Minggu, 30 Desember 2018

CPO untuk Subtitusi BBM

Produksi biodiesel atau fatty acid methyl ester (FAME) sudah lazim kita dengar dan saat ini produk tersebut telah digunakan yakni sebagai campuran solar seperti B20 dengan nama pasaran biosolar. Tercatat produksi biodiesel berbahan baku CPO di Indonesia telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton/tahun yang juga berarti terbesar di Asia. Untuk produksi biodiesel tersebut supaya ekonomis yakni seharusnya menggunakan bahan yang murah seperti low grade CPO atau high FFA CPO hingga Miko (minyak kotor) atau PAO (Palm Acid Oil). Dengan tingkat keasaman tinggi pada CPO membuatnya tidak bisa langsung digunakan dalam mesin diesel (internal combustion engine) khususnya mesin diesel kendaraan. Tetapi mesin diesel untuk pembangkit listrik bisa beroperasi langsung dengan CPO bahkan sampai tingkat keasaman tertentu.

Contoh pembangkit listrik tersebut adalah Fri-El Accera-bagian dari Fri El Green Power Group- yang berada di Napoli, Italia. Pembangkit listrik ini menggunakan CPO dari Indonesia yakni dari perusahaan Sinar Mas, bahkan 50% juga dimiliki perusahaan tersebut. Kapasitas pembangkit tersebut yakni 74,8 MW (600 ribu MW per tahun) yang ekuivalen untuk penggunaan sekitar 40 ribu konsumen rumah tangga. Konsumsi CPO sebagai bahan bakarnya mencapai 125.000 ton/tahun. Sedangkan di Indonesia juga sudah membangun pilot project pembangkit listrik berbahan bakar CPO di Belitung dengan kapasitas 5 MW. Tetapi jika tingkat keasaman terlalu tinggi seperti pada PAO atau Miko maka juga tidak bisa langsung digunakan sehingga perlu diubah dulu menjadi biodiesel atau diturunkan kadar keasamannya hingga bisa digunakan oleh mesin diesel tersebut. CPO kualitas standard memiliki FFA kurang dari 5%, sedangkan low grade CPO atau high FFA CPO lebih dari 5%. CPO standard adalah untuk minyak makan (edible oil) sedangkan high FFA CPO bukan untuk minyak makan (non-edible oil), tetapi tidak ada pengelompokan secara jelas di Indonesia tentang hal itu.
Sedangkan produksi CPO untuk produksi bensin (bio-bensin) adalah sesuatu yang masih baru, demikian juga produksi liquid bio-petroleum gas (LBG) atau versi LPG dari CPO ini (green LPG). Walaupun sama-sama melalui proses kimia tetapi proses kimia untuk produksi biodiesel dengan bio-bensin dan LBG berbeda. Pada produksi biodiesel menggunakan proses transesterifikasi atau estrans (esterifikasi dan transesterikasi) sedangkan pada bio-bensin dan LBG diproses dengan teknologi co-processing yang saat ini diproduksi di fasilitas Residue Fluid Catalytic Cracking Unit (RFCCU) di kilang  Pertamina Plaju di Palembang, Sumatera Selatan. Tidak 100% bensin yang dihasilkan ini berasal dari CPO tetapi ada kandungan bahan bakar fossil di dalamnya. 


CPO yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit juga tidak bisa langsung digunakan untuk produksi bio-bensin tersebut tetapi harus diolah dulu di unit permurnian sehingga menjadi Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) atau CPO yang telah dibersihkan dari getah dan bau. Produksi bio-bensin dan LBG dengan bahan baku CPO dan akan dikembangkan secara komersial yakni di kilang-kilang Pertamina yang lain bila ternyata prosesnya ekonomis. Pertamina mengatakan dengan proses tersebut maka negara akan menghemat 160 juta dollar dari import minyak mentah. Pada produksi bio-bensin selain proses di atas, sebenarnya sudah ada cara yang telah populer yakni dengan fermentasi dari bahan baku gula, pati dan biomasa lignoselulosa. Rute gasifikasi biomasa lignoselulosa selanjutnya diikuti dengan Fischer-Tropsch juga bisa untuk produksi bio-bensin bahkan tanpa perlu pencampuran dengan bahan bakar fossil. Proses produksi bio-bensin dengan cara-cara terakhir akan dibahas pada lain waktu. InsyaAllah.
Unit Residue Fluid Catalytic Cracking

Pada bidang energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) Indonesia diprediksi pada 10 tahun ke depan akan habis. Hal inilah CPO sebagai bahan bakar atau sumber energi pengganti BBM sangat penting dan menjadi perhatian semua pihak. Apalagi Indonesia juga sebagai produsen CPO terbesar di dunia, yakni 38,17 juta ton atau 41,98 ton total dengan minyak inti sawit (PKO) pada 2017. Brazil adalah negara produsen bio-bensin (bioethanol) terbesar di dunia karena juga produsen gula terbesar dengan perkebunan tebu mencapai 9 juta hektar, pertanyaannya Indonesia dengan negara produsen CPO terbesar dan luas perkebunannya mencapai 12 juta hektar juga mampu menjadi produsen biofuel (biodiesel dan bio-bensin) terbesar ? Penggunaan CPO untuk produksi bahan bakar (energi) sangat mungkin rawan konflik dengan penggunaan untuk pangan manusia. Dalam kondisi tersebut tentu saja masalah pangan lebih diprioritaskan dibandingkan energi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Amerika pernah berkonflik dengan Mexico akibat produksi jagung diprioritaskan untuk produksi bioethanol (bio-bensin) sedangkan Mexico yang biasa import dari Amerika untuk pangan kekurangan pasokan jagung dan mengakibatkan huru-hara Tortila. Hal tersebut menjadi pelajaran mahal sehingga tidak terulang.

Dengan produksi CPO 38,17 juta ton, penggunaan untuk sektor pangan terutama minyak goreng sebesar 3-5% (setara kurang lebih 2 juta ton)sektor lainnya yakni produk turunan CPO seperti oleokimia 3,8 juta ton/tahun lalu sektor energi yakni biodiesel 2,5 juta ton, export 70% (setara kurang lebih 27 juta ton) maka masih ada 2,87 juta ton yang bisa diolah menjadi bio-bensin (green bensin) tersebut. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa seharusnya Indonesia tidak boleh mengeksport bahan mentah bagi negara lain seperti CPO sehingga seharusnya eksportnya adalah minimal barang setengah jadi dan lebih baik lagi tentu berupa barang jadi. Struktur atau pola Indonesia yang masih banyak mengeksport barang mentah bagi negara lain mengindikasikan sebagai negara berkembang. Export CPO seharusnya diminimalisir tetapi export produk turunan CPO seperti biofuel dan oleokimia yang masih perlu ditingkatkan. Sebagai komparasi prosentase export biofuel khususnya biodiesel dan oleokimia di Malaysia lebih besar dibandingkan CPOnya, sedangkan export Indonesia sebagian besar masih berupa CPO. Hal tersebut juga karena pengolahan CPO menjadi produk turunannya masih belum banyak dilakukan di Indonesia.
Apabila kita renungkan lebih mendalam bahwa hal-hal di atas semakin membuktikan kebenaran firman Allah SWT yakni dalam Al Qur'an Surat Yaasiin (36) : 80 dan Surat Waqi'ah (56) : 71-72 tentang api dari pohon hijau. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa dari tanaman jenis pepohonan sebagai penghasil berbagai sumber energi. Bahkan sebagai pohon penghasil minyak, produksi minyak sawit tertinggi dari berbagai tanaman lain.  Kalau dengan minyak sawit dihasilkan produk minyak untuk biofuel yakni bahan bakar cair dan gas, sedang dari pohon kayu-kayuan misalnya kaliandra bisa dihasilkan wood pellet yang merupakan bahan bakar padat. Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa benar-benar sumber energi berasal dari pepohonan baik berupa bahan bakar cair, bahan bakar padat dan bahan bakar gas, bahkan dengan mekanisme elektrokimia dari pepohonan juga bisa menghasilkan listrik, lebih detail baca disini. Tambahan untuk pemaparan tentang pengembangan energi berbasis Al Qur'an bisa dibaca disini. Peternakan domba juga sangat baik diintegrasikan dengan perkebunan sawit karena mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan dari pupuk kimia untuk lebih detail bisa dibaca disini.  Petunjuk dari  Allah SWT yang  mengiringi masalah menanam pohon ini adalah masalah penggembalaan diantara pepohonan tersebut yakni dalam Al Qur'an Surat An-Nahl (16) : 10-11, A'basa (80) : 24-32 dan QS Thaahaa (20) : 54)

Kamis, 20 Desember 2018

Ketika Perkebunan Sawit Diintegrasikan Dengan Peternakan Domba

Ketika konsumsi pupuk untuk perkebunan sawit bisa dikurangi bahkan dieliminasi dan digantikan dengan pupuk organik yang murah maka otomatis biaya produksi kelapa sawit bisa ditekan. Hal ini karena biaya pupuk adalah salah satu komponen biaya tertinggi produksi kelapa sawit. Selain pupuk untuk perkebunan kelapa sawit tidak di subsidi juga hampir semua menggunakan pupuk kimia. Hal inilah yang menjadi faktor biaya tinggi tersebut selain juga pupuk kimia juga merusak lingkungan khususnya untuk jangka panjang. 
Ketika biaya produksi kelapa sawit tinggi sedangkan harga jual produk minyak mentahnya atau CPO (crude palm oil) rendah tentu membuat usaha perkelapa sawitan kurang menarik atau kurang menguntungkan. Tercatat dalam 10 tahun belakangan terjadi fluktuasi harga jual kelapa sawit yang tinggi. Faktor harga jual CPO sebagai produk akhir sebagian besar pabrik kelapa sawit Indonesia yang rendah juga turut menekan harga jual kelapa sawit tersebut. Info terbaru seperti kawasan Uni Eropa yang menolak CPO Indonesia adalah kondisi mempersulit penjualan atau export CPO. 

Grafik harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, diambil dari sini

Grafik harga CPO, diambil dari sini 
Dari sisi produksi untuk menekan biaya produksi adalah peningkatan efisiensi khususnya mengurangi komponen biaya tinggi khususnya pupuk kimia non subsidi tersebut. Integrasi perkebunan kelapa sawit dan peternakan domba menjadi solusinya. Kotoran-kotoran domba digunakan untuk pupuk perkebunan kelapa sawit. Dengan area perkebunan sawit yang mencapai ribuan hektar bisa mengalokasikan 5-10% luas lahan tersebut untuk peternakan domba tersebut. Semakin banyak pupuk kimia non subsidi bisa direduksi semakin berkurang biaya produksi tetapi selain itu sebenarnya peternakan domba itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan lebih menarik. Indonesia yang masih defisit daging serta konsumsi rendah perkapita terhadap daging juga bisa diatasi dengan peternakan ini. Beberapa waktu lalu ada rencana pemerintah untuk mengimport daging kerbau 100 ribu ton dari India untuk menutup defisit tersebut, sehingga seharusnya hal ini bisa diatasi juga dengan peternakan tersebut. Pasar export domba juga menjanjikan yakni seperti Arab Saudi yang membutuhkan sekitar 2 juta ekor setiap tahunnya dan seperempatnya (500 ribu ekor) pada musim haji. Domba ini juga bisa menjadi harta terbaik muslim, lebih detail baca disini.

Dengan luas perkebunan sawit Indonesia yang mencapai 12 juta hektar tentu sangat mungkin mencapai swasembada daging dengan mengintegrasikanya dengan peternakan domba. Selain itu tentu pemerintah seharusnya mengupayakan kemajuan industri sawit sebagai bagian mensejahterakan rakyatnya. Tentu saja dengan solusi jitu yang bisa dilakukan seperti atase-atase perdagangan di luar negeri bisa di instruksikan untuk promosi sawit Indonesia. Dan pada akhirnya semakin efisien produksi dan semakin besar permintaan produk sawit maka harga kelapa sawit berikut produk sawitnya juga meningkat serta memberi keuntungan yang lebih menarik bagi para petani dan pengusahanya.

Jumat, 14 Desember 2018

Mencari Harta Terbaik Dari Implementasi Kebun Energi Bagian 10

"Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. ” (QS 16:10)

Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54)

"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud)

Peternakan domba dengan integrasi kebun energi untuk produksi charcoal briquette adalah suatu kombinasi menarik dan ideal. Hal ini karena peternakan domba tersebut akan menghasilkan kotoran yang bisa memupuk kebun energi, sedangkan limbah daun-daun dari kebun energi bisa sebagai pakan tambahan bagi peternakan domba tersebut. Selain itu charcoal briquette yang dihasilkan juga untuk memasak atau memanggang daging-daging domba tersebut. Hal itu terjadi jika domba-domba tersebut di export untuk pasar Arab Saudi, Turki dan Timur Tengah, demikian juga charcoal briquette-nya. Arab Saudi, Turki dan Timur Tengah sangat menyukai daging domba dan menjadi makanan favorite mereka dan charcoal briquette sebagai bahan bakar untuk mengolahnya dengan cara dibakar atau dipanggang seperti sate, lebih detail bisa dibaca disini.


Kebun energi kaliandra dan peternakan domba bisa dibuat dalam satu lokasi, yakni peternakan domba berada dalam kebun energi tersebut, misalnya lahan tersedia 500 hektar, maka kebun energi seluas 450 hektar dan 50 hektar untuk peternakan domba. Peternakan domba tersebut berupa padang gembalaan yakni padang rumput yang dikelola untuk peternakan domba tersebut. Penggembalaan rotasi (rotation grazing) adalah teknik penggembalaan efektif yang bisa diterapkan pada peternakan domba tersebut. Dengan teknik penggembalaan rotasi, salah satu kamar (paddock) digunakan untuk penggembalaan dan kamar-kamar lainnya diistirahatkan supaya rumput bisa pulih kembali. Dengan teknik ini kondisi rumput selalu terjaga dan domba-domba bisa memaksimalkan memakan rumput dalam kamar (paddock) tersebut.
Kaliandra adalah jenis tanaman rotasi cepat, sehingga hanya butuh waktu 1 tahun dan sudah bisa dipanen kayunya dan selanjutnya bisa setiap tahun dipanen tanpa harus menanamnya (replanting) lagi setiap tahun. Hal tersebut karena kaliandra tersebut adalah tanaman trubusan (coppice) yang bisa tumbuh lagi tunasnya dari sisa batangnya (tunggak : bahasa Jawa). Kayu-kayu hasil kebun kaliandra tersebut untuk produksi charcoal briquette. Peternakan lebah madu juga bisa dibuat pada kebun energi tersebut. Bunga-bunga kaliandra adalah sumber madu berkualitas tinggi, sehingga harganya juga mahal. Peternakan lebah madu ini menjadi tambahan unit usaha yang menarik bagi peternakan domba dan produksi charcoal briquette.



Secara teknis ada dua route untuk produksi charcoal briquette, yakni route 1 dengan cara dibuat briket dulu dan selanjutnya diarangkan (karbonisasi). Dengan route 1  ini pembriketan tidak menggunakan perekat dan kepadatan lebih tinggi. Sedangkan route 2 yakni dengan cara kayu-kayu tersebut dibuat arang baru selanjutnya dibriketkan. Pada route 2 ini dibutuhkan perekat yakni kanji untuk merekatkan arang untuk menjadi briket. Kepadatan charcoal briquette dengan route 2 juga masih kalah dibandingkan route 1. Kualitas charcoal briquette route 1 lebih baik dibandingkan dengan route 2. Produk charcoal briquette route 1 inilah yang banyak permintaan dari Arab Saudi, Turki dan Timur Tengah. 

Kalium dan Klorin, 2 Unsur Perlu Perhatian Lebih Pada Wood Pellet

Sebagian besar pembangkit listrik saat ini menggunakan teknologi pulverized combustion yang beroperasi pada temperatur lebih dari 1400 C. Tingginya suhu operasi tersebut membuat persyaratan untuk bahan bakar yang digunakan cukup ketat, artinya tidak semua bahan bakar langsung bisa diterima. Bahan bakar pembangkit listrik tersebut standarnya dirancang dengan menggunakan batubara, sehingga apabila menggunakan bahan bakar biomasa bisa jadi akan membutuhkan modifikasi. Pada rasio cofiring kecil misalnya 5% pembangkit listrik tersebut besar kemungkinan bisa beroperasi secara standard tanpa modifikasi. Pertanyaan besarnya : mengapa pembangkit listrik teknologi pulverized combustion yang kapasitasnya bisa ratusan bahkan ribuan MW tersebut tidak langsung bisa menggunakan biomasa hingga 100% tanpa kendala? Hal itulah yang akan coba kita ulas pada tulisan dibawah ini. 

Perbedaan utama bahan bakar biomasa dengan batubara ditinjau dari pembangkit listrik tersebut adalah kimia abunya. Kimia abu batubara tersusun bahan anorganik yang memiliki titik leleh sangat tinggi dan cenderung tidak korosif terhadap logam-logam pada suhu tinggi. Hal ini membuat secara teknis bahan bakar batubara lebih friendly terhadap pembangkit listrik berteknologi pulverized combustion. Walaupun ditinjau secara lingkungan bahan bakar batubara kurang bersahabat karena fly ash banyak, limbah abunya tergolong B3 dan emisi SOx menyebabkan terjadinya hujan asam. Sedangkan tinjauan dari perubahan iklim dan pemanasan global, jelas batubara merupakan bahan bakar fossil dan merupakan carbon positive sehingga meningkatkan konsentrasi CO2 yang merupakan gas rumah kaca di atmosfer. Banyak negara saat ini yang dalam kebijakannya mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan batubara.
Sedangkan bahan bakar biomasa memiliki kandungan kimia abu yang terdiri bahan anorganik yang memiliki titik leleh rendah dan cenderung korosif sehingga menjadi hambatan bagi teknologi pulverized combustion tersebut. Kalium adalah salah satu unsur kimia abu dalam biomasa yang menjadi sorotan utama, hal ini karena kalium memiliki titik leleh rendah dan dalam sejumlah biomasa jumlahnya cukup banyak. Abu kalium yang meleleh tersebut akan menutupi dan terdeposit pada pipa-pipa penukar panas pada boiler pembangkit tersebut. Deposit tersebut membuat efisiensi transfer panas menurun sehingga konsumsi bahan bakar akan meningkat. Hal tersebut diindikasikan dari temperatur cerobong meningkat yang berarti terjadi kehilangan panas yang besar. 
Mekanisme reaksi kimia korosi klorin
Unsur lain yang menjadi sorotan utama selain kalium yakni klorin. Klorin ini korosif dan ibarat hantu bagi pembangkit listrik pulverized combustion tersebut. Sifat korosif tersebut akan memperpendek umur pakai atau umur operasi pembangkit listrik tersebut, misalnya dengan kandungan klorin tinggi pada bahan bakarnya maka membuat umur operasi pembangkit listrik menjadi setengah atau seperempat dari yang seharusnya. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Di samping kedua hal diatas yang dianggap tidak menguntungkan dari penggunaan bahan bakar biomasa, tetapi seiring masalah kerusakan lingkungan berupa perubahan iklim dan pemanasan global, maka bahan bakar biomasa menjadi solusi masalah tersebut. Hal tersebut karena bahan bakar biomasa merupakan energi terbarukan , berkesinambungan (sustainable), carbon neutral dan berbagai manfaat lingkungan lainnya.
Bahan bakar biomasa yang sangat populer hari ini adalah wood pellet. Ketika ternyata wood pellet yang merupakan bahan bakar biomasa mengandung kalium (potassium) dan klorin tinggi maka menjadi kurang diminati bahkan ditolak oleh pembangkit listrik pulverized combustion tersebut. Para produsen wood pellet harus memperhatikan masalah ini jika segmen pasarnya pembangkit listrik. Memastikan produk wood pellet dengan kandungan klorin dan potassium sesuai persyaratan teknisnya menjadi keharusan para produsen tersebut. Ketika wood pellet terlanjur telah diproduksi tetapi spesifikasinya tidak bisa memenuhi persyaratan, maka perlu mengubah pasarnya atau memperbaiki kualitas wood pelletnya.
Pada dasarnya untuk mengatasi kandungan klorin dan potassium (kalium) tersebut bisa dengan dua cara yakni dari sisi produksi wood pelletnya maupun dari sisi penggunanya. Produsen wood pellet bisa memilih bahan baku yang bisa memenuhi spesifikasi yang diminta atau bahkan melakukan sejumlah treatment sehingga spesifikasinya bisa tercapai. Sedangkan dari sisi penggunanya yakni dengan menggunakan teknologi pembangkit listrik dengan suhu operasi lebih rendah sehingga masalah kalium dan klorin bisa direduksi bahkan dieliminasi. Teknologi pembangkit listrik dengan fluidized bed dan gasifikasi bisa sebagai solusi hal tersebut. 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...