Minggu, 24 Desember 2017

Mengapa Tidak Produksi Wood Pellet Saja?

Mengetahui latar belakang sejarah, potensi dan karakteristik suatu bangsa akan memudahkan pengambilan kebijakan secara efektif dan efisien bagi bangsa tersebut. Tetapi apabila hanya mencontoh dari bangsa lain tanpa mempertimbangkan latar belakang sejarah, potensi dan karakteristiknya maka bisa dipastikan kebijakan yang akan diambil juga tidak efektif dan efisien. Betapa seringnya bangsa kita mencontoh kemajuan ekonomi suatu bangsa, tetapi tidak memperhatikan tiga poin penting diatas, sehingga hasilnya juga tidak optimal. Setiap negeri punya karakternya sendiri, sehingga kita tidak bisa mencontoh model pertumbuhan ekonomi negara lain secara membabi buta. Sebagai contoh : kita ikut-ikutan mengejar pertumbuhan ekonomi dari industri dan jasa, sebagaimana yang dilakukan oleh negara-negara maju, sedangkan sektor pertanian dan kehutanan malah menjadi rebutan negeri-negeri lain. Begitu juga tambang dan gas alam, sedangkan untuk minyak bumi kita saat ini malah menjadi negara pengimport. 

Negara tetangga, yakni Singapura yang penduduknya sedikit dan lahannya tidak seberapa, tentu saja sumber ekonomi yang menarik adalah sektor jasa. Demikian pula pada negara maju, yang selain memiliki banyak resources, setelah kebutuhan penduduknya terpenuhi, maka sumber pertumbuhan harus dikejar dari negeri lain. Maka mereka menggunakan sektor industri dan jasa untuk mengejar pertumbuhan tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia memiliki jumlah penduduk sangat banyak, 260 juta dan tanah yang luas dan subur. Iklim tropis dan tingginya curah hujan yang 3 kali rata-rata dunia membuatnya sangat potensial untuk produksi biomasa, baik nantinya untuk sektor pangan, energi atau lainnya. Kalau kita kaji dan analisis seberapa besar sektor pangan dan energi untuk 260 juta jiwa tersebut, kita akan tahu betapa besarnya nilai ekonominya. Lalu dengan mudah pula kita bisa menjawab, mengapa sampai negeri-negeri lain ramai-ramai rebutan sektor pertanian dan kehutanan di negeri kita ini.
Silahkan para pembaca membuat kalkulasi sendiri betapa banyak kebutuhan pangan (karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral) begitu juga energi atau bahan bakar (untuk rumah tangga, industri, kendaraan hingga pembangkit listrik). Tentu nilainya akan sangat besar, ratusan milyar dollar bahkan ribuan milyar dollar. Belum lagi berapa banyak pemenuhan kebutuhan pangan dan energi tersebut dari negeri-negeri lain (import), misalnya berapa banyak import beras kita, import kedelai, import daging, import minyak bumi, import gandum dan sebagainya. Bagaimana jika barang-barang import tersebut kita subtitusi dengan memenuhi sendiri dan jangka panjangnya bisa swasembada atau berdaulat pada sektor pangan dan energi. Sementara puluhan bahkan ratusan juta hektar lahan tersedia, lalu tenaga kerja juga melimpah.

Akankah kita ikut-ikutan mati-matian untuk mengejar sektor pertumbuhan ekonomi  di sektor industri dan jasa, sedangkan produksi pangan dan energi kita bergantung pada negeri-negeri lain? Tentu saja tidak jawabannya. Akan mudahkah menghilangkan ketergantungan tersebut? Jawabannya juga tidak mudah. Pertama kita harus mengubah paradigma, bahwa kita bisa mandiri pangan (yang tentu bukan hanya karbohidrat saja) dan energi. Kedua, kita harus kembali menghidupkan sektor pertanian dan kehutanan, untuk mencukupi sektor pangan dan energi tersebut.
Di sektor energi, lahan-lahan tersebut bisa digunakan untuk kebun energi yang nanti kayunya untuk produksi wood pellet. Selain itu area perkebunan tersebut juga bisa digunakan untuk penggembalaan domba dan daun-daun dari kebun energi tersebut juga menjadi pakan bernutrisi tinggi bagi domba-domba tersebut. Domba-domba yang digembalakan akan menyebarkan kotorannya sebagai pupuk bagi kebun energi tersebut. Dengan kebun energi dan peternakan domba berarti selain menjadi solusi masalah energi juga solusi masalah pangan khususnya protein. Lahan-lahan yang awalnya tandus menjadi hijau kembali dan memberi manfaat ekonomi dan lingkungan.
Contoh kompor masak berbahan bakar wood pellet
Kembali ke jumlah penduduk Indonesia sebanyak 260 juta tersebut, tentu kebutuhan energi atau bahan bakar juga akan sangat besar juga. Dahulu tungku-tungku dengan kayu bakar banyak digunakan, saat ini hanya sebagian kecil daerah pedesaan yang menggunakannya karena telah beralih menggunakan gas LPG. Beberapa waktu lalu kompor minyak tanah juga populer digunakan sebelum gas LPG. Sehingga pada dasarnya tidak ada masalah menggunakan bahan bakar padat, bahan bakar cair maupun bahan bakar gas selama bahan bakar tersebut tersedia, harga terjangkau dan kompor juga tersedia. Ketika wood pellet diproduksi dimana-mana maka masalah kelangkaan bahan bakar akan teratasi. Hal ini karena kebun energi dan produksi wood pellet bisa dilakukan dimana saja, berbeda dengan gas alam yang sumbernya hanya di tempat-tempat tertentu. Mengapa tidak produksi wood pellet saja? Lahan luas, subur, iklim tropis, curah hujan dan tenaga kerja melimpah. Produksi wood pellet selain juga berbasis potensi wilayah, juga bisa sebagai model pertumbuhan ekonomi baru yang efektif dan efisien. 

Minggu, 17 Desember 2017

Konversi Kebun Karet Ke Kebun Energi

Jatuhnya harga karet ternyata diikuti juga oleh pembiaran hingga penebangan kebun-kebun tersebut. Kebun-kebun karet tersebut menjadi rusak bahkan gundul dan tidak memberi manfaat bahkan cenderung berpotensi bencana. Petani maupun pengusaha karet tentu ingin memulihkan bahkan kalau bisa lebih baik tentang kondisi pendapatan mereka yang sebelumnya menggantungkan dari karet tersebut. Hal tersebut sangat mungkin dilakukan apabila mereka mau mengupayakannya. Salah satunya yakni dengan mengkonversi kebun karet tersebut menjadi kebun energi. Kebun energi seperti apa yang seharusnya diupayakan? Kebun energi yang multipurpose sehingga bisa memberi banyak manfaat dan tangguh dari berbagai hambatan. Untuk lebih detailnya tentang kebun energi multipurpose tersebut, bisa dibaca disini
Sama seperti halnya sektor pangan, kebutuhan energi juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta maka kebutuhan energi juga sangat besar, apalagi dengan kebutuhan pasar export yang didorong upaya perbaikan iklim dengan cara menurunkan suhu bumi atau mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, maka kebutuhan energi khususnya energi terbarukan, lebih khusus lagi yakni bahan bakar biomasa juga akan sangat besar. Wood pellet adalah bahan bakar biomasa yang sangat populer dan termasuk karbon netral karena tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer. Masalah mahal dan langkanya energi yakni gas LPG 3 kg di banyak daerah seharusnya juga bisa diatasi dengan wood pellet tersebut. 

Saat ini kebun karet di Indonesia memiliki luas 3,4 juta hektar atau peringkat no 1 dunia diikuti Thailand sebagai peringkat kedua dengan 2 juta hektar, dan sangat potensial untuk dikonversi menjadi kebun energi yang multipurpose tersebut. Selain menghasilkan kayu sebagai sumber energi sebagai produk utama dan dikelola secara berkesinambungan (sustainable), kebun energi tersebut juga bisa untuk peternakan domba yang menghasilkan daging dengan sangat ekonomis. Peternakan lebah madu juga bisa memperkaya dan memberi tambahan penghasilan yang menarik.

Menangkap Peluang Besar OPT Pellet Bagian 2


Banyaknya batang sawit tua yang hanya ditinggalkan di kebun-kebun sawit sampai menjadi lapuk setelah memasuki masa tidak produktif adalah salah satu bentuk pemborosan atau ketidakefisienan pemanfaatan sumber daya alam. Batang sawit tersebut sangat potensial untuk diolah menjadi OPT pellet atau pellet batang sawit yang saat ini juga adalah komoditas export. Di samping itu juga banyak sekali dijumpai limbah berupa pelepah-pelepah pohon sawit yang hanya ditumpuk di kebun-kebun sawit hingga menunggu lapuknya. Tentu saja hal tersebut juga merupakan bentuk pemborosan atau ketidakefisienan pemanfaatan sumber daya alam seperti halnya kasus batang sawit di atas. Mengapa hal tersebut kita biarkan  berlama-lama? Mari kita cari solusi atas hal tersebut.


Pelepah-pelepah sawit tersebut bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar pengeringan serbuk batang sawit sebelum dibuat pellet. Ya, batang-batang sawit tersebut harus dikecilkan ukurannya (size reduction) seukuran serbuk kayu (sawdust) lalu dikeringkan dan selanjutnya dipelletkan. Dengan cara seperti itu limbah-limbah biomasa menjadi termanfaatkan, bukan mencemari lingkungan serta menjadi unit bisnis. Pelepah-pelepah sawit bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar dalam tungku pembakaran dengan panas flue gas untuk pengeringan serbuk batang sawit. Abu dari pembakaran pelepah sawit juga bisa dikembalikan ke kebun sebagai pupuk yang kaya kalium (K).
Saat ini kami ada permintaan OPT Pellet untuk pasar export dengan kapasitas 1.000 ton/bulan. Bagi para pengusaha sawit atau sektor energi yang berminat menindaklanjuti peluang tersebut, bisa menulis email ke eko.sbs@gmail.com

Sabtu, 16 Desember 2017

Uang Yang Membawa Kemudharatan Kolektif


Potensi energi biomasa Indonesia sangat besar yakni menurut ESDM bila dikonversi ke energi listrik hampir 50.000 MW dan saat ini yang sudah dimanfaatkan sekitar 1600 MW atau 3%, sehingga dengan potensi tersebut seharusnya tidak terjadi krisis energi di negeri ini. Biomasa tersebut siap diolah untuk menjadi berbagai bentuk energi baik sumber panas maupun listrik. Dengan diolah menjadi wood pellet atau biomass pellet, maka penggunaan, penyimpanan hingga distribusinya menjadi mudah, aman dan murah. Belum lagi potensi berupa tanah-tanah yang bisa ditanami kebun energi yakni dari hutan tanaman energi yang jumlahnya mencapai puluhan juta hektar. Tetapi mengapa hal tersebut bukan menjadi berkah yang membawa kesejahteraan dan kemudahan hidup manusia? Bisa jadi masyarakat kita tidak menyadari dan mengetahui potensi tersebut, sehingga cenderung hanya membiarkannya, dan tidak mengolahnya, jelas ini berakibat menyia-nyiakan potensi yang berujung pada kemubadziran.

Banyak kabar berita telah beredar baik media cetak dan elektronik termasuk internet dan juga bahkan dialami sendiri oleh para pembaca sekalian bahwa terjadi kelangkaan gas LPG 3 kg di sejumlah daerah. Tentu saja bisa jadi karena sejumlah oknum bermain sehingga terjadi kelangkaan gas LPG tersebut. Ketika masyarakat di berbagai daerah memiliki alternatif energi yang bisa bersaing dengan LPG tersebut maka masalah kelangkaan energi atau bahan bakar tidak akan terjadise. Pertanyaannya bagaimana produksi energi yakni wood pellet atau biomass pellet atau wood briquette ataupun seperti rice husk briquette tersebut tersebar merata di seluruh pelosok negeri? Dari sinilah minat untuk menjadi produsen harus ditumbuhkan bagi para pengusaha khususnya yang bergerak di sektor energi. Pada prakteknya hal tersebut tidak mudah terutama sebagian besar bisnis berupa produksi tersebut beresiko tinggi.

Tingginya suku bunga deposito yakni dikisaran 6% per tahun telah membuat iklim berusaha atau bisnis menjadi lesu, dan banyak orang menjadi pemalas menunggu hasil dari bunga yang diharamkan agama tersebut. Bisnis baru tentang energi misalnya yang memberikan keuntungan 20-30% yang dibuat secara kongsi atau berserikat antara 2-3 orang dengan keuntungan 6-15% dianggap tidak menarik karena ada resiko rugi. Hal inilah yang mengakibatkan banyak sekali bidang-bidang bisnis yang memberi manfaat dan kemudahan hidup manusia menjadi tidak tersentuh dan otomatis tidak tergarap. Walaupun belum sepenuhnya terbebas dari bunga atau riba, sejumlah negara yang menerapkan suku bunga rendah bahkan hampir 0 % sebagai contoh Amerika Serikat hanya 1,35% dan Belanda 0,05%, telah terbukti memacu dan mendorong iklim bisnis lebih bergairah dan dinamis. Orang-orang menjadi berpikir dan berusaha untuk tidak hanya menyimpan uangnya di bank, tetapi bagaimana menjadi aktivitas yang produktif. Faktanya juga riil bahwa negara yang masih menggunakan sistem riba, tetapi dengan tingkat suku bunga lebih rendah saja sudah dapat dengan mudah mengalahkan negara yang tingkat suku bunganya lebih tinggi, apalagi negara yang tanpa riba, pasti dia bisa mengalahkan kekuatan ekonomi negara-negara lainnya yang masih berbasis riba.

Bahkan dosa riba tersebut levelnya lebih tinggi daripada mengkonsumsi makanan haram lainnya, misalnya makan babi, anjing, darah dan bangkai. Pemakan riba mendapat ancaman sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mengkonsumsi makanan haram tidak sampai diancam demikian. Untuk lebih detail bisa menyimak kajian berikut  di link ini
Uang-uang yang disimpan dan memberi penghasilan bunga tersebut telah membawa kemudharatan atau kerusakan kolektif. Tetapi faktanya mayoritas penduduk negeri ini bahkan dengan mayoritasnya muslim memilih cara itu, karena selain dijamin pemerintah dan rakyatnya juga tanpa resiko. Bukan saja begitu banyak bidang bisnis menjadi lesu dan terbengkalai, tetapi juga sikap mental menjadi pemalas tersebut. Sektor-sektor penting seperti masalah pangan, energi dan air menjadi semakin lemah penguasaannya. Tanah-tanah banyak ditinggalkan karena sektor pertanian dan peternakan dianggap tidak memberi keuntungan menarik dan beresiko tinggi, akibatnya import bahan pangan semakin merajalela, sedangkan daya beli semakin menurun. Karena kurangnya supply cabe, harga cabe sering melonjak tajam, demikian juga harga daging.  Tidak ketinggalan juga yakni sektor energi, bahkan untuk minyak bumi saat ini Indonesia telah menjadi nett importer dan tidak lagi menjadi anggota OPEC karena kebutuhan minyak dalam negeri telah melebihi pasokan produksi yang dihasilkan. Inovasi-inovasi di bidang energi juga lesu dan loyo. Dan yang paling mutahir dan mudah disaksikan yakni kelangkaan gas LPG 3 kg di sejumlah daerah. Riba telah mengambil makanan kita! Riba telah mengambil bahan bakar kita! Itulah yang terjadi. 
Sehingga solusinya adalah hanya kembali meningkatkan iman dan takwa dengan meninggalkan bunga atau riba tersebut dan menyuburkan aktivitas ekonomi non-riba (ekonomi syariah) dan sedekah sehingga tercipta kehidupan yang berkah dan memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Peringatan Allah SWT dalam QS Al Baqarah 275-279 bahwa peran riba begitu nyata dalam menghancurkan ekonomi dan ancaman siksa yang keras di dunia dan akhirat sehingga hal tersebut harus menjadi motivasi untuk penerapan sistem ekonomi syariah tersebut. Hanya dengan itu ekonomi kembali bergairah dan keberkahan muncul. 

Jumat, 08 Desember 2017

Kebun Energi Yang Multipurpose

Pengalaman adalah guru terbaik, begitu pepatah mengatakan. Begitu juga dalam masalah energi terbarukan khususnya yang berbasis biomasa, yakni program produksi biodiesel dari jarak pagar yang kandas karena mengalami kegagalan, serta bioetanol dari singkong (ubi kayu) dan tebu yang juga tragis karena juga mengalami kegagalan. Perlu kita kaji dan analisa penyebab kegagalan tersebut supaya kegagalan tersebut tidak terulang lagi. Pada kebun energi jarak pagar untuk bahan baku biodiesel ternyata produktivitas biji jarak pagar kecil dan tidak bisa bersaing dengan minyak diesel (solar) di pasaran. Selain itu daun jarak pagar juga tidak bisa digunakan untuk pakan ternak, sedangkan apabila diambil kayunya untuk sumber energi selain jumlahnya tidak banyak juga jelas akan mengganggu produktivitas biji jaraknya, sebagai produk utamanya. 
Jarak Pagar 
Singkong
Sedangkan pada produksi bioetanol dari ubi kayu dan tebu ternyata ada konflik kepentingan antara sektor pangan dan energi. Kembali petunjuk Al Qur'an harus dijadikan rujukan dan pegangan untuk masalah tersebut, yang bisa dibaca disini. Import gula Indonesia saat ini masih 1,3 juta ton sedangkan untuk tapioka masih import dengan kisaran 1 juta ton. Artinya untuk memenuhi sektor pangan saja yang prioritasnya lebih penting masih kekurangan apalagi untuk sektor energi. Tetapi masih mendingan bahwa konflik kepentingan antara pangan dan energi tersebut tidak sampai menimbulkan huru-hara seperti yang terjadi di Mexico beberapa waktu yang terkenal dengan huru-hara Tortila. Belajar dari kasus kegagalan tersebut, seharusnya bukan membuat kita mundur ke belakang apalagi era bioeconomy akan semakin besar porsi energi dari tumbuh-tumbuhan baik pepohonan maupun tanaman semusim. 
Lantas bagaimana solusinya untuk bisa bangkit dari kegagalan masa lalu dan punya peran signifikan dalam era bioeconomy ini? Kembali Al Qur'an memberi petunjuk bahwa energi itu berasal dari pepohonan dan buah-buahan. Lebih jelas mengenai hal tersebut bisa dibaca disini dan disini. Contoh praktisnya kebun energi multipurpose yang berasal dari pepohonan adalah solusi tersebut. Pepohonan tersebut termasuk kelompok leguminoceae yang mampu berproduksi dalam waktu singkat dengan produktivitas kayu yang tinggi yakni 1 tahun saja, dan tidak perlu replanting atau penanaman ulang hingga 20 tahun. Selain pepohonan tersebut juga menghasilkan daun yang kaya protein sehingga sangat bagus untuk pakan ternak juga akarnya mampu mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Tahapan produksi wood pellet dari kebun energi bisa dibaca disini


Wood pellet yang dihasilkan bisa juga multipurpose, yakni selain digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik dan boiler, juga bisa sebagai bahan bakar rumah tangga untuk memasak. Selain masalah lingkungan berupa perubahan iklim karena konsentrasi CO2 di atmosfer yang telah melampaui ambang batas, ternyata masalah kelangkaan bahan bakar khususnya LPG (Propane) banyak terjadi di sejumlah daerah. Masalah kelangkaan LPG tersebut memicu masalah sosial karena masyarakat yang sudah tergantung dengan bahan bakar tersebut, menjadi tidak siap dengan bahan bakar selain itu. Tungku-tungku kayu sudah ditinggalkan, kalau pun masih ada ketersediaan kayu bakar juga terbatas, apalagi untuk musim penghujan. Wood pellet bisa menjadi solusi masalah tersebut, apalagi telah banyak kompor-kompor wood pellet yang efisien dengan hampir tidak ada polusi asap. 

Apabila dihitung dengan harga LPG maka harga wood pellet juga lebih murah, yakni dengan nilai kalori yang sama dua setengah kg wood pellet (nilai kalor 4.400 kkal/kg) dengan harga Rp 3750,- sementara satu kilo LPG (nilai kalor 11.000 kkal/kg) Rp 6000,- Penghematan yang bisa dilakukan Rp 2250/kg atau 37,5% yang berarti lebih dari sepertiganya. Selain itu penggunaan wood pellet juga lebih aman, tidak akan meledak seperti halnya LPG. Selang yang rusak lalu terjadi kebocoran gas banyak menyebabkan terjadinya ledakan. Penyimpanan wood pellet juga mudah seperti menyimpan beras. Dengan kemasan-kemasan kecil misalnya 5 kg atau 10 kg, maka penggunaan wood pellet semakin praktis dan mudah didistribusikan. Kesimpulannya : kebun energi yang multipurpose dengan pohon-pohon leguminoceae akan memberikan banyak manfaat, utamanya energi, lalu peternakan domba hingga kesuburan tanah. Bahkan lebih jauh lagi Al Qur'an dalam Surat  Yaasiin ayat 33 menyebut pohon-pohon leguminoceae tersebut merupakan tanaman perintis yang bisa menghidupkan tanah-tanah yang mati. 

Kamis, 16 November 2017

Transmigrasi Untuk Menggembala Domba Di Kebun Sawit, Mungkinkah ?

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. ” (QS 16:10)

“Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54) 

“"Setiap Nabi yang diutus oleh Allah adalah menggembala domba/kambing". Sahabat-sahabat beliau bertanya : “Begitu juga engkau ?” ; Rasulullah bersabda : “Ya, aku menggembalanya dengan upah beberapa qirath penduduk Mekah”. (H.R. Bukhari)
Indonesia memiliki sekitar 12 juta hektar perkebunan kelapa sawit saat ini, yang terdiri dari 4,8 juta hektar perkebunan rakyat, 6,2 juta hektar perkebunan swasta dan 0,8 juta hektar perkebunan negara. Perkebunan sawit tersebut membutuhkan sejumlah perawatan sehingga bisa terus berproduksi apalagi dengan target produksi tandan buah segar (TBS) tertentu per hektarnya. Apalagi produktivitas TBS di Indonesia secara umum juga lebih rendah dari Malaysia, yakni hanya sekitar setengahnya. Menjaga kesuburan tanah adalah faktor penting untuk menjaga kelangsungan dan target produksi TBS kelapa sawit tersebut. Upaya menjaga kesuburan tanah yang murah, mudah, efektif dan berkelanjutan adalah hal yang dicari oleh semua petani atau pengusaha kelapa sawit tersebut. Penggembalaan domba di area perkebunan sawit adalah solusi efektif tersebut.
Grafik diambil dari sini
Mengapa penggembalaan domba bisa menjadi solusi efektif tersebut? Domba-domba yang digembalakan di perkebunan sawit tersebut, akan menyebarkan kotoran yang menjadi pupuk bagi perkebunan sawit. Selain memupuk pohon-pohon sawit, penggembalaan domba di perkebunan sawit tersebut juga berarti produksi daging secara masif dan paling ekonomis. Ditinjau dari sisi pangan, minyak sawit yang digunakan sebagai minyak yang di konsumsi manusia atau minyak pangan (edible oil) menyediakan unsur lemak, sedangkan daging domba menyediakan unsur protein, dua hal unsur pangan esential bagi manusia. Perkebunan sawit perlu terus dijaga kesuburan tanahnya, konsumsi daging penduduk Indonesia yang masih rendah hanya 1/4 rata-rata dunia perlu ditingkatkan, domba juga komoditas export, yang Arab Saudi saja membutuhkan minimal 8 juta ekor/tahun, dan aktivitas ekonomi di luar Jawa perlu terus ditingkatkan sehingga lapangan pekerjaan bisa terus dibuka, pemerataan penduduk Indonesia yang saat ini 60% terkonsentrasi di pulau Jawa, adalah sejumlah daya dorong penggembalaan domba di perkebunan sawit. Domba akan menjadi harta terbaik muslim dan memiliki banyak keunggulan dibanding binatang ternak lain, untuk lebih rinci bisa dibaca di sini, sini dan sini.

Allan Savory, seorang biologist dari Zimbabwe telah membuktikan dengan program penggembalaan yang terencana, atau dengan konsep Holistic Planned Grazing, bahkan telah menyelamatkan bumi dengan kembali menghijaukannya dengan luasan yang tidak main-main yakni 16 juta hektar atau hampir 2,5 kali luas kebun sawit Indonesia. Allan Savory menggunakan sapi sebagai binatang gembalaan tersebut. Domba jelas lebih unggul dalam sejumlah aspeknya, seperti penjelasan dalam link-link di atas. Allan Savory saja yang hanya manusia biasa dengan konsepnya bisa membuktikan menyelamatkan bumi dengan luasan jutaan hektar, nah bagaimana jika sunnah para Nabi diterapkan yakni penggembalaan domba diterapkan? Tentu hasilnya akan jauh mengungguli konsep Allan Savory dalam semua aspeknya, apalagi mengatasi sejumlah  masalah di perkebunan sawit dan pangan kita khususnya daging. Selain itu jelas ayat Al Qur'an di atas juga memberi petunjuk dimana sesungguhnya lokasi penggembalaan yang paling cocok bagi hewan ternak. Apakah para petani dan pengusaha sawit muslim di Indonesia khususnya tidak tertarik menerapkan penggembalaan domba di perkebunan sawitnya sebagai solusi efektif usahanya, mengikuti sunnah dan petunjuk ayat Al Qur'an di atas?

Porsi Sumber Protein Hewani Menurut Al Qur'an
Transmigrasi yang dulu pernah digalakkan pada era orde baru, semestinya bisa dilakukan kembali. Ketika transmigrasi saat itu untuk bertani dengan mengolah tanah dan bercocok tanam, bahkan hingga pembukaan sawah sejuta hektar yang saat ini kondisinya mengenaskan, maka transmigrasi saat ini adalah untuk penggembalaan domba di area perkebunan sawit. Hal tersebut akan lebih mudah, karena perkebunan sawitnya juga sudah ada dan sangat luas. Apabila hal tersebut diterapkan maka akan ada ratusan juta ekor domba digembalakkan di perkebunan sawit dan sangat banyak lapangan pekerjaan tersedia. Al Qur'an juga mengindikasikan sumber protein dari ternak besar menempati porsi terbesar dibanding unggas dan ikan. Sumber protein hewani yakni dari ternak besar terungkap dalam setidaknya 7 ayat atau 64%, dari ikan terungkap dalam 3 ayat atau 27% dan dari unggas terungkap dalam 1 ayat atau 9%. Sehingga untuk pemenuhan kebutuhan protein prioritasnya adalah dari ternak besar, khususnya yang digembalakan, karena selain menghasilkan protein yang murah, juga menyuburkan lahan-lahan untuk berbagai kebutuhan manusia. 
Ditinjau dari sisi energi, pohon sawit juga sebagai sumber energi terbarukan. Minyaknya selain untuk pangan juga untuk untuk energi yakni biodiesel, sabut dan cangkang juga sebagai bahan bakar. Cangkang sawit bahkan telah menjadi komoditas export yang sangat dicari oleh berbagai negara di dunia. Bahkan ketika cangkang sawit ini habis akibat tingginya permintaan baik untuk pasar export maupun penggunaan dalam negeri, maka tandan kosong sawit (EFB) juga akan bisa digunakan untuk bahan bakar seperti dibuat EFB pellet. Ketika tandan kosong sawit biasa dibuat kompos, dan selanjutnya dibuat pellet, maka kesuburan tanah kembali menjadi masalah maka penggembalaan domba sebagai solusinya, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Penggunaan pohon sawit sebagai sumber pangan dan energi sejalan dengan era bioeconomy yang akan segera kita masuki.

Selasa, 14 November 2017

Wood Pellet Vs Palm Kernel Shell Di Pasar Lokal Dan Pasar Global

Berbeda dengan Kanada dan Amerika, yang menggenjot produksi wood pelletnya dengan orientasi utamanya saat ini untuk eksport, maka Indonesia dan juga Malaysia telah memiliki bahan bakar biomasa yang sifat-sifatnya mirip dengan wood pellet, yakni cangkang sawit atau palm kernel shell. Cangkang sawit ini juga menjadi penantang utama wood pellet di pasar global. Apa saja kemiripan sifat-sifat wood pellet dibandingkan dengan cangkang sawit? Hal-hal tersebut antara lain, pertama, ukuran relatif seragam ;kedua merupakan bahan curah; ketiga nilai kalor yang hampir sama; keempat mudah dalam handling dan kelima mudah dihancurkan (crushing). Indonesia dan Malaysia mungkin tidak sengaja menemukan cangkang sawit sebagai jenis bahan bakar biomasa yang memiliki kualitas superior dan diminati berbagai negara atau komoditas export, sedangkan Kanada dan Amerika, karena tidak punya perkebunan sawit maka mengolah limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu hutan untuk dijadikan wood pellet, karena bahan baku tersebut banyak tersedia disana. Eropa juga banyak memproduksi wood pellet dan sebagian besar digunakan untuk mereka sendiri, bahkan karena kebutuhannya masih lebih besar daripada produksinya, maka harus mengimport dari Kanada dan Amerika. Bahkan Eropa inilah porsi pasar terbesar untuk wood pellet Amerika dan Kanada.

Dengan luas lahan sawit Indonesia saat ini sekitar 12 juta hektar dan Malaysia 5 juta hektar, dengan sekitar 35 juta ton CPO produksi Indonesia dan 19 juta ton CPO Malaysia (85% CPO dunia dari Indonesia dan Malaysia), maka setelah dikurangi untuk bahan bakar internal pada pabrik CPO mereka, masih tersisa cangkang sawit lebih dari 10 juta ton. Sedangkan produksi wood pellet Kanada yakni 3 juta ton dan Amerika yakni 3,5 juta ton. Rupanya cangkang sawit masih lebih banyak daripada produksi wood pellet dari kedua negara besar tersebut saat ini. Tetapi permintaan eksport yakni untuk cangkang sawit tersebut ternyata terus meningkat. Jepang, Korea Selatan dan China adalah ketiga negara dengan kebutuhan besar. Apabila katakan 10 juta ton cangkang sawit tersebut semua di import oleh ketiga tersebut maka itupun akan masih kurang, terutama pada tahun 2020 yang mana prosentase penggunaan bioenergi di ketiga negara tersebut cukup besar. Padahal ternyata peminatnya tidak hanya negara-negara Asia Timur tersebut, tetapi negara-negara di Eropa seperti Polandia dan Italia ternyata juga membutuhkan cangkang sawit tersebut.

Ada lagi pertanyaan, apakah di dalam negeri tidak membutuhkan cangkang sawit tersebut? Ternyata di dalam negeri baik di Malaysia maupun di Indonesia juga menggunakan cangkang sawit tersebut. Kita ambil contoh di Indonesia, sejumlah industri menggunakan cangkang sawit untuk bahan bakar boiler mereka, ada juga yang digunakan untuk proses produksi teh, ada juga digunakan produksi arang bahkan arang aktif, pembuatan briket, dan bahkan akhir-akhir ini sejumlah pembangkit listrik juga menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakarnya. Nah, di titik inilah masalah mulai muncul, cangkang sawit yang awalnya hanya limbah atau sampah pabrik sawit sekarang ramai dicari bahkan menjadi komoditas export. Walaupun saat ini penggunaan untuk konsumsi dalam negeri juga belum banyak. Posisi cangkang sawit yang jauh berada di pedalaman juga umumnya belum bisa termanfaatkan dan hanya menjadi limbah saja. Perihal kompetisi penggunaan cangkang sawit tersebut, mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Tentu saja karena dorongan mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global sehingga menggunakan biomass fuel yang carbon neutral, cangkang sawit juga paling murah, tersedia dalam jumlah besar, berkesinambungan (sustainable) dan kualitasnya bagus yakni propertiesnya tidak berbeda jauh dengan wood pellet. Harga cangkang sawit hanya sekitar separuh dari wood pellet.

Lalu bagaimana solusinya? Seperti kita semua ketahui hukum pasar supply demand akan menentukan harga suatu komoditas, demikian juga cangkang sawit. Kalau melihat proyeksi peta kebutuhan biomass fuel di negara-negara Asia Utara (Jepang, Korea, China) dan Eropa dengan trend terus meningkat secara signifikan, sementara kebutuhan di dalam negeri relatif kecil peningkatannya, maka besar kemungkinan sebagian cangkang sawit tersebut akan terkuras habis untuk export apalagi dengan harga beli lebih tinggi dari pasar dalam negeri. Pengenaan pajak yang tinggi supaya cangkang sawit yang merupakan limbah sawit tersebut juga tidak tepat. Kalau pajak terlalu tinggi maka jelas cangkang sawit menjadi tidak kompetitif lagi, sedangkan apabila tersedia wood pellet yang harganya hampir sama, tentu saja pasar akan memilih produk tersebut. Ingat Kanada memiliki sekitar 150 juta hektar hutan industri dan Amerika sepertiganya atau sekitar 50 juta hektar, begitu juga Rusia yang tidak kalah luasnya. Para pengusaha cangkang sawit akan  gulung tikar dan ekonomi semakin lesu. Padahal nilai bisnis untuk 10 juta ton cangkang sawit setara 10 trilyun rupiah.



Seperti halnya Kanada yang mempromosikan wood pelletnya kemana-mana, seharusnya demikian juga dengan cangkang sawit, dan sambil memperbaiki harga jualnya sehingga memberi keuntungan yang menarik bagi pengusaha cangkang sawit tersebut dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Atau pun jika cangkang sawit harus dalam bentuk olahan untuk bisa export sehingga menggerakkan industri atau produksi dan ekonomi misalnya dibuat arang atau torrified palm kernel shell sebagai produk bahan bakar, ataupun arang aktif, biooil, asap cair, bio-methanol dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan dalam negeri ? Kebun energi adalah solusi untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar biomasa di dalam negeri. Kondisi iklim tropis, curah hujan tinggi, tanah luas dan subur adalah anugrah yang harus disyukuri. Kebun energi dengan tanaman rotasi cepat dan trubusan (coppice) akan menghasilkan kayu dalam tempo sangat cepat yakni 1 tahun dan bisa dipanen setiap tahun tanpa harus replanting. Replanting baru dilakukan 15 tahun maupun 20 tahun sekali. Harga kayu dari kebun energi tersebut juga akan sangat murah.

Solusi lain yang bisa diterapkan adalah pembatasan export cangkang sawit pada sejumlah daerah atau zonasi karena masalah infrastruktur dan sebagainya, dengan maksud untuk digunakan untuk sumber energi daerah yang bersangkutan. Dengan pemetaan yang lengkap, maka titik-titik atau zone-zone tersebut bisa diidentikasi selanjutnya diimplementasikan. Pada akhirnya setelah peta zonasi dan potensi cangkang sawit tersebut telah diketahui, maka porsi cangkang sawit untuk eksport juga mudah dikelola dan diorganisir, sehingga bisa dihitung berapa persen untuk export dan berapa persen untuk dalam negeri. Pengelolaan dan pengorganisir pks seperti melalui berbagai asosiasi yang telah ada saat ini akan memberi banyak manfaat seperti meningkatkan promosi, posisi tawar dan sebagainya. Sangat dimungkinkan juga bagi pengusaha-pengusaha sawit untuk melakukan polikultur dengan pohon kebun energi, untuk uraian lebih rinci bisa dibaca disini.

Contoh Pembuatan Kebun Energi Untuk Produksi Listrik
Lokasi pembangkit listrik biomasa (IPP atau independent power producer) yang umumnya berada di daerah pedalaman yang notabene tanah tersedia luas, maka kebun energi baik yang diusahakan oleh perusahaan, atau diusahakan oleh masyarakat atau sebagian oleh perusahaan (inti) dan sebagian oleh masayakat (plasma), akan berdampak positif bagi lingkungan bahkan masyarakat setempat. Kebun energi dilengkapi dengan penggembalaan ternak yakni domba akan memberikan manfaat semakin besar bagi sejumlah pihak tersebut. Peternakan domba dan kebun energi akan memberikan hubungan yang mutualisme, begitu juga bagi manusia atau pengelolanya. Rincian tentang hal itu bisa dibaca di link  ini, link ini, dan link ini

Apakah setelah cangkang sawit habis terjual, maka tankos sawit /EFB pellet akan menjadi bahan bakar biomasa (biomass fuel) yang menjadi incaran selanjutnya? Mengingat kebutuhan biomass fuel dunia yang semakin meningkat dalam era bioeconomy, maka hal tersebut juga sangat mungkin terjadi. Baik EFB pellet maupun wood pellet akan menjadi biomass fuel selanjutnya pada tahap kedua setelah cangkang sawit tersebut. Ketika kebutuhan biomass fuel untuk IPP dan sejumlah industri dalam negeri, maka kayu-kayu yang diproduksi dari kebun energi juga bisa dijadikan wood pellet untuk pasar export.

Sedangkan kayu dari kebun energi tersebut bisa hanya dibuat serpih kayu (wood chip), tanpa harus dibuat pellet untuk memenuhi IPP dan industri-industri dalam negeri. Dengan luas kebun sawit Indonesia yang saat ini telah mencapai sekitar 12 juta hektar atau hampir 2,5 kali Malaysia, bisa jadi kondisi tersebut juga hampir mencapai titik jenuh luasan yang bisa untuk perkebunan sawit tersebut. Bahkan ketika PLTU-PLTU saat ini yang sedang dibangun maupun yang beroperasi pada waktunya menggunakan biomass fuel, seperti yang terjadi di Kanada, Eropa, dan Inggris, hal tersebut juga sangat dimungkinkan, mengingat jutaan hektar tersedia untuk kebun energi. Dan tentu saja hal ini atau tata kelola lahan tersebut tidak boleh berbenturan dengan masalah pangan manusia.

Mendapatkan kayu dari kebun energi itu prosesnya lama perlu menanam dulu dan sebagainya, demikian beberapa keluhan yang sering muncul. Tapi kalau kita kaji lebih jauh, jelas pertanyaan tersebut juga tidak berdasar. Bukankah untuk mendapatkan cangkang sawit juga perlu menanam pohon sawit yang butuh rata-rata 5 tahun untuk bisa berbuah dan mendapat cangkang sawit tersebut ? Ataukah ingin mencari limbah perkebunan tertentu yang kualitasnya sekelas cangkang sawit? Misalnya cangkang mete (cashew nut shell), ya bisa saja. Tetapi ternyata ketersediaan cangkang mete tidak sebanyak cangkang sawit, bahkan banyak yang dieksport dalam bentuk biji mete, sehingga cangkannya terikut dieksport. Sedangkan kebun energi hanya membutuhkan 1 tahun setelah itu bisa dipanen setiap tahun hingga 20 tahun, dan baru diremajakan (replanting) kembali. Perawatan pohon sawit juga lebih ekstra dibandingkan kebun energi. Perawatan kebun energi salah satunya bisa dilakukan dengan penggembalaan domba untuk pemupukan kebun energi tersebut, juga sebagai produksi daging paling ekonomis. Dengan cara seperti itu kebun energi juga akan berproduksi secara maksimal. Secara teknis penyiapan kebun energi bisa dijalankan bersamaan (parallel) dengan pembangunan pembangkit listrik tersebut, sehingga pada waktunya kebun energi bisa dipanen kayunya maka pembangkit listrik biomasa juga sudah siap beroperasi.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini yang hanya dikisaran 5%, tentu hal tersebut tidak mencukupi untuk menampung tenaga kerja yang jumlahnya sangat banyak. Bagaimana solusinya? Tentu saja solusinya menciptakan lapangan pekerjaan untuk menggerakkan roda ekonomi semakin cepat. Tentu itu bukan hal mudah karena iklim bisnis yang baik juga membutuhkan persyaratan kondisi politik yang sehat dan stabil. Peluang kebun energi dan penggembalaan domba tersebut akan menciptakan banyak pekerjaan. Penggembalaan domba di kebun-kebun sawit juga sangat memungkinkan. Hampir tidak ada yang berpikir menyuburkan tanah perkebunan sawit dengan kotoran domba melalui penggembalaan tersebut. Padahal itu cara produksi dan distribusi pupuk paling ekonomis, seperti halnya produksi daging paling ekonomis. Ditinjau dari pangan, ketika minyak sawit digunakan sebagai minyak pangan maka unsur lemak didapat dari sana, sedangkan daging sebagai unsur protein yang sangat penting bagi pertumbuhan sel dan kecerdasan. Dua unsur penting pangan manusia bisa didapat dengan penggembalaan di perkebunan sawit tersebut. Sedangkan penggembalaan di kebun energi akan mendapatkan protein dan energi atau bahan bakar, dua hal yang penting juga bagi kehidupan manusia, konsep penggembalaan di kebun energi bisa dibaca lebih rinci di 5F projects for the world!

Al Qur'an memberi petunjuk bahwa energi tersebut berasal dari pepohonan, untuk lebih rinci bisa dibaca disini. Cangkang sawit dan wood pellet maupun wood chip merupakan bahan bakar atau sumber energi dari pepohonan. Seiring kemajuan teknologi maka pembangkit-pembangkit listrik pun menjadi semakin kecil ukurannya, bahkan hanya seukuran kulkas. Ketika pembangkit-pembangkit listrik kecil dan kebun energi telah tersebar dimana-mana, maka bumi kembali hijau dan kemakmuran terjadi dimana-mana, seperti diisyaratkan dalam hadist berikut :

"Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah  ruah,  hingga  seorang  laki-laki  pergi  ke  mana-mana  sambil membawa  harta  zakatnya  tetapi  dia  tidak  mendapatkan  seorangpun  yang bersedia  menerima  zakatnya  itu.  Dan  sehingga  tanah Arab  menjadi  subur makmur  kembali  dengan  padang-padang  rumput  dan  sungai-sungai "  (HR.Muslim).

Senin, 13 November 2017

Migrasi Dari Fossil Based Economy ke Bioeconomy

Melengkapi tulisan tentang bioeconomy di Go Biomass, Go Bioeconomy!, tulisan singkat dibawah ini mencoba mempertajam dan memberi berbagai kaidah atau guideline serta motivasi untuk bersama-sama menangkap peluang bioeconomy secara syar'i dengan menggunakan petunjuk Al Qur'an dan Hadist. Bila pada era fossil based economy, negeri-negeri yang kaya minyak (petro dollar) menjadi negeri-negeri makmur dengan kekayaan yang melimpah, maka di era bioeconomy mendatang kesempatan beralih ke negeri-negeri yang memiliki kekayaan biomasa terbanyak. Biomasa dari tumbuh-tumbuhan dan hewan akan hidup dan berkembang dengan baik di negeri-negeri yang banyak air dan matahari, sehingga negeri-negeri itulah yang berpeluang besar unggul di era bioeconomy nantinya. Hal-hal kunci yang perlu untuk diperhatikan, dipahami dan dikelola dengan baik antara lain bisnis, ekonomi, pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan, pangan, energi, industri, biochemical dan biomaterial.

Eropa mencanangkan bioeconomy pada 2030. Di sektor energi penggunaan energi terbarukan dalam RED I ( Renewable Energy Directive) dengan target 20-20-20 yakni efisiensi energi dinaikkan 20%, lalu pemakaian energi terbarukan mencapai porsi 20% pada 2020, akan segera berakhir dan sedang disiapkan RED II yang diusulkan pemakaian energi terbarukan menjadi 27% pada tahun 2030. Porsi energi terbarukan di Eropa baik di RED I maupun RED II biomasa memegang porsi sekitar 70%-nya. Negara-negara di Amerika Utara yakni Amerika Serikat dan Kanada juga mencanangkan energi terbarukan secara masif, misalnya US Department Energy and Agriculture mencanangkan produksi biomasa kering sebanyak minimal 1 milyar ton pada tahun 2040. Sedangkan di Kanada sejumlah negara bagian bahkan telah banyak menutup PLTU dengan batubara dan gas, serta selanjutnya menggunakan energi terbarukan khususnya biomasa. Kota Alberta di Kanada mencanangkan penghentian semua pembakaran batubara dan gas alam pada tahun 2030. Sedangkan di Asia, dua negara di Asia Utara yakni Jepang dan Korea Selatan telah mencanangkan penggunaan energi terbarukan secara masif sejak tahun 2012.  Negara-negara di Asia lainnya juga mencanangkan program penggunaan energi terbarukan, seperti Indonesia pada Kebijakan Energi Nasionalnya, Malaysia dengan National Renewable Energy Policy and Action Plan , Thailand dengan Alternative Energy Development Plan. 
Bioeconomy seperti apa yang akan kita usung? Apa bedanya dengan bioeconomy yang diterapkan di barat dan belahan dunia lain? Mengapa kita memilih bioeconomy tersebut? Bioeconomy dengan berlandaskan Al Qur'an dan Hadist itulah, bioeconomy yang akan kita usung. Bukan seperti di barat yang bingung masih mana tanaman pangan dan mana untuk energi? Bingung mana tanaman biji-bijian untuk pangan manusia dan mana untuk pakan ternak?  Rerumputan misalnya jelas untuk pakan ternak, tetapi biji-bijian bisa untuk pakan ternak dan lebih banyaknya untuk pangan manusia. Buah-buahan umumnya untuk pangan manusia, tetapi bisa juga dalam jumlah lebih sedikit untuk energi. Kayu-kayuan sebagian besar untuk energi. Dengan pembagian yang jelas masalah pangan, pakan, dan energi jangan sampai kita mengalami krisis pangan akibat bahan pangan dipakai untuk energi seperti huru-hara tortilla di Meksiko, maupun terjadi kelangkaan kedelai akibat China menyedot habis produksi kedelai dunia untuk pakan ternaknya. Berdasarkan penyebutan ayat-ayat Al Qur'an tentang pakan, pangan dan energi, maka akan dihasilkan porsi seperti illustrasi grafik dibawah ini. Setidaknya ada 7 ayat di Al Qur'an yang membicarakan tentang pangan, 6 ayat tentang pakan dan 2 ayat tentang energi. Mayoritasnya tanaman untuk pangan manusia, kemudian dalam jumlah hampir sama untuk pakan ternak dan dalam jumlah yang lebih kecil untuk energi. Aplikasi dan penjelasan bisa lebih rinci disini dan disini

Ketahanan pangan, energi dan air, harus dilakukan bersamaan. Dan yang penting adalah ini tugas kita sebagai muslim. Apabila peran ini tidak kita ambil, sudah pasti peran tersebut akan diambil oleh orang lain. Apabila hal itu terjadi kepentingan ekonomi, politik maupun kepentingan lainnya yang lebih kuat daripada untuk menjaga kehidupan itu sendiri. Terlebih lagi Allah SWT mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan generasi lemah (QS 4:9), tugas untuk memakmurkan bumi (QS 11:61) dan untuk menjaga keseimbangan di alam (QS 55 : 8-9). Sedangkan untuk melaksanakan tugas itu Allah SWT memberi kita petunjuk beserta penjelasannya (QS 2:185), agar bisa menjawab seluruh persoalan dan tantangan jaman kita ini (QS 16:89)-bahkan Allah juga akan mengajari ilmu yang kita belum tahu, bila kita terus meningkatkan ketakwaan kita (QS 2:282).
Dengan serangkaian panduan yang amat detail tersebut, maka bisa dibayangkan bila urusan menjaga keamanan pangan, energi dan air ini dikelola oleh orang yang tidak menggunakan petunjuk-Nya. Dengan mudah mereka akan mengeksploitasi kebutuhan pangan manusia, mengkooptasi mata-mata air yang seharusnya untuk kepentingan bersama dan mengendalikan supplai energi dunia untuk kepentingan ekonomi segelintir manusia saja. Inilah masalah besar dan berat, tetapi bila kita menyerahkan ke orang lain seperti yang kita alami hari-hari ini, kita mengalami krisis tiga dimensi sekaligus, yaitu pangan, air dan energi. Maka seberat apapun, kita harus mulai belajar memikulnya.

Dengan demikian menjadi mudah dipahami, mengapa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengingatkan umat ini untuk bersyirkah (kerjasama ekonomi) dalam tiga hal :"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud). Tiga hal yang diluar sana disebut FEW (Food, Energy, Water), dan menjadi perebutan bahkan menjadi alasan perang, sedangkan dalam dunia Islam malah bisa menjadi titik awal pemersatunya. 

Photo diambil dari sini 
Jauh sebelum dunia modern mengenalkan konsep bioeconomy, muslim sudah selama 1000 tahun lebih berjaya memakmurkan bumi di sebagian besar wilayah dunia, yaitu pada dari masa di Andalusia kemudian dilanjutkan oleh Turki Usmani - Dan baru berakhir ketika penjajah Napoleon memasuki Mesir di awal abad 19. Beberapa waktu lalu Chinese Academy of Science mengadakan workshop di Beijing, judulnya Workshop on Agriculture Culture and Sustainable Development in Asia dengan pembicara Andrew M Watson, professor Sejarah Ekonomi dari University of Toronto -Canada. Professor tersebut sangat menguasai sejarah pertanian Islam, karena lebih dari 30 tahun sebelumnya menerbitkan buku "Agricultural Innovation in the Early Islamic World, The Diffusion of Crops and Farming Techniques, 700-1100" (Cambridge University Press, New York 1983). 
Sang professor-pun mengakui bahwa di rentang waktu sangat panjang tersebut, memang pertanian Islam-lah yang maju. Dia mencatat misalnya, di masa sebelum Islam, pertanian bangsa Romawi, Byzantium dan sebagainya, masih sangatlah sederhana. Paling banter lahan hanya di pakai sekali dalam setahun, dan lebih seringnya hanya sekali dalam dua tahun. Pajak tanah yang tinggi di wilayah Romawi kala itu juga semakin mempersulit aktivitas pertanian. Bahkan semua istilah keren yang kini digandrungi oleh banyak petani modern seperti permaculture, organic farming, natural farming, sustainable agriculture dan lain sebagainya sesungguhnya hanyalah baru sebagian kecil dari Islamic Agriculture yang meliputi aspek yang sangat luas dari dunia pertanian. Maka di pergantian jaman dari fossil-based economy ke arah bio-based economy atau bioeconomy inilah muslim kembali kembali berjaya. InsyaAllah. 

Jumat, 20 Oktober 2017

Kontainer Masih Menjadi Pilihan Utama Export Wood Pellet Indonesia?

Kepuasan pembeli karena mendapatkan barang sesuai pesanannya, tidak rusak dan cacat, adalah faktor penting keberlangsungan suatu bisnis sehingga pembeli terus kembali dan membeli lagi (repeat order), yakni dengan membuat atau memperpanjang kontrak yang ada, bahkan dengan menambah kapasitas pembeliannya. Hal tersebut juga berlaku pada bisnis wood pellet. Upaya mendapatkan barang yang sesuai pesanan bagi pembeli salah satunya dengan menjaga barang tersebut sepanjang perjalanan dari berbagai kerusakan adalah hal penting salah satunya dengan memilih kemasan atau sarana atau jenis pengiriman wood pellet yang sesuai. Hampir semua export wood pellet Indonesia saat ini menggunakan kontainer atau peti kemas dengan wood pelletnya berada dalam jumbo bag lalu ditata atau disusun didalam kontainer tersebut. Beberapa menggunakan kemasan karung lalu menempatkannya dalam kontainer juga. Ada juga  dengan cara curah atau tidak dikemas dalam jumbo bag atau karung tetapi masih dalam kontainer. Penggunaan kontainer dipilih karena, pertama volume export wood pellet belum besar, kedua belum tersedia sarana penunjang yang memadai untuk export wood pellet jumlah besar secara curah. 
Wood pellet adalah produk yang sangat sensitif dengan air, sehingga proteksi atau menjaganya supaya terhindar dari air harus dilakukan untuk menjaga kualitas wood pellet tersebut. Dengan menempatkan wood pellet tersebut dalam kontainer maka proteksi dari air seperti air hujan bisa dilakukan, sehingga saat ini masih dijadikan pilihan utama. Lalu bagaimana untuk export wood pellet dalam jumlah besar apalagi rutin dilakukan setiap bulan? Perlu upaya extra saat ini apabila hendak menggunakan pengapalan curah ( bulk shipment), terutama untuk proteksi dari air tersebut. Apalagi pada musim penghujan. Curah hujan di Indonesia cukup tinggi dibandingkan negara-negara lain pada umumnya, yakni rata-rata 2700 mm/tahun atau tiga kali lebih tinggi dari rata-rata dunia yang hanya 900 mm/tahun. Curah hujan Indonesia lebih Indonesia lebih tinggi pula dibanding India (1.080 mm), Amerika (715 mm), China (645 mm), Brasil (1.750 mm), Argentina (591 mm) dan bahkan Thailand (1.625 mm). Hanya dua negara tetangga kita yang mampu melampaui curah hujan Indonesia yakni Malaysia (2.875 mm) dan Papua Nugini (3.140). Sedangkan negara-negara di kawasan Timur Tengah pada umumnya hanya memiliki curah hujan yang kecil seperti Yordania (111 mm), Qatar (74 mm), Arab Saudi (59 mm) dan Mesir yang hanya mendapatkan curah hujan 51 mm pertahun. Sehingga apabila pengapalan wood pellet curah akan dilakukan maka pada musim kemarau akan lebih mudah karena proteksi air lebih mudah dilakukan. Sebagai perbandingan kita akan melihat pengapalan cangkang sawit atau palm kernel shell (pks) yang juga bahan bakar biomasa telah banyak di export ke luar negeri terutama dengan pengapalan curah (bulk shipment).

Cangkang sawit tidak sesensitif wood pellet atau pellet fuel terhadap air, sehingga handlingnya juga tidak sesulit wood pellet. Ada tiga hal utama yang menjadi parameter utama cangkang sawit yakni kadar air, nilai kalor dan kadar pengotor (impurities). Terkait kadar air ini karena cangkang sawit tidak rusak karena air tetapi hanya menjaganya supaya tidak terlalu basah, sedangkan wood pellet yang merupakan produk industri dari pemadatan biomasa kayu-kayuan (biomass densification) akan rusak bahkan hancur akibat keberadaan air dalam jumlah tertentu. Mechanical interlocking yang terjadi sewaktu pemadatan tersebut akan terurai dan lepas karena keberadaan air yang banyak tersebut sehingga wood pelletnya hancur. Pada pengiriman cangkang sawit dari lokasi stockpile hingga pelabuhan export penggunaan kapal, penggunaan truck atau tongkang biasa dilakukan dan kadang-kadang hanya ditutup (sealed) dengan plastik yang tidak terlalu rapat. Pada wood pellet penutupan dengan plastik sewaktu menuju kapal pengangkut juga bisa dilakukan tetapi apabila tidak rapat akan rawan terhadap air terutama pada musim penghujan, ditambah lagi apabila pemuatan (loading) ke kapal dilakukan di tengah laut (transhipment) karena kapal tidak bisa bersandar di pelabuhan seperti biasa dilakukan di Kalimantan. 
Perbedaan tingkat toleransi terhadap keberadaan air antara cangkang sawit dan wood pellet tersebut, berimplikasi pada handling bahkan peralatan yang digunakan. Faktor cuaca (seperti badai) dan padatnya lalu lintas pelabuhan muat menambah kesulitan pemuatan (loading) wood pellet ke kapal tersebut. Hal tersebut membuat pengapalan wood pellet dalam jumlah besar dengan pengapalan curah (bulk shipment) masih sulit dilakukan, sehingga pengapalan dengan kontainer masih menjadi pilihan utama. 

Terminal wood pellet di Kanada, dengan silo-silo penampung wood pellet sementara sebelum pengapalan
Loading wood pellet dari silo ke kapal pengangkut
Terminal semen di pelabuhan 
Loading semen dari silo ke kapal pengangkut
Sebuah referensi lain yang bisa kita jadikan acuan adalah pengapalan curah semen. Semen adalah produk yang juga sangat sensitif dengan air, dengan adanya air maka semen akan menggumpal sehingga menjadi tidak bisa digunakan, sehingga proteksi terhadap air mutlak diperlukan. Jalur distribusi semen hingga pengapalan curahnya semua terlindungi dari masuknya air. Di jalan-jalan raya mudah kita jumpai truck-truck besar pengangkut semen curah melintas, lalu di sejumlah pelabuhan juga dibangun terminal-terminal semen berupa silo atau bin seperti menara-menara tinggi.  Ketika produksi wood pellet sudah massif maka infrastruktur atau peralatan pendukungnya juga hampir sama seperti semen dan hal tersebut saat ini juga sudah bisa kita saksikan di negara-negara produsen wood pellet seperti Amerika dan Kanada. Pada sisi pelabuhan penerima atau pelabuhan tujuan pengapalan tersebut peralatan yang memadai juga dibutuhkan untuk menangani bongkar muat (unloading) wood pellet tersebut. Untuk perbandingan, pada produk pellet pakan (feed pellet) dalam jumlah besar juga akan membutuhkan hal yang hampir sama untuk export pengapalan curahnya (bulk shipment). Lantas apakah bisa bahan bakar biomasa seperti wood pellet menjadi tahan air (hidropobik) seperti batubara? Jawabnya bisa yakni dengan teknologi torrefaction  sehingga produknys menjadi torrefied wood pellet. Torrefaction akan kita bahas lebih detail lain tulisan mendatang. InsyaAllah.   

Kamis, 19 Oktober 2017

Export Pellet Fuel Dan Kesuburan Tanah

Ada sejumlah kalangan yang mengkhawatirkan apabila export bioenergi khususnya pellet fuel dilakukan secara massif maka kesuburan tanah akan menurun atau tanah menjadi rusak. Mengapa mereka mengkhawatirkan hal ini? Karena pellet fuel yang dimaksudkan adalah EFB pellet atau pellet tandan kosong (tankos) sawit. Tankos sawit sebagai bahan baku EFB pellet atau pellet tankos sawit tersebut memang saat ini banyak yang diolah menjadi kompos atau pupuk organik padat yang digunakan lagi pada perkebunan sawit tersebut. Apabila tidak ada pupuk atau nutrisi bagi pohon-pohon sawit tersebut maka memang benar bahwa kesuburan tanah akan rusak. Limbah-limbah perkebunan sawit seperti pelepah dan daunnya juga bisa dijadikan kompos tetapi akan lebih sulit pertama, karena memerlukan usaha tambahan untuk mengumpulkannya, sedangkan tankos sawit adalah limbah pabrik sawit yang setiap hari dihasilkan pabrik tersebut dalam jumlah besar sehingga tidak perlu mengumpulkan lagi. Sementara pelepah dan daun sawit adalah limbah perkebunan tersebut yang tersebar atau berserakan di perkebunan itu sendiri. Kedua, tankos dari pabrik sawit memiliki kadar air tinggi karena sebelumnya dilakukan proses pengukusan (steamming) pada produksi CPO. Kadar air yang tinggi dari tankos sawit atau sekitar 60% membuatnya mudah dikomposkan karena material tersebut mudah busuk dan terurai menjadi kompos. Sedangkan pelepah dan daun pada umumnya kering, sehingga lebih sulit untuk dikomposkan.

Masalah diatas bisa diatasi dengan penggembalaan (grazing) ternak, terutama domba. Dengan penggembalaan maka rerumputan diantara pohon sawit menjadi pakan bagi domba-domba tersebut, kotoran ternak menjadi pupuk bagi pohon-pohon sawit dan dagingnya untuk konsumsi manusia. Dengan penggembalaan tersebut manusia bisa memproduksi daging dan memupuk perkebunan sawitnya dengan sangat ekonomis. Sebuah referensi success story tentang penggembalaan ini adalah Allan Savory seorang biologist dari Zimbabwe, yang konsep penggembalaan terencananya (Holistic Planned Grazing) yang telah diaplikasikan saat ini hingga sekitar 16 juta hektar di seluruh dunia atau sekitar dua kali luas perkebunan sawit kita. Ada sejumlah faktor Keunggulan penggembalaan domba dibandingkan sapi, yang bisa dibaca di link ini, ini dan ini.
Lalu bagaimana dengan pellet fuel dari biomasa kayu-kayuan atau wood pellet dari kebun energi? Pohon-pohon yang ditanam sebagai pohon kebun energi pada umumnya berupa leguminoceae yang akarnya mampu mengikat nitrogen (nitrogen fixing trees), sehingga bisa sebagai tanaman perintis dan bisa tumbuh hampir dimana saja termasuk di lahan-lahan tandus atau gersang. Pohon-pohon tersebut bahkan mampu menyuburkan tanah yang awalnya gersang atau bumi yang mati tersebut. Tetapi untuk mendapatkan produktivitas kayu terbaiknya tanah yang subur dan dirawat semestinya (walaupun perawatannya juga sangat mudah) harus dipenuhi. Penggembalaan domba secara terencana dan presisi adalah salah satu perawatan tersebut sekaligus kita akan memproduksi daging paling ekonomis. 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...