Kamis, 11 April 2019

Limbah Sagu Untuk Sawdust Charcoal Briquette

 
Hutan sagu tersebar terutama di kawasan Indonesia, Malaysia dan Philipina dengan Indonesia khususnya Papua sebagai pemilik hutan sagu terbesarnya dengan luas hutan mencapai 1,2 juta hektar atau hampir 50% dari luasan dunia. Walaupun sudah mulai dibuat perkebunan sagu tetapi sebagian besar masih berupa hutan-hutan. Pada daerah yang telah membuat perkebunan sagu, pengolahan produk sagu yang dihasilkan juga lebih baik. Sagu memiliki peran sangat penting dalam ketahanan pangan, khususnya daerah-daerah seperti Maluku dan Papua. Daerah-daerah tersebut juga sudah turun menurun makan sagu sebagai makanan pokoknya. Ketahanan pangan menurut UU  No 7 tahun 1996 dan PP 68 tahun 2002 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Selain itu pohon sagu juga memiliki manfaat lingkungan seperti menahan erosi, penyerapan air dan penghijauan. Konversi pangan dari sagu ke beras akan mendorong konversi hutan sagu ke persawahan dan itu berarti juga menghilangkan manfaat lingkungan dari hutan sagu. Hilangnya manfaat lingkungan dari hutan sagu juga berarti mengundang potensi bencana alam. Seharusnya tidak perlu untuk konversi pangan dari sagu ke beras untuk daerah-daerah tersebut tetapi justru mengembangkan dan melestarikan potensi pohon sagu di daerah-daerah tersebut dan bahkan sangat dimungkinkan sebagai komoditas export. Berdasarkan sejumlah analisa bahwa penggunaan sagu dari lokasi setempat akan mampu swasembada pangan di daerah tersebut, misalnya di Maluku dan Papua. 

Pemanfaatan sagu terutama untuk produksi karbohidrat sebagai bahan pangan pokok. Pati sagu diambil dari bagian batang sagu yang diekstrak sehingga terpisah pati sagu dan ampasnya. Pada sejumlah daerah proses mengekstrak pati sagu masih sangat sederhana, yakni batang sagu diambil bagian yang kaya sagunya, dikecilkan ukurannya  misalnya dengan diparut lalu dicampur air lalu diremas-remas dengan tangan dan didapat pati sagu dari pengendapan hasil perasan tersebut. Dengan bantuan alat mekanik proses ekstraksi tersebut bisa lebih mudah dan cepat. Proses produksi sagu menghasilkan sejumlah limbah biomasa yang sebenarnya juga memiliki potensi ekonomi. Limbah kulit batang sagu dan ampas sagu adalah bahan potensial untuk produksi sawdust briquette charcoal. Saat ini sebagian besar limbah tersebut masih belum dimanfaatkan dan hanya mencemari lingkungan.



Proses produksi sawdust charcoal briquette dari limbah sagu tersebut juga hampir sama dengan produksi sawdust charcoal briquette dari bahan baku limbah-limbah kayu pada umumnya. Kulit batang sagu perlu dikecilkan ukurannya (size reduction) seukuran serbuk gergaji sedangkan untuk ampas tebu tidak perlu karena ukuran partikelnya sudah relatif kecil. Tahap selanjutnya adalah pengeringan dengan alat pengering dan yang paling banyak digunakan saat ini yakni rotary (drum) dryer. Setelah material sudah cukup kering selanjutnya disimpan sementara selanjutnya diumpankan ke mesin briket (screw extruder) dan dihasilkan sawdust briquette. Pada tahap ini tahapan proses produksinya sangat mirip dengan produksi wood pellet, bedanya untuk produksi sawdust briquette menggunakan screw extruder, sedangkan untuk wood pellet dengan pelletiser. Untuk menjadi sawdust charcoal briquette tahap selanjutnya yakni sawdust briquette selanjutnya diarangkan dalam tungku pengarangan (karbonisasi) yang memakan waktu sekitar 10 hari.

Mengapa tidak produksi wood pellet saja? Pertanyaan wajar dan masuk akal. Walaupun limbah sagu tersebut bisa digunakan untuk produksi wood pellet, tetapi kandungan klorin yang cukup tinggi membuatnya kurang bisa diterima, terutama untuk pasar export yang end usernya adalah pembangkit listrik. Apabila wood pellet dari limbah sagu ditujukan untuk pasar dalam negeri untuk pemakaian pada sejumlah UKM juga tidak masalah. Sementara keterserapan pasar dalam negeri yang masih kecil, maka sebagian produsen wood pellet masih prioritas untuk pasar export dengan persyaratan spesifikasi teknis cukup ketat. Berdasarkan kondisi tersebut produksi sawdust charcoal briquette lebih menjadi pilihan, dan disamping itu peralatan produksi sawdust charcoal briquette hampir 100% telah bisa dibuat di dalam negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...