Selasa, 03 Desember 2019

Export Wood Pellet ke Jepang, Mungkinkah?

Konsumsi bahan bakar biomasa khususnya wood pellet di Jepang terus meningkat seiring waktu sesuai target 4 - 6 GW pada 2030. Supplai wood pellet untuk Jepang terutama dari Kanada dengan volume lebih dari 250 ribu ton setiap tahunnya. Penggunaan wood pellet tersebut terutama adalah untuk bahan bakar pembangkit listrik (baca backgroundnya disini). Produsen wood pellet di Asia juga semakin meningkat tetapi faktanya tidak banyak yang bisa export ke Jepang. Jepang menerapkan standard ketat untuk kualitas wood pellet dan juga jaminan bahwa wood pellet tersebut diproduksi secara ramah lingkungan yang dibuktikan dengan sertifikat keberlanjutan (sustainibility) berupa FSC. Faktor lain yang membuat sulitnya mengeksport wood pellet ke Jepang adalah penerapan kontrak panjang dengan harga beli tetap selama waktu tertentu. Hal tersebut dikarenakan dengan kebijakan FIT (Feed in Tarrif), harga jual listrik yang diproduksi juga tetap selama 20 tahun dengan harga tergantung dari jenis bahan bakar tersebut. Selain itu juga volume pengapalan yang dibutuhkan juga cukup besar yakni 10 ribu ton untuk setiap pengapalan. Hal tersebut memberi konsekuensi untuk kapasitas pabrik wood pelletnya.
Lalu bagaimana track record export wood pellet dari Indonesia? Ternyata export wood pellet dari Indonesia ke Jepang masih sangat minim, pada umumnya hanya untuk fase ujicoba (trial). Hal tersebut sangat berbeda dengan komoditas bahan bakar biomasa lainnya yakni cangkang sawit (PKS : palm kernel shell) yang volume export ke Jepang saja diperkirakan lebih dari 1 juta ton setiap tahunnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Pertama, rata-rata produsen wood pellet di Indonesia masih berkapasitas kecil atau kurang dari 5000 ton/bulan. Selain itu bahan baku yang digunakan juga mayoritas berasal dari serbuk gergaji (sawdust) dari penggergajian (sawmill) dan limbah-limbah kayu dari industri pengolahan kayu. Kondisi tersebut juga menjadikan sangat sulit atau mustahil untuk mendapatkan sertifikat keberlanjutan karena sangat sulit melacak sumber kayu dari asalnya. Kedua, cangkang sawit jumlahnya melimpah di pabrik-pabrik sawit karena merupakan salah satu limbah padat dari pabrik sawit atau produksi CPO. Dengan produksi CPO nasional yang diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta ton/tahun maka cangkang sawit yang dihasilkan diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta/tahun dan hanya dengan melalui proses sederhana maka cangkang sawit juga sudah bisa di export. Secara teknis memang cangkang sawit juga memiliki banyak persamaaan untuk spesifikasi teknisnya seperti nilai kalor, ukuran, dan sebagainya, serta memiliki keunggulan berupa handling lebih mudah dan harga lebih murah.
Salah satu skenario untuk bisa mengeksport wood pellet ke Jepang, adalah produksi wood pellet dari kebun energi. Dengan kebun energi maka asal-usul kayu hingga seluruh aspek budidayanya bisa dipantau dan diverifikasi secara jelas sehingga seharusnya sertifikat seperti FSC bisa dengan mudah didapatkan. Pasokan bahan baku juga bisa lebih terjamin dan sangat mungkin untuk produksi dengan kapasitas besar. Untuk mengoptimalkan kebun energi tersebut juga bisa diintegrasikan dengan peternakan domba, sapi maupun kambing dan juga peternakan lebah madu. Ketiga aspek penting untuk kehidupan manusia yakni pangan (food), energi dan air bisa dilakukan dengan aktifitas tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Alternatif lainnya adalah dengan produksi EFB pellet atau pellet tandan kosong sawit, tetapi EFB pellet bukan kelompok wood pellet, karena berasal bukan dari biomasa kayu-kayuan (woody biomass), tetapi berasal dari limbah pertanian sehingga disebut pellet limbah pertanian atau agro-waste pellet. Kualitas agro-waste pellet umumnya lebih rendah dibandingkan dengan wood pellet terutama karena kadar abu lebih banyak dan nilai kalor lebih rendah. Selain faktor teknis di atas, ada hal penting yang perlu diperhatikan untuk produksi EFB pellet adalah ketersediaan listrik. Hal tersebut karena pabrik-pabrik sawit pada umumnya di lokasi terpencil sehingga sulit mendapatkan pasokan listrik, sedangkan listrik yang diproduksi oleh pabrik sawit juga tidak mencukupi apabila digunakan untuk produksi EFB pellet. Untuk bisa menghasilkan listrik yakni dengan produksi biogas dari POME atau limbah cair pabrik sawit, dan untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...