Minggu, 12 Januari 2020

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 6 : Integrasi Produksi Dessicated Coconut, Air Kelapa Kemasan, Dan Arang Tempurung

Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life) adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan (sustainable). 

Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan. 

Dessicated coconut atau kelapa parut kering memang tidak terlalu populer di Indonesia. Produk ini digunakan dalam industri pangan untuk campuran kue dan coklat sehingga memberi citarasa kelapa serta banyak kemudian menjadi makanan favorit di Eropa. Produk ini awalnya ditemukan di Sri Lanka dari eksperimen pengeringan kelapa parut oleh Henry Vavasseur pada tahun 1888. Ada 3 negara yang saat ini menjadi produsen dessicated coconut ini yakni Philipina, Sri Lanka dan Indonesia. Kebutuhan produk dessicated coconut ini juga terus meningkat yakni tercatat export dessicated coconut pada tahun 1990 sebesar 151 ribu ton dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 248 ribu ton. Di Indonesia sendiri diperkirakan ada sekitar 20 pabrik dessicated coconut.

DC diproduksi dengan mengeringkan kelapa parut hingga kadar air mencapai maksimum 3%. Alat pengering (dryer) yang biasa digunakan untuk produksi DC adalah fluidized bed dryer. Alat pengering (dryer) ini memiliki kelebihan antara lain sensitivas yang tinggi untuk operasionalnya, sehingga biasa digunakan untuk produk pangan dan farmasi. Rotary dryer adalah tipe alat pengering yang juga populer di industri khususnya pada pengolahan biomasa seperti wood pellet dan briquette, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Pengering jenis rotary dryer lebih cocok untuk material yang tidak terlalu sensitive terhadap panas, tidak mudah pecah ketika dijatuhkan dan material yang lebih berat. Hal itulah mengapa rotary dryer lebih sesuai untuk material seperti mineral, pupuk dan sebagainya. Rotary dryer bisa dikatakan untuk heavy duty processing load dan membutuhkan tempat lebih luas, sedangkan fluidize bed dryer untuk lighter-duty materials dan membutuhkan space ruang lebih kecil. 
Untuk pengeringan kelapa parut tersebut dibutuhkan energi panas dan untuk operasional peralatan pabrik tersebut seperti mesin parut, conveyor dan sebagainya dibutuhkan listrik. Kedua energi tersebut bisa dipenuhi yakni dengan menggunakan unit pirolisis kontinyu. Tempurung kelapa digunakan untuk bahan baku pirolisis kontinyu tersebut, sehingga didapat output berupa arang, syngas dan biooil. Arang tersebut bisa dijual untuk digunakan langsung, dibuat briket maupun arang aktif (activated carbon). Untuk produksi listrik, syngas digunakan untuk bahan bakar gas engine (internal combustion engine) yang mengubah dari energi panas ke energi mekanik selanjutnya menjadi energi listrik. Dan biooil bisa sebagai sumber panas baik untuk merebus atau sterilisasi daging buah kelapa maupun untuk sumber panas pengeringan kelapa parut dengan media pemanas tidak kontak secara langsung (indirect heating) dengan kelapa parutnya.

Dengan pola di atas maka industri kelapa terpadu tersebut mandiri energi atau tidak membutuhkan pasokan energi dari luar. Kondisi ini sangat menarik terutama untuk operasional di lokasi-lokasi terpencil. Praktek industri mandiri energi tersebut sudah lazim dilakukan pada industri kelapa sawit. Pabrik sawit biasanya membakar cangkang dan fiber (sabut) untuk produksi listrik dan kukus (steam). Mengapa selain listrik, pabrik sawit juga memproduksi kukus (steam)? Untuk lebih jelas bisa dibaca disini.

Saat ini sejumlah pabrik sawit bahkan telah menggunakan boiler yang efisien sehingga cukup dengan fiber saja dan cangkang bisa di export ke luar negeri. Padahal ada cara lebih baik atau lebih efisien untuk produksi listrik dan steam tersebut, yakni juga dengan pirolisis kontinyu, untuk lebih detail baca disini. Cangkang yang merupakan bahan bakar biomasa memiliki sifat-sifat yang mirip dengan wood pellet dengan harga yang lebih murah dan juga masih tersedia melimpah. Jepang dan Korea adalah dua negara di Asia yang paling mencolok dalam pemakaian energi biomasa terkait dengan mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global.
Arang tempurung kelapa adalah produk yang banyak dicari, sehingga harganya juga semakin meningkat setiap tahun menyesuaikan dengan hukum pasar, yakni supply-demand. Produksi arang tempurung tersebut akan memberikan tambahan penghasilan yang menarik dibandingkan hanya dibakar begitu saja sehingga menjadi abu dan membuat industri kelapa terpadu zero waste.

Industri DC biasanya skala atau kapasitas produksinya cukup besar sehingga dihasilkan juga air kelapa yang cukup banyak. Air kelapa tersebut bisa diolah menjadi air kelapa kemasan, yang juga membutuhkan listrik dan panas pada proses produksinya. Produksi listrik dan panas bisa dengan menggunakan sabut kelapa sebagai bahan bakarnya. Pembakaran sabut kelapa untuk memanasi boiler dan menghasilkan listrik, mirip dengan pabrik sawit. Kukus (steam) yang dihasilkan untuk memanaskan atau sterilisasi air kelapa tersebut. Permintaan air kelapa kemasan meningkat pesat yakni dari 484 ribu liter pada tahun 2009 menjadi 71,7 juta liter pada tahun 2015 atau 141 kali lipat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...