Senin, 18 November 2019

Rotary Dryer Untuk Pengeringan Biomasa

Ketika menggunakan biomasa sebagai bahan baku produksi pellet dan briquette, maka tingkat kekeringan biomasa tersebut harus cukup kering sehingga bisa dipadatkan dalam bentuk pellet atau briquette tersebut. Bahan baku biomasa baik berupa kayu-kayuan atau limbah-limbah pertanian sering masih basah, sehingga perlu proses pengeringan terlebih dahulu. Sebagai negara tropis memang sinar matahari akan terus bersinar sepanjang tahun, tetapi mengandalkan pengeringan dengan dijemur dibawah terik matahari akan memakan waktu lama, tempat yang luas dan handling yang tidak efisien. Berdasarkan kondisi itulah maka pengeringan yang dilakukan dengan peralatan tertentu perlu dilakukan. Karakteristik pengering di industri adalah bisa mengeringkan kapasitas besar dalam waktu singkat dan ekonomis. 
Rotary dryer atau drum dryer adalah jenis alat pengering yang paling banyak digunakan pada industri pellet dan briquette. Hal tersebut karena rotary dryer memiliki konstruksi sederhana, mudah dalam operasional dan juga maintenance. Penggunaan rotary dryer tidak hanya untuk pengeringan biomasa tetapi juga dibidang-bidang lainnya seperti mineral, pupuk dan sejumlah aggregate. Penggunaan rotary dryer disejumlah bidang dengan berbagai jenis material tersebut juga memberi konsekuensi sejumlah perangkat pendukungnya, misalnya penggunaan cyclone, scrubber, bag house hingga induced draft (ID) fan. Sedangkan dari sisi operasional juga bervariasi mengikuti karakteristik bahan baku yang dikeringkan seperti alur pengeringan dengan counter current atau co-current, dan penggunaan indirect drying atau direct drying.
Setiap alat pengering juga memiliki karakteristik tersendiri dan sesuai untuk jenis material tertentu. Pemilihan jenis pengering (dryer) yang tidak sesuai mengakibatkan tujuan pengeringan tidak tercapai, sebagai contoh rotary dryer cocok digunakan untuk pengeringan material yang tidak pecah atau rusak ketika dijatuhkan dari atas, sedangkan jenis pengering fluidized dryer cocok untuk material yang ringan dan mudah pecah atau rusak ketika dijatuhkan. Biomasa khususnya dalam ukuran partikel kecil adalah material yang tidak rusak atau pecah ketika dijatuhkan, sehingga penggunaan rotary dryer lebih sesuai. Selain biaya investasi lebih mahal, operasional dan maintenance fluidized dryer juga lebih mahal dibandingkan dengan rotary dryer. Pemilihan material untuk pembuatan alat rotary dryer juga merupakan hal penting. Material logam yang tidak sesuai dikhawatirkan akan membuat kualitas produk pengeringan tidak sesuai target selain itu umur pakai juga lebih pendek. 
Pada material biomasa dengan ukuran partikel kecil, rotary dryer adalah alat pengering yang paling umum digunakan. Untuk alur atau arus pengeringan menggunakan cocurrent, bukan counter current berdasarkan sejumlah pertimbangan, yang lebih detail bisa dibaca disini. Pada pabrik wood pellet dan briquette dengan kapasitas besar maka rotary dryer biasanya beroperasi 24 jam sehari, sehingga perfomance atau kinerja rotary dryer menjadi sangat penting. Instalasi yang tidak memadai membuat perfomance rotary dryer tidak optimal dan umur pakai. Terjadinya banyak getaran dan putaran yang tidak seimbang indikasi instalasi rotary dryer tidak memadai dan membuat kinerja tidak optimal serta umur pakai rotary dryer lebih pendek. 

Rabu, 13 November 2019

Produksi CNSL dan Charcoal Briquette Dari Cangkang Mete


Indonesia merupakan penghasil mete terbesar di dunia setelah India, Vietnam, Afrika Timur, Afrika Barat dan Brasil. Produksi mete di Indonesia diperkirakan mencapai 131.302 ton dan tersebar ke sejumlah sentra-sentra produksi, antara lain Jawa Tengah,Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Hal yang masih disayangkan adalah ternyata sebagian besar produksi mete di Indonesia masih dalam mentah atau gelondongan (mete dengan cangkang/cashew in shell) yang mencapai 60% atau 78.781 ton, dan bukan dalam olahan seperti kupasan (mete tanpa cangkang) bahkan yang siap konsumsi. Untuk meningkatkan nilai tambah seharusnya mete yang dihasilkan diolah terlebih dahulu. Dengan pengolahan tersebut maka akan dihasilkan produk samping atau limbah berupa cangkang mete. Dengan produksi mete Indonesia 131.302 ton maka potensi cangkang mete yang dihasilkan mencapai 52.520,8 ton (40% dari mete). Walaupun cangkang mete bisa digunakan secara langsung untuk bahan bakar seperti halnya kayu bakar, tetapi apabila diolah juga akan memberi nilai tambah yang menarik.


Cangkang mete tersebut bisa diolah menjadi minyak cangkang mete (Cashew Nut Shell Liquid / CNSL) dan briket arang (charcoal briquette). Untuk mendapatkan CNSL dilakukan dengan ekstraksi mekanik sehingga terpisah minyak dan padatan berupa ampas cangkang mete. Minyak atau CNSL tersebut memiliki banyak manfaat karena bisa digunakan untuk berbagai bahan baku industri, seperti bahan pestisida nabati, pengawet kayu, oli rem mobil dan pesawat terbang, untuk bahan industri cat, bahan anti karat, lecquer, bahan pembungkus kabel, pembuatan kampas rem kendaraan bermotor, sebagai bahan bakar (yang renewable), dan perekat terbarukan untuk industri kayu. Rendemen minyak mete terhadap cangkang mete sekitar 20% artinya setiap ton cangkang mete dihasilkan 200 kg minyak cangkang mete (CNSL), jumlah yang cukup banyak dan memberi nilai tambah secara ekonomi. Sedangkan ampas cangkang mete tersebut selanjutnya dicetak menjadi briket dan diikuti proses pengarangan (karbonisasi). Kualitas briket arang yang dihasilkan dengan rute proses di atas juga akan lebih baik dibandingkan dengan cara dibuat arang terlebih dahulu selanjutnya dicetak menjadi briket dengan tambahan perekat.



Proses pengolahan kacang mete menjadi produk yang siap dikonsumsi membutuhkan energi untuk proses produksi. Dalam banyak industri, energi atau bahan bakar termasuk komponen biaya tinggi, sehingga upaya penghematan energi sangat biasa dilakukan pada banyak industri. Pada proses karbonisasi atau pengarangan briket tersebut akan dihasilkan limbah panas (waste heat) yang cukup banyak sehingga bisa digunakan untuk pengolahan kacang mete. Ketika faktor biaya produksi khususnya biaya energi bisa diminimalisir bahkan dieliminasi sama sekali maka produk olahan mete siap konsumsi menjadi semakin kompetitif dan menguntungkan. Pemanfaatan cangkang mete untuk produksi CNSL dan briket arang selain memberi nilai tambah secara ekonomi juga membuat industri pengolahan mete zero waste.

Selasa, 12 November 2019

Konversi Industrial Furnace dan Boiler ke Bahan Bakar Biomasa

Penggunaan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit (PKS / palm kernel shell) semakin meningkat akhir-akhir ini. Hal tersebut terutama disebabkan mahalnya harga gas alam dan LPG industri (non-subsidi). Ditinjau dari aspek lingkungan hal tersebut adalah suatu kemajuan karena terjadi pengurangan bahan bakar fossil (carbon positive) yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global. Industri yang pada awalnya menggunakan tungku (furnace) dan boiler berbahan bakar gas perlu menggantinya menjadi biomasa khususnya cangkang sawit yang merupakan bahan bakar padat. Ketersediaan cangkang sawit juga sangat berlimpah sebanding dengan produk CPO atau perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Biomasa seperti wood chip, wood pellet dan sebagainya pada dasarnya bisa digunakan sebagai bahan bakar tungku (furnace) tersebut, tetapi pertimbangan ekonomi dan kontinuitas supplai menjadi pertimbangan utama. Kualitas cangkang sawit juga hampir menyamai wood pellet dan di pasar internasional memang cangkang sawit adalah pesaing utama wood pellet. Dan apabila dibandingkan dengan biomasa limbah pertanian lain seperti sekam padi, cangkang sawit juga jauh lebih unggul baik dari sisi kalori dan bulk density, sehingga cangkang sawit semakin menjadi favorit.

Saat ini cangkang sawit juga telah menjadi komoditas export terutama untuk pasar Jepang dan Korea. Kedua negara tersebut adalah konsumen cangkang sawit terbesar khususnya di Asia tetapi dengan motivasi utama karena implementasi program lingkungan di negara tersebut. Insentif yang besar diberikan oleh negara kepada perusahaan-perusahaan terutama pembangkit listrik apabila menggunakan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit karena merupakan kelompok energi terbarukan. Hal tersebut sangat mendorong penggunaan cangkang sawit di kedua negara tersebut. Sementara pemasok utama cangkang sawit yakni dari Indonesia dan Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia sekaligus pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia saat ini. Kondisi tersebut tentu akan memunculkan kompetisi khususnya ketika permintaan terhadap cangkang sawit sama-sama besarnya. Ketika kondisi tersebut terjadi maka dibutuhkan strategi khusus untuk menyikapinya, sehingga memberi nilai tambah yang besar bagi Indonesia.

Cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa yang hampir tidak ada pengolahan dan langsung bisa digunakan, sedangkan untuk wood pellet dibutuhkan suatu industri untuk pengolahannya. Berdasarkan hal diatas seharusnya cangkang sawit diprioritaskan untuk pasar dalam negeri dan wood pellet untuk pasar export. Ketika produksi wood pellet saat ini masih mengandalkan serbuk gergaji dan limbah-limbah kayu yang jumlahnya terbatas, maka selain kuantitas tidak bisa besar juga aspek lingkungan berupa keberlanjutan (sustainibility) juga sulit didapatkan. Ketika produksi wood pellet dibuat dari kebun energi dengan menanam tanaman energi seperti kaliandra dan gliricidae, walaupun ketersediaan bahan baku bisa lebih terjamin dan mampu untuk kapasitas besar serta aspek lingkungan berupa keberlanjutan (sustainibility) bisa didapat tetapi pada umumnya produsen masih belum tertarik karena rutenya panjang dan perlu menguasai aspek budidaya kebun energi. Produksi EFB pellet bisa menjadi solusi akan hal tersebut. EFB atau tandan kosong sawit sama seperti cangkang sawit adalah limbah padat pabrik sawit yang jumlahnya berlimpah dan saat ini sebagian besar belum dimanfaatkan, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Apabila penggunaan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit di Indonesia semakin besar maka berarti itu sebanding dengan upaya penurunan gas rumah kaca atau CO2 yang berasal dari bahan bakar fossil. Suatu prestasi dalam bidang lingkungan yang bisa dibanggakan tentunya. Saat ini juga tidak sedikit pabrik-pabrik kelapa sawit yang belum menjual cangkang sawitnya terutama pabrik-pabrik sawit yang berada di kawasan terpencil. Upaya untuk mengambil cangkang sawit di pabrik-pabrik sawit tersebut juga merupakan tantangan tersendiri, tetapi dengan pengguna juga di dalam negeri maka hal tersebut juga lebih mudah. Apabila cangkang sawit untuk pasar export khususnya Jepang yang mensyaratkan kuantitas minimal yang besar yakni rata-rata 10 ribu ton setiap pengapalan dan kualitas cangkang sawit yang ketat (terutama aspek kebersihan dan kekeringan) maka pasar dalam negeri selain volume setiap pengapalan lebih kecil juga persyaratan kualitas juga bisa lebih longgar. Transportasi cangkang sawit ke Jepang dengan jumlah tersebut membutuhkan kapal curah besar, sedangkan untuk pasar dalam negeri cukup dengan tongkang.
Travelling Grate Furnace

Konversi dari bahan bakar gas ke bahan bakar padat khususnya biomasa cangkang memang membutuhkan peralatan yang berbeda berikut aspek operasionalnya. Bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit membutuhkan ruangan lebih besar untuk penampungan, proses pembakaran juga tidak semudah bahan bakar gas, juga dihasilkan limbah padat lagi berupa abu. Pihak industri pengguna bahan bakar cangkang sawit biasanya harus mengganti tungku ataupun boiler mereka dengan tungku atau boiler industri berbahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit. Pada dasarnya ada 3 kelompok dari teknologi pembakaran yang bisa digunakan yakni grate, fluidized bed dan pulverized combustion. Aspek pencampuran udara dengan bahan bakar adalah aspek penting dalam pembakaran. Bahan bakar padat memiliki kualitas pencampuran dengan udara yang rendah dibandingkan dengan bahan bakar cair apalagi gas. Pada bahan bakar cair dan apalagi gas, bahan bakar bisa diatomisasi sehingga mendekati ukuran molekul dari udara, sedangkan pada bahan bakar padat tidak bisa. Grate combustion memiliki tingkat pencampuran udara-bahan bakar paling rendah, fluidized bed memiliki tingkat homogenisasi campuran udara-bahan bakar lebih baik dan pulverized combustion memiliki tingkat homogenisasi campuran udara-bahan bakar terbaik yang bisa diperoleh dari pembakaran bahan bakar padat. Pilihan teknologi pembakaran tersebut terutama berdasarkan kapasitas panas yang dibutuhkan dan aspek ekonomi termasuk didalamnya harga alat, biaya operasional dan maintenance.

Sabtu, 09 November 2019

Pengembangan Bisnis Pabrik Kelapa Sawit : Listrik dari Biogas untuk produksi EFB Pellet

Pabrik sawit atau pabrik CPO pada umumnya sudah tidak tertarik untuk mengembangkan bisnis atau usaha lagi, karena tuntutan untuk menghasilkan produk CPO yang berkelanjutan (sustainable) sudah menjadi tantangan tersendiri. Pabrik sawit pada umumnya mau melakukan pengembangan usaha terutama terkait dengan bisnis utamanya seperti produktivitas buah kelapa sawit (divisi kebun) dan aspek lingkungan yang merupakan bagian dari produksi CPO berkelanjutan (divisi pabrik). Suatu unit bisnis yang bisa mengintegrasikan kedua divisi di bisnis minyak sawit tersebut merupakan hal yang dibutuhkan bagi perusahaan sawit. Sebagai suatu bisnis tentu saja selain kedua aspek diatas juga memiliki orientasi keuntungan (profit oriented). Karakteristik bisnis yang meningkatkan kualitas lingkungan serta menghasilkan produk yang berorientasi kelestarian lingkungan adalah ciri khas bisnis di era bioeconomy.
Pada pabrik sawit atau produksi CPO selain dihasilkan produk utama berupa CPO juga dihasilkan sejumlah limbah, seperti limbah padat dan limbah cair. Limbah cair berupa POME (Palm Oil Mill Effluent) bisa diolah lanjut menjadi biogas dan selanjutnya biogas tersebut menjadi dikonversi menjadi listrik dengan gas engine. Mengapa dengan gas engine dan tidak dengan steam turbine untuk konversi listriknya? Hal tersebut karena gas engine lebih praktis dan mudah dibandingkan dengan steam turbine. Pertimbangan yang kedua adalah produksi listrik dari biogas ini merupakan pengembangan usaha yang memanfaatkan limbah (cair) pabrik sawit dan bukan di lini produksi CPO yang membutuhkan steam dalam rangkaian proses produksinya. Listrik yang dihasilkan selanjutnya bisa digunakan untuk produksi EFB pellet atau pellet dari tandan kosong kelapa sawit. Sedangkan residue dari unit biogas selanjutnya digunakan untuk pupuk di perkebunan sawit dengan istilah yang biasa digunakan yakni land application. 

Tandan kosong atau EFB (Empty Fruit Bunch) pada umumnya belum dimanfaatkan dan jumlahnya cukup banyak. Meningkatkan nilai tambahnya dengan mengolahnya menjadi EFB pellet adalah solusi lingkungan dan bisnis untuk tandan kosong sawit atau EFB. EFB pellet adalah kelompok biomass pellet khususnya agro waste pellet atau pellet limbah pertanian, yang ditinjau dari sisi karakteristik ada sedikit perbedaan dengan wood pellet atau pellet kayu. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi terbarukan khususnya bahan bakar biomasa dan lebih khusus lagi wood pellet, maka karena wood pellet yang diproduksi saat ini jumlahnya relatif terbatas karena hanya mengandalkan serbuk gergaji dan limbah-limbah kayu, maka peningkatan produksi salah satunya bisa dilakukan dengan limbah pertanian, khususnya EFB pellet. Potensi tandan kosong sawit untuk produksi EFB pellet juga sangat besar, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Produksi EFB pellet dengan listrik dari unit biogas tersebut seharusnya dibuat pengelolaan terpisah dengan pabrik sawit atau pabrik CPO. Hal tersebut akan membuat pabrik CPO bisa berjalan optimal demikian juga produksi EFB pellet. Ketika limbah-limbah pabrik sawit bisa diolah maka perusahaan sawit akan memperoleh citra positif pada aspek lingkungan (green company). Citra positif sebagai akibat usaha riil atau konkrit pengolahan limbah tersebut sehingga merupakan zero waste production juga akan meningkatkan daya jual dari produk CPO sebagai produk utama. Perusahaan-perusahaan sawit pada umumnya selalu berusaha untuk meningkatkan kelestarian lingkungan sebagai salah satu indikator performa perusahaan sawit yang bersangkutan sehingga produksi EFB pellet dengan operasional menggunakan listrik dari biogas POME merupakan solusi jitu.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...