Selasa, 23 Oktober 2018

PKS Untuk Pembangkit Listrik di Eropa

Eropa dengan program bioekonominya yakni dalam RED (Renewable Energy Directive) telah mentargetkan penggunaan energi terbarukan mencapai minimal 20% pada 2020 dengan konsumsi biomasa mencapai 70% dari keseluruhan energi terbarukan dan pada 2030 menjadi minimal 27%. Untuk energi biomasa, Eropa juga merupakan produsen wood pellet terbesar yakni saat ini diperkirakan 13,5 juta ton/tahun sementara konsumsinya 18,8 juta ton/tahun. Negara-negara produsen wood pellet terbesar di Eropa yakni Jerman dan Swedia. Walaupun dengan produksi wood pellet 13,5 juta ton/tahun ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan internal kawasan tersebut, sehingga masih membutuhkan supply dari luar. Amerika dan Kanada adalah pemasok utama kebutuhan wood pellet untuk negara tersebut. Sebagian besar penggunaan wood pellet tersebut untuk pembangkit listrik. Selain wood pellet, PKS juga telah diimport dari Indonesia. Sering besarnya target yang hendak dicapai, maka kebutuhan bahan bakar biomasa tersebut diprediksi akan semakin meningkat.

Walaupun sebagian besar pembangkit listrik saat ini menggunakan teknologi pulverized coal boiler yang mencapai sekitar 50% pembangkit listrik dunia, tetapi penggunaan teknologi grate combustor boiler dan fluidized bed boiler juga semakin meningkat. Pulverized coal boiler terutama digunakan untuk pembangkit kapasitas sangat besar (>100 MW) , sedangkan untuk kapasitas menengah biasa menggunakan teknologi fluidized bed (antara 20-100 MW) dan untuk kapasitas lebih kecil dengan grate combustor (<20 MW). Kelebihan untuk teknologi fluidized bed dan grate combustor boiler adalah flexibilitas bahan bakar termasuk toleransi terhadap ukuran partikelnya. Berbagai limbah pertanian, sampah kota, ban bekas dan sebagainya bisa digunakan sebagai bahan bakarnya. Ketika pada pulverized coal boiler mensyaratkan ukuran partikel kecil (1-2 cm) seperti serbuk gergaji (sawdust) sehingga bisa diatomisasi pada nozzle pulverizer, maka untuk grate combustor dan fluidized bed ukuran partikel sebesar kerikil (maks. 8 cm) bisa diterima. Berdasarkan kondisi tersebut limbah pertanian yakni PKS memiliki peluang besar sebagai bahan bakar boiler-boiler tersebut. 

Pembangkit Listrik Dengan teknologi Fluidized di Jepang 49 MW dengan bahan bakar PKS
dan beroperasi sejak 2015

Untuk bisa sebagai bahan bakar pada grate combustor boiler dan fluidized bed boiler bisa langsung digunakan, tanpa pretreatment tambahan. Lebih spesifik untuk fluidized bed boiler yakni circulating fluized bed (CFB) boiler yang lebih cocok untuk PKS dibandingkan dengan bubbling fluidized bed (BFB) boiler, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Lalu apakah PKS tidak cocok untuk pulverized coal boiler? Ada beberapa hal perlu diperhatikan untuk penggunaan PKS pada pulverized coal boiler. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengecilkan ukuran partikel PKS hingga maksimal 2 cm sehingga bisa diatomisasi dalam pulverized system. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah prosentase PKS dalam batubara, atau istilahnya cofiring. Berbeda dengan grate  dan fluidized bed combustor yang bisa fleksibel dengan berbagai jenis bahan bakar, pada pulverized hampir semua hanya menggunakan batubara saja. Tentu juga bisa untuk pulverized tersebut diganti dengan biomasa khususnya PKS tetapi ada hal spesifik yang membedakan bahan bakar biomasa dan batubara yakni kadar abu dan kimia abu. Kedua hal tersebut sangat berpengaruh terhadap karakteristik pembakaran dalam pulverized system. 
Kandungan abu batubara umumnya lebih besar daripada biomasa, selain itu kimia abu batubara sangat berbeda dengan kimia abu biomasa. Biomasa memiliki kandungan anorganik lebih kecil daripada batubara, tetapi kandungan alkali dalam biomasa bisa mengubah sifat-sifat abu batubara khususnya abu aluminosilikatnya. Praktisnya yakni jika ingin mengubah pulverized system dari batubara ke biomasa khususnya PKS maka perlu modifikasi pembangkit listrik tersebut dan ini juga tidak murah, tetapi jika ingin tanpa modifikasi atau hanya sedikit saja modifikasi pembangkit listrik diperlukan yakni dengan cara cofiring tersebut. Cofiring biomasa dengan batubara dengan porsi kecil misalnya 3-5% tidak perlu memodifikasi pembangkit listrik pulverized tersebut. Sebagai contoh Shinci di Jepang dengan kapasitas 2 x 1.000 MW supercritical pulverized fuel dengan cofiring 3% membutuhkan 16.000 ton/tahun biomasa dan tidak ada modifikasi, demikian pula dengan Korea Shoutheast Power (KOSEP) 5.000 MW dengan cofiring 5% membutuhkan biomasa 600.000 ton/tahun dan juga tanpa modifikasi. Mengapa cofiring pada pulverized system banyak dibahas? Selain pembangkit tipe ini jumlahnya paling banyak dengan kapasitas produksi listrik sangat besar sehingga menjadi sarana efektif untuk menurunkan kadar CO2 di atmosfer yang otomatis juga mengurangi penggunaan batubara, juga penggunaan biomasa dalam cofiring punya efek pada operasional pembangkit dan harga produk listrik yang dihasilkan. 
Studstrup power station Denmark 700 MW melakukan cofiring hingga 20% dengan jerami (straw)

Teknologi grate combustor, fluidized bed dan pulverized pada dasarnya adalah teknologi pembakaran. Teknologi pembakaran adalah satu diantara 3 proses thermal biomasa yang banyak diaplikasikan, dengan dua lainnya yakni gasifikasi dan pyrolysis. Gasifikasi demikian juga pyrolysis juga bisa digunakan untuk produksi listrik, tetapi penggunaannya tidak sebanyak teknologi pembakaran dan kapasitas produksi listriknya pada umumnya juga kecil. Hampir sama dengan grate combustor dan fluidized bed, bahan bakar untuk gasifikasi dan pyrolysis juga fleksibel, termasuk batubara dan PKS. Pada teknologi gasifikasi terutama untuk memaksimalkan produk gas (syngas) sedangkan pada pyrolysis untuk memaksimalkan produk padatnya. PKS bisa di pirolisis untuk menghasilkan arang sedangkan batubara akan menghasilkan kokas apabila dipirolisis. Arang dari PKS bisa digunakan untuk bahan bakar, produksi briket serta arang aktif sedangkan kokas untuk peleburan baja. Syngas merupakan produk samping pyrolysis yang bisa digunakan untuk produksi listrik sedangkan pada gasifikasi, syngas merupakan produk utama yang juga bisa digunakan untuk produksi listrik. 
Mengapa menggunakan PKS untuk bahan bakar pembangkit tersebut? Hal ini karena PKS memiliki karakteristik hampir sama dengan wood pellet, banyak tersedia dan harganya murah. Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen utama PKS. PKS dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit. Dengan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai  12 juta hektar di Indonesia dan 5 juta hektar di Malaysia, maka jumlah PKS yang dihasilkan dari kedua negara mencapai 15 juta ton/tahun. Jumlah PKS tersebut kedua negara tersebut melebihi produksi wood pellet dari Amerika Serikat dan Kanada, atau 2 produsen penghasil wood pellet terbesar saat ini. Dan tentu saja Amerika Serikat dan Kanada tidak bisa menghasilkan PKS, karena tidak memiliki perkebunan kelapa sawit, tetapi Indonesia dan Malaysia bisa memproduksi wood pellet karena memiliki hutan yang luas. Produksi wood pellet Indonesia dan Malaysia masih kecil, yakni kurang dari 1 juta ton/tahunnya, tetapi produksi PKS-nya cukup besar yang bisa sebagai penggerak awal bioeconomy dan menyuplai biomasa ke Eropa. 

Senin, 08 Oktober 2018

Standar-Standar Sertifikat Wood Pellet

Sebagai komoditas perdagangan yang sedang menjadi trend dunia, banyak standar wood pellet yang diberlakukan. Pada dasarnya standar wood pellet tersebut mencukupi 2 hal saja yakni kualitas dan keberlanjutan (sustainibility) yang banyak berkaitan dengan aspek lingkungan. Aspek kualitas banyak terkait aspek teknis produksi wood pellet tersebut dan juga bahan baku yang digunakan. Sejumlah negara atau lembaga tertentu menerapkan aspek kualitas yang bisa mereka terima untuk produk wood pellet tersebut. Penerapan standar kualitas wood pellet juga terkait penggunaan wood pellet tersebut atau lebih spesifik teknologi atau alat untuk mengkonsumsi atau menggunakan wood pellet sebagai bahan bakar. Berdasarkan hal tersebut juga biasanya segmen pasarnya juga dibedakan, yakni untuk industri dan rumah tangga. Segmen industri memiliki spesifikasi sendiri yang sedikit berbeda dengan rumah tangga. Beberapa standar kualitas yang banyak digunakan saat ini : ENplus, DINplus, PFI, ITEBE, Onorm dan CANplus. Berikut tabel-tabel kualitas tersebut :





Jenis standar yang kedua yakni tentang keberlanjutan (sustainibility) dan saat ini juga sudah mulai banyak diterapkan khususnya untuk perdagangan wood pellet dalam jumlah besar. Standar keberlanjutan (sustainibility) mencakup praktek budidaya pohon-pohon yang kayunya sebagai sumber bahan baku wood pellet tersebut. Dalam hal penerapannya ada sejumlah negara pembeli wood pellet yang sangat menaruh perhatian tentang standar keberlanjutan ini, tetapi juga ada yang tidak terlalu memperdulikannya. Jepang adalah contoh salah satu negara di Asia yang sangat memperhatikan masalah standar keberlanjutan ini. Beberapa standar keberlanjutan yang banyak digunakan saat ini : FSC, PEFC dan sebagainya.

Para calon produsen wood pellet harus memperhatikan masalah di atas, karena sangat terkait dengan pasar atau perdagangan wood pelletnya. Tanpa bisa memetakan pasar secara komprehensif maka sangat mungkin produksi wood pelletnya akan terkendala. Sebagai contoh produsen wood pellet akan menargetkan pasarnya di Asia khususnya di Jepang dan Korea, padahal karakteristik pasar wood pellet di Jepang dan Korea berbeda, untuk penjelasan lebih detail dibaca disini

Minggu, 07 Oktober 2018

Hikmah Dari Pekerjaan Setiap Para Nabi & Rasul Yang Menggembala Kambing / Domba

~ Ibnu Hajar rahimahullah berkata, para ulama berkata, “Hikmah di balik penggembalaan kambing sebelum masa kenabian tiba adalah agar mereka terbiasa mengatur kambing yang nanti dengan sendirinya akan terbiasa menangani problematika manusia.”[Fathu Al Bari 1/144]

Para nabi berprofesi sebagai penggembala kambing semenjak kecil, agar mereka menjadi penggembala manusia pada waktu mereka besar. Sebagaimana Musa dan Muhammad serta para nabi lainnya shalawatullahi ‘Alaihim wa Salamuh, pada awal kehidupan mereka telah berhasil menjadi penggembala kambing yang baik, agar mengambil pelajaran setelah keberhasilan mengendalikan binatang ternak menuju keberhasilan mengurus anak cucu Adam dalam mengajak, memperbaiki dan mendakwahi mereka.[1] Agar sang da’i bisa sukses dalam berdakwah, maka perlu memiliki pengetahuan tentang pentingnya kesinambungan dan praktik secara langsung.

~ Dalam pekerjaan mengembala kambing terdapat pelajaran membiasakan diri untuk sifat menyantuni dan mengayomi. Tatkala mereka bersabar dalam mengembala dan mengumpulkannya setelah terpencar di padang gembalaan, mereka mendapat pelajaran bagaimana memahami perbedaan tabiat umat, perbedaan kemampuan akal. Dengan perbedaan tersebut maka yang membangkang mesti ditindak tegas dan yang lemah mesti disantuni.
Hal ini memudahkan bagi yang memiliki pengalaman seperti itu untuk menerima beban dakwah dibandingkan yang memulai dari langsung dari awal. Itulah awal pembelajaran bagi para Nabi dengan cara menghadapi tabiat yang berbeda, ada yang lemah, ada yang pincang dan bermaksud mendaki gunung, ada yang tidak mampu untuk melintasi lembah. Dari situ, dia mempelajari bagaimana meraih keinginan yang beragam sebagai pengantar untuk mengenal manusia dengan tujuan dan maksud yang juga beragam. [2]

~ Para Nabi mengembala kambing semenjak mereka kecil dan mereka menyandarkan kehidupan mereka melalui usaha mereka, memberikan pesan tentang pentingnya seorang da’i menggantungkan dirinya kepada Allah dan tidak menggantungkan hidupnya pada belas kasian orang lain.

Jika seorang menyandarkan dirinya kepada orang lain, maka akan terjadi basa basi, sementara dakwah tidak mengenal basa basi, dan seorang da’i mesti menjauhkan dirinya dari pemberian dan sedekah orang lain. Manusia tidak akan menerima dakwah orang yang pernah suatu hari menerima sedekah dan belas kasihannya, kemudian hari yang lain, dia menasehatinya dan memperingatinya agar tidak terlena dengan dunia. Oleh karena itu, rezeki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjadi pembicaraan orang Quraisy, Rasulullah hidup di antara mereka dengan tidak meminta belas kasihan mereka, hal yang menyebabkan mereka setelah itu mengungkit jasa dan kebaikan mereka.

Foot Note:

[1] Assa’di, Al Mawahid Ar Rabbaniyah Minal Ayati Al Qur’aniyah, hal.149

[2] Ibnu Hajar, Fathu Al Bari 4/441

Sumber: Fikih Sirah, Prof.Dr.Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, Penerbit Darussunnah

Kamis, 04 Oktober 2018

Produksi Activated Carbon dari Tempurung Kelapa

Tidak perlu diragukan lagi activated carbon dari tempurung kelapa adalah activated carbon yang paling populer saat ini dari kelompok bahan baku terbarukan (renewable resource). Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa terbesar di dunia tetapi produksi activated carbon dari tempurung kelapa masih rendah. Berbeda dengan kelapa sawit yang pada umumnya dimiliki oleh perkebunan besar dengan bisnisnya yang terorganisir dengan ratusan pabrik pengolahnya, maka kelapa sebagian besar dimiliki oleh perkebunan rakyat, kurang terorganisir sehingga industri pengolahannya tidak berkembang. Nah, bagaimana supaya perkebunan kelapa dan industrinya bisa berkembang? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui bahwa perkebunan kelapa dan industri pengolahannya banyak mengalami kemunduran. Hal ini karena sektor perkelapaan masih kurang mendapat perhatian. Selain itu pola pendekatan untuk industri kelapa yang pemiliknya sebagian besar perkebunan rakyat juga semestinya berbeda dengan industri kelapa sawit yang umumnya dimiliki oleh perkebunan besar.
Secara teknis industri kelapa bisa mencontoh industri kelapa sawit, terutama pada pemanfaatan limbah biomasa untuk menjalankan industrinya. Pabrik kelapa sawit lebih efisien penggunaan limbah biomasanya untuk mengekstrak minyak mentah kelapa sawit (CPO) yakni dengan menghasilkan listrik dan steam. Limbah biomasa pada pabrik sawit yang biasa dimanfaatkan sebagai sumber energi yakni sabut dan cangkang. Sedangkan pada industri kelapa masih banyak limbah biomasanya yang tidak dimanfaatkan di pabriknya. Sabut, janjang, pelepah hingga tempurung bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi pabrik pengolahan kelapa. Kalau pada industri sawit didapat 2 macam minyak yakni CPO atau minyak mentah sawit dari sabut sawit dan PKO atau minyak kernel sawit dari kernel buahnya, sedangkan pada kelapa, daging buahnya bisa untuk menghasilkan kopra, minyak, santan, maupun kelapa parut kering (dessicated coconut) dan airnya untuk produksi nata de coco. Terlihat bahwa produk dari kelapa lebih banyak dan variatif daripada kelapa sawit. Baik produk kelapa sawit maupun kelapa utamanya adalah untuk produk pangan yang kebutuhannya terus meningkat.

Apabila semua limbah biomasa tersebut bisa dimanfaatkan maka sangat mungkin industri itu mampu mencukupi sendiri kebutuhan energinya dari limbah biomasanya, bahkan bisa berlebih. Tempurung kelapa bisa dimanfaatkan lanjut untuk pengolahan arang aktif, artinya juga tempurung kelapa tersebut tidak semua digunakan untuk energi atau bahkan semua tempurung dialokasikan untuk produksi arang aktif. Pada industri sawit juga tidak semua cangkang sawit dibakar atau digunakan untuk energi pada pabrik sawit tersebut, sehingga cangkang sawit tersebut salah satunya bisa untuk produksi arang aktif (activated carbon), untuk lebih detail produksi activated carbon dari cangkang sawit bisa dibaca disini. Proses produksi arang aktif (activated carbon) dari tempurung kelapa juga hampir sama dengan produksi arang aktif dari cangkang sawit.

Walaupun merupakan pemilik perkebunan kelapa terluas di dunia, yakni 3,7 juta hektar tetapi dibandingkan perkebunan sawitnya yang mencapai 12 juta hektar, maka perkebunan kelapa relatif kecil. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan produk berbasis kelapa, maka semestinya perkebunan kelapa juga semakin ditingkatkan. Sentra-sentra perkebunan kelapa saat ini seperti di Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Gorontalo dan sebagainya yang saat ini banyak rusak perlu dipulihkan kembali salah satunya dengan diintegrasikan dengan penggembalaan domba dan selanjutnya ditingkatkan. Dengan luas perkebunan kelapa 3,7 juta hektar tempurung kelapa memiliki komposisi 12% dari buah kelapa sehingga total tempurung kelapa berkisar 23.000 ton/tahun.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...