Minggu, 05 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 4 : Analisis dan Proyeksi

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable). 

Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan. 

Tugu Monas sangat monumental dan sangat terkenal sehingga hampir semua orang Indonesia mengenalnya bahkan provinsi DKI menggunakan tugu monas tersebut sebagai logo atau icon pemerintahannya. Tetapi sangat sedikit yang tahu jika emas seberat 32 kg yang menjadi puncak tugu Monas tersebut, 28 kgnya atau 87,5% (katakan hampir 90%) berasal dari sumbangan pengusaha kelapa yakni dari perdagangan kopra. Kelapa memang pernah mengalami kejayaan bahkan hingga memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia. Sejumlah amunisi perang hingga berbagai peristiwa penting dalam rangka kemerdekaan Indonesia dibiayai oleh perdagangan kopra. Kopra menjadi bahan baku minyak kelapa yang nantinya menjadi sejumlah produk turunannya yang sangat dibutuhkan bagi manusia. Era kejayaan kopra atau minyak kelapa ini berkisar pada dekade peralihan abad 19 ke abad 20 atau lebih pasnya antara 1870-an hingga 1950-an dan puncak kejayaannya pada tahun 1920-an.
Mengapa saat ini kopra dan minyak kelapa khususnya terpuruk dan kalah bersaing dengan minyak sawit? Sejarah panjang tentang persaingan dagang adalah jawabnya. Beberapa pihak, terutama American Soybean Association (ASA) menuduh minyak kelapa sebagai minyak jahat yang mengandung kolestrol dan lemak jenuh penyumbat pembuluh darah koroner. Tuduhan tersebut tidak pernah terbukti benar, bahkan malah terbukti sebaliknya, tetapi menjadi salah satu sebab utama hancurnya perdangan kopra dan kelapa global. Kampanye dan perang minyak tropis tersebut membutuhkan waktu sekitar 30 tahun atau pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1980-an di Amerika Serikat dan sehingga akhirnya industri kelapa Indonesia terpuruk.

Bila kita lihat pada minyak sawit, ternyata hal serupa juga terjadi. Beberapa waktu ini minyak sawit Indonesia juga mendapat kampanye negatif akibat pengrusakan lingkungan sehingga Eropa tidak mau membeli minyak sawit dari Indonesia. Bisa jadi dan besar kemungkinan ini juga upaya untuk melemahkan dan membuat industri kelapa sawit juga akan terpuruk nantinya. Tetapi karena baru berjalan beberapa tahun kelihatannya efeknya belum terlalu nampak saat ini.  Dan apabila dilakukan secara masif dan terus menerus serta tidak ada perlawanan yang berarti, maka bukan tidak mungkin nasib industri sawit juga serupa dengan industri kelapa. Ungkapan bahwa 'hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali' adalah hal yang perlu direnungkan secara mendalam untuk menganalisis hal ini.
Kelapa
Sebagai tambahan referensi, Indonesia yang pada jaman kolonial sebagai salah satu produsen utama dan exportir gula tebu, saat ini nasibnya juga mengenaskan karena selain tidak lagi menjadi exportir malah menjadi salah satu importir gula terbesar. Tahun 2016 Indonesia menjadi importer gula terbesar di dunia dengan nilai mencapai $2,1 milyar atau sekitar Rp 28,4 trilyun. Nilai import Indonesia ternyata lebih besar dari tiga negara pengimpor lainnya yang justru penduduknya lebih besar dibandingkan dengan Indonesia, yakni Amerika ($1,9 milyar), Cina ($1,2 milyar) dan India ($922 juta). Pabrik gula di Indonesia cukup banyak yakni lebih dari 180 unit tetapi kebanyakan yang saat ini tidak aktif berproduksi dan sebagian besar berada di pulau Jawa. Total produksi gula  nasionalnya yakni 2,2 juta ton dengan luas perkebunan tebu sekitar 0,5 juta hektar dan estimasi kebutuhan 5,7 juta ton sehingga produksinya masih perlu ditingkatkan.


Indonesia yang mayoritas masih mengeksport bahan mentah atau bahan baku bagi industri di negara lain juga mengindikasikan sebagai negara berkembang sehingga kondisi ini juga seharusnya diperbaiki. Export berbagai produk jadi atau minimal produk antara harus diupayakan. Export produk kelapa butir adalah salah satu hal yang harus dihindari dan diganti dengan export produk olahan. Ketika kita bicara tentang menghidupkan industri kelapa terpadu, tetapi di lain sisi kelapa butir sebagai bahan baku langsung dieksport tanpa diolah itu sama saja bohong atau percuma saja. Industri tanpa bahan baku pasti akan mati. Mengeksport kelapa bulat yang jumlahnya diperkirakan empat milyar butir setiap tahunnya adalah suatu kemunduran. Bagaimana tidak, dalam sejarah kejayaan kelapanya, Indonesia mengeksport dalam bentuk minimal kopra, sementara hari ini malah mengeksport buah kelapa bulat. Era industri 4.0 juga tidak ada artinya dengan kondisi seperti ini.   

Tentu perlu regulasi dan kerjasama yang baik antara berbagai pihak untuk mengatasi hal tersebut. Memang ada juga kebijakan dari negara maju untuk membatasi perkembangan industri negara berkembang, sebagai contoh pada masa kejayaan kelapa Philipina banyak mengeksport kopra ke Amerika Serikat dan Amerika membeikan sebagian pajak import ke Philipina dengan syarat agar Philipina tidak mengembangkan industri kelapanya. Dan memang pada era tersebut banyak industri pengolahan kopra di Eropa dan Amerika Serikat.  
Kelapa Sawit
Bahkan pada era bioeconomy saat ini seharusnya semua komoditas perkebunan, pertanian, kehutanan, perikanan dan peternakan saling mendukung menjadikan kuatnya perekonomian, sebagai contoh dengan agro-forestry akan mampu mengoptimalkan potensi lahan dan keseimbangan lingkungan. Jangan sampai malah terjadi dikotomi dan kontradktif sehingga antar produk berbasis bioeconomy saling melemahkan, sebagai contoh minyak kelapa dan minyak kelapa sawit seharusnya bisa memiliki segmen sendiri-sendiri atau bahkan sejak awal sudah dirancang bahwa kelapa untuk terutama produk pangan non-minyak dan sawit untuk produk minyak karena produktivitas minyak perhektarnya terbesar dari semua tanaman.Minyak kelapa dan minyak sawit (CPO) memiliki kualitas berbeda, karena minyak kelapa memiliki ikatan rantai menengah atau MCFA (Medium Chain Fatty Acid) sedangkan minyak sawit (CPO) memiliki ikatan rantai panjang atau LCFA (Long Chain Fatty Acid). Minyak kelapa yang kaya akan asam laurat (lauric acid) mirip dengan minyak inti sawit (PKO). Selain ditemukan di minyak kelapa dan minyak inti sawit (PKO), asam laurat juga ditemukan dalam air susu ibu (ASI).

Ketika Uni Eropa misalnya dengan bioeconomy-nya melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan berbagai sumber energi, pangan, bahan kimia dan sebagainya dari makhluk hidup atau biomasa, maka sudah seharusnya kita menyadari dengan posisi Indonesia di daerah tropis adalah posisi terbaik untuk memimpin era bioeconomy dengan syarat apabila dikelola dengan benar. Jangan sampai potensi besar hanya sia-sia bahkan membawa petaka seperti beberapa waktu lalu, yakni kekayaan alam mengundang penjajah dan bangsa Indonesia terjajah akibat adu domba para penjajah. Akibatnya malah jadi budak di negeri sendiri. Indonesia seharusnya menjadi produsen terbesar biomasa, the biomass country.

Sebagai sesama kelompok tanaman palmae maka ada banyak kesamaan antara sawit dan kelapa. Dan khusus kasus di Indonesia misalnya produktivitas kelapa maupun kelapa sawit juga masih kalah dari negara lain seperti Malaysia, sehingga ini perlu ditingkatkan. Tetapi jumlah industri pengolahan sawit mulai dari produksi CPO dan turunannya saat ini lebih banyak daripada kelapa, yang diperkirakan sekitar 1000 buah sedangkan luas perkebunan sawit juga hampir 4 lipat daripada perkebunan kelapa. Produksi kelapa sawit saat ini adalah mencapai 38,17 juta ton utuk CPO atau 41,98 ton total dengan minyak inti sawit (PKO) pada 2017 atau terbesar di dunia. Dengan produksi CPO 38,17 juta ton, penggunaan untuk sektor pangan terutama minyak goreng sebesar 3-5% (setara kurang lebih 2 juta ton)sektor lainnya yakni produk turunan CPO seperti oleokimia 3,8 juta ton/tahun lalu sektor energi yakni biodiesel 2,5 juta ton, dan sisanya export sekitar 70% .
Ada analisis yang mengindikasikan bahwa industri kelapa akan bangkit dengan sejumlah produknya mulai diminati pasar, diantaranya yang paling mencolok air kelapa, diikuti santan, dessicated coconut dan VCO. Tetapi sayang sebagian besar keberhasilan tersebut bukan di Indonesia tetapi di negara lain seperti Philippina, Sri Lanka, dan India. Bahkan malah ada produk yang bahan bakunya dari Indonesia setelah menjadi produk siap jual dijual kembali ke Indonesia, yakni santan yang sumber kelapanya dari Indonesia. Dengan demikian sebenarnya analisis bahwa industri kelapa mulai menggeliat ada benarnya khususnya untuk level global, sedangkan untuk dalam negeri hampir belum terlihat indikasinya, hanya spot-spot kecil yang masih terlalu dini untuk dikatakan bangkit.  Dengan estimasi 14 milyar butir kelapayang dihasilkan pertahun di Indonesia maka ada sekitar 3 milyar liter air kelapa, atau bila dikonversi menjadi VCO menjadi 1,4 juta ton, dessicated coconut menjadi 1,7 juta ton sedangkan temptung kelapa sebesar 2,5 juta ton dan sabut sebesar 5,6 juta ton.
Memang di era bioeconomy saat ini adalah sesuatu hal yang wajar ketika di suatu waktu lalu menjadi sampah dan dibuang, lalu saat ini menjadi komoditas yang dicari bahkan jadi rebutan, misalnya air kelapa yang dulunya dibuang saja, saat ini ditampung digunakan untuk bahan baku nata de coco dan air kelapa kemasan, tempurung dan sabut kelapa, lalu cangkang sawit yang awalnya juga hanya dibuang saja sebagai pengeras jalan saat ini banyak dicari dan digunakan sebagai bahan bakar pembangkit lisrik dengan permintaan sangat besar, lebih detail bisa dibaca disini. Beberapa  produk kelapa yang mulai diminati,sudah ada permintaan dan diproyeksikan terus meningkat adalah air kelapa. Philipina mengeksport 484 ribu liter air kelapa pada 2009 menjadi 17,9 juta liter pada 2012 dan pada tahun 71,7 juta liter pada tahun 2015 atau terjadi peningkatan 141 kali lipat dalam kurun 8 tahun. Untuk menghasilkan 71,7 juta liter air kelapa dibutuhkan 261 juta butir kelapa per tahun. Dan diperkirakan pasar air kelapa kemasan saat ini mencapai 13 triliun rupiah. Sayang tidak ada informasi untuk Indonesia. Hampir semua produk air kelapa tersebut di export ke Amerika Serikat dan biasanya hubungan yang dekat dengan negara pembeli yang itu sangat terkait faktor sejarahnya maka akan memudahkan transaksi bisnisnya. Mungkin itulah mengapa negara penghasil kelapa no 2 di dunia tersebut bisa banyak mengeksport produk-produk kelapanya ke Amerika Serikat.


Santan kemasan selain digunakan untuk memasak juga digunakan untuk susu nabati, seperti susu kedelai. China adalah negara yang banyak mengkonsumsi santan kelapa untuk pengganti susu hewani, dengan China sebagai konsumen terbesarnya. Sedangkan dessicated coconut (kelapa parut kering), saat ini ada 3 produsen utama yakni Philipina, Indonesia dan Sri Lanka.  Saat ini diperkirakan lebih dari 20 pabrik dessicated coconut di Indonesia. Peningkatan permintaan dessicated coconut cukup besar yakni 151 ribu ton pada tahun 1990 menjadi 248 ribu ton pada 2008.  
Apakah industri kelapa Indonesia bisa bangkit? Tentu saja bisa tetapi ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi. Kebangkitan industri kelapa harus dipimpin oleh orang yang memiliki kapabiltas memadai sehingga memahami inti permasalahan dan bisa memetakan masalah secara akurat pada sektor ini serta memberikan solusinya. Pemimpin adalah orang yang memiliki visi dan menghidupi atau mengimplentasikan visinya hingga tujuannya tercapai. Pemimpin yang tidak memiliki keyakinan kuat untuk mengimplementasikan visinya maka tidak akan memiliki daya dorong untuk tergerak membuat solusi yang dibutuhkan. Dengan upaya berbagai pihak dan selalu berdo'a kepada Allah SWT, insyaAllah akan terwujud. 

Kelapa sangat dekat dengan kehidupan rakyat, sehingga masyarakat bisa turut aktif memajukan industri kelapa terpadu tersebut. Industri-industri kelapa terpadu bisa dibuat di sentra-sentra perkebunan kelapa, bahkan di lokasi terpencil sekalipun asalkan ada akses untuk memasarkan produknya. Akses dan penguasaan pasar adalah hal penting. Ketika pasar sudah di dapat dan di kuasai maka aktivitas produksi bisa dengan mudah dilaksanakan. Percuma membangun pabrik atau industri jika tidak punya pasarnya. Pola kerjasama saling menguntungkan (non-riba) seperti syirkah dengan bagi hasil akan membuat industri lebih kuat. InsyaAllah. Hal tersebut karena dari kelapa bisa menghasilkan banyak sekali produk yang bisa dikomersialkan dan akan membawa berkah. Perusahaan-perusahaan besar juga telah bersiap siaga untuk mengambil peluang ini, sehingga jangan sampai ketinggalan. Hal yang perlu diupayakan agar harta tidak hanya berputar di kalangan tertentu saja seperti saat ini yang terjadi dengan penerapan ekonomi kapitalis. Dengan model ekonomi saat ini membutuhkan 800 tahun bagi milyaran rakyat terbawah untuk mencapai 10% pendapatan global. Akibat liberalisme dan kapitalisme yang terjadi saat ini mengakibatkan 10% orang terkaya menguasai 85% kekayaan global. Tiga orang terkaya dunia memiliki aset lebih dari 47 PDB negara PDB bruto terendah. 1% orang terkaya memiliki lebih dari 50% kekayaan dunia. Ketimpangan yang sangat besar tersebut hendaknya segera bisa segera diatasi dengan ekonomi yang berkeadilan dan menyejahterakan.   

Apakah kelapa akan kembali berjaya dan menjadi lokomotif dalam era bioeconomy saat ini? Apakah kelapa bisa kembali menggerakkan sektor ekonomi yang secara heroik sebagai komoditas penting yang memiliki peran dalam  kemerdekaan Indonesia ? Ataukah malah di 'nina bobo' kan dengan banyaknya potensi negeri ini tetapi tidak mampu memanfaatkannya dan malah mengundang 'penjajah' baru? Wallahu 'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...