Indonesia juga sangat potensial untuk mengembangkan kebun energi untuk produksi wood pellet tersebut. Bahkan kebun energi tersebut bisa diintegrasikan peternakan besar seperti domba, sapi dan kambing serta peternakan lebah madu, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sehingga selain sektor energi, sektor pangan serta konservasi lingkungan berupa air dan tanah juga bisa terpelihara. Mengapa saat ini belum atau tidak ada produsen wood pellet dari kebun energi berorientasi export di Indonesia? Padahal potensi bahan baku dan pasar sangat besar. Estimasi keuntungan juga menarik apalagi dengan optimalisasi pemanfaatan lahan dan panen kebun energi tersebut.
Kedua, faktor biaya. Faktor biaya bisa jadi merupakan halangan utama, hal ini karena pabrik wood pellet dari kebun energi adalah bukan sesuatu yang murah, tetapi memang umumnya lebih murah dibandingkan pabrik sawit dan perkebunannya, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Tetapi dengan prospek yang bagus pada sektor energi terbarukan dari biomasa ini semestinya banyak investor yang berminat untuk investasi pada bisnis ini. Investasi yang saling menguntungkan non-riba adalah pilihan terbaik untuk mengeksekusinya. Diperkirakan untuk pabrik wood pellet dengan kapasitas 10.000 ton/bulan (20 ton/jam) lebih dari 100 milyar rupiah.
Selanjutnya, faktor ketiga yakni infrastruktur. Sejumlah daerah memang belum memiliki infrastruktur yang memadai walaupun tersedia tanah sangat luas. Penyediaan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya bukanlah sesuatu yang mudah dan murah, sehingga bisa menjadi kendala yang berarti. Hal inilah mengapa pemilihan lokasi adalah hal penting. Ketersediaan listrik adalah hal lain yang perlu diperhatikan dan menjadi pertimbangan penting. Listrik sangat vital untuk produksi atau pabrik wood pellet. Apabila ternyata tidak ada pasokan listrik, maka pabrik wood pellet tersebut harus membuat pembangkit listrik. Dengan kisaran kebutuhan listrik 250 KW untuk setiap ton/jam produksi wood pellet, maka untuk produksi wood pellet dengan volume standar export yakni minimal 10.000 ton/bulan atau 10.000 ton/shipment atau 20 ton/jam membutuhkan 5 MW.
Pembangkit listrik tersebut cukup besar, karena untuk ukuran pabrik sawit besar saja kebutuhan listrik hanya sekitar 2,5 MW dan investasi pembangkit listrik untuk setiap MW adalah 1 juta US dollar, sehingga untuk 5 MW membutuhkan 5 juta US dollar atau sekitar 70 milyar rupiah. Infrastruktur seperti pelabuhan yang memadai juga sangat penting. Pabrik-pabrik wood pellet pada umumnya memiliki unit penyimpanan wood pellet dekat dengan pelabuhan sehingga mudah untuk pengapalannya. Fasilitas penyimpanan wood pellet dengan kapasitas 10.000 ton juga butuh bangunan cukup besar, yang diperkirakan lebih dari 50 milyar rupiah.
Pelabuhan wood pellet dengan fasilitas penyimpanan di Prince Rupert, BC, Kanada |
Selanjutnya adalah penguasaan teknologi produksi wood pellet itu sendiri. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas wood pellet yang sesuai harapan, maka penguasaan teknologi produksi mutlak dibutuhkan, selain itu juga handling produk tersebut hingga ke pengapalan. Titik-titik kritis proses produksi seperti ukuran partikel, tingkat kekeringan, pemelettan dan pendinginan harus menjadi perhatian tersendiri. Produk wood pellet yang bisa diterima pasar internasional hampir semua harus memenuhi 2 persyaratan standar, yakni standar kualitas dan standar lingkungan (sustainibility). Standar kualitas sangat berkaitan dengan aspek teknis wood pellet itu sendiri atau aspek produksinya. Sedangkan aspek lingkungan sangat terkait dengan asal bahan baku, dan berbagai aspek lingkungan yang membuat bahan baku wood pellet bisa berkelanjutan (sustainable), dan untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Momentum kebun energi diprediksi tidak akan lama lagi, bahkan Sri Lanka dalam waktu yang tidak lama lagi akan produksi wood pellet dari kebun energi gliricidae sebesar 150 ribu ton/tahun atau lebih dari 10 ribu ton/bulannya, untuk lebih detail silahkan baca disini. Gliricidae atau gamal sama halnya dengan kaliandra merupakan kelompok tanaman polong-polongan (leguminoceae) dan gliricidae lebih populer serta telah ditanam masyarakat sejak puluhan bahkan ratusan tahun lalu yang biasanya untuk tanaman pagar dan daunnya untuk pakan ternak. Sedangkan kaliandra merah yang juga walaupun telah ditanam masyarakat mungkin juga sejak ratusan tahun lalu, tetapi umumnya adalah untuk daerah-derah tinggi saja. Untuk lebih detail perbandingan tentang tanaman kaliandra dan gliricidae, bisa dibaca disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar