Rabu, 03 April 2019

Kayu Limbah Replanting Untuk Produksi Sawdust Charcoal Briquette

Pada umur tertentu pohon-pohon pada perkebunan besar sudah tidak produktif lagi sehingga perlu diremajakan (replanting) untuk menjaga keberlangsungan bisnis perkebunan tersebut. Dua kelompok perkebunan besar di Indonesia yang luasnya mencapai jutaan hektar yakni perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet juga biasa melakukannya. Limbah kayu dari batang pohon-pohon tersebut jumlahnya bisa mencapai ribuan bahkan jutaan ton, dan pada umumnya belum dimanfaatkan. Memang ada penggunaan limbah-limbah kayu replanting tersebut untuk industri meubel, bangunan dan peralatan rumah tangga, tetapi porsinya masih sangat kecil sehingga tidak mampu menyerap volume kayu yang sangat besar tersebut. Sebagai contoh kayu karet juga bisa digunakan untuk kayu industri meubel dan kayu bangunan, demikian juga dengan kayu batang sawit. Bahkan kayu karet juga digunakan untuk pembuatan papan partikel (particle board) seperti MDF (Medium Density Fibreboard) atau HDF (High Density Fibreboard).
Pemanfaatan atau pengolahan limbah kayu replanting tersebut untuk produksi wood charcoal briquette (sawdust charcoal briquette) adalah solusi jitu untuk permasalahan tersebut. Faktor potensi pasar yang besar dan persyaratan spesifikasi produk yang tidak terlalu sulit menjadikan usaha ini menarik. Berbeda dengan produk wood pellet yang biasanya untuk pembangkit listrik yang membutuhkan volume supply besar dan spesifikasi sangat ketat, maka untuk produk sawdust charcoal briquette selain volume supply juga tidak harus jumlah besar juga spesifikasinya lebih longgar. Hal tersebut karena penggunaan sawdust charcoal briquette adalah untuk barbeque atau lebih khusus lagi sebagian besar untuk memanggang daging domba di Arab Saudi, Timur Tengah dan Turki. Pada wood pellet untuk pembangkit listrik spesifikasi sering sulit dipenuhi terutama pada aspek kimia abu seperti klorin, potassium dan bahkan sulfur, untuk lebih jelas bisa dibaca disini. Sedangkan pada produksi sawdust charcoal briquette untuk kimia abu yang kadarnya hanya level ppm tersebut tidak dipermasalahkan sama sekali.
Banyak orang menyangka bahwa untuk produksi sawdust briquette charcoal tersebut membutuhkan perekat tambahan seperti kanji (tapioka), hal ini bisa dimaklumi karena banyak orang yang masih belum mengetahui proses produksi sawdust charcoal tersebut. Untuk menghasilkan briket arang pada umumnya adalah dengan menggunakan bahan baku arang selanjutnya dihancurkan menjadi bubuk dan ditambah perekat (seperti kanji) selanjutnya dibriket. Produk briket tersebut selanjutnya dikeringkan dan dikemas untuk dipasarkan. Proses produksi arang briket dengan cara tersebut hasilnya kurang bagus dan kurang diterima pasar. Sedangkan proses produksi dengan cara kayu tersebut dihancurkan seukuran serbuk gergaji dan selanjutnya dikeringkan lalu dibriket. Pembriketan tersebut tidak membutuhkan perekat karena dalam kayu selalu terdapat senyawa lignin, yang berguna sebagai perekat tersebut. Selanjutnya briket tersebut diarangkan atau dikarbonisasi untuk menaikkan fixed carbon dan menurunkan volatile matter. Produk briket arang dengan cara ini biasa disebut sawdust charcoal briquette memiliki kualitas lebih baik dan banyak diminati pasar. Skema di atas cukup untuk menjelaskan 2 route proses produksi dua jenis briket arang tersebut.
Kayu replanting pada saatnya juga akan habis dan digantikan oleh tanaman baru. Bagaimana supaya usaha produksi sawdust charcoal tersebut bisa terus berjalan? Suatu unit produksi tentu membutuhkan pasokan bahan baku. Untuk bisa terus menyuplai bahan baku untuk produksi salah satu alternatif adalah membuat kebun energi. Kebun energi tersebut bisa dengan tanaman rotasi cepat seperti kaliandra atau gamal. Untuk optimalisasi produktivitas kayu dan bisnisnya, maka kebun energi tersebut sebaiknya diintegrasikan dengan peternakan domba, sapi dan peternakan lebah madu. Dan untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...