Sabtu, 31 Desember 2022

Urgensi Biochar Untuk Memperbaiki Kesuburan Tanah Perkebunan Sawit Ditengah Tingginya Harga Minyak Mentah Sawit (CPO)

Tingginya harga jual CPO sehingga memberi keuntungan besar sehingga bisa menutup biaya produksi tentu tidak berlangsung selamanya. Suksesnya produksi TBS di perkebunan sawit adalah salah satu kunci suksesnya produksi CPO. Suksesnya produksi TBS terkait dengan suksesnya perkebunannya dan komponen biaya tertinggi pada perkebunan sawit adalah biaya pupuk. Kebutuhan pupuk kelapa sawit tinggi setiap pohon sawit mencapai sekitar 10 kg setiap tahunnya dan pupuk tersebut adalah non-subsidi.  Pupuk sebagai salah satu komponen mata rantai biaya produksi CPO tersebut menjadi mudah dibeli jika harga CPO tinggi atau terjadi keuntungan besar. Tetapi semata-mata mengandalkan kondisi tingginya harga CPO saat ini untuk operasional bisnis kelapa sawit tentu suatu kesalahan.

Dan faktanya tahun 2019 harga CPO anjlok dan industri sawit rugi atau hampir tidak ada untung sama sekali. Faktanya ketika terjadi penurunan harga CPO juga menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia karena industri sawit tersebut memiliki banyak peranan strategis baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Tercatat bahwa harga CPO sejak 2018 terus mengalami penurunan setiap bulannya dibandingkan harga pada tahun CPO 2017. Trend penurunan harga ini menyentuh harga CPO dunia sejak tahun 2015. Harga CPO tersebut tercatat menyentuh angka $448/ton pada bulan November 2018. Padahal harga CPO dunia pada tahun 2016 dan 2017 secara rata-rata diatas $700/ton. Secara rata-rata harga CPO terjadi penurunan 15-16 persen dibandingkan 2017. Eksport CPO ke pasar tradisional Indonesia yakni Uni Eropa dan India pada tahun 2018 juga mengalami penurunan dibandingkan 2017. 

Dan bukan tidak mungkin hal tersebut akan terjadi lagi. Seperti pengalaman masa lalu berupa tuduhan issue dari Parlemen Uni Eropa yang bertujuan menghambat minyak sawit dari Indonesai menguasai pasar Eropa sehingga eksport CPO berkurang, perang dagang yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Sementara dalih yang digunakan adalah tentang deforestasi, praktek kerja anak dan memanfaatkan hutan ulayat. Hal tersebut tentu seharusnya menjadi pelajaran berharga. PTPN holding saja cara mensiasatinya dengan membuat hilirisasi produk CPO (turunan CPO) yakni dengan membuat industri oleokimia. Jika harga CPO jeblok, mayoritas CPO akan dibawa ke produk hilir. Jika margin produk hilir kurang bagus, mayoritas cukup CPO saja. Fleksibilitas produksi sebagai strategi yang membuat industri sawit tersebut "kebal" krisis. Mayoritas produk mereka tersebut baik CPO dan turunannya adalah untuk export. Tetapi membuat hilirisasi industri sawit juga bukan hal yang mudah dan murah yang tidak semua perusahaan sawit bisa melakukannya. 

Biochar untuk memperbaiki kesuburan tanah, meningkatkan efisiensi pemupukan sehingga meningkatkan produktivitas TBS adalah solusi terbaik. Dengan naiknya produktivitas TBS otomatis produksi CPO juga meningkat sehingga upaya ekstensifikasi dengan deforestasi bisa dihindari. Padahal juga selain harga CPO global yang sewaktu-waktu bisa drop, harga pupuk juga sewaktu-waktu juga bisa naik. Hal tersebut semakin mendorong upaya aplikasi biochar tersebut. Pemakaian biochar di perkebunan sawit juga sebagai upaya iklim untuk carbon sequestration (carbon sink) atau skenario karbon negatif untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, sehingga hal tersebut mendapat penghasilan tambahan berupa carbon credit, yang nilainya semakin tinggi. Faktor lainnya adalah pada industri sawit atau produksi CPO, produk minyak nabati hanya 10% dan 90% adalah biomasa, sedangkan sejumlah biomasa tersebut sangat potensial sebagai bahan baku produksi biochar. 

Dan karena secara organisatoris perusahaan sawit terbagi divisi kebun dan divisi pabrik CPO sehingga untuk memudahkan operasionalnya bisa saja produksi biochar tersebut sebagai satuan bisnis terpisah tetapi masih dalam satu perusahaan ataupun bisa juga dengan pihak lain.  Dan misalnya tandan kosong sebagai bahan baku biochar yang posisinya berada di pabrik sedangkan aplikasi biochar tersebut di tanah perkebunannya. Selain manfaat yang disebutkan di atas produksi biochar juga sebagai upaya penanggulangan limbah biomasa, dan menghasilkan energi yang bisa digunakan untuk produksi CPO tersebut.  Dan ketika harga CPO jeblok tetapi dengan biaya produksinya murah karena pemakaian pupuk dikebun bisa ditekan tetapi produktivitas TBS tetap tinggi maka kerugian yang dialami juga lebih sedikit.  

Sabtu, 24 Desember 2022

Memilih Spesies Domba Untuk Peternakan

Secara umum ada dua tipe ideal domba yakni domba tipe pedaging dan domba tipe wol. Tipe domba wol saat ini belum diminati oleh peternak di Indonesia. Hal tersebut mungkin karena produksi daging masih menjadi prioritas utama dan dengan iklim tropis Indonesia kurang sesuai untuk pemakaian wol. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemilihan domba pedaging lebih cocok untuk kondisi Indonesia. Apalagi ditambah dengan kebutuhan daging di Indonesia yang belum terpenuhi. Permintaan daging domba untuk aqiqah dan warung/resto sate, masih banyak belum terpenuhi. Ditambah lagi kebutuhan untuk Idul Adha yang dirayakan umat Islam setiap tahunnya yang bisa melonjak dua kali lipat. Kebutuhan eksport juga tidak kalah besar, bahkan mencapai jutaan ekor setiap tahunnya, seperti pada musim haji untuk dam diperkirakan kebutuhannya mencapai 2 juta ekor. 

Domba Southdown
Domba tipe pedaging atau potong memiliki ciri-ciri sebagai berikut : bentuk badan padat, dada lebar dan dalam, leher pendek, serta garis punggung dan pinggang lurus. Selain itu juga memiliki kaki pendek dan seluruh tubuh berurat daging yang padat. Beberapa domba yang termasuk tipe pedaging antara lain Southdown, Hampshire dan Oxford. Domba asli Indonesia belum dapat dikelompokkan ke salah satu tipe ideal dari kedua tipe diatas. Walaupun demikian, domba-domba di Indonesia umumnya mengarah ke tipe potong atau pedaging. Beberapa domba yang dianggap asli Indonesia karena sudah lama dibudidayakan di Indonesia, yakni domba ekor tipis (DET), domba ekor gemuk (DEG), domba Garut, domba Wonosobo (dombos) dan domba Batur.

Domba Dorper
Perbaikan mutu genetik untuk meningkatkan produktivitas ternak juga banyak dilakukan melalui persilangan (kawin silang), misalnya domba Suffmer hasil persilangan domba Merino dan domba Suffolk, lalu domba St Croix hasil persilangan domba Afrika Barat dengan domba lokal di kepulauan Virginia di Amerika Serikat, lalu domba Katahdin hasil persilangan 3 jenis domba yakni domba St. Croix dengan domba Suffolk dan domba Shire. Dan domba Dorper yang populer saat ini di Indonesia adalah persilangan domba Black Head Persia dengan domba Dorset Horn. 

Domba dan kambing walaupun mirip sebenarnya (speciesnya) berbeda. Sejumlah daerah di Indonesia memiliki menu favorit dari domba sedangkan daerah lainnya kambing. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah yang memiliki menu favorit daging domba, dan banyak sekali dijumpai warung atau restoran masakan domba tersebut khususnya sate. Uniknya di Yogyakarta walaupun nama warungnya bertuliskan sate kambing tetapi faktanya yang disembelih atau digunakan adalah domba. Sedangkan daerah-daerah yang mengembangkan peterakan sapi Bali, maka domba tidak bisa dipelihara atau dilarang diternakkan karena khawatir terjadinya penyakit Jembrana. Daerah seperti provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur adalah contoh daerah yang melarang peternakan domba karena mengembangkan sapi Bali.

Peternakan domba besar-besaran telah banyak dilakukan di Eropa dan seharusnya hal tersebut juga bisa dilakukan juga di Indonesia. Integrasi peternakan domba dengan kebun energi adalah cara jitu untuk membuat peternakan domba besar-besaran tersebut. Kayu dari kebun energi akan menjadi produk wood pellet dengan orientasi export. Menurut data Hawkins Wright, dari 2020-’21, permintaan wood pellet untuk industri global tumbuh sebesar 18,4%, dengan produksi hanya tumbuh 8,4%, apalagi saat ini dengan menghilangnya Rusia  yang volumenya mencapai hampir 3 juta ton, lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan daunnya digunakan untuk pakan ternak khususnya peternakan domba tersebut atau bisa juga diolah menjadi produk pakan ternak seperti pellet pakan. Dengan populasi global diprediksi akan mencapai 9 milyar manusia pada 2050, kebutuhan pangan khususnya protein seperti daging juga meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk tersebut. Peternakan domba maupun produksi pakan ternaknya sangat penting sebagai bagian pemenuhan pangan tersebut khususnya protein, untuk lebih detail bisa dibaca disini.  

Selasa, 20 Desember 2022

Green Economy di Industri Semen Bagian 2

Sejumlah pabrik semen bisa berproduksi dengan baik cukup hanya dengan bahan baku batu kapur (limestone) dan lempung (clay). Hal tersebut karena dari material tersebut telah terpenuhi semua oksida yang dibutuhkan dalam pembuatan clinker-nya. Oksida-oksida yang dibutuhkan tersebut adalah CaO (C), SiO2 (S), Al2O3 (A) dan Fe2O3 (F). Batu kapur (lime stone) sendiri biasa memiliki kandungan CaO (C) sekitar 90% dan SiO2 (S) 5%. Tetapi fakta di lapangan banyak pabrik semen yang membutuhkan material tambahan untuk mencapai komposisi oksida yang diinginkan atau biasa disebut bahan korektif. Sejumlah bahan korektif tersebut adalah high grade limestone yang memiliki kandungan CaO diatas 95% sebagai koreksi oksida C, selanjutnya silica sand untuk koreksi oksida S, selanjutnya kaolin atau bauksit untuk koreksi oksida A dan iron ore atau pyrite untuk koreksi oksida F.

Jadi secara umum saat ini material yang dibutuhkan yang dibutuhkan untuk produksi clinker tersebut adalah limestone, clay, silica sand dan iron ore. Dalam perkembangannya iron ore bisa digantikan dengan slag. Kandungan Fe2O3 (F) slag lebih rendah dibandingkan iron ore tetapi harganya lebih murah. Slag yang digunakan terutama berasal dari industri besi dan baja yang biasa dikenal dengan GBFS atau GGBFS. Slag sebenarnya juga material aditif yang bisa ditambahkan dengan clinker dan gypsum sehingga menjadi produk (slag) semen. Selain slag material lain seperti fly ash juga biasa digunakan sebagai aditif tersebut, kedua bahan tersebut biasa disebut bahan suplemen semen atau SCM (supplementary cementious material). Ukuran fly ash yang sangat lembut tidak perlu dihancurkan lagi sehingga bisa langsung dicampurkan dengan clinker dan gypsum, sedangkan slag dari pabrik besi atau baja perlu dihancurkan atau dilembutkan lagi menjadi GGBFS sebelum dicampur dengan clinker dan gypsum. Untuk kebutuhan aditif tersebut selain aspek fisik seperti ukuran partikel, aspek kimia yakni slag chemistry dan fly ash chemistry adalah parameter penting yang perlu diperhatikan. 

Penggunaan SCM seperti slag dan fly ash di atas, akan mengurangi penggunaan terutama bahan bakar fosil. Hal ini karena SCM tersebut ditambahkan pada clinker dan gypsum sehingga tidak membutuhkan energi panas. Energi panas sendiri dibutuhkan pada pembuatan clinker yakni di calciner dan rotary kiln. Sebagai contoh pada pembuatan slag cement menghasilkan 38% lebih sedikit emisi CO2 dibandingkan proses untuk produksi portland cement karena lebih sedikit batu gamping (limestone) dibakar untuk produksi slag cement daripada dibutuhkan untuk Portland cement. Energy panas tersebut saat ini masih banyak menggunakan bahan bakar fossil dan secara bertahap mulai menggunakan energi terbarukan. Energi berasal dari biomasa seperti limbah pertanian dan kotoran hewan juga mulai digunakan. 

Rabu, 14 Desember 2022

Produksi Briket / Pellet Kotoran Sapi Sebagai Bahan Bakar dan Bioekonomi

Penggunaan energi terbarukan semakin meningkat seiring kesadaran global masalah lingkungan dan iklim. Bahan-bahan yang dulu dianggap limbah dan mencemari lingkungan, saat ini dengan konsep zero waste dan circular economy telah banyak diubah menjadi energi alternatif atau energi terbarukan. Industri-industri besar seperti pembangkit listrik, industri semen dan sebagainya telah mulai menggunakan energi terbarukan tersebut dalam rangka program penurunan emisi CO2 atau dekarbonisasi. Program dekarbonisasi ini semakin populer dan diaplikasikan pada berbagai lini kehidupan.

Sebagai contoh riil adalah industri semen di UAE yakni Gulf Cement Co, yang menggunakan energi terbarukan dari kotoran unta. Dari hasil ujicoba operasional didapat bahwa setiap 2 ton kotoran unta bisa menggantikan 1 ton batubara. Penggunaan kotoran hewan sebagai bahan bakar sebenarnya bukan hal yang baru bagi mereka, dari cerita nenek moyang kotoran sapi telah digunakan sebagai pemanas atau bahan bakar, tetapi untuk kotoran unta banyak yang belum terpikirkan. Gulf Cement Co saat ini menggunakan 50 ton/hari kotoran unta sebagai bahan bakar. UAE memiliki populasi unta sekitar 9000 ekor untuk produksi susu, balap dan kontes kecantikan. Setiap unta menghasilkan kotoran 8 kg/hari, lebih banyak atau berlebih daripada yang dibutuhkan petani. Melalui program pemerintah para peternak unta mengumpulkan kotoran-kotoran unta tersebut di tempat-tempat pengumpulan. 

Kotoran sapi juga telah digunakan sebagai sumber energi dari Amerika Serikat, Zimbabwe sampai ke China. Di Indonesia hal tersebut juga seharusnya bisa dilakukan. Dengan setiap ekor sapi menghasilkan kotoran rata-rata 15 kg per hari (hampir 2 kalinya unta), maka hal itu sama seperti kondisi di UAE di atas, volume kotorannya lebih banyak atau berlebih daripada yang dibutuhkan petani. Berlebihnya kotoran tersebut menjadi masalah lingkungan bahkan harus dibuang ke sungai dan sebagainya. Ratusan ton setiap hari kotoran sapi tersebut yang belum termanfaatkan di sejumlah daerah di Indonesia, padahal kotoran tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar terutama diolah menjadi briket atau pellet (terlebih dahulu dikeringkan). Pemadatan kotoran sapi menjadi briket atau pellet tersebut selain bertujuan untuk mendapatkan ukuran dan bentuk yang seragam, padat, memudahkan penyimpanan dan pemakaian, juga menghemat biaya transportasi. Dan untuk memenuhi kebutuhan bahan pabrik semen dibutuhkan seperti briket / pellet kotoran sapi dalam jumlah besar, sehingga dibutuhkan alat produksi kapasitas besar yang bekerja kotinyu. Diperkirakan kebutuhan pellet atau briket tersebut ribuan hingga puluhan ribu ton setiap bulannya.

Di pabrik semen ada 2 tempat yg membutuhkan energi panas : 1. calciner (tempat terjadi proses kalsinasi), 2. Rotary kiln (jantungnya pabrik semen, tempat pembuatan clinker). Energi terbarukan seperti briket atau pellet kotoran sapi, biasanya akan digunakan pada calciner dengan feeding point tersendiri. Sedangkan pada rotary kiln yang membutuhkan panas lebih tinggi saat ini umumnya pabrik semen masih menggunakan bahan bakar fossil. Penggunaan secara bertahap energi terbarukan akan mengurangi pencemaran lingkungan dan mengakselerasi program global dekarbonisasi. Pabrik semen sendiri bisa dikatakan sebagai industri yang mengolah dan memusnahkan limbah. Hal tersebut karena pabrik semen bisa mengolah limbah seperti slag dan fly ash sebagai bahan additif semen yang diproduksi - lebih detail bisa dibaca disini dan juga memusnahkan limbah yakni seperti penggunaan limbah kotoran sapi sebagai bahan bakar tersebut.  

Kamis, 08 Desember 2022

Produksi Wood Pellet : Dengan Rotary Dryer atau Belt Dryer ?

Kualitas udara menjadi faktor penting dalam kesehatan lingkungan. Semakin berkualitas udara semakin baik kualitas lingkungan tersebut. Menjaga kualitas udara tetap bersih kadang bukan sesuatu hal yang mudah dan murah khususnya bagi pelaku industri. Semakin tinggi standar kualitas udara yang digunakan juga semakin besar upaya dan biaya dikeluarkan. 

Pada industri wood pellet sebagai contohnya, khususnya pada penggunaan alat pengering atau dryer. Hampir semua industri wood pellet di Asia menggunakan rotary dryer dan hampir tidak ada yang menggunakan belt dryer. Sedangkan di Eropa belt dryer banyak digunakan karena emisi yang lebih rendah daripada rotary dryer. Selain itu belt dryer juga memiliki efisiensi lebih tinggi dan bisa bekerja dengan suhu lebih rendah dibanding rotary dryer. Dengan sejumlah keunggulan tersebut tetapi memang belt dryer juga lebih mahal dibanding rotary dryer. 

Rotary dryer pada dasarnya juga bisa memiliki performa yang baik khususnya pada aspek emisi apabila dirancang dan dioperasikan dengan tepat. Penggunaan dust collector yang memiliki efisiensi tinggi seperti cyclone dan bag filter bisa untuk mencapai standar kualitas emisi yang tinggi. Tetapi juga semakin tinggi efisiensi dust collector tersebut juga membutuhkan power atau daya listrik lebih tinggi.

Jadi pilihan yang digunakan sebenarnya sangat tergantung pada target emisi udara yang diharapkan. Eropa dan US / Canada pada umumnya memiliki standar kualitas  udara lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia. Hal tersebut sehingga membuat aspek emisi tersebut menjadi perhatian penting bagi mereka. Sedangkan ditinjau dari sisi produksi wood pellet aspek yang diutamakan adalah efisiensi, sehingga dengan performa yang baik dryer bisa menghasilkan produk serbuk kayu kering yang sesuai untuk umpan pelletiser. Kualitas wood pellet sebagai hasil akhir juga sangat tergantung kualitas produk serbuk kering dari dryer tersebut. Sedangkan ditinjau dari aspek keselamatan (safety) tingginya konsentrasi partikel debu sehingga bisa nenumpuk di sejumlah tempat di pabrik wood pellet juga berpotensi lebih besar terjadinya kebakaran.   

 Peluang Export Wood Pellet
Kurangnya pasokan wood pellet di Eropa akibat perang Rusia – Ukraina, menyebabkan produsen wood pellet dari Asia Tenggara dan juga Amerika Utara mencoba menangkap peluang tersebut. Produksi wood pellet dari Rusia diperkirakan sekitar 3 juta ton/tahun yang sebelumnya mengisi pasar Eropa kini dilarang, sehingga akibat pelarangan tersebut membuat stok wood pellet di Eropa berkurang drastis. Banyaknya permintaan dan kurangnya pasokan secara alamiah akan mendorong naiknya harga, apalagi ditambah dengan naiknya komoditas energi yang lain, sehingga harga wood pellet semakin terkerek naik. Bahkan karena tingginya harga wood pellet di Eropa tersebut, wood pellet dari Vietnam yang sebelumnya mau dieksport ke Jepang, dialihkan ke Eropa. 

Kondisi tidak menentu tersebut juga diprediksi tidak akan pulih dalam waktu singkat. Pada tahun 2021 Eropa memimpin produksi wood pellet dengan produksi mencapai hampir 20 juta ton atau sekitar 48% dari produksi global, sedangkan konsumsi wood pelletnya mencapai 24,5 juta ton. Sedangkan menurut data Hawkin Wright tahun 2020-2021 bahwa pertumbuhan permintaan wood pellet global mencapai 18,4% sedangkan pertumbuhan suplai atau produksi hanya 8,4%. Indonesia seharusnya memiliki peluang besar menjadi pemain utama wood pellet dengan potensinya. Produksi wood pellet tersebut bisa untuk export ke Eropa menutupi kekurangan pasokan tersebut maupun secara umum untuk memenuhi permintaan global tersebut.

Rabu, 30 November 2022

Biochar untuk Pembibitan Kelapa Sawit

Ada sekitar 250 produsen benih atau bibit kelapa sawit di Indonesia, dan dengan luas perkebunan sawitnya mencapai sekitar 15 juta hektar, produsen benih tersebut sebenarnya juga tidak banyak. Secara lebih spesifik Sumatera memiliki luas perkebunan sawit terbesar di Indonesia sehingga sebagai kegiatan ekonomi utama di daerah tersebut, karena 70 persen lahan kelapa sawit di Indonesia berada di Sumatera.  Dengan pola tanam misalnya 125 pohon per hektar maka untuk setiap 1.000 hektar dibutuhkan 125.000 pohon atau untuk 1 juta hektar 125 juta pohon, sedangkan untuk 15 juta hektar berarti dibutuhkan lebih dari 1,8 trilyun pohon sawit dengan produksi CPO saat ini mencapai lebih dari 40 juta ton per tahun. Jumlah yang sangat banyak tentunya. Tetapi bukan saja faktor kuantitas, faktor kualitas bibit lebih diutamakan sehingga memiliki produktivitas yang optimal. Kebutuhan bibit tentu juga tidak serta merta hingga jutaan atau trilyunan batang dalam waktu bersamaan, tergantung kebutuhan seperti penanaman baru dari kebun baru (ekstensifikasi) - yang saat ini masih dilakukan di Indonesia atau peremajaan kebun sawit (replanting) yang dilakukan secara berkala. 

Bibit kelapa sawit yang baik salah satunya ditentukan oleh kualitas media tumbuh. Media tumbuh bibit kelapa sawit pada umumnya terdiri atas tanah lapisan atas (topsoil) yang dicampur dengan pasir maupun bahan organik sehingga diperoleh media yang subur. Kompos atau pupuk kandang sering digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dengan menyuplai unsur hara ke tanaman. Dengan iklim tropis dengan curah hujan tinggi unsur hara bisa mudah tercuci, selain itu pH tanah yang rendah juga menjadi kendala tersendiri untuk pertumbuhan bibit tersebut. Dengan menggunakan biochar maka nutrisi atau hara tanaman menjadi lebih tersedia, kelembaban dan aktivitas mikroba akan meningkat. Biochar yang di manfaatkan sebagai media tanam tersebut dapat meningkatkan karbon tanah dari 0,4–0,7% menjadi 2%, meningkatkan: kualitas fisik dan kimia tanah, daya simpan air tanah, daya simpan pupuk untuk kebutuhan tanaman, kandungan oksigen dalam tanah, aktivitas perkembang-biakan mikroorganisme tanah dan meningkatkan nutrisi tanah. Hal tersebut membuat kualitas media tanam bermutu tinggi, sehingga produk bibit sawit yang dihasilkan berupa perakaran, tinggi tanaman, jumlah daun dan berat tanaman adalah parameter yang diamati dengan penggunaan biochar tersebut juga semakin baik.

Dibandingkan penggunaan cocopeat, biochar memiliki sejumlah keunggulan. Baik cocopeat dan biochar memiliki kegunaan dalam bidang pertanian, tetapi ada sejumlah perbedaan antara keduanya. Cocopeat memiliki kegunaan terutama sebagai media tanam karena kemampuan menahan air (water holding capacity), sedangkan biochar selain memiliki kemampuan menahan air seperti halnya cocopeat juga menaikkan pH tanah, menahan atau membuat hara lebih tersedia (nutrient retention), dan juga menjadi koloni mikroba tanah sehingga bahan-bahan organik menjadi cepat terdekomposisi dan diserap tanaman. Cocopeat juga akan terurai dalam waktu tidak terlalu lama seperti kompos sedangkan biochar mampu bertahan dan tidak terdekompsisi hingga ratusan tahun. Dengan kondisi tersebut sehingga biochar juga digunakan untuk menyimpan CO2 (carbon sequenstration) dan mendapatkan carbon credit dengan mekanisme carbon sink. 

Pembibitan kelapa sawit merupakan titik awal yang paling menentukan pertumbuhan kelapa sawit selanjutnya di lapangan. Keberhasilan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di lapangan tersebut  sangat ditentukan oleh mutu bibit yang ditanam. Bibit yang pertumbuhannya baik di pembibitan memiliki daya adaptasi yang tinggi di lapangan. Pada prakteknya dengan dibuktikan sejumlah penelitian yang dilakukan penggunaan biochar memiliki efek positif pada produk bibit sawit. Penggunaan biochar pada kisaran 40% telah menjadi komposisi terbaik bagi media tanam bibit sawit tersebut. Hal tersebut seharusnya mendorong produsen - produsen bibit sawit untuk menggunkan biochar. Apabila ada kebutuhan biochar dalam jumlah besar untuk maksud tersebut, silahkan kontak kami. Data spesifikasi teknis (COA) dan sampel biochar juga bisa kami sediakan.

Sabtu, 19 November 2022

Green Economy di Industri Semen

Trend dekarbonisasi termasuk low carbon economy telah merambah ke berbagai sektor tidak terkecuali pada industri semen. Semen adalah produk paling umum di dunia yang dibuat manusia dengan konsumsi sekitar 0,5 ton per orang per tahunnya. Industri semen juga merupakan aktivitas penyumbang gas rumah kaca cukup besar yakni mencapai 21% (IPCC 2014), dengan kondisi tersebut membuatnya salah satu kontributor terbesar pada perubahan iklim. Dan karena industri semen memiliki sejarah sebagai kontributor utama untuk emisi gas rumah kaca tersebut, sehingga ada peluang hari ini untuk mengurangi emisi secara signifikan melalui peningkatan efisiensi dan inovasi di industri tersebut.

Peningkatan efisiensi energi pada produksi semen akan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan.  Bahkan di industri semen, penggunaan energi juga secara perlahan energi terbarukan atau energi alternatif mulai digunakan termasuk penggunaan RDF dari sampah kota atau sampah rumah tangga, yang sedikit banyak mengurangi polusi lingkungan. Sedangkan pada aspek produksi penggunaan bahan tambahan yang berasal dari limbah industri lain (circular economy) seperti slag dan fly ash atau SCM (supplementary cementious materials) juga sudah banyak digunakan.  Penambahan bahan-bahan ini tergantung jenis semen yang akan dibuat dan bertujuan mengurangi pemakaian clinker karena produksi clinker memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan gas CO2 hasil kalsinasi.  Sebagai contoh pada pembuatan slag cement menghasilkan 38% lebih sedikit emisi CO2 dibandingkan proses untuk produksi portland cement karena lebih sedikit batu gamping (limestone) dibakar untuk produksi slag cement daripada dibutuhkan untuk Portland cement. Selain itu sejumlah negara juga mendukung produksi dan penggunaan slag cement tersebut dalam rangka mendukung produk yang ramah lingkungan. Hal-hal di atas juga mengindikasikan kepedulian terhadap lingkungan dan keberlanjutan (sustainibility) semakin meningkat.

Pada industri semen sekitar 50% emisi berasal dari proses kalsinasi itu sendiri, 40% dari bahan bakar untuk memanaskan kiln, dan sisanya 10% dari menggiling (grinding) dan transport. Di dalam kalsiner terjadi proses kalsinasi yaitu peruraian CaCO3 menjadi CaO dan CO2 dan sedikit MgCO3 menjadi MgO dan CO2. Karena reaksi kalsinasi bersifat endotermis maka diperlukan panas yang cukup tinggi, sehingga dilengkapi dengan burner untuk pembakaran batubara memanfaatkan udara tersier dari cooler dan gas panas kiln. Pelepasan CO2 akibat reaksi di kalsiner ini menjadi isu lingkungan yang krusial di industri semen, volum gas CO2 hasil kalsinasi jauh lebih besar dari pada CO2 hasil pembakaran fuel (batubara) atau 50% berbanding 40%.  

Beragamnya jenis semen dengan kualitas yang berbeda-beda seringkali membutuhkan kualitas SCM yang spesifik juga. Dalam kondisi tersebut tinjauannya tidak hanya spesifikasi umum tetapi hingga ke kimia bahannya (material chemistry). Misalnya slag dari pabrik baja atau Granulated Blast Furnace Slag (GBFS) dengan kandungan kimia tertentu atau fly ash tetapi dengan kandungan  alkali rendah atau slag dari smelter nikel tidak cocok untuk jenis semen tertentu dan sebagainya. Untuk mendapatkan SCM spesifik seperti slag dan fly ash tersebut sangat terkait terkait dengan sumber slag dan fly ash tertentu, walaupun dalam sejumlah kasus bisa saja menambahkan bahan tertentu untuk mendapatkan komposisi kimia yang diinginkan. 

Dan pada industri semen emisi tidak mudah dikurangi dengan mudah. Emisi dari proses tidak bisa dikurangi dengan optimasi ataupun penggunaan energi terbarukan atau energi alternatif saja. Pada industri semen ketika mengikuti skenario-skenario yang dikembangkan oleh International Energy Agency (IEA) atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) jelas bahwa untuk mencapai batas kenaikan suhu bumi 2 C bahkan 1,5 C dibutuhkan CCS / CCU. Namun, lebih banyak diperlukan jika industri ingin memenuhi tujuan ambisius yang ditetapkan oleh Paris agreement tersebut.  Industri semen sangat ditantang oleh target tersebut karena karbon dihasilkan oleh energi yang digunakan dalam proses dan proses kalsinasi itu sendiri. Bahkan jika emisi berbasis energi dapat dihilangkan dengan beralih ke bahan bakar karbon-netral, emisi proses kalsinasi tersebut akan tetap ada dan akan membutuhkan unit penangkap karbon (CCS / CCU). 

Eropa telah menjadi pusat penelitian carbon capture dan storage (CCS) and carbon capture and utilization (CCU). Dari sejumlah teknologi penangkapan karbon (carbon capture) penyerapan berbasis amina (senyawa organik dan gugus fungsional yang isinya terdiri dari senyawa nitrogen atom dengan pasangan sendiri) adalah teknologi penangkapan karbon paling canggih dan sudah diimplementasikan di skala komersial. Teknologi carbon capture tampaknya memainkan peran penting dalam memerangi perubahan iklim khususnya pada industri semen.   

Sabtu, 29 Oktober 2022

Redesign Pabrik Sawit Untuk Produksi IVO : Menggunakan Pirolisis, Gasifikasi atau Biogas ?

Produksi biodiesel / green diesel dengan bahan baku RBD PO terlalu bagus (overspec) dan terlalu mahal, sehingga perlu diganti dengan bahan baku yang lebih murah, yakni IVO (industrial vegetable oil). Untuk maksud tersebut maka perlu merancang ulang (redesign) pabrik sawit sehingga sejumlah produksi ekstraksi TBS menjadi CPO yang dilakukan di pabrik sawit sawit perlu dimodifikasi alur prosesnya. Proses sterilisasi bisa dihilangkan sehingga tidak perlu air untuk produksi kukus demikian juga boiler dan turbine uap untuk produksi listriknya. Unit pengolahan air (water treatment) juga bisa tidak dibutuhkan lagi ataupun bisa tetap dibutuhkan tetapi untuk proses yang berbeda. 

Salah satu hal lain yang penting adalah penyediaan energi khususnya listrik bagi pabrik sawit tipe baru tersebut. Hal ini karena sebagian besar alat yang digunakan di pabrik sawit adalah alat mekanik yang bekerja dengan mengkonsumsi listrik. Sebagai pabrik yang memiliki banyak limbah biomasa tentu bukan hal sulit untuk dilakukan, bahkan selama ini pabrik sawit memproduksi sendiri listriknya dengan membakar fiber dan cangkang sawit di boiler. Tetapi pada pabrik sawit tipe baru dengan konfigurasi berbeda maka bisa saja boiler tidak dibutuhkan atau tetap dibutuhkan tetapi ada perbedaan dengan sebelumnya. Pada dasarnya tentu saja bagaimana mencapai tingkat efisiensi tertinggi dengan proses baru tersebut.

Faktor lainnya adalah bagaimana proses produksi yang baru tersebut juga memberikan manfaat lebih besar bagi industri sawit tersebut misalnya juga dihasilkan produk biochar. Produk biochar tersebut nantinya digunakan pada perkebunan sawit untuk memperbaki kesuburan tanah dan juga sebagai carbon sink dan menyerap gas N2O, yang merupakan gas rumah kaca. Carbon credit dari aplikasi biochar sebagai carbon sink tersebut juga akan memberi penghasilan tambahan bagi industri sawit yang nilainya juga tidak sedikit. Saat ini banyak perkebunan sawit yang berada pada tanah masam atau ber-pH rendah membuat produktivitas sawit rendah sehingga perlu dinaikkan dan juga pada operasional perkebunan sawit biaya pupuk adalah komponen biaya tertinggi, dan untuk itu biochar adalah solusi mengatasi problem tersebut. Dengan tingginya produktivitas TBS dengan treatment tersebut maka pembukaan lahan sawit menjadi tidak diperlukan lagi, sehingga sorotan perkebunan sawit yang membuat deforestasi juga berkurang. 


Untuk produksi listrik selain dengan membakar fiber dan cangkang sawit di boiler, lalu kukus yan dihasilkan menggerakkan steam turbine, cara lain adalah pirolisis dan gasifikasi biomasa. Dengan pirolisis (slow pyrolysis) produksi biochar lebih banyak atau sebagai produk utama. Sedangkan dengan gasifikasi produk biochar lebih sedikit dengan produk gas lebih utama. Biogas dari limbah cair (POME) adalah sumber energi lain yang bisa digunakan. Pada dasarnya tergantung pada tujuan dan kebutuhan, seberapa besar listrik yang dibutuhkan, seberapa besar kebutuhan biochar dan sebagainya. Tetapi dengan luasnya perkebunan sawit yang mencapai puluhan ribu hektar, maka kebutuhan biochar akan sangat besar, sehingga pirolisis akan lebih cocok diterapkan. Dan jika kebutuhan listrik cukup besar, maka listrik dari biogas juga bisa sebagai tambahan selain listrik dari pirolisis.

Bahkan dengan pirolisis tersebut juga akan dihasilkan produk lain yang bermanfaat untuk perkebunan sawit seperti asap cair (liquid smoke). Liquid smoke ini bisa sebagai biopestisida yang aplikasinya bisa menggunakan drone pertanian dengan kecepatan 16 hektar/jam bahkan lebih. Produk biooil dari pirolisis juga bisa digunakan untuk bahan bakar langsung dengan menggunakan burner maupun dimurnikan lebih lanjut menjadi bahan bakar kendaraan. Pembakaran bahan bakar gas ataupun cair akan memberikan emisi lebih bersih pada pabrik sawit dibandingkan pembakaran bahan bakar yang dilakukan selama ini. 

Digestate dari biogas bisa digunakan bersamaan biochar sehingga bisa memberikan hasil maksimal di perkebunan sawit. Dengan stuktur biochar yang berpori maka digestate plus biochar akan menjadi pupuk organik lepas lambat (slow release fertilizer) sehingga penggunaan pupuk akan lebih efisien. Selain itu dengan banyaknya potensi limbah biomasa di industri kelapa sawit juga memungkinkan sejumlah pengembangan usaha terutama apabila ada pasokan energi yang memadai. Sebagai contoh adalah produksi arang aktif (activated carbon) dari cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) ataupun pengolahan kernel menjadi minyak kernel (palm kernel oil). Dengan mengoptimalkan semua potensi khususnya limbah biomasa sehingga bisa memberi manfaat ekonomi dan lingkungan, maka industri sawit akan semakin menarik. 

Kamis, 27 Oktober 2022

Kompor Wood Pellet Untuk Masyarakat

Photo diambil dari sini
Tungku atau kompor kayu bakar masih banyak ditemui diberbagai daerah di Indonesia. Selain tidak efisien tungku atau kompor kayu bakar tersebut juga menghasilkan polusi asap yang mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. Polusi asap dari tungku atau kompor kayu bakar tersebut dilaporkan sebagai penyebab terjadinya kematian  jutaan orang di dunia setiap tahunnya. Selain itu kayu bakar yang digunakan juga banyak berasal dari kayu hutan yang menyebabkan deforestasi (penggundulan hutan). Sedangkan dampak lanjut dari penggundulan hutan adalah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. 

Memasak adalah salah satu aktivitas penting manusia untuk mendapatkan makanannya sehingga menjadi hal penting pula untuk bisa diupayakan dengan baik. Termasuk bagian dari upaya itu adalah menjaga keberlangsungan bahan bakar, harga bahan bakar terjangkau, kesehatan hingga aspek lingkungannya. Saat ini sebagian besar bahan bakar untuk memasak di Indonesia adalah LPG tetapi kenyataannya LPG yang digunakan tersebut hampir 80% berasal dari import atau nilainya sekitar 60 trilyun. Pertamina sebagai produsen tunggal LPG di Indonesia saat ini pasokannya malah cenderung menurun. Padahal kebutuhan LPG terus meningkat. Kebutuhan LPG pada 2011 tercatat sebesar 4,35 juta ton. Kebutuhan ini terus meningkat tiap tahunnya hingga menembus dua kali lipat menjadi 8,55 juta ton pada 2021. Kondisi tersebut tentu tidak baik, karena membuat ketergantungan terhadap import, padahal di Indonesia ada sejumlah sumber daya yang bisa digunakan untuk mengatasi hal tersebut. 

Berbagai hal berbasis potensi Indonesia untuk mengatasi hal tersebut antara lain penambahan kilang minyak baru sehingga produksi LPG bisa digenjot, gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME (Dimethyl Ether) yang karakteristiknya mirip LPG, ataupun menggunakan gas alam dengan jaringan pipa gas. Dari sisi kemandirian energi hal tersebut bisa dilakukan apalagi memang bahan bakunya cukup tersedia, tetapi dari sudut pandang bioekonomi dan dekarbonisasi (mengganti bahan bakar fossil ke energi terbarukan) yang juga semakin meningkat kecenderungannya, hal tersebut kurang sesuai. Energi terbarukanlah seharusnya yang semaksimal mungkin diupayakan sebagai solusinya. Wood pellet adalah bahan bakar atau energi terbarukan dari biomasa yang ideal untuk subtitusi LPG tersebut. Sebagai negara tropis maka Indonesia kaya akan biomasa karena matahari bersinar sepanjang tahun, sedangkan di negara sub-tropis ketika musim dingin tumbuh-tumbuhan berhenti tumbuh. Bahkan bisa dikatakan produsen terbesar biomasa adalah daerah tropis atau daerah yang dilalui garis khatulistiwa, sehingga sebagai anugerah Allah SWT kita harus mensyukurinya. 

Kompor wood pellet yang efisien dan rendah emisi adalah solusi terbaik. Mengapa bukan kompor biomasa saja? Mengapa limbah-limbah biomasa khususnya limbah-limbah kayu perlu diolah menjadi wood pellet terlebih dahulu? Dengan dibuat wood pellet maka selain bentuk dan ukuran seragam, kering, kepadatan tinggi, juga mudah dalam penyimpanan dan pemakaiannya. Bahkan pada musim penghujan bisa jadi sulit mencari kayu bakar kering di sejumlah daerah, dilain sisi wood pellet bisa sangat praktis digunakan. Jadi dengan produk yang standar sesuai spesifikasi tersebut di atas maka wood pellet akan menjadi bahan bakar padat superior dan terbarukan, sehingga kompor wood pellet akan bekerja dengan optimal. Sedangkan apabila bahan bakarnya dari sembarang biomasa dengan spesfikasi beragam maka performa kompor tidak optimal. 

Bahan baku untuk produksi wood pellet bisa menggunakan limbah-limbah kayu dari penggergajian kayu (sawmill), industri-industri pengolahan kayu maupun limbah-limbah hutan. Limbah-limbah tersebut banyak belum termanfaatkan dan bahkan mencemari lingkungan tersebut menjadi bermanfaat dan bernilai ekonomi. Kapasitas produksi pabrik wood pellet juga perlu ditentukam sehingga sesuai kebutuhan penggunaanya. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setingkat desa atau kecamatan pabrik wood pellet bisa dibangun dengan kapasitas 500-1000 ton/bulan. 

Terkait pengurangan CO2 di atmosfer yang sejalan dengan dekarbonisasi dan bioekonomi, sejumlah perusahaan saat ini juga melakukan proyek karbon, yakni dengan membuat hutan konservasi sebagai media menyerap CO2 dari atmosfer (carbon sink) dengan mendapat kompensasi berupa carbon credit. Hutan konservasi tersebut dijaga sedemikian rupa sehingga proyek karbon tersebut sukses. Terjadinya deforestasi pada area hutan konservasi merupakan suatu hal yang harus dihindari. Untuk menghindari hal tersebut program kompor wood pellet bisa sebagai solusi. Masyarakat sekitar hutan konservasi yang menggunakan wood pellet untuk kompor-kompor masak mereka membuat kayu bakar tidak lagi digunakan dan deforestasi tidak terjadi. 

Jumat, 14 Oktober 2022

Produksi Wood Pellet Untuk Menembus Pasar Eropa

Kondisi perang Rusia-Ukraina yang terjadi memiliki dampak pada industri wood pellet yakni terjadinya kekurangan suplai di Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Upaya untuk menambah pasokan telah mereka lakukan untuk mengamankan ketersediaan wood pellet tersebut. Kekurangan wood pellet tersebut baik untuk penggunaan industri maupun rumah tangga (pemanas ruangan). Produksi wood pellet dari Rusia menjadi tidak bisa diterima oleh pasar Eropa padahal jumlahnya besar (Rusia mengekspor lebih dari 870.000 ton ke Denmark saja tahun lalu) dan kondisi diperkirakan terjadi minimal sampai 12 bulan mendatang. Kekurangan pasokan wood pellet diperkirakan mencapai 3,4 juta ton yang merupakan produksi dari Rusia, Ukraina dan Belarus. Konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan harga wood pelet yang tinggi karena berbagai alasan, terutama karena kelangkaan wood pelet dan bahan bakar lain yang masuk ke Eropa dan harga listrik yang tinggi.

Kebutuhan wood pellet juga terus meningkat seiring program dekarbonisasi (subtitusi bahan bakar fossil ke energi terbarukan). Menurut data Hawkins Wright, dari 2020-’21, permintaan wood pellet untuk industri global tumbuh sebesar 18,4%, dengan produksi hanya tumbuh 8,4%. Apalagi saat ini dengan menghilangnya Rusia membuat harga wood pellet lebih tinggi yang mencapai $300 per ton, tetapi dengan harga tinggi pun pasokan wood pellet tetap terkendala. Tingginya harga bahan bakar fossil juga telah menciptakan kenaikan permintaan wood pellet, terutama rumah tangga-rumah tangga di Eropa yang beralih ke wood pellet untuk pemanas ruangan dan diperkirakan peningkatan permintaan itu mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2022 ini, menurut laporan proPellets Austria.   Di Austria—dan sebagian besar representatif dari mereka di seluruh Eropa — harga wood pellet memecahkan rekor dengan meningkat lebih dari 53% dibandingkan tahun sebelumnya tanpa tanda-tanda turun dalam waktu dekat. Bahkan survei bulan Juni 2022 yang diselesaikan oleh proPellets Austria menghasilkan harga rata-rata wood pellet naik 66% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, terlepas dari peningkatan itu, wood pellet masih menawarkan keunggulan harga 82,7% dibandingkan untuk minyak pemanas dan 18,3% dibandingkan dengan gas alam. Adapun wood pellet kemasan (bagged pellets) naik 52,8% dibandingkan dengan tahun lalu.

ProPellets Austria juga melaporkan untuk merespon permintaan wood pellet tersebut khususnya untuk memastikan kebutuhan jangka panjang, industri wood pellet Austria membangun 11 pabrik wood pellet baru dengan percepatan pemanfaatan residu kayu. Energi internasional pasar berada dalam keadaan pergolakan, paling tidak karena invasi Rusia ke Ukraina, dan ini juga mempengaruhi pasar wood pellet secara global khususnya di Eropa.  Sedangkan Inggris juga  telah menghadapi kekurangan 200.000 ton wood pellet di pasar pemanas domestik / rumah tangga dan bahwa jalan rantai pasokan baru sedang dieksplorasi, import dengan volume lebih besar adalah salah satu solusi. Dengan pasar yang sangat ketat, pasokan kemacetan rantai, inflasi dan efek riak perang yang sedang berlangsung, maka strategi, kreativitas dan fleksibilitas rantai pasokan  akan dibutuhkan dari  wood pellet stakeholder. Adapun apakah pasokan wood pellet global diperkirakan akan menjadi lebih dekat untuk dapat memenuhi permintaan, itu kemungkinan tidak akan ada dalam waktu dekat, menurut kepada Matthews, konsultan biomasa dari Hawkins Wright. . Kekuatan ekonomi akan memiliki efek dari waktu ke waktu — harga tinggi adalah kekuatanpendorong investasi pabrik wood pellet baru. Industri wood pellet saat ini sedang berinvestasi ratusan juta Euro jadi bahwa pasokan dijamin dalam jangka panjang, tetapi mereka juga membutuhkan dukungan dari pengambil keputusan politik. 


Indonesia dengan luas wilayahnya dan beriklim tropis sangat potensial mengembangkan produksi wood pellet kapasitas besar termasuk penggunaan kebun energi. Produksi wood pellet Indonesia yang saat ini masih kecil atau diperkirakan hanya 200 ribu ton per tahun perlu digenjot sehingga merespon kebutuhan Eropa tersebut. Walaupun selama ini untuk Asia, Jepang dan Korea adalah target pasar wood pellet, tetapi perkembangan terbaru kondisi Eropa juga menjadi daya dorong baru. Tingginya harga wood pellet di Eropa akibat perang Rusia-Ukraina membuat suplier-suplier di Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) juga mulai menyuplai ke Eropa. Bahkan peluang tersebut juga ditangkap oleh sejumlah supplier dari Asia. Vietnam adalah negara pengeksport terbesar kedua di dunia untuk wood pellet. Volume dan nilai ekspor wood pellet terus meningkat sejak Oktober 2021 dan harga ekspor melonjak hingga mencapai rata-rata hampir US$150 per ton, naik lebih dari 27% dibandingkan dengan harga rata-rata yang tercatat tahun lalu. Itu kenaikan tajam dalam volume dan harga ekspor dapat dikaitkan dengan peningkatan permintaan yang tiba-tiba dari Uni-Eropa. Dengan kapasitas produksi yang luar biasa tersebut industri wood pellet Vietnam ternyata mulai memdapat sejumlah tantangan yakni keterbatasan bahan baku dan persyaratan yang lebih ketat yang diminta oleh importir seperti sertifikasi keberlanjutan. Kondisi ini seharusnya bisa dilihat sebagai peluang bagi industri wood pellet di Indonesia. 

Selasa, 27 September 2022

Pengeringan Cangkang Sawit dengan Memanfaatkan Panas Limbah Pabrik Sawit dan Unit Biogas POME

Kebutuhan cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) semakin besar karena penggunaannya semakin meningkat dan beragam. Cangkang sawit bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler di industri maupun pada pembangkit listrik. Selain itu juga bisa sebagai bahan baku untuk arang aktif (activated carbon) yang kebutuhannya juga terus meningkat, untuk lebih detail baca disini. Kecenderungan global untuk melakukan dekarbonisasi atau mengganti bahan bakar fossil dengan energi terbarukan termasuk bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit adalah daya dorong utama peningkatan kebutuhan cangkang sawit tersebut. Bahkan negara-negara kaya minyak dengan ekonomi digerakkan dari minyak (petrodollar) tersebut juga secara bertahap melakukan program dekarbonisasi tersebut. 

Untuk bisa digunakan sebagai bahan bakar maupun diolah lebih lanjut menjadi sejumlah produk turunan seperti torrified PKS, PKSC atau arang cangkang sawit dan activated carbon, cangkang sawit tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu. Proses pengeringan atau mengurangi kadar airnya sampai level tertentu membutuhkan energi. Cangkang sawit yang merupakan limbah pabrik sawit pada umumnya hanya ditimbun begitu saja di halaman belakang pabrik sawit, sehingga biasanya kotor dan basah berakibat pada harga jualnya menjadi murah. Apabila pabrik sawit tersebut bisa mengeringkan dan membersihkan cangkang sawitnya maka harga jualnya juga akan meningkat, sehingga ada nilai tambah sekaligus tambahan pendapatan bagi pabrik sawit tersebut. Sejumlah sumber energi dari panas limbah pabrik sawit bisa digunakan untuk proses pengeringan tersebut.

Panas adalah sumber energi yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan, baik panas yang dihasilkan secara langsung dari proses pembakaran atau dari panas limbah yang merupakan panas sisa dari pembakaran tersebut maupun sumber lain seperti listrik dan sebagainya. Pada operasional pabrik sawit ada sejumlah panas limbah yang bisa diambil atau dipanen atau dipulihkan sebagai sumber panas untuk pengeringan tersebut seperti panas dari pembakaran di boiler, panas dari steam turbine dan panas dari proses sterilisasi TBS. Apabila pabrik sawit tersebut juga mengolah limbah cairnya untuk produksi listrik, maka panas limbah dari pembakaran biogas pada generator juga bisa sebagai sumber panas untuk pengeringan cangkang sawit tersebut. Sejumlah sumber panas yang merupakan panas limbah tersebut apabila diintegrasikan maka jumlahnya besar sehingga bisa mencukupi untuk pengeringan cangkang sawit tersebut. 

Selain menghasilkan CPO sebagai produk utama, pabrik sawit pada umumnya juga menghasilkan palm kernel atau inti sawit. Saat ini masih sedikit pabrik CPO yang juga memiliki pabrik PKO, artinya pabrik sawit yang mengolah sabut untuk produksi CPO dan inti sawit untuk produksi PKO. Palm kernel atau inti sawit tersebut dihasilkan dari pemisahan palm kernel dengan atau inti sawit dengan cangkangnya. Pemisahan dilakukan dengan memecah cangkang sawit dalam nut cracker drum, selanjutnya bisa dipisahkan antara cangkang sawit dengan kernel atau intinya berdasarkan perbedaan berat jenis. Apabila pabrik sawit ingin mendapatkan nilai tambah dari cangkang sawitnya, maka begitu keluar dari pabrik sawit tersebut langsung masuk pengering (dengan panas limbah sebagai sumber panasnya) setlah itu dibersihkan dengan ayakan (screening) sehingga menjadi produk akhir berupa cangkang sawit yang kering dan bersih, sehingga nilai jualnya lebih tinggi. Ukuran cangkang dan serabut yang lolos ayakan (undersize), bisa digunakan juga sebagai bahan bakar boiler. Boiler pabrik sawit saat ini beroperasi menggunakan bahan bakar serabut (mesocarp fiber) dan sebagian cangkang sawit tersebut. Bahan yang reject berupa undersize tersebut bisa sebagai bahan bakar boiler sehingga cangkang sawit yang digunakan lebih sedikit.  

Sabtu, 17 September 2022

Reklamasi Lahan Pasca Tambang Dengan Bambu

Bambu adalah pohon yang mudah tumbuh, cepat tinggi dan memiliki banyak manfaat. Termasuk salah satunya adalah pemanfaatan pohon bambu untuk reklamasi lahan pasca tambang. Lahan pasca tambang yang rusak dan tandus memang tidak mudah untuk langsung ditanami. Perlu treatment atau upaya tertentu supaya lahan tersebut bisa untuk ditanami dengan tanaman yang juga tertentu pula. Ketika lahan tersebut sudah menjadi tanah subur, tentu saja hampir semua tanaman bisa ditanam di lahan tersebut. Dan untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan waktu dan proses yang tidak sebentar. 

Upaya perbaikan tanah dalam arti memperbaiki kesuburan tanah adalah hal pertama dilakukan sehingga tanaman bisa tumbuh dengan baik pada lahan tersebut. Tanaman yang bisa ditanam pada tahap ini juga hanya jenis tanaman tertentu saja seperti tanaman perintis berupa tanaman cepat tumbuh (fast growing species) seperti jenis legum. Dan bambu sebagai kelompok tanaman rumput-rumputan juga mudah ditanam dan tumbuh di lahan marjinal seperti lahan pasca tambang tersebut. Ketersediaan air, unsur hara yang mencukupi , pH atau keasaman tanah yang memadai adalah beberapa hal yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan optimal. 

Sebagai ilustrasi pasir adalah media tanam yang buruk karena hampir tidak ada hara didalamnya dan ini hampir sama dengan kondisi lahan pasca tambang pada umumnya. Zat-zat atau bahan-bahan organik perlu ditambahkan sehingga menjadi pupuk atau unsur hara bagi lahan tersebut. Kotoran hewan adalah bahan organik terbaik untuk hal tersebut sehingga integrasi dengan peternakan adalah konsep terbaik pada reklamasi lahan pasca tambang tersebut. Biochar dengan berbagai keunggulannya juga perlu ditambahkan pada lahan tersebut. Biochar bisa diproduksi dari limbah-limbah biomasa baik dari perkebunan, pertanian maupun kehutanan untuk maksud tersebut. Penggunaan biochar pada skala luas juga bisa memberikan penghasilan berupa carbon credit karena biochar yang diaplikasikan ke tanah sebagai carbon sink dengan carbon sequestration. 

Pohon bambu sebagai jenis tanaman rumput-rumputan memiliki akar serabut. Rumpun bambu yang besar memiliki jaringan akar serabut yang besar juga. Suksesnya perakaran bambu menjadi salah satu kunci pertubuhan bambu. Penggunaan biochar pada pembibitan bambu juga akan memperbaiki perakaran bibit bambu yang dihasilkan. Sedangkan pada perkebunan bambu, penggunaan biochar juga memiliki banyak manfaat apalagi pada lahan pasca tambang tersebut hasilnya akan terlihat lebih riil, seperti menjaga kelembaban, unsur hara lebih tersedia, pH tanah tidak masam dan sebagainya. Biochar bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan tanah, sehingga penggunaanya bisa pada pembibitannya maupun pada perkebunannya. 

Saat ini sejumlah perusahaan tambang telah melakukan reklamasi lahan dengan pohon tersebut, tetapi sebagian besar masih ujicoba dan belum memiliki konsep yang komprehensif. Reklamasi lahan pasca tambang dengan bambu diperkirakan dimulai sejak tahun 2010 atau sudah berlangsung sekitar 12 tahun sampai saat ini. Sejumlah spesies bambu juga telah diidentifikasi cocok untuk lahan pasca tambang tersebut. Scale up atau perbesaran kapasitas menjadi penting dan tantangan saat ini apalagi didukung informasi 12 tahun reklamasi dengan pohon bambu tersebut. Dengan perbesaran kapasitas tersebut selain produksi bambu bisa mencapai prduksi komersial juga aplikasi biochar akan juga menemukan manfaat optimumnya yakni perbaikan kesuburan tanah dan carbon sink (carbon sequenstration).

Pemanfaatan bambu terutama adalah aspek yang belum mendapat perhatian secara serius pada proyek-proyek reklamasi tersebut. Padahal hanya dengan disertai pemanfaatan bambu yang merupakan produk perkebunan tersebut maka upaya reklamasi tersebut bisa diketahui memberi keuntungan ekonomi atau tidak. Tidak adanya perhatian serius terhadap pemanfaatan bambu tersebut diperkirakan karena reklamasi bambu tersebut masih dalam taraf ujicoba dengan luasan yang kecil. Tetapi jika sudah diupayakan secara profesional maka aspek ekonomi akan menjadi perhatian penting. 

Pemanfaatan bambu misalnya adalah dengan dibuat menjadi rumah-rumah penduduk di sekitar tambang. Dengan bambu ditreatment terlebih dahulu dan juga menggunakan seni arsitektur bangunan maka rumah bambu yang dihasilkan akan berkualitas, dalam pengertian kokoh dan indah dan jauh dari kesan murahan. Hal ini akan mengurangi penggunaan kayu tertentu untuk rumah yang beberapa jenisnya sudah terbatas jenisnya seperti kayu ulin di Kalimantan. Memang ada banyak cara pemanfaatan bambu tersebut, tetapi perlu dipilih yang terbaik berdasarkan kondisi dan situasi terkait. Peternakan ruminansia terutama untuk produksi bahan organik atau pupuk lahan juga akan membutuhkan kandang-kandang atau dalam penggembalaan rotasi juga dibutuhkan tiang-tiang untuk paddock. Kandang-kandang dan tiang-tiang tersebut juga bisa dibuat dengan produk bambu tersebut.   

Dan ketika produksi bambu digunakan untuk produksi biomasa dan lalu digunakan untuk produksi biochar, maka hal tersebut juga dimungkinkan secara teknis. Tetapi secara ekonomi perlu dikaji apakah juga memberi keuntungan, baik dari efek perbaikan kesuburan tanah maupun carbon credit. Pada hal ini, hal yang paling utama adalah produksi biomasa itu sendiri sehingga spesies bambu yang menghasilkan biomasa terbanyaklah yang dipilih. Semakin banyak tanah-tanah yang bisa diperbaiki dengan treatment biochar, maka akan semakin banyak tanah yang bisa dipulihkan (recovery) sehingga menjadi tanah-tanah produktif. Ketika tanah telah kembali subur berbagai tanaman pangan juga sangat dimungkinkan ditanam di lahan tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk juga menuntut lebih banyak kebutuhan pangan, sehingga produksi pangan perlu ditingkatkan, termasuk penggunaan tanah-tanah yang bisa dipulihkan tersebut.


Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...