Jumat, 22 Juni 2018

Produksi Biophenol, Bioformaldehyde dan Wood Adhesive dari Produk Cair Pyrolysis


Produk samping dari (slow) pyrolysis biomasa yakni berupa produk cair dan produk gas. Produk cair terdiri dari biooil dan biomass vinegar (pyroligneous acid). Biooil bisa langsung dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan burner tertentu, ataupun bisa juga diupgrade untuk bahan bakar kendaraan. Sedangkan apabila digunakan untuk produk non-energi, bisa digunakan untuk produksi green chemical atau renewable chemical seperti Bioformaldehyde dan perekat kayu (wood adhesive). Sedangkan fase  produk cair pyrolysis yang lebih encer yakni biomass vinegar (pyroligneous acid) bisa digunakan untuk bahan baku (feedstock) produksi biophenol. Sebelumnya biomass vinegar telah diketahui untuk berbagai penggunaan seperti campuran pengental getah karet, anti-rayap dan pupuk. Sedangkan skema proses produksi biophenol dari biomass vinegar seperti berikut. 

Konsumsi global untuk phenol saat ini mencapai 20 juta ton atau senilai 20 milyar dollar Amerika (280 trilyun rupiah). Renewable phenol atau biophenol tersebut bisa mensubtitusi phenol yang selama ini diproduksi berbasis minyak bumi (petroleum). Excess heat dan excess syngas dari proses pyrolysis bisa digunakan untuk proses produksi biophenol tersebut. Suatu unit produksi yang terintegrasi dan efisien akan menghasilkan produk-produk berdaya saing tinggi, seperti proses pirolisis yang produk utamanya berupa arang, dan dari produk sampingnya dibuat produk-produk turunan yang sangat dibutuhkan saat ini. 


Jumat, 15 Juni 2018

Set Up Produksi Wood Pellet di Asia Tenggara


Korea dan Jepang adalah tujuan utama pasar wood pellet khususnya bagi produsen-produsen di Asia Tenggara. Korea dengan kebijakan Renewable Portolio Standard (RPS),sedangkan Jepang dengan feed in tarrifnya /Sehingga estimasi kebutuhan wood pellet kedua negara tersebut mencapai 10 juta ton pada 2020 dan seterusnya.  Saat ini sebagian besar supply wood pellet di Jepang dari Kanada dan untuk  Korea di supply terutama dari Vietnam. Pada tahun 2019 dan seterusnya di Jepang akan mengimport wood pellet dalam jumlah besar karena sejumlah fasilitas pembangkit listriknya mulai beroperasi. 

Berdasarkan sejumlah analisis, salah satunya bisa dibaca disini, terjadi penurunan produksi biomasa kayu-kayuan (woody biomass) di Asia Tenggara dari 815,9 juta ton (16,3 EJ) pada tahun 1990 menjadi 359,3 juta ton pada prediksi tahun 2020. Kondisi ini terjadi akibat deforestasi dan penebangan hutan berlebihan (termasuk penebangan illegal). Rusaknya hutan tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran akan bencana juga perlu diupayakan solusi secepatnya. Penghutanan kembali (reforestasi) bisa dilakukan sebagai solusi kerusakan hutan tersebut. Ada dua jenis kelompok pepohonan untuk solusi tersebut yakni dari pohon fast growing species dan slow growing species. Penentuan kedua jenis pepohonan tersebut sesuai dengan visi dan misi area hutan yang bersangkutan. Di samping itu juga ada kawasan hutan produksi yang bisa digunakan produksi kayu-kayuan untuk energi atau khususnya produksi wood pellet. Pohon rotasi cepat seperti kaliandra cocok untuk kawasan hutan produksi atau hutan tanaman industri. 
Produksi wood pellet dari kebun atau hutan energi di atas di kawasan hutan tanaman industri adalah suatu konsep ideal. Dengan kebun energi tersebut bahkan pasokan dan kontinuitas bahan baku akan lebih terjamin serta berkelanjutan karena panen kayu dari kebun yang ditanam sendiri. Kapasitas produksi juga bisa besar sebanding dengan luas kebunnya. Negara-negara di Asia Tenggara memiliki umumnya masih memiliki tanah yang luas dan berada dalam zone iklim tropis sehingga potensi pengembangannya sangat strategis. Iklim tropis tersebut ditambah curah hujan yang tinggi membuat pertumbuhan pohon-pohon di kebun energi menjadi optimal. Negara-negara beriklim subtropis walaupun bisa menghasilkan kayu-kayuan dari kebun energi tetapi akan membutuhkan waktu lebih lama, apalagi juga curah hujan kurang. Waktu 1 tahun di misalnya Indonesia akan setara 4 tahun di negara-negara subtropis untuk produksi biomasa kayu-kayuan dari kebun energi tersebut. 

Negara-negara di Asia Tenggara memiliki posisi strategis untuk menyuplai wood pellet ke Jepang dan Korea tersebut. Ada 2 hal setidaknya yang mendasarinya, yakni : pertama, posisi atau letak Asia Tenggara berdekatan dengan Jepang dan Korea sebagai tujuan pasarnya. Kedua, ketersediaan bahan baku berupa biomasa melimpah di area tersebut, bahkan dengan lokasi dekat dengan katulistiwa sehingga beriklim tropis dengan curah hujan tinggi yang mendukung pertumbuhan tanaman sebagai sumber biomasa tersebut. Secara umum lebih dari 50% kawasan Asia Tenggara ditumbuhi hutan (kecuali Singapura dan Brunei Darussalam). Hutan menghasilkan berbagai jenis kayu. Hutan di Asia Tenggara terdiri atas beberapa jenis, antara lain hutan hujan tropis (khatulistiwa), hutan monsun tropis, hutan belukar, hutan gunung, hutan pantai, dan hutan rawa. Sebagian besar jenis hutan yang tumbuh adalah hutan hujan tropis. Lalu bagaimana ciri-ciri hutan tropis tersebut? Berikut ciri-ciri hutan tropis tersebut :
1) Daunnya hijau sepanjang tahun.
2) Jarak antarpohon rapat dan tutupan daun tebal.
3) Terdapat lapisan-lapisan jenis tumbuhan.
4) Tumbuh-tumbuhan bawah jarang ditemui.
5) Banyak tumbuhan parasit dan menjalar
 Dan berikut gambaran potensi biomasa di negara-negara Asia Tenggara : 
-Indonesia 
Indonesia memiliki hutan terluas diantara negara-negara di Asia Tenggara, selain itu juga memiliki luas wilayah terbesar. Luas hutan mencapai sekitar 60% dengan sebagian besar di luar pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya dengan 60% penduduk Indonesia tinggal disana, terlihat pulau Jawa paling bercahaya ketika difoto dengan satellite di malam hari. Ada 80 juta hektar hutan produksi yang bisa digunakan untuk berbagai tanaman pohon industri khususnya kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet. 

-Malaysia 
Saat ini diperkirakan 59% daratan Malaysia masih berupa hutan. Upaya memperbaiki kerusakan hutan akibat erosi terus dilakukan negara Malaysia. Berbagai tanaman yang memberi nilai tambah tinggi terus diupayakan, termasuk bagaimana menghasilkan keuntungan lebih cepat seperti rotan untuk panen perantara sebelum panen utama yang membutuhkan waktu lebih lama. Kebun atau hutan energi yang bisa dipanen dengan waktu cepat, tanpa replanting hingga puluhan tahun akan menjadi pilihan menarik. 

-Thailand 
Pada tahun 1961 seluas 56% negara Thailand merupakan kawasan hutan. Tetapi pada tahun 1980-an kawasan hutan telah berkurang menjadi kurang dari 30% atau lenyap sebanyak 130.000 km2 (26%). Kayu keras seperti jati telah mendominasi produk kayu hutan tersebut. Upaya mengembalikan luasan hutan, sekaligus mengurangi tekanan hutan untuk deforestasi sangat dibutuhkan. Pembuatan kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet akan memberi solusi pada masalah tersebut, karena akan menggerakkan sektor ekonomi berbasis kehutanan dan berkelanjutan.

-Vietnam 
Topografinya terdiri atas bukit-bukit dan gunung-gunung berhutan lebat, dengan dataran rendah meliputi tidak lebih dari 20%. Pegunungan berkontribusi sebesar 40% dari total luas Vietnam, dengan bukit-bukit kecil berkontribusi sebesar 40% dan hutan tropis 42%. Kebun atau hutan energi juga akan menjadi opsi menarik untuk menjaga keberlangsungan hutan dan menggerakkan sektor ekonomi. 

-Philipina 
Filipina merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak gunung api sebagai rangkaian Pegunungan Sirkum Pasifik. Kondisi tanah yang subur sangat menunjang kegiatan agraris yang meliputi bidang pertanian (berupa padi, jagung, dan abaca atau serat manila), bidang perikanan dan kehutanan (hampir separuh atau 40% wilayah daratannya berupa hutan). Selain itu sungainya yang pendek-pendek dengan aliran yang deras dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet juga akan menarik dikembangkan bahkan dengan pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga airnya, sehingga benar-benar terbebas dari bahan bakar fossil. 

-Kamboja
Kamboja sebenarnya memiliki potensi kehutanan yang besar. Tercatat pada tahun 1969 luas hutan di Kamboja lebih dari 70%, tetapi pada tahun 2007 menjadi kurang dari 5%. Negara ini masuk sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Lebih dari 25.000 kilometer persegi hutan lenyap pada masa itu. Upaya penghutanan kembali terus diupayakan. Kebun atau hutan energi bisa sebagai salah satu solusi untuk penghutanan kembali sekaligus menekan lalu deforestasi. 

-Laos 
Hutan di Laos juga sangat luas yang meliputi sekitar setengah negeri. Hutan-hutan tersebut masuk jenis hutan hujan tropis, hutan bambu, dan hutan yang tercampur. Sekitar 70% wilayah Laos berbentuk pegunungan dan terdapat Gunung Bia setinggi 2.819 meter yang merupakan gunung tertinggi di negara ini. Namun hutan ini berada dalam bahaya karena penebangan yang berlebihan di sejumlah daerah seperti Selatan dan Tenggara. Pada awal tahun 1993, pemerintah Laos mencanangkan 21% dari wilayah negara sebagai Area Konservasi Keanekaragaman Hayati Nasional (National Biodiversity Conservation Area/NBCA), yang mungkin akan dikembangkan menjadi sebuah taman nasional. Bila telah selesai, maka ia diperkirakan akan menjadi taman nasional terbaik dan terluas di Asia Tenggara. Kebun atau hutan energi bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk menghutankan kembali hutan yang gundul sekaligus membuka lapangan kerja dengan produksi wood pellet. 

-Myanmar 
Myanmar memiliki bentang alam yang bervariatif dari dataran rendah sampai pegunungan. Banyaknya sungai-sungai besar dan gunung api menyebabkan kondisi tanahnya sangat subur. Hal tersebut sangat menunjang bagi kegiatan agraris seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Hampir 52% wilayahnya masih berupa hutan yang banyak menghasilkan kayu. Kayu jati terutama menjadi hasil utama kayu hutan di Myanmar. Kebun atau hutan energi dengan rotasi cepat untuk produksi wood pellet akan menjadi opsi menarik. Hal ini karena untuk menghasilkan kayu jati dibutuhkan waktu puluhan tahun sedangkan kayu dari kebun energi untuk produksi wood pellet hanya butuh waktu satu tahun dan bisa dipanen terus menerus sepanjang tahun. 
Pengolahan biomasa menjadi wood pellet pada dasarnya adalah pemadatan. Setelah ukuran partikelnya dan tingkat kekeringannya sesuai maka biomasa tersebut selanjutnya bisa dipelletkan. Apabila biomasa tersebut belum memiliki ukuran yang  dan tingkat kekeringan yang sesuai maka perlu disiapkan dengan pretreatment tertentu sehingga bisa mencapai kondisi tersebut. Alat untuk pengecilan ukuran dan pengering biasa digunakan untuk mencapai kondisi tersebut. Alat pengecilan ukuran biasanya berupa chipper dan hammer mill. Dua tahap pengecilan ukuran tersebut untuk memastikan ukuran partikel sesuai yang diinginkan. Ukuran partikel yang sesuai membuat kepadatan pellet bisa sesuai standard yang diharapkan. 

Rotary dryer atau drum dryer adalah peralatan pengeringan yang biasa digunakan untuk mencapai tingkat kekeringan yang diharapkan, yakni dikisaran 10%. Terlalu kering maupun terlalu basah akan berakibat pada pellet yang dihasilkan. Ketika bahan baku terlalu kering maka pellet tidak terbentuk tetapi bila bahan baku terlalu basah maka permukaan pellet akan retak-retak dan mudah pecah ketika didinginkan. Bentuk dan ukuran die pada pelletiser juga bermacam-macam sesuai jenis kayu yang digunakan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal yakni hampir semua bahan baku bisa dikonversi menjadi pellet dan hanya sedikit sekali yang masih tetap berupa serbuk, maka ukuran dan bentuk die tersebut harus sesuai dengan karakteristik serbuk kayu atau bahan bakunya. 

Setelah keluar dari pelletiser dan menjadi wood pellet selanjutnya didinginkan sehingga wood pellet menjadi keras dan memiliki permukaan yang halus dan mengkilap. Pendinginan (cooling) juga dilakukan secara bertahap sehingga pellet tidak retak dan pecah karena terjadi penurunan suhu yang drastis. Pendinginan jenis lawan arah (counter current) biasa digunakan untuk pendinginan tersebut. Dengan mekanisme counter current tersebut proses pendinginan bisa berjalan secara bertahap sehingga kualitas pellet terjaga. Setelah pendinginan, wood pellet lalu diayak untuk memisahkan dengan debu-debunya dan terakhir disimpan atau di packing untuk selanjutnya siap dijual terutama pasar export. 

Rabu, 13 Juni 2018

HTC Untuk Mengolah Sampah Kota Tanpa Memilah

Sampah selalu menjadi masalah terutama kota-kota besar yang padat penduduknya. Sampah ini sudah menjadi masalah dari sejak dikeluarkan dari asalnya, pengangkutan ke tempat penimbunan hingga timbunan sampah dalam lokasi tempat pembuangan sampahnya. Salah satu hal yang menyulitkan pengolahan sampah karena sampah tersebut bercampur sehingga sulit mengolah berdasarkan jenis sampah tertentu, seperti sampah dedaunan, sampah plastik, sampah kayu, sampah kertas, sampah makanan, sampah sayuran dan sebagainya. Apabila sampah terpilah dari asalnya tentu jauh lebih baik dan lebih mudah penanganannya. Tetapi kondisi tersebut sangat sulit ditemukan atau bahkan mustahil di Indonesia. Sedangkan untuk membudayakan pembuangan sampah secara terpilah juga butuh upaya yang tidak mudah dan juga tidak cepat. 

Sampah kota selalu bercampur dari sampah organik maupun sampah anorganik, sehingga bisa diolah secara biologis maupun thermal (melibatkan panas). Proses biologis selain memakan waktu lama juga membutuhkan tempat yang luas, sehingga pada umumnya kurang disukai. Sedangkan pengolahan thermal banyak dipilih karena proses cepat dan kebutuhan tempat juga tidak luas. Ada beberapa pengolahan sampah secara thermal, yang paling sederhana yakni dengan membakarnya. Tetapi pembakaran sampah menimbulkan masalah pada polusi udara hingga penanganan gas buangnya yang juga tidak sederhana. Gas buang (flue gas) dari pembakaran sampah kota banyak mengandung gas berbahaya seperti dioxin dan furan sehingga treatmentnya mahal. Teknologi fluidized bed combustion adalah teknologi untuk pengolahan sampah secara dibakar untuk kapasitas besar. Teknologi ini telah banyak digunakan di seluruh dunia, tetapi selain harga unitnya mahal juga hanya cocok untuk pengolahan sampah skala besar. 
Teknologi lain yang bisa menangani atau mengolah sampah tanpa pemilahan (sorting) kecuali hanya logam dan kaca yakni hydrothermal carbonisation (HTC) atau wetcarbonisation. Selain itu kapasitas pengolahan untuk teknologi HTC juga bisa untuk skala kecil. Sampah tersebut akan terkonversi menjadi arang, yang kemudian bisa digunakan sebagai bahan bakar ataupun diolah lanjut. Setelah menjadi arang maka selain penyimpanan dan penggunaan mudah, juga menjadi material yang tidak bau dan  stabil. Tangki bertekanan tinggi dan berpengaduk itulah yang menjadikan teknologi ini masih relatif mahal. Kelebihannya dengan teknologi HTC hampir semua sampah kota yang dihasilkan di Indonesia bisa diolah. 

Desentralisasi Pengolahan Sampah
Dengan pengolahan sampah terdesentralisasi maka sampah menjadi tidak menggunung dan bau tidak tersebar kemana-mana baik sewaktu pengangkutan dan penimbunannya. Sebagai contoh misalnya kompleks perumahan dengan 500 rumah bisa menggunakan unit HTC kapasitas 10 ton/hari sampah. Konsep desentralisasi pengolahan sampah membuat mudharat dari sampah bisa ditekan seminimal mungkin. Lebih khusus untuk teknologi HTC maka sangat dimungkinkan dikelola berbasis komunitas tertentu, khususnya kawasan elit dan berpenduduk padat, hal ini mengingat teknologi yang relatif mahal dan penanganan sampah adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan baik mengingat kondisi komunitas tersebut. Apabila komunitas tersebut bisa melakukan pemilahan sampah yang mereka buang, maka teknologi pengolahannya bisa lebih mudah dan murah, misalnya khusus sampah organik diolah dengan pirolisisuntuk dikonversi terutama menjadi arang, sampah plastik dipirolisis juga untuk dikonversi terutama menjadi produk bahan bakar cair dan sebagainya.


Selasa, 12 Juni 2018

Set Up Produksi Wood Charcoal Briquette di Negara-Negara ASEAN

Negara-negara ASEAN memiliki hutan yang luas dan berbagai sumberdaya kehutanan. Walaupun demikian terjadi penurunan di sejumlah negara dikarenakan penebangan yang tidak beraturan di sejumlah negara. Untuk itulah pengelolaan hutan berkelanjutan dibutuhkan untuk menjaga biomasa sumber daya kehutanan tersebut. Indonesia memiliki luas hutan terbesar, tetapi terjadi penurunan sejak tahun 1990 terutama karena illegal logging dan kebakaran hutan. Malaysia memiliki jumlah biomasa dan pertumbuhan hutan tertinggi berbanding luasan area, sedangkan Thailand terendah. Hal ini juga bisa disebabkan curah hujan yang lebih tinggi di Malaysia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, yakni 2.875 mm/tahun, dengan rata-rata dunia 900 mm/tahun dan Indonesia 2700 mm/tahun. Untuk lebih jelas bisa dilihat ditabel di bawah ini. Indonesia dan Malaysia terutama menghasilkan kayu gergajian (sawn wood) dan kayu lapis (plywood), sedangkan Thailand pada wood chip dan papan particle. Vietnam banyak menghasilkan sawn wood, sedangkan Kamboja dan Laos banyak mengkonsumsi kayu bulat sebagai bahan bakar. 


Woodcharcoal briquette atau sawdust charcoal briquette memiliki pasar yang sangat tinggi terutama di Timur Tengah, Arab Saudi dan Turki. Negara-negara tersebut menggunakan sawdust briquette charcoal untuk memanggang daging khususnya  domba yang menjadi favorit makanan disana. Untuk produksi sawdust briquette charcoal tersebut menggunakan limbah penebangan (logging residues) maupun limbah industri pengolahan kayu (industrial wood residues). Hal ini seharusnya luasnya hutan dan berikut industri pengolahan kayu sebanding dengan industri sawdust briquette charcoal. Limbah penebangan jumlahnya berlimpah biasanya bagian atas pohon (top) yang berdiameter kecil dan cabang-cabang. Limbah penebangan berkisar rata-rata 100% terhadap produksi kayu tebangan itu sendiri, sehingga jumlahnya sangat banyak. Sabah, Malaysia dan Kalimantan, Indonesia banyak menghasilkan limbah penebangan tersebut dengan harga sangat murah. 
Sedangkan untuk limbah industri pengolahan kayu biasanya berbentuk serbuk gergaji, dan potongan-potongan kayu baik papan maupun kayu bulat. Diperkirakan ada 1600 penggergajian kayu (saw mill) dan 120 pabrik kayu lapis di Indonesia. Bahan baku industri kayu lapis pada awalnya dari kayu hutan alam (natural forest), tetapi seiring permintaan yang terus meningkat pasokan kayu hutan alam menipis sehingga beralih dengan kayu dari pohon ditanam. Sewaktu menggunakan kayu dari hutan alam, diameter kayu bisa lebih dari 70 cm dan ketika menggunakan kayu yang pohon yang ditanam diameter kayu hanya sekitar 30 cm. Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia pada awalnya banyak pabrik kayu lapis beroperasi tetapi karena pasokan kayu menipis banyak pabrik-pabrik tersebut yang menutup produksinya. Yield kayu lapis dari bahan baku adalah 50%, sedangkan sisanya menjadi limbah. Sebagian limbah tersebut digunakan untuk bahan baku produk block board dan paking material, tetapi hanya sekitar 10%, sehingga 40% masih sebagai limbah. 
Sedangkan di Malaysia, total volume dari limbah industri kayu yakni 7,5 juta meter kubik per tahun. Limbah penggergajian kayu (saw mill) terbanyak di Sabah, sedangkan limbah kayu lapis (ply wood) di Sarawak. Penggergajian kayu (sawmill) menghasilkan produk berupa kayu gergajian (sawn wood) berkisar 40-65% dan sisanya yakni 35-60% berupa sawdust. Sedangkan yield untuk ply wood berkisar 50-60%, sedangkan 40-50% sebagai limbah. Untuk pabrik molding yield nya lebih tinggi yakni 70-74%, berarti limbahnya 26-30%. Prosentase limbah kayu dari industri ply wood 75% dan 25% dari industri saw mill. Pemanfaatan limbah industri kayu tersebut masih belum optimal, bahkan hanya ditimbun lalu dibakar saja karena dianggap mencemari. 

Sedangkan di Laos ada sekitar 200 pabrik pengolahan kayu (furniture, packing material, flooring, dan pintu) dengan berlokasi sebagian besar di sekitar Vientiane, ibukota Laos dan hanya 1 pabrik ply wood. Produsen arang bertebaran dimana-mana di negara tersebut karena kebutuhan tinggi untuk rumah tangga. Yield dari industri pengolahan kayu tersebut berkisar 60%, sehingga 40% sebagai limbah. Pemanfaatan limbah tersebut juga belum optimal, seperti serbuk gergaji (sawdust) hanya ditimbun saja dibelakang saw mill
Produksi sawdust briquette charcoal (wood briquette charcoal) akan menjadi solusi untuk pemanfaatan limbah tersebut. Serbuk gergaji (saw dust) menjadi bahan baku terbaik karena tidak perlu pengecilan ukuran (size reduction) dan bisa lebih pendek proses produksinya. Sedangkan apabila limbah tersebut masih berupa potongan-potongan kayu maka perlu proses pengecilan ukuran (size reduction) hingga ukuran partikelnya seperti serbuk gergaji (saw dust). Setelah itu apabila serbuk kayu tersebut masih basah (kadar air lebih dari 10%) maka perlu pengeringan yakni dengan alat pengering rotary (drum) dryer. Selanjutnya setelah material serbuk kayu tersebut kering dilanjutkan dengan pembriketan dan pengarangan (karbonisasi) sehingga produk akhir berupa sawdust briquette charcoal (wood briquette charcoal)

Minggu, 03 Juni 2018

Teknologi Hydrothermal Carbonisation, Cocok Untuk Meng-upgrade EFB

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar biomasa sehingga bisa digunakan khususnya pada pembangkit-pembangkit listrik yang ada. Pembangkit-pembangkit listrik adalah pengguna bahan bakar biomasa terbesar saat ini disamping juga sebagai salah satu target utama untuk pengurangan emisi dengan bahan bakar terbarukan atau carbon neutral fuel. Karakteristik bahan baku dan teknologi pembangkit listrik menjadi pertimbangan penting penentuan teknologi proses produksi bahan bakar tersebut. Industri kelapa sawit dengan jumlah produsen CPO berjumlah ribuan (Indonesia dan Malaysia) dan luas perkebunan sawit 12 juta hektar di Indonesia serta 5 juta hektar di Malaysia menjadikannya sebagai target sumber bahan baku biomasa. Pada industri kelapa sawit jumlah biomasa yang dihasilkan jauh lebih banyak daripada minyak atau CPO sebagai produk utamanya, yakni 10% minyak dan 90% biomasa seperti ilustrasi dibawah ini. 
 
 Setelah sebelumnya cangkang sawit atau palm kernel shell (PKS) menjadi bahan bakar andalan dan dicari untuk pembangkit listrik karena propertiesnya sangat sesuai khususnya yang menggunakan fluidized bed combustion (FBC) , nah selanjutnya tandan kosong sawit atau EFB yang jumlahnya sangat berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan menjadi target berikutnya untuk sumber bahan bakar biomasa. Kalau PKS sudah bisa langsung digunakan (hanya sedikit pembersihan) oleh pembangkit listrik, maka untuk EFB perlu pengolahan dulu karena kadar air, ukuran, bentuk dan kadang kala sifat-sifat kimianya. EFB memiliki kandungan chlorin dan potassium yang tinggi sehingga tidak semua pembangkit listrik cocok dengan bahan bakar tersebut. Apabila EFB dibuat menjadi EFB pellet maka pembangkit FBC seperti yang digunakan PKS bisa menggunakannya tetapi untuk jenis pulverized tidak cocok, karena kandungan chlorin dan potassium yang tinggi tersebut. 
Kondisi seperti itu memunculkan inovasi sehingga EFB bisa dijadikan bahan bakar yang cocok untuk pembangkit listrik berteknologi pulverized yang banyak digunakan saat ini. Inovasi tersebut berupa teknologi yang bisa mengurangi kandungan chlorin dan potassium khususnya, serta meningkatkan kandungan energinya. Teknologi tersebut adalah hydrothermalcarbonization atau wet carbonisation sehingga kimia abu berupa chlorin dan potassium bisa dihilangkan dengan dilarutkan pada air seperti leaching dan juga kandungan energinya bisa ditingkatkan dengan karbonisasi atau pengarangan tersebut. Selain itu kondisi EFB dari pabrik sawit dengan kadar air diatas 60% juga mempermudah aplikasi teknologi hydrothermal carbonization ini. 

Jumlah EFB ini sangat besar, diperkirakan untuk Indonesia saja mencapai lebih dari 35 juta ton dan di Malaysia juga sangat banyak yakni lebih dari 15 juta ton, atau dari dua negara terbesar produsen CPO saat ini potensi EFB yang bisa diolah mencapai lebih dari 50 juta ton/tahun. Selain akan mengatasi masalah lingkungan, pengolahan EFB tersebut juga akan menggerakkan sektor ekonomi yang cukup besar. Dengan teknologi hydrothermal carbonisation maka properties EFB bisa diupgrade sehingga sesuai untuk bahan bakar pembangkit listrik pada umumnya saat ini. Ketakutan pembangkit listrik karena kandungan klorin, dan potassium yang tinggi bisa diatasi dengan teknologi tersebut. Untuk menghemat biaya transportasi sekaligus mempermudah handling, penyimpanan dan penggunaan maka produk EFB yang telah diproses dengan hydrothermal carbonisation atau HTC EFB (EFB hydrochar) selanjutnya di densifikasi menjadi pellet maupun briket. Tampaknya teknologi ini telah memberi jawaban sekaligus membuka peluang baru untuk pengolahan EFB menjadi bahan bakar biomasa favorit seperti wood pellet dan PKS

Perkebunan Besar dan Peternakan Besar


Masalah pupuk atau kesuburan tanah selalu menjadi topik atau pembahasan inti bagi suatu usaha perkebunan besar. Hal ini sangat wajar karena menjaga produktivitas hasil panen hanya bisa dilakukan dengan menjaga kesuburan tanah atau memberi pupuk yang memadai. Untuk itu anggaran biaya penyediaan pupuk tersebut selalu mengambil porsi besar pada usaha perkebunan tersebut. Lalu kondisi tersebut mengarah pada pertanyaan bagaimana caranya melakukan efisiensi atau penghematan anggaran pupuk tersebut ? Tentu banyak teknik bisa digunakan untuk maksud tersebut, tetapi pada dasarnya pemilihan atau penggunaan pupuk yang sesuai dan efektifitas atau keterserapan pupuk bagi tanaman, menjadi faktor kunci keberhasilan menjaga kesuburan tanah tersebut. Mari kita coba menjawab pertanyaan pokok diatas. 

Ketika pupuk kimia semakin ditinggalkan karena efeknya yang malah merusak lingkungan, maka tidak ada pilihan lain selain menggunakan pupuk organik. Pada perkebunan besar seperti perkebunan sawit pada dasarnya juga banyak limbah biomasanya dari pabrik sawit yang bisa dijadikan pupuk, misalnya pelepah dan batang sawit. Tetapi ketika bahan-bahan tersebut juga diolah untuk menjadi produk tertentu, dan juga proses pengomposan jenis kayu berserat tersebut memakan waktu lama, maka pilihan terbaiknya adalah dengan pupuk organik kotoran ternak. Pertanyaannya adalah darimana mendapatkan pupuk kompos kotoran ternak untuk kebun sawit tersebut? Sebenarnya ada lagi sumber pupuk organik atau kompos yang bisa dihasilkan dari limbah pabrik sawit yakni dari limbah cairnya. Apabila pabrik sawit tersebut memiliki unit biogas (anaerobic digester) maka residue biogas tersebut yakni dari sludge-nya bisa sebagai pupuk organik. Saat ini belum banyak pabrik sawit yang mengolah limbah cairnya dengan unit biogas tersebut, dengan alasan unit tersebut dirasa mahal.

Sejarah dan pengalaman pendahulu kita sebelum penggunaan pupuk kimia bisa dijadikan acuan hal tersebut. Mereka saat itu untuk bisa mencukupi kebutuhan pupuk dari usaha pertaniannya yakni dengan beternak baik domba, kambing, sapi, maupun kerbau. Kotoran ternak-ternak tersebut digunakan untuk pupuk pertaniannya dan  limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak tersebut. Pola dasar tersebut juga bisa dikembangkan untuk perkebunan besar dengan beberapa teknik penyesuaian untuk meningkatkan efisiensinya. Teknis aplikasi di lapangan yang bisa dilakukan yakni perkebunan besar harus bekerjasama dengan peternakan besar atau bahkan idealnya memiliki peternakan besar tersebut untuk mencukupi kebutuhan pupuk untuk perkebunannya. Sebagai contoh perkebunan sawit yang memiliki luas kebun 2000 hektar maka 100-200 (10-20%) hektar digunakan untuk peternakan domba. Peternakan domba tersebut, bukan dengan dikandangkan saja, tetapi digembalakkan pada padang-padang gembalaan.  
Mengapa peternakan domba tersebut dilakukan di padang-padang gembalaan? Hal ini karena dengan penggembalaan biaya pakan bisa ditekan dengan sangat besar atau usaha tersebut menjadi sangat ekonomis. Komponen biaya terbesar dari usaha peternakan adalah pakan. Apabila ketersediaan dan pasokan pakan telah bisa diatasi maka komponen lainnya menjadi lebih mudah. Padang gembalaan tersebut berupa rerumputan dan pohon-pohon peneduh. Membuat rumput selalu tersedia adalah esensi bagi usaha tersebut, bahkan bisa dikatakan padang gembalaan adalah adalah pertanian rumput itu sendiri. Teknik penggembalaan rotasi (rotation grazing) adalah teknik penggembalaan terbaik saat ini, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Ketika rumput-rumput dipupuk dengan kotoran domba sewaktu penggembalaan tersebut, kotoran yang dihasilkan ketika di kandang bisa digunakan untuk pupuk pada perkebunan besar seperti sawit tersebut. Unit biogas bisa digunakan untuk optimalisasi pemanfaatan kotoran dari kandang tersebut. 



Pada dasarnya juga peternakan domba tersebut juga bisa berdiri sendiri dan juga menguntungkan. Oleh karena itu peternakan domba tersebut bisa dikerjakan terpisah. Dalam kasus ketika suatu kebun energi digunakan untuk produksi wood pellet masih terkendala berbagai hal seperti keberadaan dan pasokan listrik maka usaha peternakan tersebut tetap bisa dijalankan dengan baik. Produksi wood pellet skala besar di berbagai daerah di Indonesia saat ini masih banyak terkendala akibat pasokan listrik tersebut. Hal ini tentu akan menghambat pertumbuhan industri wood pellet tersebut sehingga perlu ada cara lain untuk mengatasi hal ini, yang insyaAllah akan dibahas lain waktu. 

Dengan konsep tersebut membuat tidak hanya meningkatkan produksi perkebunan dan daging tetapi juga bisnis yang lengkap siklus tertutup yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Peternakan lebah madu juga bisa ditambahkan untuk optimalisasi karena jelas lebah-lebah tersebut selain membantu proses penyerbukan juga akan menghasilkan madu, produk unggulan bernilai ekonomi tinggi. Berbagai masalah pangan insyaAllah bisa diatasi dengan konsep tersebut. Hal ini karena dari sisi produksi bisa dibuat sangat efisien dengan 2 komponen biaya terbesar bisa direduksi dengan sangat signifikan yakni pupuk dan pakan ternak dengan integrasi perkebunan besar dan peternakan besar tersebut.  
Walaupun telah menggunakan pupuk kompos dari kotoran ternak, masih ada lagi teknik yang bisa diterapkan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan yakni dengan penggunaan biochar. Dengan biochar, pupuk akan ditahan dalam pori-pori biochar sehingga menjadi lepas lambat (slow release fertilizer) menjadikannya efektif untuk pemupukan. Selain itu biochar juga akan menahan pupuk tersebut dari pencucian (leaching) akibat curah hujan tinggi, sehingga pemakaian pupuk juga bisa dihemat secara signifikan. Biochar juga akan menjadi rumah mikroba untuk menguraikan bahan organik menjadi nutrisi yang dibutuhkan bagi tanaman. Sehingga singkat kata dengan biochar tersebut produktivitas perkebunan tinggi tetapi pemakaian pupuk minimal karena efisien apalagi pupuk dihasilkan dari peternakan sendiri juga. Biochar ini bisa dihasilkan dengan pengolahan limbah-limbah biomasa perkebunan tersebut dengan pirolisis. Untuk lebih detail tentang pirolisis bisa dibaca disini

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...