Rabu, 13 Mei 2020

Coconut Husk Pellet (CH Pellet) Alternative Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa


Pada daerah dimana cukup memadai pasokan listriknya dan limbah sabut kelapa tersedia melimpah, maka sabut kelapa tersebut bisa diolah lanjut menjadi pellet sabut kelapa (coconut husk pellet/CH pellet). CH pellet termasuk biomass pellet atau agro-waste pellet dan bukan termasuk wood pellet karena bahan bakunya termasuk limbah pertanian dan bukan biomasa kayu-kayuan (woody biomass). Mengapa hanya daerah dengan pasokan listrik memadai yang disarankan untuk produksi CH pellet? Hal tersebut karena pada produksi pellet tersebut dibutuhkan sejumlah peralatan mekanik yang digerakkan dengan motor listrik seperti unit size reduction, pengeringan, pengepressan menjadi pellet dan sebagainya. Ketika daerah tersebut tidak ada atau kurang memadai pasokan listriknya maka sabut kelapa yang berlimpah dan cenderung mencemari lingkungan tersebut disarankan untuk produksi arang, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Dan pada dasarnya pemanfaatan limbah sabut kelapa tersebut secara teknis bisa bermacam-macam tetapi yang penting tetap bisa ekonomis, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan atau sejalan dengan konsep bioekonomi.
CH pellet sama seperti EFB pellet yang bisa digunakan 100% pada pembangkit listrik berteknologi fluidized bed combustion (FBC).  Hal ini karena teknologi FBC memiliki fleksibilitas tinggi untuk jenis bahan bahan bakar yang digunakan termasuk pellet dari sabut kelapa dan tandan kosong sawit tersebut yang notabene memiliki kandungan kalium (potassium) dan klorin yang tinggi. Tipe pellet dari limbah pertanian tersebut juga bisa digunakan pada teknologi pulverized cobustion (PC) tetapi dengan porsi yang terbatas atau biasanya dengan istilah cofiring. Cofiring biomasa dengan batubara pada teknologi PC hingga 10% biasanya belu membutuhkan modifikasi pada pembangkit PC tersebut. Alasan utama mengapa CH pellet atau EFB pellet tidak bisa digunakan 100% pada PC adalah karena kimia abunya, khususnya kandungan kalium dan klorin di atas. Suhu operasi yang tinggi (> 1000 C) membuat kalium meleleh dan menjadi deposit pada pipa-pipa penukar panas (heat exchanger) sehingga lambat-laun menurunkan efisiensi, sedangkan klorin yang korosif akan membuat logam-logam pada pembangkit tersebut cepat habis. Sedangkan pada FBC dengan suhu operasi lebih rendah atau umumnya 100-200 C lebih rendah dari PC maka tentang kimia abu dari pellet tersebut tidak menjadi masalah berarti. 

Supaya CH pellet semakin luas penggunaannya atau semakin banyak diterima pasar khususya pada teknologi PC yang lebih banyak digunakan daripada FBC pada pembangkit listrik, maka kualitas CH pellet tersebut harus diupgrade yakni dengan menurunkan kandungan kalium dan klorin dalam sabut kelapa tersebut. Cara menurunkan kedua unsur tersebut adalah dengan mengekstraknya. Ekstrak kalium dan klorin tersebut selanjutnya bisa digunakan sebagai pupuk organik cair (POC). Produksi POC sekaligus menyiapkan bahan baku untuk produksi CH pellet adalah dua aktivitas produktif yang sejalan sehingga biaya menurunkan kandungan kalium dan klorin pada sabut kelapa bisa terkompensasi oleh produsi POC tersebut. Kandungan kalium dalam sabut kelapa cukup tiggi yaki sekitar 10% dan kalium sangat dibutuhkan tanaman. Ada varian tertentu pupuk kalium yang harganya mahal dan tidak disubsidi sehingga produksi POC akan menekan biaya belanja pupuk kalium yang mahal tersebut, bahkan pada perkebunan tertentu biaya pupuk sangat besar dan tidak diberikan subsidi. Setelah kandungan kalium dan klorin dalam sabut kelapa tersebut bisa diekstrak untuk produksi POC, selanjutnya sabut tersebut akan menjadi bahan baku CH pellet, dan produk CH pellet yang dihasilkan lebih maksimal pada pembangkit listrik dengan teknologi PC

2 komentar:

  1. Apa bisa saya mendapatkan info peralatan mesin-mesin pengolah pellet sabut kelapa tersebut, terima kasih

    BalasHapus
  2. Kapasitas berapa ton/jam?

    Bahan baku sudah dalam bentuk serbuk (cocopeat/cocodust) atau masih dalam bentuk sabut kelapa?

    BalasHapus

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...