Rabu, 27 Mei 2020

Biodiesel Nyamplung : Sebuah Harapan Baru

Sebagai lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Mengatasi Kelangkaan BBM di Daerah-Daerah Terpencil", maka ada potensi lain yang bisa sebagai harapan baru, yakni dari pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Pohon nyamplung menghasilkan biji yang bisa diproses lanjut menjadi biodiesel. Biodiesel nyamplung tersebut bisa digunakan terutama di daerah-daerah terpencil seperti digunakan para nelayan dan berbagai aktivitas di daerah tersebut. Pada skala nasional juga bisa sebagai campuran solar, seperti halnya saat ini yang menggunakan campuran biodiesel minyak sawit dengan solar dengan istilah biosolar (B30 dengan 30% biodiesel minyak sawit dan 70% solar). Sejumlah keuntungan dari biodiesel nyamplung ini adalah produktivitas minyaknya tinggi, bahkan setara dengan kelapa sawit yang merupakan tanaman penghasil minyak pangan nabati saat ini (6 ton/hektar/tahun), bisa wanatani (agroforestry) dengan sejumlah tanaman pangan - yang itu juga tidak bisa dilakukan pada perkebunan sawit, bisa ditanam di pesisir laut untuk mencegah abrasi dan sebagai wind breaker, minyak yang dihasilkan tidak berkompetisi dengan minyak makan atau produk pangan, dan perawatan yang lebih mudah dan murah.

Beberapa waktu lalu pohon jarak pagar juga digalakkan untuk produksi biodiesel, tetapi dengan produktivitas dan rendemen minyak yang rendah membuat biodiesel dari biji jarak pagar tidak bisa bersaing dengan harga solar waktu itu atau akan membutuhkan lahan yang sangat luas untuk menghasilkan target volume biodieselnya, sehingga pengembangannya terhenti. Jarak pagar adalah tanaman yang diprogramkan sebagai sumber biodiesel selain dari minyak sawit, yang diprogramkan pada waktu itu. Bahan bakar cair berupa biodiesel tersebut memang lebih mudah digunakan dan rute pengolahan lebih sederhana dibandingkan dengan produksi bahan bakar cair lewat (fast) pyrolysis atau gasifikasi. Tetapi memang produksi bahan bakar cair melalui rute pyrolysis dan gasifikasi bisa memanfaatkan hampir semua limbah biomasa, tidak terpaku dari buah atau biji tertentu.

Biodiesel yang dihasilkan tersebut juga bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Dengan adanya listrik juga mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut khususnya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) sekitar. Pemanfaatan produk-produk samping dari produksi biodiesel juga menarik misalnya untuk pakan ternak, produksi briket atau arang, bahkan arang aktif, obat-obatan dan pewarna tekstil dan gliserol. Penggunaan gliserol sangat luas, sebagai contoh pada industri makanan gliserol digunakan sebagai humektan, pelarut dan pemanis, dan dapat membantu mengawetkan makanan. Gliserol juga digunakan sebagai pengisi dalam makanan rendah lemak yang disiapkan secara komersial (misalnya : cookies) dan sebagai agen penebalan dalam minuman. Gliserol juga banyak digunakan pada industri farmasi dan kecantikan.


Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional sesuai PP No.5/2006, maka energi terbarukan kelompok biofuel termasuk didalamnya biodiesel ditargetkan untuk mencapai porsi  5% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Walaupun masih rendah dibanding negara-negara lain tetapi tentu sudah menjadi entry point yang baik untuk bisa terus ditingkatkan. Limbah-limbah minyak dari pabrik sawit yang memiliki kadar asam lemak bebas tingi seperti PAO (palm acid oil) atau Miko (minyak kotor) juga bisa digunakan untuk produksi biodiesel karena tidak layak untuk produk pangan. Sebagai referensi RED II (Renewable Energy Directive) di Eropa bahkan mentargetkan hampir 30% sumber energi yang mereka gunakan ditargetkan berasal dari energi terbarukan pada 2030 dan sekitar 80% berasal dari biomasa. RED II tersebut menggantikan RED I yang berakhir tahun ini dengan targetnya 20-20-20, yakni penggunaan 20% energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi sebesar 20% yang dicapai tahun 2020. Dari 20% energi terbarukan, biomasa juga mendapat porsi kurang lebih 80%. Hal tersebut mengindikasikan energi terbarukan khususnya yang berasal dari biomasa seperti buah atau biji nyamplung ini akan semakin meningkat pada era-era mendatang.
Bahkan sejarahnya tanaman ini telah ditanam sejak 50 tahun lalu, dengan sebaran alaminya di tepi pantai untuk wind breaker sehingga tanaman palawija bisa dibudidayakan di area tersebut. Walaupun tanaman ini tetap bisa tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-500 mdpl dengan curah hujan 700 mm/tahun hingga daerah curah hujan sangat tinggi yakni 5000 mm/tahun. Dengan kenyataan seperti itu maka budidaya nyamplung di tepi pantai bisa digalakkan kembali. Dengan garis pantai Indonesia sepanjang 99.093 km dan banyak penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai serta berprofesi sebagai nelayan, maka biodiesel dan agroforestry di kebun nyamplung adalah suatu harapan baru. Bahkan usaha peternakan pun bisa dikembangkan karena ampas dari pres-presan minyak atau crude oil-nya bisa digunakan untuk pakan ternak. Dan ketika pohonnya tidak produktif lagi, kayunya bisa sebagai bahan pembuat kapal bermutu tinggi. Ketika nyamplung diharapkan sebagai sumber utama biodiesel yang menggantikan posisi biodiesel minyak sawit saat ini, sehingga minyak sawit bisa dimaksimalkan untuk minyak makan (produk pangan) maka ada spesies tanaman lain yakni malapari atau mempari (Pongamia pinnata L.) diproyeksikan akan sebagai bioavtur bahan bakar pesawat terbang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...