfaat terhadap aplikasi biochar, maka kuaitas biochar menjadi sangat penting, atau dengan kata lain sifat-sifat fisika dan kimia biochar mengontrol tingkat keefektifannya untuk berbagai aplikasinya. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh faktor-faktor yakni, bahan baku, kondisi proses serta sebelum dan pasca proses produksinya. Hal tersebut sehingga biochar yang diproduksi berbeda sifat-sifatnya sehingga analisa laboratorium adalah cara yang digunakan untuk memprediksi keefektivan biochar tersebut. Dan juga supaya memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif tertentu yang berlaku di negara-negara tertentu, biochar yang diproduksi juga bisa memenuhi kriteria tertentu, misalnya standar yang dibuat oleh IBI (International Biochar Initiative). Maupun untuk mendapatkan carbon credit atau BCR (biochar carbon removal) credit yang telah berlaku secara internasional juga mensyaratkan biochar dengan kriteria dan kualitas tertentu, dan untuk itu produksi biochar harus mengikuti metodologi tertentu sesuai lembaga karbon standar internasional seperti Puro earth, Verra, dan European Biochar Certificate (EBC). Untuk mendapatkan parameter kualitas atau spesifikasi biochar yang sesuai dengan penggunaannya maka dibutuhkan laboratorium tipe tertentu. Tidak banyak laboratorium yang bisa melakukan uji biochar ini. Beberapa laboratorium yang bisa melakukannya antara lain laboratorium analisis kompos, tanah, batubara dan activated carbon. 

Saat ini fokus utama dan telah berjalan lama, yakni penggunaan biochar untuk pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah meningkatkan produktivitas / yield. Tetapi, sebenarnya nilai tambah yang dapat ditawarkan oleh biochar dalam aplikasinya di tanah, khususnya dalam budidaya tersebut, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di dalam tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. Sedangkan bagaimana entry point tercepat untuk industri biochar, untuk lebih detail baca disini.

Jumat, 11 April 2025

Bioeconomy : Carbon Neutral Economy (wood pellet & pks) VS Carbon Sink Economy (Biochar)

Kesiapan dan ketersediaan pasar menjadi faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu bisnis pada umumnya dan bisnis berbasis biomasa pada khususnya. Dan secara global menurut Hawkin Wright, memprediksi penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric juga memprediksi bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sejak 2025, sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan PKS merupakan kompetitor utama wood pellet di pasar bahan bakar biomasa global. Tetapi dibandingkan wood pellet, perdagangan PKS global relatif kecil yakni diperkirakan hanya 5 juta ton/tahun. Indonesia adalah produsen terbesar PKS di dunia karena sebanding dengan luasnya kebun sawit serta sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia.

Sedangkan biochar, khusus untuk Eropa saja diperkirakan ada 51 pabrik biochar baru atau total ada 220 unit, dengan produksi biocharnya diperkirakan menjadi 115.000 ton per tahunnya. Dan produksi biochar global pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 350 ribu ton atau ekuivalen dengan 600.000 carbon credit dan diperkirakan akan terus meningkat. Dan pada tahun 2025 ini diprediksi pertumbuhan industri biochar lebih dari 5 lipat dibandingkan pada tahun 2023. Adanya carbon credit menjadi salah motivasi terbesar untuk produksi biochar tersebut. Dengan adanya carbon credit tersebut terjadi lonjakan produksi biochar secara signifikan dari sebelumnya. Sebagai ilustrasi bahwa pada tahun 2023 dari carbon credit biochar ini memberi kontribusi terbesar pada yakni 90% carbon removal di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) menurut data dari CDR.fyi.

Pasar atau pengguna utama wood pellet (industrial pellet grade) adalah pembangkit-pembangkit listrik yang melakukan cofiring dengan bahan bakar terbarukan yakni berbasis biomasa khususnya wood pellet. Semakin besar ratio cofiring-nya maka semakin besar kebutuhan wood pelletnya. Dengan kapasitas atau ukuran pembangkit listrik ratusan bahkan ribuan MW maka kebutuhan wood pelletnya juga banyak bahkan walaupun dengan cofiring ratio rendah. Trend pembangkit-pembangkit listrik batubara untuk melakukan cofiring semakin besar dan juga peningkatan ratio cofiringnya bahkan sejumlah pembangkit listik batubara bisa beralih 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Selain itu juga sejumlah pembangkit listrik biomasa baik yang 100% dengan wood pellet ataupun PKS juga banyak dibangun dan mulai beroperasi.  Ada target global bahwa porsi pembangkit listrik batubara harus turun hingga 4% (dari kondisi saat ini sekitar 30% ) pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Hal ini bahkan juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara di Indonesia mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.

Sedangkan biochar walaupun potensi pasarnya juga sangat besar, tetapi masalah karena kesadaran (awareness) yang masih rendah sehingga edukasi dan sosialisasi masih perlu ditingkatkan. Seperti halnya pasar untuk bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS / cangkang sawit yang umumnya adalah perusahaan-perusahaan besar (karena juga merupakan emitter CO2 terbesar), maka untuk mengakselerasi industri biochar dibutuhkan pasar atau pengguna berkapasitas besar tersebut. Pertanian-pertanian dan perkebunan-perkebunan besar demikian juga hutan-hutan tanaman energi atau kebun-kebun energi adalah potensi pasar / pengguna besar biochar. Demikian juga lahan-lahan reklamasi pasca tambang yang akan dilakukan revegetasi juga potensi pengguna / pasar besar untuk biochar. Hal ini juga terkait bahwa butuh volume yang signifikan untuk bisa menghasilkan volume penyerapan CO2 (carbon sequestration / carbon sink) yang memadai. Sedangkan dari sisi pertanian atau perkebunan atau aplikasi ke tanah terkait penggunaan biochar bahwa selama ini, ketika mempertimbangkan efek biochar, fokusnya hanya pada peningkatan hasil panen. Namun, nilai tambah yang dapat ditawarkan biochar dalam penerapannya di tanah, setidaknya dalam sistem pertanian yang optimal, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. 

Dan pada dasarnya baik produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet maupun material penyerap karbon (carbon sink) seperti biochar akan berdampak positif bagi iklim, bahkan keduanya bisa saling mendukung seperti apabila biochar digunakan untuk kebun energi dan lalu produk kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet, lebih detail baca disini. Penggunaan energi terbarukan akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena tidak menambah konsentrasi CO2 tersebut atau carbon neutral, sedangkan biochar akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena menyerap CO2 di atmosfer di dalam biomasa yang kemudian dikonsentrasikan karbonnya dengan pirolisis sehingga menjadi biochar, atau carbon negative. Bahkan membuat carbon sink, tetapi tidak mengurangi sumber emisinya adalah upaya yang sia-sia atau tidak relevan, lebih detail baca disini. Jadi bioeconomy dengan carbon neutral economy yakni bahan bakar biomasa seperti wood pellet atau PKS maupun carbon sink economy yakni dengan biochar akan banyak terkait dari kesiapan bisnisnya seperti aspek pasar / user, bahan baku untuk kapasitas produksi tertentu, bahan baku dan sebagainya. Karakteristik tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dan komprehensif sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal dan berkelanjutan.

Berlomba-Lomba dalam Kebaikan dalam Menurunkan Suhu Bumi

Berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi adalah sebuah kebaikan. Dan berlomba-lomba dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam. Dampak bu...