Sabtu, 23 Maret 2019

Biogas, Potensi Besar yang Masih Belum Banyak Dilirik

Tujuan utama pengolahan limbah cair yang kaya bahan organik yakni untuk mendapatkan air bersih baik digunakan lagi (re-use) maupun dibuang. Produk biogas dihasilkan terutama untuk pengolahan limbah cair kapasitas besar. Tahap pengolahan tersebut terdiri dua tahap yakni pengolahan primer dan sekunder. Pada pengolahan primer akan dihasilkan sludge primer yang berasal clarifier atau settling tank. Limbah cair tersebut dilewatkan pada clarifier atau settling tank dan dihasilkan endapan sludge tersebut. Sedangkan pada pengolahan sekunder, limbah cair tersebut diaerasi untuk memacu pertumbuhan mikroba. Mikroba tersebut membentuk flok dan mengendap menjadi sludge sekunder. Sludge atau endapan tersebut harus ditreatment di lokasi tersebut atau ditransport ke tempat lain untuk diolah atau dibuang.
Unit pengolahan sludge biasanya terdiri dari dua atau empat tahap. Pada unit pengolahan sludge kapasitas kecil biasanya hanya terdiri dari dua tahap, sedangkan kapasitas besar bisa terdiri lengkap sejumlah empat tahap. Tahapan proses tersebut yakni : thickening (pemekatan), digestion (fermentasi), dewatering (pengeringan) dan sterilization. Pada unit pengolahan kapasitas kecil biasa hanya terdiri thickening (pemekatan) dan dewatering (pengeringan), selanjutnya sludge diolah lebih lanjut ke tempat lain. Sterilisasi hanya dilakukan ketika ada peraturan atau perintah untuk melakukannya, sehingga tidak banyak dilakukan. Pada unit pengolahan kapasitas besar, sludge yang sudah dipekatkan kemudian difermentasi secara anaerob untuk memecah senyawa kompleks dengan bantuan mikroba, mengurangi volatile solid dan pathogens dalam sludge, dan bersamaan mengurangi terjadinya bau busuk.


Fermentasi sludge tersebut menghasilkan biogas. Produksi biogas tergantung antara lain komposisi sludge, waktu tinggal dalam alat fermentasi / digester, suhu dan kecepatan metabolisme mikroba, yang dikontrol dengan seksama. Jika jumlah biogas yang dihasilkan hanya sedikit biasanya hanya di flare atau memanasi digester. Sedangkan jika jumlah biogas yang dihasilkan cukup banyak maka dapat digunakan untuk sumber cogeneration fuel. Listrik juga bisa dihasilkan dan bisa digunakan untuk kebutuhan internal dan eksternal. Panas dari produksi listrik juga dapat digunakan untuk menjaga suhu digester sehingga proses fermentasi bisa optimal. Opsi lainnya yakni digunakan untuk produksi renewable natural gas (RNG). RNG selanjutnya bisa digunakan untuk berbagai keperluan baik Industri maupun rumah tangga.

Traktor dengan bahan bakar biogas
Limbah cair yang potensial untuk produksi biogas adalah dari limbah cair pabrik kelapa sawit. Sebagai produsen CPO terbesar di dunia, Indonesia di urutan pertama dan Malaysia di urutan kedua, keduanya diperkirakan memiliki pabrik kelapa sawit lebih dari  1500 buah, sehingga potensi produksi biogas juga sangat besar. Pengolahan limbah cair dari pabrik sawit termasuk kapasitas besar, karena rata-rata pabrik kelapa sawit berkapasitas 60 ton/jam TBS dan menghasilkan 700 liter limbah cair untuk setiap ton TBS yang diproses. Pemanfaatan biogas yang dihasilkan bisa untuk sumber energi pada pabrik sawit tersebut. Ada dua cara yang bisa dilakukan pada hal ini, yakni biogas digunakan untuk bahan bakar pada pabrik sawit dengan alat produksi yang ada (existing equipment) dengan hanya sedikit modifikasi terutama pada burner biogas tersebut. Pada cara ini cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) dan mesocarp fiber yang biasa digunakan pada sumber energi bisa dikurangi atau bahkan dimanfaatkan untuk yang lain.
Sedangkan cara kedua, yakni output biogas dimurnikan sehingga bisa digunakan bahan bakar generator (gas engine generator) lalu listrik digunakan untuk operasional pabrik kelapa sawit tersebut, sedangkan untuk kebutuhan steam untuk sterilisasi pabrik kelapa sawit bisa tetap dengan fiber dan cangkang sawit tersebut atau juga dengan biogas tersebut. Selain itu apabila biogas tersebut bisa dikemas dalam tabung (seperti tabung LPG 3 kg atau 12 kg) atau tanki maka penggunaannya bisa lebih luas. Kendaraan yang digunakan untuk menunjang bisnis pabrik sawit bisa menggunakan biogas sebagai bahan bakarnya. Masyarakat terpencil di sekitar pabrik sawit yang juga sering menemui pasokan listrik karena sangat terpencil bisa menggunakan biogas tersebut untuk bahan bakar generator listrik. Berbagai aktivitas bisnis dan industri bisa dilakukan dengan ketersediaan listrik tersebut. Hal tersebut berarti juga mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitar pabrik kelapa sawit tersebut. Tentu juga tidak hanya masalah ekonomi saja yang menggeliat dan berkembang, tetapi juga pendidikan, keagaamaan, kesehatan, dan sosial juga bisa berkembang bersama dengan baik.

Rabu, 20 Maret 2019

Surplus Kok Import, Ada-Ada Saja!!!

Sudah menjadi hal lazim bahwa suatu negara selalu melindungi produk-produk dalam negerinya. Mengembangkan sekaligus meningkatkan kualitas serta kuantitas produk-produk dalam negeri menjadi salah satu tanggungjawab negara dalam bidang ekonomi. Suatu hal yang aneh dan tidak masuk akal apabila ketika negara terjadi surplus terhadap produk tertentu, tetapi di lain sisi mengimport produk serupa. Hal ini tentu selain merusak perekonomiannya juga secara langsung berdampak pada produsennya. Contoh yang paling mudah yakni pada produk-produk pangan atau pertanian. Sebagai negara agraris produksi beras ketika surplus maka jelas tidak perlu lagi import. Padi produksi petani menjadi tidak terbeli demikian juga untuk tebu dan sebagainya, apabila pada saat surplus seperti panen raya dilakukan import produk serupa. Hal ini suatu pembunuhan ekonomi bagi para petani tersebut.
Ketika pasar berjalan semakin liberal maka peluang kecurangan juga semakin besar. Bisa saja suatu negara membuat berita bohong yang mendiskreditkan produk negara tertentu untuk melindungi produk negara tersebut. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh negara besar yang berpengaruh. Tentu hal ini berdampak negatif bagi produk negara targetnya sehingga produknya tidak laku di pasar atau minimal harganya jatuh. Politik dagang jahat tersebut banyak dilakukan untuk menjatuhkan lawan bisnisnya. Seharusnya upaya tersebut tidak perlu dilakukan, tetapi bisa menggunakan cara lain yang lebih baik misalnya memberi insentif bagi produsen atau pengguna produk dalam negeri tersebut. Hal tersebut semakin mendorong pemakaian produk dalam negeri dan menghidupkan ekonomi negara tersebut tanpa merugikan negara lain.
Baru-baru ini Korea melakukan sedikit revisi terhadap pemakaian bahan bakar wood pellet. Wood pellet yang diproduksi dari dalam negeri lebih diprioritaskan daripada produk import. Hal tersebut mendorong tumbuhnya industri wood pellet di negara tersebut. Dengan besarnya kebutuhan wood pellet maka besar kemungkinan negara tersebut tetap tidak mampu memenuhi kebutuhannya disebabkan kurangnya bahan baku terkait faktor alamnya. Hal ini bagaimana pun membuat mereka tetap import. Tetapi dengan kebijakan tersebut, Korea telah melakukan keberpihakan terhadap industri dalam negerinya. Ketika negara-negara di dunia semakin banyak menggunakan wood pellet maka produsen-produsen wood pellet juga bisa memilih pembeli dengan harga terbaik.

Selasa, 12 Maret 2019

Tips Memilih PKS

Bagi produsen CPO jenis kelapa sawit tenera lebih disukai karena dengan sabutnya yang tebal akan menghasilkan CPO lebih banyak. Sedangkan bagi pemakai PKS (palm kernel shell) seperti pembangkit listrik dan sejumlah industri, tipe kelapa sawit jenis dura lebih disukai. PKS tenera memiliki cangkang tipis (0,5-4 mm) sehingga nilai kalornya cenderung lebih rendah dibanding dura dengan cangkang yang lebih tebal (2-8 mm). Perkebunan sawit lama biasanya menggunakan jenis tenera untuk memaksimalkan rendemen CPO, sedangkan perkebunan sawit lama biasanya menggunakan jenis dura. PKS sebagai produk samping atau salah satu limbah padat pada pabrik CPO sebenarnya tidak menjadi perhatian utama pabrik sawit, dan CPO jelas menjadi fokus utama. PKS terutama menjadi perhatian para pedagang serta penggunanya, sehingga muncul faktor kualitas sebagai konsekuensi transaksi jual beli.
Indonesia memiliki sekitar 12 juta hektar perkebunan kelapa sawit saat ini, yang terdiri dari 4,8 juta hektar perkebunan rakyat, 6,2 juta hektar perkebunan swasta dan 0,8 juta hektar perkebunan negara. Sejumlah daerah di Indonesia masih banyak yang menggunakan jenis dura pada perkebunan sawitnya. Perkebunan sawit rakyat atau sawit masyarakat adalah salah satu yang banyak memproduksi sawit jenis dura tersebut. Ketika permintaan PKS meningkat tajam seperti saat ini terutama untuk pasar export ke Jepang dan Korea (info lebih lanjut baca disini), maka PKS jenis dura menjadi pilihan utama. Pada prakteknya sulit menemukan PKS yang 100% dura karena sumber kelapa sawit yang digunakan pada produksi CPO juga berasal dari berbagai sumber. Sumber dari kebun inti bisa jadi mayoritas berupa tenera, sedangkan kelapa sawit dari kebun rakyat bisa jadi mayoritas dura. Komposisi dura dan tenera juga bermacam-macam tergantung kebun inti dan plasma tersebut. Sebagai contoh suatu pabrik CPO dengan kebun inti yang mayoritas masih tanaman baru sehingga buah kelapa sawit berasal dari kebun masyarakat. Atau bisa juga kebun inti sudah memasuki fase replanting sehingga pasokan terbatas dan mengandalkan kebun masyarakat dan lain sebagainya.
Menurut ilmu botani, tanaman tipe dura mempunyai alela homosigot dominan (sh+sh+) sehingga menghasilkan cangkang tebal. Sedangkan hibrida dari dura dengan pisifera yakni tanaman tipe tenera yang mempunyai alela heterosigot (sh+sh-) mempunyai cangkang tipis dan dikelilingi oleh cincin-cincin serat pada mesocarp-nya. Tanaman tipe pisifera sendiri mempunyai alela homosigot resesif (sh-sh-) sehingga tidak membentuk cangkang. Umumnya untuk jenis pisifera ini tidak dijadikan komersial untuk perkebunan sawit karena gagal membentuk buah. Tetapi memang ada beberapa jenis pisifera tetap fertil dan mampu berkembang biak. Tanaman tipe dura juga bisa dikatakan tanaman induk karena terjadinya tipe tenera adalah persilangan dura dan pisifera.

Senin, 11 Maret 2019

Efisiensi Pembangkit Listrik Lebih Tinggi Menuntut Kualitas Bahan Bakar Lebih Tinggi

 
Saat kita hendak mengisi bahan bakar kendaraan kita di SPBU tentu kita memilih bahan bakar apa yang paling cocok dengan kendaraan kita. Kendaraan kita akan bisa berjalan dengan optimal jika menggunakan bahan bakar yang sesuai. Kualitas bahan bakar terlalu tinggi (over spec) ataupun terlalu rendah (under spec) hanya akan memberikan kinerja yang kurang optimal. Secara teknis kendaraan tersebut telah dirancang dengan rasio tekanan tertentu pada sistem pembakarannya, apabila bahan bakar dengan kualitas terlalu tinggi maka pada kompresi rendah menjadi sulit terbakar sempurna, dan demikian juga sebaliknya. Pada operasional kendaraan bahkan bahan bakar yang terbakar sebelum waktunya atau setelah waktunya akan menghasilkan performa yang tidak optimal. Bahan bakar dengan kualitas tinggi juga memiliki harga lebih tinggi sehingga secara ekonomi juga tidak menguntungkan, demikian juga dengan bahan bakar kualitas rendah, walaupun lebih murah tetapi performa juga dibawah standar.
Analogi diatas juga kurang lebih sama untuk pembangkit listrik. Semakin tinggi tingkat efisiensi semakin tinggi kualitas bahan bakar yang dipersyaratkan karena kondisi operasi juga di atas rata-rata biasanya, misalnya kompresi, temperatur dan sebagainya. Kalau pada bensin kualitas dinyatakan dengan angka oktan, atau pada solar atau minyak diesel kualitas dinyatakan dengan angka cetan, maka pada bahan bakar padat seperti wood pellet ukuran kualitas dinyatakan dengan nilai kalori. Unsur-unsur lain yang juga diperhatikan pada bahan bakar yakni unsur-unsur yang bisa merusak alat atau mesin yang digunakan. Khusus pada wood pellet kandungan potassium dan klorin yang tinggi bisa berefek buruk pada pembangkit listrik tersebut. Potassium akan menjadi deposit/fouling pada pipa boiler sehingga menurunkan efisiensinya, sedangkan khlorin yang bersifat korosif akan memperpendek umur pakai pembangkit listrik tersebut.


Pada tahun 2030 Jepang akan menerapkan penggunaan pembangkit listrik dengan efisiensi yang lebih tinggi yakni minimum 41% sedangkan sebagian besar efisiensi pembangkit listrik batubara saat ini berkisar 30-35%. Untuk mencapai tingkat efisiensi lebih dari 41% teknologi yang digunakan adalah ultra supercritical pulverized coal. Teknologi ultra supercritical pulverized coal pada dasarnya adalah pengembangan lanjut teknologi pulverized coal yang paling banyak digunakan oleh pembangkit listrik batubara atau lebih dari 95% di seluruh dunia. Perbedaan teknologi ultra supercritical pulverized dengan pulverized adalah pada penggunaan tekanan dan temperature lebih tinggi sehingga efisiensinya juga lebih tinggi. Modifikasi pembangkit listrik juga bisa dilakukan untuk peningkatan efisiensi tersebut. Penggunaan bahan bakar biomasa seperti wood pellet bisa dengan cara cofiring maupun full firing (100% wood pellet). Karakteristik bahan bakar yang digunakan juga akan berpengaruh pada teknologi boiler yang digunakan.
Kadar abu wood pellet yang dipersyaratkan untuk industri seperti pembangkit listrik bisa sampai 6% menurut pellet fuel institute (PFI) Amerika. Tetapi kimia abu menjadi pertimbangan penting pada pemakaian pembangkit listrik tersebut. Korea Selatan misalnya saat ini mensyaratkan kadar klorin maksimal 500 ppm (500 mg/kg) atau Jepang mensyaratkan kadar potassium maksimal 1000 ppm (1000 mg/kg). Hal ini membuat produksi wood pellet mengikuti spesifikasi tersebut apabila spesifikasi belum sesuai. Sejumlah pretreatment khusus perlu dilakukan untuk mencapai spesifikasi tersebut. Potensi wood pellet dari kebun energi di Indonesia sangat besar, demikian juga pellet fuel dari limbah pertanian atau perkebunan seperti tandan kosong sawit yang diperkirakan jumlahnya mencapai kurang lebih 38 juta ton per tahun. Tetapi sekali lagi spesifikasi pellet (wood pellet atau agro waste pellet) yang diproduksi perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangkit listrik di Jepang atau Korea Selatan - dua negara yang sangat tergantung dengan energi - tentunya apabila produsen pellet tersebut berorientasi export. pertanyaan selanjutnya pretreatment seperti apa yang perlu dilakukan pada produksi pellet tersebut? InsyaAllah kita bahas pada kesempatan yang lain.

Jumat, 01 Maret 2019

Keterlambatan Pembangunan Biomass Powerplant di Jepang dan Pengaruhnya Terhadap Supplai PKS dari Indonesia dan Malaysia

Sebuah program ambisius selalu membutuhkan persiapan yang matang untuk bisa mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Apalagi program ambisius tersebut terkait suatu sektor strategis seperti energi maka persiapan juga perlu lebih serius lagi. Tergesa-gesa untuk segera terealisasi dan mencapai target akan semakin memperburuk keadaaan dan membawa kerugian pada akhirnya. Kesiapan tersebut juga melibatkan banyak pihak sehingga perlu sinkronisasi yang juga tidak mudah dan infrastruktur pendukung. Salah satu program ambisius dalam bidang energi khususnya energi terbarukan dan lebih khusus lagi penggunaan biomasa adalah program pembangkit listrik di Jepang. Jepang sebagai negara yang paling bergantung dengan energi maka keberlanjutan pasokan energi menjadi sangat penting, sehingga kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk hal tersebut. Setelah tragedi atau kecelakaan pada pembangkit nuklir Fukushima Maret 2011, Jepang mulai menggunakan energi terbarukan sebagai salah satu sumber energi yang penting. Penggunaan biomasa sebagai sumber energi ditargetkan sebanyak 4 - 6 GW pada 2030, bahkan kondisi tersebut memacu para pengembang sehingga terjadi surplus hingga hampir 3 kali lipatnya. Kondisi tersebut membuat adanya kebijakan khusus untuk mengontrol hal tersebut sehingga tidak semua disetujui untuk pengembangan pembangkit listrik.
Tentang penggunaan biomasa sebagai sumber energi, negara-negara Uni Eropa bahkan menempatkan porsi biomasa mencapai 70% dalam program energi terbarukannya. Program RED (Renewable Energy Directive) pertama dari Uni Eropa akan berakhir pada 2020. RED I mentargetkan pengurangan emisi sebesar 20% dan penggunaan energi terbarukan mencapai 20% pada tahun 2020, program itu juga terkenal dengan target 20-20-20. Saat ini Uni Eropa juga telah menyiapkan RED II untuk mengganti RED I yang tidak lama lagi segera berakhir. Pada RED II target yang ingin dicapai adalah penurunan emisi sebesar 30% dan penggunaan energi terbarukan hingga 32%.Untuk energi biomasa, saat ini Eropa merupakan produsen wood pellet terbesar yakni diperkirakan 13,5 juta ton/tahun sementara konsumsinya 18,8 juta ton/tahun, artinya masih terjadi kekurangan sebesar 5,3 juta ton/tahun. Amerika dan Kanada adalah pemasok utama kebutuhan wood pellet negara-negara Eropa tersebut dengan sebagian besar penggunaan wood pellet untuk pembangkit listrik. Indonesia sebagai negara tropis dan kaya akan berbagai biomasa khususnya biomasa kayu-kayuan sangat potensial menjadi produsen wood pellet utama dunia. Seiring meningkatnya porsi energi terbarukan dalam program RED II yang akan dicanangkan tersebut maka penggunaan wood pellet juga semakin besar.

Peta status biomass power plant Jepang, merah berarti sudah beroperasi, kuning berarti dalam tahap pembangunan, biru berarti dalam perencanaan.
Jepang menerapkan FIT (feed in tarrif) untuk mendorong penggunaan energi terbarukan pada produksi listrik. FIT mulai diterapkan sejak tahun 2012 dan ada perbedaan signifikan tentang minat perusahaan terkait FIT tersebut. Terjadi lonjakan peminat hingga puluhan kali lipat dibandingkan sebelum diterapkan FIT dengan jumlah pembangkit listrik mencapai 1028 pada 2017 atau 5 tahun setelah penerapan FIT. Lonjakan peminat tertinggi pada pembangkit tenaga matahari yakni solar PV hingga lebih dari 10  kali lipat, sedangkan untuk biomasa melonjak sekitar 3 kali lipat. PKS bahkan menjadi bahan bakar favorit untuk pembangkit listrik tersebut. Pada Maret 2017, 38% dari FIT yang disetujui dalam kategori "general wood" menggunakan PKS sebagai bahan bakar atau sumber energinya. Hal ini membuat export PKS bisa menjadi peluang bisnis yang sangat menarik. Biaya produksi listrik ternyata juga mengalami penurunan dengan penerapan FIT tersebut. Penurunan biaya paling besar pada pembangkit listrik solar PV mencapai 38%, sedangkan pada pembangkit listrik biomasa dengan kapasitas rata-rata 19 MW terjadi penurunan biaya 16%. Sedangkan tinjauan dari aspek lingkungan yakni emisi karbon (CO2 reduction) juga telah terjadi penurunan hingga 6 poin.

Pada tahun 2019 semula direncanakan sebagian besar pembangkit listrik yang dibangun sudah beroperasi tetapi ternyata tahun ini masih banyak pembangkit listrik tersebut belum beroperasi. Hal ini berarti terjadi keterlambatan dari yang direncanakan. Banyak faktor yang menyebabkan keterlambatan tersebut baik aspek teknis seperti koneksi ke jaringan dan pembuatan peralatan maupun aspek non teknis seperti permodalan dan ketersediaan supplai bahan bakar biomasa. Salah satu contoh pada sisi peralatan yakni hanya ada 4 atau 5 pembuat boiler untuk pembangkit listrik di negara tersebut sehingga kewalahan dengan tingginya permintaan. Banyak pembangkit listrik tersebut yang menggunakan bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS. Untuk wood pellet Indonesia juga punya peluang besar seperti yang akan dilakukan oleh Sri Lanka, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk PKS sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia dengan kebun sawit mencapai 12 juta hektar  maka potensi Indonesia sangat besar, diurutan kedua  yakni Malaysia dengan luas perkebunan sawit mencapai 5 juta hektar.
Export PKS dari Indonesia sempat terjadi penurunan beberapa waktu lalu akibat tingginya bea keluar (tarif pungutan export plus pajak) yang totalnya mencapai $17 per ton, sedangkan hal tersebut tidak terjadi di Malaysia karena tidak dikenakan biaya seperti di Indonesia. Bea keluar export PKS di Indonesia dikaitkan dengan harga CPO. Banyak pihak sebenarnya menginginkan supaya bea keluar PKS di Indonesia ditiadakan seperti di Malaysia atau minimal dikurangi sehingga bisa lebih kompetitif. Hal ini karena PKS adalah limbah dan mengeksport adalah bagian dari solusi limbah. Penurunan harga CPO di pasar internasional sebesar 15% ternyata telah menurunkan pungutan export  PKS menjadi 0 sehingga hanya membayar pajak $7 per ton. Tetapi ketika nanti harga CPO naik maka bea keluar (tarif pungutan export) juga naik. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/PMK.05/2018 yang berlaku sejak 4 Desember 2018, pemerintah menolkan (US$ 0/ton) seluruh tarif pungutan export apabila harga CPO internasional berada dibawah US$ 570/ton. Sementara itu, jika harga CPO berada di kisaran US$ 570-US$ 619/ton, maka pungutan export PKS menjadi US$5/ton, sedangkan apabila harga CPO internasional sudah kembali normal yakni di atas US$ 619/ton, pungutan export PKS menjadi $10/ton. Apabila ditambah dengan pajak senilai US$ 7 / ton, maka ketika harga CPO dibawah US$ 570 maka hanya pajak saja senilai US$ 7/ton seperti saat ini, tetapi nanti ketika harga CPO naik dikisaran US$ 570-US$ 619/ton, maka pajak dan pungutan export menjadi US$ 12/ton, sedangkan ketika harga CPO telah di atas US$ 619/ton maka pajak dan pungutan export PKS menjadi US$ 17/ton. Semakin tinggi pajak dan pungutan export membuat harga PKS kurang kompetitif.
Para exporter PKS yang telah mengumpulkan banyak PKS dengan harapan bisa dikirim atau di export dalam jumlah besar pada tahun 2019 menjadi kecewa. Harapan dan rencana ternyata tidak sesuai kenyataan. Jepang masih terus melanjutkan program FIT tersebut tetapi realisasinya diperkirakan ada keterlambatan. Pengumpulan dan penumpukan PKS dalam waktu lama juga selain akan membuat rusak PKS bila ditimbun terlalu lama, juga tentunya mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk penyimpanannya. Rencana realisasi yang seharusnya 2019 tetapi mundur menjadi 2022-2023 tentu menunggu 3-4 tahun sangat lama untuk penyimpanan PKS tersebut. Sedangkan untuk bahan bakar wood pellet untuk waktu 3-4 tahun bisa dimanfaatkan untuk membuat kebun energi dan pabrik wood pelletnya. Potensi hutan tanaman industri (HTI) untuk kebun energi dan produksi wood pellet di Indonesia sangat besar, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...