Kamis, 24 Desember 2015

Sukses Pengapalan Wood Pellet Dengan Panamax Vessel Akan Mengakselerasi Export Wood Pellet Dunia?

Aspek logistik merupakan aspek penting dalam usaha wood pellet, baik logistik bahan baku ke pabrik wood pellet maupun logistik produk wood pellet hingga sampai ke pasar atau diterima oleh konsumen. Pada logistik produk wood pellet, saat ini kapal masih menjadi andalan utama untuk export jumlah besar antar negara atau antar benua. Untuk pengapalan produk wood pellet dengan volume 10.000 ton ke atas hampir semua menggunakan pengapalan curah (bulk shipment) atau kemasan kontainer menjadi tidak efektif untuk volume tersebut. Semakin besar volume atau kapasitas wood pellet yang bisa diangkut biasanya harganya akan menjadi semakin murah per-unitnya. 


Baru-baru ini sebuah kapal cargo tipe Panamax-class vessel, The Popi S yang berkapasitas angkut 60.000 ton telah berhasil mengangkut wood pellet dari pelabuhan Prince Rupert, British Columbia, Kanada produksi Pinnacle Renewable Energy ke pelabuhan Immingham di Inggris yang memakan waktu kurang lebih sebulan, dan tercatat sebagai pengapalan pertama Panamax-class vessel yang sukses. Drax pembangkit listrik di Inggris dengan biomasa yakni wood pellet adalah konsumen  wood pellet terbesar saat ini, dengan konsumsi sekitar 6 juta ton/tahun. Pengapalan ke pelabuhan-pelabuhan di Inggris hampir semua menggunakan pengapalan curah (bulk shipment) dengan kapasitas 25.000 ton vessel , sehingga untuk mencapai volume 6 juta ton/tahun dibutuhkan 240 kali pengapalan. Apabila dibandingkan dengan kapasitas Panamax-class vessel yakni 60.000 ton maka hanya dibutuhkan 100 kali pengapalan. 


Saat ini penggunaan Panamax-class vessel sebagai standar angkut wood pellet untuk kapasitas besar sedang banyak dikaji. Kelengkapan kapal berupa alat pemadam kebakaran (fire protection system) seperti gas CO2 atau gas inert menjadi wajib bagi Panamax-class vessel nantinya karena wood pellet dikategorikan bahan yang berbahaya dalam bentuk curah (bulk) pada kapasitas besar. Ketika  telah diratifikasi sepenuhnya maka semua Panamax-vessel akan bisa digunakan sebagai pengangkut wood pellet. Tentu hal ini akan bagus bagi semua produsen wood pellet di seluruh dunia. Aspek teknis seperti kedalaman laut di pelabuhan dan kecepatan memuat (loading) wood pellet ke kapal dengan standard  2.000 ton/jam menjadi faktor penting lainnya untuk menggunakan Panamax vessel.

Walaupun terlihat masih jauh dibandingkan kondisi di Indonesia, yang saat ini hampir semua wood pellet di export dengan kontainer, tetapi besar kemungkinan dalam waktu yang tidak begitu lama Indonesia akan menyusul mengingat potensi besar yang dimilikinya untuk menyuplai bahan bakar biomasa dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Penggalakan kebun energi sebagai sumber bahan baku menjadi salah satu keunggulan penting bagi Indonesia. Apalagi kebun energi tersebut diintegrasikan dengan sektor peternakan dan/atau pertanian maka hal tersebut juga menjadi solusi kekurangan pangan (daging, susu, karbohidrat, madu, dsb).  Sebagai estimasi jarak pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dengan dengan pelabuhan Immingham, Inggris adalah  6.300 mil laut atau diperkirakan akan menempuh perjalanan kurang dari 1 bulan, sedangkan jarak dari pelabuhan Prince Rupert, Kanada ke Immingham adalah lebih dari 11.000 mil laut dan menempuh waktu perjalanan sekitar 1 bulan. Dengan perhitungan biaya transportasi bisa lebih murah, maka peluang Indonesia menyuplai wood pellet ke Eropa juga lebih besar.

Selasa, 15 Desember 2015

Produksi BBM Seramah Mungkin Dengan Lingkungan

Bagaimana mungkin menghasilkan BBM yang ramah lingkungan? Bukankah BBM itu sendiri adalah bahan bakar yang tidak ramah lingkungan karena emisi terutama CO2 yang merupakan Carbon Positive membuat bumi semakin panas? Tetapi juga bukankah saat ini sebagian besar bahan bakar yang kita gunakan juga sebagian besar masih berupa fossil fuel? Dan kita sedang bersiap-siap untuk kembali menggunakan energi terbarukan sebesar mungkin porsinya bahkan kalau mungkin 100%, tetapi untuk mencapai ke sana tentu perlu waktu dan perlu proses. Semakin hari, semakin tahun, semakin banyak pula porsi energi terbarukan dicanangkan dalam penggunaan sehari-hari, tetapi proyeksi antara 10 sampai 20 tahun ke depan, memang energi fossil masih mendominasi yakni sekitar 80%.

Jadi untuk bisa produksi BBM seramah mungkin dengan lingkungan berarti proses produksi BBM ramah lingkungan dan produk BBM itu sendiri juga ramah lingkungan. Dalam pemberlakuan standard Euro di Eropa yakni standard emisi kendaran yang diperbolehkan, ada tiga aspek  yang ditinjau yakni : kualitas bahan bakar, kualitas mesin (kendaraan) dan perilaku manusia sebagai pengguna kendaraan tersebut. Pola Standard Euro kini telah diadopsi oleh banyak negara sebagai sarana untuk menurunkan tingkat emisi seramah mungkin dengan lingkungan.  Hampir semua negara ASEAN paling tidak telah menerapkan Standard Euro 2. Srilanka menerapkan Euro 2 tahun 2004 dan Euro 3 tahun 2007, India menerapkan Euro 2 tahun 2001 dan Euro 3 tahun 2005. Standard Euro tertinggi saat ini adalah Standard Euro 6. Saat ini, standar Euro telah menjadi acuan umum diikuti, bukan semata-mata isu lingkungan, tetapi juga semata-mata kepentingan persaingan bisnis otomotif. Jika suatu negara tidak menerapkan standar Euro, maka produksi industri otomotifnya bakal kalah bersaing di pasar internasional.

Suatu pabrik BBM (kilang minyak) yang mampu atau bisa diupgrade hingga menghasilkan kualitas BBM (bahan bakar diesel dan bensin) hingga standard Euro 4 atau 5, akan menjadi kebutuhan dalam beberapa waktu ke depan.  Salah satu konfigurasi pabrik BBM yang bisa digunakan yakni integrasi Full Conversion Hydrocracker (FCHC) dan Diesel Hydrotreater (DHT). FCHC akan memaksimalkan produksi minyak diesel yang memenuhi kualitas seperti sulphur rendah, tinggi angka cetane dan sebagainya. DHT untuk menurunkan kadar sulphur kandungan minyak diesel yang tinggi kandungan sulphur yang berasal dari Crude and Vacuum Distillation Unit ( CDU/VDU) dan Delayed Cooker Unit (DCU). DHT juga meningkatkan angka cetane (cetane number) yang mampu mencapai target Euro 3 dan 4.
DCU dengan proses thermal cracking akan memproduksi distillate product diantaranya naphta dan petcoke. Petcoke dapat digunakan sebagai bahan bakar padat pada pembangkit listrik dalam kilang (refinery) tersebut. Circulated Fluidised Bed Combustion (CFBC) boiler selanjutnya digunakan untuk pembangkit listrik melalui Steam Turbine Generators (STG) dengan menggunakan bahan bakar padat. Di sinilah bahan bakar terbarukan seperti wood pellet juga dapat digunakan sebagai sumber energi. Pada teknologi CFBC mendasarkan pada kumpulan padat (zat padat) yang diubah sifatnya seakan-akan seperti zat cair (fluida). Ketika udara dihembuskan secara tegak lurus ke dalam wadah dari arah bawah, kumpulan partikel bahan bakar akan terangkat ke atas. Karena hembusan udara tadi, maka secara fisik kumpulan partikel itu mengalami perubahan volume yang dapat dilihat dengan bertambah tingginya permukaan lapisan partikel. Semakin tinggi kecepatan udara yang dihembuskan, campuran bahan bakar bergerak secara acak dengan kecepatan tinggi, sehingga proses pembakaran terjadi secara merata dan berlangsung secara cepat. Dalam hal ini cofiring biomasa dari wood pellet dengan petcoke sangat dimungkinkan. Saat ini pada umumnya pembangkit listrik untuk kilang minyak menggunakan bahan bakar naptha atau gas, sehingga konfigurasi petcoke dengan CFBC boiler untuk pembangkit listrik akan menjadi pilihan pada masa mendatang.

Proses Naptha Hydrotreating Unit (NHT) termasuk menggunakan catalytic treatment pada naptha untuk memisahkan sulphur dan sejumlah pengotor (kontaminan) dan akan mampu menghasilkan produk naptha fraksi ringan hingga berat untuk umpan Naptha Splitter Unit (NSU). Pada blok produksi bensin, hal kritis lainnya adalah pada Continous Catalyst Regeneration & Reforming Unit (CCR) yang memproduksi angka oktan tinggi dari fraksi berat naptha hingga akhirnya menjadi bensin tanpa timbal. Kompromi antara faktor lingkungan, teknologi dan keekonomian akan menjadi  pertimbangan utama untuk menghasilkan produk BBM seramah mungkin dengan lingkungan.  

Senin, 14 Desember 2015

Pemanfaatan Tekanan Udara Untuk Pengeringan Biomasa

Pada proses produksi wood pellet maupun wood briquette, pengering atau dryer memiliki peran yang penting karena untuk mengatur kadar air sebelum dipadatkan (densification). Hampir semua pabrik wood pellet dan wood briquette juga menggunakan pengering untuk menjaga kualitas dan kuantitas produksinya. Saat ini sebagian besar pengeringan biomasa menggunakan panas flue gas dari pembakaran secara langsung (direct heating) dan sebagian kecil menggunakan panas pembakaran tersebut secara tidak langsung (indirect heating). Tentu pertimbangan utamanya adalah masalah efektifitas dan keekonomiannya. Drum dryer atau rotary dryer adalah jenis pengering yang paling umum dan populer karena terbukti mampu untuk pengeringan skala besar secara ekonomis. Sejumlah type dryer (pengering) juga banyak tersedia dan dikembangkan saat ini dengan berbagai karakteristiknya. Tersedianya sejumlah pilihan juga memungkinkan pengguna atau kalangan industri untuk menentukan pilihannya sesuai keinginannya sehingga menarik dan tidak terpaku pada satu pilihan saja.
Salah satu tipe dryer yang mulai muncul di pasaran adalah  pengering (dryer) yang memanfaatkan panas kompresi (heat of compression type dryer).  Sewaktu kompresi udara banyak energy yang dikonversi menjadi panas yang kemudian disimpan dalam udara bertekanan (compressed air) tersebut dan biasanya panas tersebut hanya dibuang pada  pendingin (cooler). Pada pengering yang memanfaatkan panas kompresi, energi tersebut digunakan untuk meregenerasi dessicant, sehingga menghilangkan kebutuhan pemanas atau panas tersebut dimanfaatkan langsung pada pengeringan. Jenis pengering ini juga hemat konsumsi energi dibandingkan refrigerated type air dryer sementara dew point juga jauh lebih baik daripada refrigerated type air dryer.

Minggu, 06 Desember 2015

Menjadi Pemain Utama Wood Pellet di Asia dan Dunia

Produksi wood pellet dunia pada tahun 2013 sebesar 22 juta ton, dan pada tahun 2024 diproyeksi menjadi sebesar 50 juta ton. Pasar Eropa untuk tahun tersebut diproyeksi lebih dari 30 juta ton dan pasar Asia diproyeksi lebih dari 15 juta ton. Ditinjau dari bauran energi global, energi fossil masih memegang porsi terbesar sekitar 80 % pada 15-20 tahun mendatang, begitu juga dalam bauran energi nasional berdasar Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Walaupun belum memegang porsi terbesar energi terbarukan khususnya biomasa menunjukkan peningkataan yang signifikan dari waktu ke waktu. Faktor-faktor berupa krisis lingkungan dan krisis energi-lah yang menjadi daya dorong utama peningkatan energi terbarukan khususnya biomasa, yang perlahan-lahan membuat sejarah terulang


Untuk menjadi pemimpin atau pemain utama wood pellet di level regional Asia hingga global dunia, bukan hal yang mustahil bagi Indonesia. Anugerah dari Allah SWT berupa rata-rata 11 jam tiap hari matahari di Indonesia membuat tumbuhan mampu berfotosintesis secara optimal, kesuburan tanah karena pelapukan batu-batuan dari banyaknya gunung berapi, dan luasnya teritorial yang membentang dari Sabang sampai Merauke tidak diragukan lagi merupakan kekuatan besar yang sangat potensial. Dengan kondisi tersebut sebuah kebun energi dari kaliandra bisa panen dalam kurun waktu sangat cepat yakni kurang dari 1 tahun, selanjutnya bisa terus panen tiap tahunnya dari trubusan yang dihasilkan.

Swedia sejak tahun 1970an telah menggunakan kebun energi untuk menyuplai biomasa dalam jumlah besar secara konsisten. Era tahun 1970an adalah era krisis energi akibat embargo OAPEC pada perang Yom Kippur, sehinggga negara-negara produsen minyak Arab tidak mau mengeksport minyaknya. Hal ini mengakibatkan harga minyak dunia meroket, sehingga negara-negara barat harus berinovasi untuk mencukupi kebutuhan energinya termasuk penggunaan biomasa secara massal.  Sejumlah negara di Eropa lalu mengikuti untuk membuat kebun energi tersebut termasuk di tempat lain seperti Amerika Serikat, Selandia Baru dan Kanada. Tanaman rotasi cepat yakni poplar & willow dibudidayakan dalam kebun energi tersebut dan panen rata-rata setiap 4 tahun sekali, atau 4 kali lebih lama dibandingkan Indonesia karena iklim sub-tropisnya. Hal inilah kita di Indonesia dengan kondisi iklim diatas perlu banyak bersyukur kepada Allah SWT.


Ketika dunia sebagian besar masih mengandalkan limbah-limbah kayu sebagai bahan baku wood pellet, dengan kondisi iklim di Indonesia seperti diatas maka dengan kebun energi akan efektif dan berkesinambungan (sustainibility). Dan ketika misalnya Indonesia akan menargetkan menjadi pemain utama wood pellet dunia dengan 50% produksi dunia pada tahun 2024  (25 juta ton/tahun) berarti dibutuhkan lahan kurang lebih hanya 170 ribu ha, masih jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit saat ini, yang sekitar 11 juta ha. Kualitas lahan yang dibutuhkkan juga tidak perlu sebaik perkebunan sawit, bahkan lahan-lahan miring atau berupa lereng akan sangat bagus bagi tanaman kaliandra. Hal ini karena kaliandra sangat anti terhadap genangan air. Apabila kapasitas pabrik wood pellet dibuat 100.000 ton/tahun (20 ton/jam) berarti dibutuhkan 250 unit pabrik wood pellet atau apabila kapasitas pabrik yang dibuat 50.000 ton/tahun (10 ton/jam) berarti dibutuhkan 500 unit pabrik wood pellet dan seterusnya.

Keuntungan lainnya adalah kaliandra mampu mengendalikan pertumbuhan tanaman pengganggu atau gulma seperti kirinyuh. Keuntungan akan bisa dioptimalkan dengan melakukan integrasi dengan peternakan kambing atau sapi, sehingga import daging juga bisa dikurangi. Daun dari tanaman kaliandra sebagai pakan ternak tersebut, sedangkan kotorannya sebagai pupuk bagi kaliandra. Apabila jumlah ternak banyak maka pabrik biogas sangat mungkin dibuat dan bisa sebagai sumber energi tambahan pada pabrik wood pellet.
Kaliandra trubus setelah ditebang dengan hasil 4 kali lebih banyak


Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui begitulah pepatah mengatakan.  Perusakan hutan tropis di berbagai wilayah ternyata terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan. Diduga setiap detiknya terjadi penebangan hutan tropis seluas lapangan bola, sehingga setiap tahunnya terjadi pembukaan hutan tropis sekitar 150.000 kilometer persegi (15 juta ha). Bencana akibat keserakahan manusia berupa banjir, longsor, meluasnya gurun pasir  dan sebagainya akibat kerusakan hutan diatas. Rehabilitasi sekaligus reklamasi lahan sangat dibutuhkan untuk perbaikan kondisi lingkungan sehingga sejumlah bencana bisa dihindari, sekaligus produksi wood pellet sebagai sumber energi terbarukan dari biomasa yang paling banyak diproduksi saat ini. Dengan perbaikan kesuburan tanah menggunakan tanaman kaliandra tersebut maka dalam waktu kurang dari 5 tahun, tanah yang semula tandus bisa digunakan untuk berbagai aktivitas pertanian. Dalam kurun waktu rata-rata 10 tahun mata air-mata air juga sangat mungkin muncul pada area-area yang dihutankan dan penataan ekosistem tersebut. Ketika mata air muncul maka sektor pertanian dan kehutanan bisa semakin berkembang, termasuk industri pengolahannya.      



Tentu bukan upaya yang ringan untuk mewujudkan hal tersebut. Penataan kelembagaan, penanaman pemahaman tentang keberlangsungan (sustainiblity) perkebunan/kehutanan kepada pelaku-pelaku usaha dan pemerintah, keahlian berupa skill untuk produksi dan penyediaan infrastruktur yang memadai adalah sejumlah tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai target diatas. Target tersebut akan tercapai apabila semua pihak bisa sinkron untuk mencapai tujuan tersebut. Sekali lagi belum terlambat, hanya kemauan untuk segera memulai.

Selasa, 17 November 2015

Di Biomasa-pun, Sejarah Kembali Terulang

Biomasa terutama kayu telah dikenal dan digunakan sangat lama untuk sumber energi. Kayu tersebut dibakar sehingga menghasilkan panas yang bisa dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan biomasa termasuk kayu tersebut juga sempat menjadi sumber energi utama ketika bahan bakar fossil belum ditemukan atau dimanfaatkan. Ketika bahan bakar fossil menjadi sumber bahan bakar utama seperti saat ini, maka bahan bakar dari dari biomasa menjadi berkurang. Kondisi seperti ini membuat negara-negara penghasil minyak mempunyai peran strategis dalam percaturan dunia. Energi dalam banyak hal diidentikkan dengan BBM, karena perannya yang sangat vital bagi kehidupan manusia saat ini.



 Ketika terjadi kondisi perang termasuk perang dunia II yakni pada tahun 1940-an dan perang Yom Kippur tahun 1970-an, banyak negara-negara mengalami krisis energi sehingga memaksa mereka untuk mengembangkan berbagai energi alternatif. Kembali biomasa sebagai energi terbarukan mendapat perhatian besar. Biomasa sebagai sumber energi memang relatif bisa menghasilkan energi yang stabil dibandingkan angin dan matahari yang terpengaruh oleh kondisi cuaca. Konversi biomasa ke berbagai bentuk energi juga dilakukan pada era-perang dunia II tersebut, hal ini karena untuk menyesuaikan dengan berbagai kebutuhan saat itu.   Kendaraan, dan berbagai perlatan industri yang semula menggunakan bahan bakar fosil diganti dengan sumber energi dari biomasa. Hal ini membuat berbagai penemuan teknologi pemanfaatan biomasa sehingga bisa menjalankan sejumlah peralatan yang sudah ada termasuk memenuhi kehidupan lainnya. Biomasa adalah satu-satunya sumber terbarukan berbasis karbon sehingga bisa disintesis menjadi berbagai macam senyawa hidrokarbon seperti halnya minyak bumi. Dalam kondisi perang tersebut biomasa telah dikonversi menjadi bahan bakar padat, bahan bakar  cair, bahan bakar gas dan bahan-bahan kimia lainnya.
Teknologi seperti gasifikasi, pirolisis, pembakaran dan densifikasi adalah beberapa teknologi utama yang digunakan untuk konversi energi biomasa tersebut. Dengan gasifikasi akan didapat produk utama berupa gas yang bisa langsung dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau disintesis menjadi minyak atau bahan kimia lainnya. Dengan (slow) pirolisis akan didapat produk utama berupa arang, lalu gas dan produk cair. Seperti halnya gas yang dihasilkan dari gasifikasi, gas dari hasil pirolisis tersebut juga bisa digunakan sebagai bahan bakar langsung atau disintesis menjadi bahan-bahan kimia lainnya. Sebagian produk cair dari pirolisis yakni biooil bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber bahan kimia. Sedangkan produk cair lainnya berupa wood vinegar bisa untuk berbagai penggunaan di sektor pertanian.
Kereta Api Uap di Museum Kereta Api, Ambarawa, Jawa Tengah
Teknologi pembakaran paling populer digunakan untuk mesin uap (steam engine) terutama pada pertengahan abad 19. Biomass atau kayu banyak digunakan sebagai sumber energi atau bahan bakar mesin uap tersebut. James Watt menyempurnakan mesin uap sehingga berputar secara kontinyu yang membuatnya digunakan sebagai penggerak pada berbagai industri maupun transportasi atau menandai era revolusi industri di Eropa saat itu. Kereta api uap (steam locomotive) adalah  aplikasi mesin uap pada alat transportasi. Pertama kali mesin uap untuk kereta api yang berjalan di rel dibuat oleh Richard Trevithick pada 1804 Sedangkan untuk menghasilkan listrik, mesin uap yang menghasilkan energi mekanik tersebut dihubungkan dengan dinamo (generator). Charles Parsons adalah orang pertama yang menghubungkan mesin uap dengan dinamo dan dilakukannya pada tahun 1884. Hal inilah yang membuat listrik mejadi mudah tersedia dan banyak tersedia. 

Teknologi densifikasi juga mendapat perhatian serius pada perang dunia II 1940-an maupun saat krisis minyak tahun 1973 akibat embargo OAPEC sebagai dampak perang Yom kippur.  Teknologi densifikasi membuat biomasa yang awalnya memiliki ukuran tidak beraturan, kepadatan rendah, volume besar, kadar air tinggi menjadi seragam bentuknya, kepadatan (density) tinggi, kadar air rendah dan volume mengecil atau ada sejumlah perbaikan sifat-sifat fisikanya sehingga menjadi lebih ekonomis pada transportasinya, lebih mudah handling dalam penggunaannya dan penyimpanannya. Briket dan pellet adalah dua bentuk produk densifikasi biomasa yang paling populer dan menjadi cikal bakal teknologi densifikasi hari ini.
Saat ini ketika krisis lingkungan akibat ulah tangan manusia yang berlebihan dalam mengeksploitasi SDA termasuk pemakaian bahan bakar fossil besar-besaran  menjadi daya dorong untuk pemakaian energi terbarukan maka energi biomasa kembali mendapat momentum segar dan menjadi fokus bagi sejumlah kalangan. Tercatat sejak UNFCC tahun 1992 hingga penandatanganan Protokol Kyoto tahun 1997 oleh 83 negara dan pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, ia telah diratifikasi oleh 141 negara adalah dalam rangka mengatasi krisis lingkungan khususnya akibat tingginya konsentrasi gas rumah kaca (CO2) di atmosfer yang diyakini menyebabkan terjadinya perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global. Protokol Kyoto yang berlaku hingga tahun 2012 lalu diperpanjang dengan Kyoto Protocol Extension (2012–2020).

Kebijakan yang sifatnya lebih regional dan teknis selanjutnya dibuat berdasarkan protol Kyoto tersebut antara lain RED (EU's Renewable Energy Directive) , yang biasa dikenal target 20-20-20 atau yang dimaksudkan adalah mandat untuk menurunkan 20% emisi gas rumah kaca dari tahun 1995 sebagai level dasarnya; menurunkan 20% konsumsi energi; dan untuk 20% untuk energi terbarukan. Kebutuhan wood energy berkisar 30 juta ton/tahun pada tahun 2020. Selanjutnya Korea Selatan telah mengeluarkan Renewable Portofolio Standard  (RPS) yang mensyaratkan PLTU batubara untuk minimum menggunakan 2% energi terbarukan pada 2012, dengan peningkatan 0,5% /tahun sampai 2020.  Pada tahun 2020 mereka akan membutuhkan minimum 10% energi terbarukan dengan komposisi diharapkan 60% energi terbarukan berasal dari biomasa kayu (wood energy), sedangkan 40% sisanya dari sumber lain. Lalu Jepang mengeluarkan peraturan Feed in Tarrif dan sebagainya yang membuat era gelombang penggunaan energi biomasa dunia.
Drax di Inggris Pembangkit Listrik Biomasa Terbesar Saat Ini
Energi biomasa yang dikelompokkan karbon netral maka akan mampu mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer yang saat ini telah melebihi ambang batasnya. Biomasa lalu menjadi material penting dan kembali digunakan secara besar-besaran. Teknologi-teknologi pengolahan biomasa yang pada perang dunia II dan embargo minyak kembali digunakan, tentu dengan beberapa penyempurnaan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi saat ini seperti peningkatan efisiensi, safety, otomatisasi hingga komputerisasi tetapi fundamental atau prinsip-prinsip teknologi proses yang digunakan  hampir tidak berubah. Teknologi-teknologi tersebut saat ini dimunculkan lagi. Semakin terasa krisis lingkungan ditambah lagi krisis energi maka akan menjadi daya dorong tersendiri untuk semakin besar beralih ke energi terbarukan termasuk biomasa.  Dan bukankah hal itu kembali mengindikasikan ke era sebelum abad 19 ketika sebagian besar energi yang digunakan manusia adalah kelompok energi terbarukan ?

Minggu, 01 November 2015

Menengok Pasar Wood Pellet Asia


Proyeksi pertumbuhan pasar wood pellet mengindikasikan Eropa sebagai pasar utama dengan konsumsi 25-30 juta ton pada 2020, sekitar 2,5 kali lipat dibandingkan konsumsi pada tahun 2010 12 juta ton.  Negara-negara produsen wood pellet utama saat ini yakni Kanada, Amerika Serikat, Swedia dan Jerman. Amerika Serikat adalah penghasil wood pellet terbesar tetapi mayoritas produksinya untuk konsumsi dalam negerinya untuk pemanas ruangan (home heating), sedangkan Kanada sebagai produsen wood pellet terbesar setelah Amerika Serikat, sekitar 80% produksinya untuk eksport. Perubahan pasar yang besar terjadi di pasar Asia yakni dari kurang 1 juta ton pada 2010  ke sekitar 15 juta ton pada 2020. Produksi wood pellet global juga mengalami peningkatan yakni tumbuh sampai 300% dari 2012 ke 2020 dari 16 juta ton ke 40-50 juta ton.

Global Energy Production by source


Daerah-daerah yang mampu memproduksi wood pellet dengan harga murah akan menjadi pengeksport wood pellet utama. Dua komponen biaya yang sangat berpengaruh pada produksi wood pellet adalah harga bahan baku sampai pabrik dan biaya transportasi ke pasar. Posisi Indonesia yang berada di kawasan Asia dengan iklim tropis sehingga potensial untuk menjadi penghasil biomasa terbesar mempunyai peran strategis menjadi produsen wood pellet untuk pasar Asia. Dibawah ini ada 3 negara utama di Asia sebagai pasar wood pellet :

Konsumsi Energy Korea Selatan Berdasar Tipe.
Sumber : Economic Intelligence Unit 2009

Perkembangan Pasar Korea Selatan
Meskipun Korea Selatan adalah negara kecil, tetapi merupakan negara urutan ke-10 dunia pengguna  energi dengan urutan kelima importir minyak dan urutan kedua importir batubara. Saat ini memproduksi sekitar 65% dari kelistrikannya dari bahan bakar fossil. Korea Selatan serius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke 30% penurunan emisi CO2 dari level 2010 pada tahun 2020. Korea Selatan juga telah mengeluarkan Renewable Portofolio Standard (RPS) yang mensyaratkan PLTU batubara untuk minimum menggunakan 2% energi terbarukan pada 2012, dengan peningkatan 0,5% /tahun sampai 2020.  Pada tahun 2020 mereka akan membutuhkan minimum 10% energi terbarukan dengan komposisi diharapkan 60% energi terbarukan berasal dari biomasa kayu, sedangkan 40% sisanya dari sumber lain.
Portofolio Energi Jepang (Sebelum Tragedi PLTN Fukushima)
Sumber : U.S. Energy Information Administration 2010
  
Perkembangan Pasar Jepang
Jepang hampir tidak memiliki sumber daya alam, sehingga meng-import hampir semua hampir semua batubara, minyak dan gas. Jepang adalah negara pengimport gas alam terbesar dan minyak bumi urutan kedua di dunia. Sejak kecelakaan atau meledaknya PLTN Fukushima tahun 2011, pemerintah Jepang mereview kebijakan energi nasional dan pengembangan sumber daya. Kebijakan tersebut mengindikasikan untuk 10 sampai 20 tahun ke depan untuk energi terbarukan, peningkatan penggunaan energi non-fossil sampai 50% dan penurunan gas rumah kaca pada pembangkit listrik dari 34% ke 70% pada tahun 2030.

Konsumsi Energi China Berdasar Tipe
Sumber : Economic Intelligence Unit 2009

Perkembangan Pasar China
China saat ini adalah pengguna energi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Energi menjadi pondasi pertumbuhan energi China. Batubara adalah energi utama di China yang menjadikan negara ini pengguna terbesar batubara di dunia. Meskipun sangat sedikit kebijakan energi terbarukan diumumkan oleh pemerintah China, China dalam rencana lima tahunannya mengalokasikan USD 750 juta pada subsidi langsung, insentif dan tax exemptions untuk membangun 200 demo proyek green energy pada 2015 atau minimal 15% dari kebutuhan energi dari energi terbarukan. China juga telah mengeset produksi energi biomasa dengan target setara 50 juta ton batubara pada 2012.

Meskipun dalam rencana 5 tahun tersebut tidak mengindikasikan spesifik proyek green energy untuk ditangani, sejumlah asumsi menyatakan China akan memproduksi wood pellet untuk mengganti batubara. Mayoritas produksi wood pellet juga berasal dari produksi dalam negri sehingga import-nya masih minimal.

Menanam Pohon Untuk Menjawab Berbagai Masalah Dunia

Dengan menanam berbagai masalah esential manusia dalam kehidupan bisa teratasi, yakni pangan (food), energi dan air (water). Masalah-masalah tersebut saat ini dihadapi oleh manusia karena berbagai kerusakan lingkungan yang juga diakibatkan oleh ulah tangan-tangan manusia itu sendiri. Ada banyak jenis tanaman yang diciptakan Allah SWT di alam ini, sehingga memilih salah satu yang paling sesuai adalah hal yang perlu kita lakukan. Menghidupkan tanah mati dan menjadikannya produktif sehingga produktif bagi kehidupan manusia, tentu adalah hal yang sangat dianjurkan apalagi ketika dunia didera oleh berbagai krisis seperti pangan, energi, air bersih termasuk udara yang bersih menyegarkan. Saat ini diperkirakan ada 1 milyar manusia di muka bumi ini yang menghadapi masalah kelaparan. Jutaan hektar tanah masih terlantar dan belum dimanfaatkan, bahkan secara global setiap tahunnya ada kurang lebih 6 juta hektar tanah atau lahan pertanian yang menjadi gurun pasir (desertifikasi = penggurunan) akibat terbengkelai dan tidak dimanfaatkan. Luas hutan yang terus menyempit sehingga masih sangat jauh dari standar kebutuhan minimal bagi suatu kawasan adalah suatu keprihatinan tersendiri.



Ketika kondisi tanah telah rusak sehingga perlu segera dipuihkan maka jenis tanaman polong-polongan (leguminosae) adalah jenis yang paling cocok pada kondisi tersebut.  Hal ini karena tanaman jenis polong-polongan memiliki karakteristik : mendinginkan/melembabkan permukaan tanah, akarnya berbintil-bintil karena mampu mengikat nitrogen dari atmosfer artinya mampu menuburkan tanah rusak / tandus tersebut, dan mampu mencegah terjadinya erosi. Kaliandra adalah jenis tanaman polong-polongan (leguminoceae) yang cocok untuk kondisi tersebut. Hasil utama kayu untuk energi seperti untuk produksi wood pellet dan hasil samping berupa daun untuk peternakan kambing atau sapi serta  bunga untuk peternakan lebah adalah untuk menjawab masalah pangan. Integrasi kebun/hutan kaliandra tersebut dengan peternakan kambing/sapi akan menjadikan usaha tersebut optimal. Selain itu sumber air baru juga sangat mungkin muncul akibat dari kebun atau hutan kaliandra tersebut. Tanaman kaliandra yang bisa dipanen relatif cepat yakni rata-rata 1 tahun dan masih bisa produktif hingga sekitar 25 tahun ke depan tanpa harus menanam setiap tahunnya karena dengan pola trubusan, memiliki daya tarik tersendiri. Selanjutnya di sela-sela tanaman kaliandra tersebut bisa ditanam dari jenis lain yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat, sebagai contoh kalindra dengan jagung, kaliandra dengan pisang, kaliandra dengan pinus, kaliandra dengan zaitun, kaliandra dengan kurma dan sebagainya.

Kaliandra usia 1 minggu



Kaliandra usia 2 minggu

Pembibitan tanaman kaliandra untuk kebun energi seluas 1200 ha


 


Hal lain yang perlu kita syukuri adalah posisi kita di daerah tropis dengan alam yang indah, wilayah yang luas  dan tanah yang subur (sebelum rusak).  Dengan iklim tropis tersebut matahari akan bersinar sepanjang tahun sehingga proses photosintesa dari tanaman akan berjalan secara optimal hal ini akan mempercepat produktivitas tanaman seperti kaliandra tersebut. Dengan kondisi tersebut  produktivitas kayu kaliandra di Indonesia rata-rata 4 kali lebih cepat dengan tanaman poplar/willow di daerah sub-tropis atau butuh waktu 1 tahun di Indonesia yang sama dengan 4 tahun di daerah sub-tropis untuk jumlah hasil kayu yang sama. Apabila semua dioptimalkan maka Indonesia sangat mungkin akan menjadi penghasil biomasa terbesar di dunia yang mampu menjawab berbagai masalah dunia.  Sedangkan di sektor energi kondisi tersebut sangat sesuai ketika dunia juga berlomba-lomba untuk menurunkan suhu bumi dengan gelombang energi biomasa-nya.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...