Selasa, 12 November 2019

Konversi Industrial Furnace dan Boiler ke Bahan Bakar Biomasa

Penggunaan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit (PKS / palm kernel shell) semakin meningkat akhir-akhir ini. Hal tersebut terutama disebabkan mahalnya harga gas alam dan LPG industri (non-subsidi). Ditinjau dari aspek lingkungan hal tersebut adalah suatu kemajuan karena terjadi pengurangan bahan bakar fossil (carbon positive) yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global. Industri yang pada awalnya menggunakan tungku (furnace) dan boiler berbahan bakar gas perlu menggantinya menjadi biomasa khususnya cangkang sawit yang merupakan bahan bakar padat. Ketersediaan cangkang sawit juga sangat berlimpah sebanding dengan produk CPO atau perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Biomasa seperti wood chip, wood pellet dan sebagainya pada dasarnya bisa digunakan sebagai bahan bakar tungku (furnace) tersebut, tetapi pertimbangan ekonomi dan kontinuitas supplai menjadi pertimbangan utama. Kualitas cangkang sawit juga hampir menyamai wood pellet dan di pasar internasional memang cangkang sawit adalah pesaing utama wood pellet. Dan apabila dibandingkan dengan biomasa limbah pertanian lain seperti sekam padi, cangkang sawit juga jauh lebih unggul baik dari sisi kalori dan bulk density, sehingga cangkang sawit semakin menjadi favorit.

Saat ini cangkang sawit juga telah menjadi komoditas export terutama untuk pasar Jepang dan Korea. Kedua negara tersebut adalah konsumen cangkang sawit terbesar khususnya di Asia tetapi dengan motivasi utama karena implementasi program lingkungan di negara tersebut. Insentif yang besar diberikan oleh negara kepada perusahaan-perusahaan terutama pembangkit listrik apabila menggunakan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit karena merupakan kelompok energi terbarukan. Hal tersebut sangat mendorong penggunaan cangkang sawit di kedua negara tersebut. Sementara pemasok utama cangkang sawit yakni dari Indonesia dan Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia sekaligus pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia saat ini. Kondisi tersebut tentu akan memunculkan kompetisi khususnya ketika permintaan terhadap cangkang sawit sama-sama besarnya. Ketika kondisi tersebut terjadi maka dibutuhkan strategi khusus untuk menyikapinya, sehingga memberi nilai tambah yang besar bagi Indonesia.

Cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa yang hampir tidak ada pengolahan dan langsung bisa digunakan, sedangkan untuk wood pellet dibutuhkan suatu industri untuk pengolahannya. Berdasarkan hal diatas seharusnya cangkang sawit diprioritaskan untuk pasar dalam negeri dan wood pellet untuk pasar export. Ketika produksi wood pellet saat ini masih mengandalkan serbuk gergaji dan limbah-limbah kayu yang jumlahnya terbatas, maka selain kuantitas tidak bisa besar juga aspek lingkungan berupa keberlanjutan (sustainibility) juga sulit didapatkan. Ketika produksi wood pellet dibuat dari kebun energi dengan menanam tanaman energi seperti kaliandra dan gliricidae, walaupun ketersediaan bahan baku bisa lebih terjamin dan mampu untuk kapasitas besar serta aspek lingkungan berupa keberlanjutan (sustainibility) bisa didapat tetapi pada umumnya produsen masih belum tertarik karena rutenya panjang dan perlu menguasai aspek budidaya kebun energi. Produksi EFB pellet bisa menjadi solusi akan hal tersebut. EFB atau tandan kosong sawit sama seperti cangkang sawit adalah limbah padat pabrik sawit yang jumlahnya berlimpah dan saat ini sebagian besar belum dimanfaatkan, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Apabila penggunaan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit di Indonesia semakin besar maka berarti itu sebanding dengan upaya penurunan gas rumah kaca atau CO2 yang berasal dari bahan bakar fossil. Suatu prestasi dalam bidang lingkungan yang bisa dibanggakan tentunya. Saat ini juga tidak sedikit pabrik-pabrik kelapa sawit yang belum menjual cangkang sawitnya terutama pabrik-pabrik sawit yang berada di kawasan terpencil. Upaya untuk mengambil cangkang sawit di pabrik-pabrik sawit tersebut juga merupakan tantangan tersendiri, tetapi dengan pengguna juga di dalam negeri maka hal tersebut juga lebih mudah. Apabila cangkang sawit untuk pasar export khususnya Jepang yang mensyaratkan kuantitas minimal yang besar yakni rata-rata 10 ribu ton setiap pengapalan dan kualitas cangkang sawit yang ketat (terutama aspek kebersihan dan kekeringan) maka pasar dalam negeri selain volume setiap pengapalan lebih kecil juga persyaratan kualitas juga bisa lebih longgar. Transportasi cangkang sawit ke Jepang dengan jumlah tersebut membutuhkan kapal curah besar, sedangkan untuk pasar dalam negeri cukup dengan tongkang.
Travelling Grate Furnace

Konversi dari bahan bakar gas ke bahan bakar padat khususnya biomasa cangkang memang membutuhkan peralatan yang berbeda berikut aspek operasionalnya. Bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit membutuhkan ruangan lebih besar untuk penampungan, proses pembakaran juga tidak semudah bahan bakar gas, juga dihasilkan limbah padat lagi berupa abu. Pihak industri pengguna bahan bakar cangkang sawit biasanya harus mengganti tungku ataupun boiler mereka dengan tungku atau boiler industri berbahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit. Pada dasarnya ada 3 kelompok dari teknologi pembakaran yang bisa digunakan yakni grate, fluidized bed dan pulverized combustion. Aspek pencampuran udara dengan bahan bakar adalah aspek penting dalam pembakaran. Bahan bakar padat memiliki kualitas pencampuran dengan udara yang rendah dibandingkan dengan bahan bakar cair apalagi gas. Pada bahan bakar cair dan apalagi gas, bahan bakar bisa diatomisasi sehingga mendekati ukuran molekul dari udara, sedangkan pada bahan bakar padat tidak bisa. Grate combustion memiliki tingkat pencampuran udara-bahan bakar paling rendah, fluidized bed memiliki tingkat homogenisasi campuran udara-bahan bakar lebih baik dan pulverized combustion memiliki tingkat homogenisasi campuran udara-bahan bakar terbaik yang bisa diperoleh dari pembakaran bahan bakar padat. Pilihan teknologi pembakaran tersebut terutama berdasarkan kapasitas panas yang dibutuhkan dan aspek ekonomi termasuk didalamnya harga alat, biaya operasional dan maintenance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...