Minggu, 29 Desember 2019

Kebun Energi : Mananam Kaliandra atau Gliricidae ?

Setiap tanaman memiliki lokasi optimum untuk pertumbuhannya. Walaupun bisa tumbuh kalau bukan pada lokasi optimumnya maka hasilnya juga tidak sebaik lokasi optimumnya. Tanaman yang ditanam pada lokasi optimalnya maka besar harapan untuk mencapai hasil optimalnya, baik kayu, buah, bunga dan sebagainya. Apabila menanam teh, apel, atau edelweiss di dataran rendah atau bahkan di pesisir laut maka hampir mustahil untuk mendapat hasil optimumnya, bahkan mungkin malah layu dan mati. Pemilihan lokasi terbaik yang sesuai dengan karakteristik tanaman adalah hal penting untuk mendapatkan hasil optimum dari budidaya tersebut.
Gliricidae di pinggir pantai Depok, Bantul, Yogyakarta

Kaliandra di lereng gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah
Demikian juga dengan kebun energi. Selain pemilihan spesies tanaman yang ditanam, lokasi kebun seharusnya juga diperhatikan terkait akan jenis tanaman yang akan ditanam tersebut. Kebun energi pada umumnya menggunakan tanaman rotasi cepat dari jenis leguminoceae (polong-polongan) karena memiliki banyak keunggulan antara lain, usia panen cepat (rata-rata hanya 2 tahun), perawatan sangat mudah, tidak perlu replanting hingga belasan tahun, akarnya bisa menyerap nitrogen dari atmosfer sehingga menyuburkan tanah, akarnya juga kuat sehingga mampu menahan erosi, tanaman juga sangat efisien dalam penggunaan air sehingga bisa ditanam di daerah tandus sekalipun, daunnya untuk pakan ternak bernutrisi tinggi, dan bunganya untuk peternakan lebah madu. Singkatnya untuk optimalisasi pemanfaatan lahan tersebut maka kebun energi diintegrasikan dengan usaha peternakan.

Gliricidae & kaliandra adalah 2 species yang biasa digunakan sebagai tanaman kebun energi. Gliricidae lebih sesuai untuk dataran rendah hingga pesisir pantai, sementara kaliandra untuk dataran tinggi. Praktek penanaman kaliandra juga banyak dilakukan di daerah tinggi, sedangkan gliricidae di dataran rendah. Suhu, kelembaban, kesuburan tanah, curah hujan juga berpengaruh untuk menghasilkan produk kebun energi yang optimal. Sri Lanka adalah contoh negara yang banyak menanam gliricidae khususnya sebagai tanaman sela kebun kelapa. Indonesia sebagai negeri rayuan pulau kelapa seharusnya bisa juga melakukan hal yang sama. Dengan kondisi tersebut maka produksi wood pellet juga bisa dilakuan demikian juga menghidupkan industri kelapa terpadu (lebih detail bisa dibaca di sini, sini dan sini) dan peternakan,untuk optimalisasi lahan terbaik. 


Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.Dengan pola diatas maka kebun-kebun energi bisa dibuat dibanyak tempat lokasi sentra kelapa di Indonesia seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Gorontalo dan Sumatera Selatan untuk mengoptimalkan potensi bioeconomy tersebut. Selain itu jutaan hektar lahan tidur, marginal, tandus dan lahan kritis bisa dihidupkan dan diselamatkan hingga membawa keuntungan. Bahkan pohon-pohon kayu keras pada HTI (hutan tanaman industri) yang memakan waktu lama dan juga kadang-kadang membutuhkan biaya sosial yang tinggi untuk perawatannya bisa juga dikonversi dengan tanaman rotasi cepat dengan kebun energi.  Lahan yang tidak diolah akan semakin rusak seperti erosi , tanah longsor hingga terjadi penggurunan (desertifikasi) sehingga misi penyelamatan lingkungan juga sudah otomatis menjadi bagian dari aktivitas kebun energi di atas.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...