Fiber dan cangkang sawit adalah limbah padat pabrik sawit yang dihasilkan pada produksi CPO di pabrik tersebut. Jumlah limbah fiber dan cangkang cukup banyak yakni sekitar 20% dari setiap tandan buah segar (TBS) atau hampir sama dari CPO yang dihasilkan. Pabrik sawit dengan kapasitas 60 ton/jam TBS bisa menghasilkan fiber sebanyak 8,1 ton perjam atau 194,4 ton perhari dan cangkang 3,3 ton/jam perjam atau 79,2 ton perhari. Dan karena keduanya merupakan limbah maka umumnya pemanfaatan limbah tersebut tidak diperhatikan pada awalnya termasuk untuk pemakaian sebagai bahan bakar pada boiler di pabrik sawit untuk produksi listrik dan kukus (steam). Pemanfaatan fiber dan cangkang untuk bahan bakar boiler pada umumnya menggunakan 100% fiber dan sekitar 30% dari cangkang. Dengan kondisi tersebut sisa berupa 70% cangkang bisa dimanfaatkan untuk hal lain termasuk bisa dijual bahkan di export.
Ketika cangkang menjadi komoditas komersial dan permintaan semakin besar, maka pabrik-pabrik sawit mengganti boiler lama mereka yang kurang efisien dengan boiler baru yang memiliki tingkat efisiensi tinggi. Dengan cara tersebut maka 100% cangkang tidak digunakan lagi untuk bahan bakar boiler tersebut dan hanya membutuhkan fiber saja sebagai bahan bakarnya. Pada kondisi ini mulai terjadi perubahan paradigma berpikir, yakni ketika limbah padat tersebut hampir tidak diperhatikan dan cenderung dianggap sebagai masalah, lalu menjadi bagian penting untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan bahkan bisa diestimasi bahwa apabila cangkang tersebut berhasil terjual maka hal tersebut cukup untuk menutup biaya operasional pabrik sawit tersebut. Tentu suatu hal menarik bila produksi CPO dengan biaya operasional 0% sehingga keuntungan semakin menarik apalagi ditengah penurunan harga CPO akhir-akhir ini.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan unit pirolisis, untuk menjalankan boiler tersebut. Dengan pirolisis maka tidak hanya fiber yang digunakan tetapi juga tandan kosong / EFB (empty fruit bunch) nya. Tandan kosong adalah limbah padat pabrik sawit yang sampai hari ini pada umumnya masih belum dimanfaatkan. Selain menghasilkan energi, dengan pirolisis juga dihasilkan produk berupa
arang (biochar). Walaupun arang (biochar) juga bisa dimanfaatkan untuk sumber energi, tetapi di bisnis perusahaan sawit penggunaan biochar untuk perkebunan bisa lebih kompatibel. Penggunaan biochar pada perkebunan sawit terutama untuk menghemat pupuk, yang merupakan salah satu komponen biaya besar (sekitar 30%) pada usaha produksi CPO tersebut. Dengan luasan kebun sawit 20 ribu hektar kebutuhan biaya pupuk diperkirakan mencapai Rp 71,50 milyar per tahunnya atau Rp 35,75 milyar pertahun untuk setiap 10.000 hektar, untuk lebih detail bisa dibaca
disini. Pabrik-pabrik sawit dengan visi besar tentu berusaha memaksimalkan potensinya dengan tujuan memaksimalkan profit dari aktivitas produksi hulu ke hilirnya. Dengan biochar juga bisa mentargetkan kenaikkan produktivitas tandan buah segarnya, untuk lebih detail bisa dibaca
disini.
Aplikasi biochar akan lebih mudah dilakukan di Indonesia dibandingkan di Malaysia, hal tersebut karena hampir semua pabrik sawit di Indonesia juga memiliki kebun sawit sedangkan di Malaysia pihak pabrik umumnya tidak memiliki kebun sawit sendiri. Industri sawit juga memiliki peran penting bagi kedua negara tersebut karena Indonesia dan Malaysia adalah produsen CPO dan pemilik perkebunan sawit terbesar di dunia saat ini. Industri sawit menyumbang sekitar 7% dari GDP Malaysia dan 3% dari GDP Indonesia, sehingga perannya tidak bisa diabaikan. Baik dengan
pirolisis maupun boiler dengan efisiensi tinggi, limbah biomasa bisa digunakan sebagai sumber energinya dan 100% cangkang sawitnya bisa dikomersialisasikan, tetapi dengan pirolisis lebih baik karena limbah tandan kosong bisa diolah, ada produk biochar (sementara hanya abu jika dengan pembakaran biasa) untuk penghematan pupuk di perkebunan sawit dan gas buang dari boiler pabrik sawit juga bersih karena membakar gas (syngas) yang dihasilkan dari proses pirolisis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar