Senin, 13 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 7 : Integrasi Produksi VCO, Nata de Coco, Dan Arang Tempurung

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable).
 
Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.

Salah satu pertanyaan mendasar tentang industri kelapa terpadu adalah mengapa sebaiknya usaha kelapa dibuat secara terpadu atau terintegrasi? Mengapa tidak mengolah salah satu bagian saja bagian dari kelapa? Hampir di semua wilayah buah kelapa dijual dalam bentuk butiran tanpa sabut. Ketika bahan baku berupa kelapa butiran tersebut maka seluruh bagiannya bisa diolah dan menjadi berbagai produk. Dan ketika hanya mengolah salah satu bagian saja dari kelapa sebagai contoh tempurung untuk produksi arang dan air kelapa untuk produksi nata de coco, maka itu berarti hanya mengambil limbah atau produk samping dari pengolahan atau pemanfaatan kelapa utama yang pada umumnya adalah daging buah kelapa. Kondisi tersebut sangat bergantung pada  pengolahan atau pemanfaatan utama buah kelapa tersebut. Hal serupa mirip dengan industri pengolahan biomasa seperti wood pellet dan briket yang berasal dari limbah penggergajian (sawmill) maupun industri kayu.  Dan ketika seluruh bagian buah kelapa tersebut bisa diolah maka hal itu akan semakin ekonomis dan efisien serta tidak dihasilkan limbah. Kombinasi dari jenis pengolahan kelapa tersebut turut menentukan tingkat efisiensi dan keekonomisan produksinya. Pemanfaatan energi secara efisien adalah salah satu kunci suksesnya. Sehingga apabila kombinasi pengolahan kelapa tersebut bisa mengefisienkan pemakaian energi, sehingga pemakaian energi eksternal bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan, maka hal tersebut kondisi terbaik yang dicari.

VCO cukup banyak dikenal dan populer dikalangan masyarakat Indonesia. Beberapa waktu lalu produk ini meledak di pasaran dan banyak industri kecil bermunculan untuk memproduksinya. Sayang trend ini hanya bertahan sebentar saja. Seiring surutnya atau turunnya permintaan VCO di dalam negeri cukup banyak produsen-produsen tersebut yang menutup usahanya dan beralih ke profesi lainnya. VCO memiliki kandungan utama berupa asam laurat (lauric acid), yakni asam lemak rantai sedang (MCFA : Medium Chain Fatty Acid) yang banyak manfaat bagi kesehatan. Mengkonsumsi VCO juga akan memberi tambahan energi instan, dan tidak ditimbun dalam bentuk lemak. Untuk lebih jelas dibaca di sini. Selain terdapat di VCO, asam laurat juga terdapat pada minyak inti sawit (PKO : Palm Kernel Oil) dan ASI (air susu ibu). Pabrik minyak inti sawit (pabrik PKO atau KCP : kernel crushing plant) tidak sebanyak pabrik sawit (pabrik CPO). Banyak pabrik CPO yang tidak memiliki pengolahan kernel (KCP) atau inti sawitnya.  

Minyak inti sawit (PKO) ini juga biasa disebut minyak laurat dan menjadi pesaing bagi VCO. Hal ini seperti juga terjadi antara minyak goreng sawit yang bersaing dengan goreng kelapa. Beberapa pihak mungkin lebih tertarik dengan VCO karena berasal dari kelapa, sedangkan PKO berasal dari sawit dan saat ini sedang mengalami kampanye buruk dari Eropa, walaupun hal tersebut bisa saja sebagai bagian perang dagang. Minyak kelapa dari kopra juga pernah mengalami hal serupa. Indonesia yang dalam sejarahnya pernah menjadi penghasil kopra terbesar selanjutnya industri kelapanya hancur akibat perang dagang dengan minyak kedelai di Amerika Serikat.  

Sedangkan untuk pasar export selain butuh spesifikasi atau kualitas yang lebih baik juga pada umumnya diwajibkan dengan disertai sertifikasi organik. Sertifikasi organik tersebut adalah sesuatu hal yang tidak mudah apalagi untuk usaha kecil. Informasi dari APCC (Asia Pacific Coconut Community) bahwa Philipina adalah produsen terbesar VCO saat ini walaupun luas kebun kelapa masih dibawah Indonesia dengan volume export terus bertambah. Tercatat bahwa export VCO Philipina pada tahun 2006 sebanyak 461 ton selanjutnya sembilan tahun kemudian yakni pada tahun 2015 meningkat menjadi 36.313 ton. Industri kelapa di Philipina juga lebih berkembang daripada di Indonesia, hal ini nampak dari banyaknya komoditas exportnya dari produk kelapa. Philipina mengeksport 30 macam produk kelapa sedangkan Indonesia hanya 14 macam produk.

Kombinasi pengolahan kelapa terpadu yang bisa dikombinasikan dengan produksi VCO adalah produksi nata de coco dan arang tempurung kelapa. Produksi VCO bisa dilakukan dengan skala menengah sehingga tempurung kelapa yang dihasilkan juga tidak begitu banyak sehingga produksi arang dengan tungku karbonisasi secara batch sudah memadai. Panas yang hilang atau terbuang dari proses karbonisasi selanjutnya bisa diambil lagi dan digunakan untuk memasak air kelapa pada produksi nata de coco. Selain itu apabila nata de coco tersebut dijual dalam bentuk siap konsumsi, maka nata de coco perlu dimasak minimal 3 kali sehingga menjadi lunak dan bersih. Pemasakan tersebut juga bisa menggunakan panas limbah dari proses karbonisasi tersebut. Produksi nata de coco tersebut akan menjadi kompetitif dan lebih menguntungkan karena tidak perlu menggunakan energi panas eksternal seperti LPG.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...