Korea
dan Jepang adalah tujuan utama pasar wood pellet khususnya bagi
produsen-produsen di Asia Tenggara. Korea dengan kebijakan Renewable Portolio
Standard (RPS),sedangkan Jepang dengan feed in tarrifnya /Sehingga estimasi kebutuhan wood pellet kedua negara tersebut mencapai 10 juta ton pada 2020 dan seterusnya. Saat ini sebagian
besar supply wood pellet di Jepang dari Kanada dan untuk Korea di supply terutama dari Vietnam. Pada tahun 2019 dan seterusnya di Jepang akan mengimport wood pellet dalam
jumlah besar karena sejumlah fasilitas pembangkit listriknya mulai
beroperasi.
Berdasarkan
sejumlah analisis, salah satunya bisa dibaca disini, terjadi penurunan produksi
biomasa kayu-kayuan (woody biomass) di Asia Tenggara dari 815,9 juta ton (16,3
EJ) pada tahun 1990 menjadi 359,3 juta ton pada prediksi tahun 2020. Kondisi
ini terjadi akibat deforestasi dan penebangan hutan berlebihan (termasuk
penebangan illegal). Rusaknya hutan tersebut tentu menimbulkan kekhawatiran
akan bencana juga perlu diupayakan solusi secepatnya. Penghutanan kembali
(reforestasi) bisa dilakukan sebagai solusi kerusakan hutan tersebut. Ada dua
jenis kelompok pepohonan untuk solusi tersebut yakni dari pohon fast growing
species dan slow growing species. Penentuan kedua jenis pepohonan tersebut
sesuai dengan visi dan misi area hutan yang bersangkutan. Di samping itu juga ada
kawasan hutan produksi yang bisa digunakan produksi kayu-kayuan untuk energi
atau khususnya produksi wood pellet. Pohon rotasi cepat seperti kaliandra cocok
untuk kawasan hutan produksi atau hutan tanaman industri.
Produksi wood pellet dari kebun atau hutan energi di atas di kawasan hutan tanaman
industri adalah suatu konsep ideal. Dengan kebun energi tersebut bahkan pasokan
dan kontinuitas bahan baku akan lebih terjamin serta berkelanjutan karena panen
kayu dari kebun yang ditanam sendiri. Kapasitas produksi juga bisa besar
sebanding dengan luas kebunnya. Negara-negara di Asia Tenggara memiliki umumnya
masih memiliki tanah yang luas dan berada dalam zone iklim tropis sehingga
potensi pengembangannya sangat strategis. Iklim tropis tersebut ditambah curah
hujan yang tinggi membuat pertumbuhan pohon-pohon di kebun energi menjadi
optimal. Negara-negara beriklim subtropis walaupun bisa menghasilkan
kayu-kayuan dari kebun energi tetapi akan membutuhkan waktu lebih lama, apalagi
juga curah hujan kurang. Waktu 1 tahun di misalnya Indonesia akan setara 4
tahun di negara-negara subtropis untuk produksi biomasa kayu-kayuan dari kebun
energi tersebut.
Negara-negara
di Asia Tenggara memiliki posisi strategis untuk menyuplai wood pellet ke
Jepang dan Korea tersebut. Ada 2 hal setidaknya yang mendasarinya, yakni :
pertama, posisi atau letak Asia Tenggara berdekatan dengan Jepang dan Korea
sebagai tujuan pasarnya. Kedua, ketersediaan bahan baku berupa biomasa melimpah
di area tersebut, bahkan dengan lokasi dekat dengan katulistiwa sehingga
beriklim tropis dengan curah hujan tinggi yang mendukung pertumbuhan tanaman
sebagai sumber biomasa tersebut. Secara umum lebih dari 50% kawasan Asia
Tenggara ditumbuhi hutan (kecuali Singapura dan Brunei Darussalam). Hutan
menghasilkan berbagai jenis kayu. Hutan di Asia Tenggara terdiri atas beberapa
jenis, antara lain hutan hujan tropis (khatulistiwa), hutan monsun tropis,
hutan belukar, hutan gunung, hutan pantai, dan hutan rawa. Sebagian besar jenis
hutan yang tumbuh adalah hutan hujan tropis. Lalu bagaimana ciri-ciri
hutan tropis tersebut? Berikut ciri-ciri hutan tropis tersebut :
1)
Daunnya hijau sepanjang tahun.
2)
Jarak antarpohon rapat dan tutupan daun tebal.
3)
Terdapat lapisan-lapisan jenis tumbuhan.
4)
Tumbuh-tumbuhan bawah jarang ditemui.
5)
Banyak tumbuhan parasit dan menjalar
Dan
berikut gambaran potensi biomasa di negara-negara Asia Tenggara :
Indonesia
memiliki hutan terluas diantara negara-negara di Asia Tenggara, selain itu juga
memiliki luas wilayah terbesar. Luas hutan mencapai sekitar 60% dengan sebagian
besar di luar pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya
dengan 60% penduduk Indonesia tinggal disana, terlihat pulau Jawa paling
bercahaya ketika difoto dengan satellite di malam hari. Ada 80 juta hektar
hutan produksi yang bisa digunakan untuk berbagai tanaman pohon industri
khususnya kebun atau hutan energi untuk produksi wood pellet.
-Malaysia
Saat
ini diperkirakan 59% daratan Malaysia masih berupa hutan. Upaya memperbaiki
kerusakan hutan akibat erosi terus dilakukan negara Malaysia. Berbagai tanaman
yang memberi nilai tambah tinggi terus diupayakan, termasuk bagaimana
menghasilkan keuntungan lebih cepat seperti rotan untuk panen perantara sebelum
panen utama yang membutuhkan waktu lebih lama. Kebun atau hutan energi yang
bisa dipanen dengan waktu cepat, tanpa replanting hingga puluhan tahun akan
menjadi pilihan menarik.
-Thailand
Pada
tahun 1961 seluas 56% negara Thailand merupakan kawasan hutan. Tetapi pada
tahun 1980-an kawasan hutan telah berkurang menjadi kurang dari 30% atau lenyap
sebanyak 130.000 km2 (26%). Kayu keras seperti jati telah mendominasi produk
kayu hutan tersebut. Upaya mengembalikan luasan hutan, sekaligus mengurangi
tekanan hutan untuk deforestasi sangat dibutuhkan. Pembuatan kebun atau hutan
energi untuk produksi wood pellet akan memberi solusi pada masalah tersebut,
karena akan menggerakkan sektor ekonomi berbasis kehutanan dan berkelanjutan.
-Vietnam
Topografinya
terdiri atas bukit-bukit dan gunung-gunung berhutan lebat, dengan dataran
rendah meliputi tidak lebih dari 20%. Pegunungan berkontribusi sebesar 40% dari
total luas Vietnam, dengan bukit-bukit kecil berkontribusi sebesar 40% dan
hutan tropis 42%. Kebun atau hutan energi juga akan menjadi opsi menarik untuk
menjaga keberlangsungan hutan dan menggerakkan sektor ekonomi.
-Philipina
Filipina
merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak gunung api sebagai rangkaian
Pegunungan Sirkum Pasifik. Kondisi tanah yang subur sangat menunjang kegiatan
agraris yang meliputi bidang pertanian (berupa padi, jagung, dan abaca atau
serat manila), bidang perikanan dan kehutanan (hampir separuh atau 40% wilayah
daratannya berupa hutan). Selain itu sungainya yang pendek-pendek dengan aliran
yang deras dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Kebun atau hutan energi
untuk produksi wood pellet juga akan menarik dikembangkan bahkan dengan pasokan
listrik dari pembangkit listrik tenaga airnya, sehingga benar-benar terbebas
dari bahan bakar fossil.
-Kamboja
Kamboja
sebenarnya memiliki potensi kehutanan yang besar. Tercatat pada tahun 1969 luas
hutan di Kamboja lebih dari 70%, tetapi pada tahun 2007 menjadi kurang dari 5%.
Negara ini masuk sebagai salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi
di dunia. Lebih dari 25.000 kilometer persegi hutan lenyap pada masa itu. Upaya
penghutanan kembali terus diupayakan. Kebun atau hutan energi bisa sebagai
salah satu solusi untuk penghutanan kembali sekaligus menekan lalu
deforestasi.
-Laos
Hutan
di Laos juga sangat luas yang meliputi sekitar setengah negeri. Hutan-hutan
tersebut masuk jenis hutan hujan tropis, hutan bambu, dan hutan yang tercampur.
Sekitar 70% wilayah Laos berbentuk pegunungan dan terdapat Gunung Bia setinggi
2.819 meter yang merupakan gunung tertinggi di negara ini. Namun hutan ini
berada dalam bahaya karena penebangan yang berlebihan di sejumlah daerah
seperti Selatan dan Tenggara. Pada awal tahun 1993, pemerintah Laos
mencanangkan 21% dari wilayah negara sebagai Area Konservasi Keanekaragaman
Hayati Nasional (National Biodiversity Conservation Area/NBCA), yang mungkin
akan dikembangkan menjadi sebuah taman nasional. Bila telah selesai, maka ia
diperkirakan akan menjadi taman nasional terbaik dan terluas di Asia Tenggara.
Kebun atau hutan energi bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk menghutankan
kembali hutan yang gundul sekaligus membuka lapangan kerja dengan produksi wood
pellet.
-Myanmar
Myanmar
memiliki bentang alam yang bervariatif dari dataran rendah sampai pegunungan.
Banyaknya sungai-sungai besar dan gunung api menyebabkan kondisi tanahnya
sangat subur. Hal tersebut sangat menunjang bagi kegiatan agraris seperti
pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Hampir 52% wilayahnya masih berupa hutan
yang banyak menghasilkan kayu. Kayu jati terutama menjadi hasil utama kayu
hutan di Myanmar. Kebun atau hutan energi dengan rotasi cepat untuk produksi
wood pellet akan menjadi opsi menarik. Hal ini karena untuk menghasilkan kayu
jati dibutuhkan waktu puluhan tahun sedangkan kayu dari kebun energi untuk
produksi wood pellet hanya butuh waktu satu tahun dan bisa dipanen terus
menerus sepanjang tahun.
Pengolahan
biomasa menjadi wood pellet pada dasarnya adalah pemadatan. Setelah ukuran
partikelnya dan tingkat kekeringannya sesuai maka biomasa tersebut selanjutnya
bisa dipelletkan. Apabila biomasa tersebut belum memiliki ukuran
yang dan tingkat kekeringan yang sesuai maka perlu disiapkan dengan
pretreatment tertentu sehingga bisa mencapai kondisi tersebut. Alat untuk
pengecilan ukuran dan pengering biasa digunakan untuk mencapai kondisi
tersebut. Alat pengecilan ukuran biasanya berupa chipper dan hammer mill. Dua
tahap pengecilan ukuran tersebut untuk memastikan ukuran partikel sesuai yang
diinginkan. Ukuran partikel yang sesuai membuat kepadatan pellet bisa sesuai
standard yang diharapkan.
Rotary
dryer atau drum dryer adalah peralatan pengeringan yang biasa digunakan untuk
mencapai tingkat kekeringan yang diharapkan, yakni dikisaran 10%. Terlalu
kering maupun terlalu basah akan berakibat pada pellet yang dihasilkan. Ketika
bahan baku terlalu kering maka pellet tidak terbentuk tetapi bila bahan baku
terlalu basah maka permukaan pellet akan retak-retak dan mudah pecah ketika
didinginkan. Bentuk dan ukuran die pada pelletiser juga bermacam-macam sesuai jenis
kayu yang digunakan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal yakni hampir semua
bahan baku bisa dikonversi menjadi pellet dan hanya sedikit sekali yang masih
tetap berupa serbuk, maka ukuran dan bentuk die tersebut harus sesuai dengan
karakteristik serbuk kayu atau bahan bakunya.
Setelah
keluar dari pelletiser dan menjadi wood pellet selanjutnya didinginkan sehingga
wood pellet menjadi keras dan memiliki permukaan yang halus dan mengkilap.
Pendinginan (cooling) juga dilakukan secara bertahap sehingga pellet tidak
retak dan pecah karena terjadi penurunan suhu yang drastis. Pendinginan jenis
lawan arah (counter current) biasa digunakan untuk pendinginan tersebut. Dengan
mekanisme counter current tersebut proses pendinginan bisa berjalan secara
bertahap sehingga kualitas pellet terjaga. Setelah pendinginan, wood pellet
lalu diayak untuk memisahkan dengan debu-debunya dan terakhir disimpan atau di
packing untuk selanjutnya siap dijual terutama pasar export.