Minggu, 31 Januari 2021

Cofiring Biomasa, Kebun Energi dan Peternakan Ruminansia

 

Cofiring biomasa dengan batubara pada PLTU-PLTU di Indonesia sebagai program PLN untuk mendukung pemakaian energi terbarukan khususnya biomasa bisa jadi sebagai momentum terdekat kebun energi. Program tersebut juga sebagai upaya untuk mencapai target penggunaan energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025, sedangkan sampai saat ini masih kurang dari 5%. Pada tahun 2020 program cofiring tersebut sudah diinisiasi dengan target 37 PLTU tetapi pada prakteknya yang terlaksana 20 PLTU. Sedangkan secara keseluruhan terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai tahun 2024. Rinciannya terdiri dari 13 lokasi PLTU di Sumatera, 16 lokasi PLTU di Jawa, 10 lokasi di Kalimantan, 4 lokasi di Bali, NTB dan NTT, 6 lokasi di Sulawesi, dan 3 lokasi di Maluku dan Papua. Sedangkan rasio cofiring tersebut berkisar 1-5% biomasa dengan estimasi kebutuhan biomasa 9-12 juta ton per tahun.

Dan baru saja juga telah terjadi kesepakatan antara PLN dengan Perhutani dan PTPN III untuk menyuplai biomasa untuk program cofiring tersebut, untuk info lebih lanjut bisa dibaca disini. Dalam hal ini, PLN sebagai pemilik PLTU, sedangkan Perhutani memiliki sumber daya kawasan hutan tanaman industri baik di Jawa (Perhutani) maupun di luar Jawa (Inhutani) yang bisa dikembangkan sebagai hutan tanaman energi atau kebun energi. Demikian juga dengan PTPN III dengan lahannya yang juga bisa digunakan untuk kebun energi tersebut. Gamal (gliricidia sepium) dan kaliandra merah (calliandra calotyrsus) adalah dua spesies tanaman rotasi cepat yang kemungkinan besar untuk kebun energi tersebut. Apabila setiap 4.000 hektar menghasilkan produksi 10.000 ton/bulan wood pellet atau 120.000 ton/tahun maka paling tidak dibutuhkan 400.000 hektar untuk memenuhi target cofiring 1-5% tersebut yang ekuivalen 9-12 juta ton per tahun. Potensi daun gamal atau kaliandra juga akan sangat melimpah. Dan semestinya juga mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor industri ruminansia. Apalagi jika ke depannya PLN menambah porsi cofiringnya misalnya 6-10% atau bahkan 20% saja tentu kebun energi yang dibutuhkan akan sangat luas, demikian juga akan melimpah ruah potensi daun gamal atau kaliandra tersebut. 

Pandemi covid-19 masih terus berlangsung dengan pertambahan kasus semakin besar di Indonesia dan belum terlihat kurva melandai bahkan kasus positif telah menembus lebih dari 1 juta jiwa. Hal tersebut diprediksi bahwa pandemi ini akan menjadi masalah jangka panjang dengan indikasi antara lain ditemukan varian-varian (strain) baru sehingga vaksin yang sudah disiapkan menjadi tidak atau kurang mujarab dan munculnya gelombang kedua wabah covid bahkan setelah vaksinasi dilakukan sehingga memaksa kota bahkan negara melakukan lockdown. Betapa Maha Kuasanya Allah SWT dengan segala kehendak-Nya, dimana seharusnya semakin mempertebal iman dan takwa kita. Kondisi pandemi covid-19 yang masih berkepanjangan membuat orang-orang takut dan menghindari kerumunan atau berkumpul termasuk aktivitas profesional seperti kantor dan industri. Kondisi ini juga akan mendorong tumbuhnya aktivitas usaha yang efisien dengan penggunaan berbagai teknologi yang ada. 

Pengembangan-pengembangan industri berbasis teknologi dan efisien seharusnya menjadi fokus pemerintah untuk bertahan bahkan menjaga keberlangsungan (sustainibility) untuk tetap bisa mempertahankan pasokan barang yang dibutuhkan masyarakat. Konsentrasi-konsentrasi penduduk di suatu daerah juga harus semakin dikurangi dan didistribusikan dengan baik. Kota-kota besar menjadi semakin berkurang daya tariknya. Unit-unit produksi yang efisien harus ditingkatkan jumlahnya demikian juga distribusinya juga harus semakin merata. Daerah-daerah pinggiran, pedesaan bahkan pegunungan menjadi semakin dinikmati. Semakin dekat dengan alam atau usaha-usaha berbasis pemanfaatan sumber daya alam semakin dinikmati seiring distribusi lokasi usaha yang semakin merata atau tidak menumpuk di kota-kota besar. Warga dunia juga semakin banyak yang menginginkan sistem yang lebih adil dalam mengatur kehidupannya

Usaha peternakan ruminansia (domba, kambing dan sapi) adalah usaha potensial apalagi didukung pemanfaatan limbah daun dari kebun-kebun energi tersebut. Lokasi untuk kebun energi tersebut pada umumnya di daerah hutan yang cukup jauh dari perkotaan. Daun gamal atau kaliandra tersebut bisa diolah menjadi berbagai bentuknya (konsentrat, hay, pellet, briquette dsb) sesuai permintaan atau penggunaannya. Dengan pemanfaatan teknologi yang baik maka limbah daun tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal sehingga mendukung kemajuan usaha peternakan ruminansia. Peternakan tersebut juga akan sangat baik jika dibuat di dekat kebun energi sebagai salah satu sumber pakannya. Untuk mendapatkan komposisi pakan komplit (complete feed) pemberdayaan masyarakat bisa dilakukan.

Sabtu, 30 Januari 2021

Biochar Untuk Meningkatkan Produksi Biogas

Arang (biochar) adalah bahan baku untuk produksi arang aktif (activated carbon). Produksi arang aktif itu sendiri melalui dua proses utama yakni karbonisasi (pengarangan) dan aktivasi. Luas permukaan arang (biochar) juga lebih kecil dibandingkan dengan arang aktif, tetapi lebih besar dibandingkan biomasa mentahnya. Proses karbonisasi meningkatkan luas permukaan (surface area) dari biomasa mentah tersebut. Perbandingan luas permukaan antara biomasa mentah, arang dan arang aktif kurang lebih sebagai berikut 25 m2/gram, 200 m2/gram, 2000 m2/gram. Semakin luas permukaan bahan biomasa yang dimasukkan ke dalam reaktor biogas maka semakin besar penetrasi bakteri ke dalam substrate tersebut sehingga proses fermentasi yang terjadi semakin sempurna sehingga produksi biogas semakin besar. Biochar sendiri tidak ikut terfermentasi karena komponen utama berupa karbon yang stabil sedangkan hemiselulose, selulose dan lignin telah terdekomposisi sewaktu proses karbonisasi.

Contoh lainya adalah penambahan briket biomasa ke dalam reaktor biogas, pembriketan dengan tekanan dan panas tinggi juga membuka pori-pori atau memperluas permukaan biomasa tersebut, sehingga produksi biogas juga meningkat, untuk lebih detail baca disini. Penambahan briket biomasa ke dalam reaktor biogas, juga akan meningkatkan C/N ratio, bahkan biochar dan arang aktif memiliki kandungan karbon (C) yang tinggi.

Arang (biochar) sudah banyak digunakan di dunia pertanian untuk memperbaiki kerusakan tanah sehingga meningkatkan kesuburannya. Kesuburan tanah yang baik juga akan meningkatkan produksi pertaninan. Biochar tersebut menjadi rumah bagi mikroba tanah, sehingga bahan-bahan organik atau kompos akan terurai lebih sempurna dan terserap oleh tumbuhan lebih banyak sebagai nutrisi tanaman tersebut. Pori-pori arang (biochar) tersebut yang dijadikan rumah bagi mikroba tersebut. Semakin banyak pori-pori tersebut juga membuat semakin banyak mikroba yang mendiami rumah biochar tersebut. Prinsip yang sama ketika diaplikasikan pada unit biogas. Bonus lain penggunaan biochar adalah bahwa biochar menyerap CO2 dari atmosfer, sehingga berkontribusi untuk menurunkan gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.

Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa penambahan biochar 5% ke dalam reaktor biogas akan meningkatkan produksi metana sebanyak 5% - berdasarkan pada bahan kering biochar terhadap substrat. Tetapi ketika jumlah biochar menjadi 10% ternyata tidak lagi terjadi pertambahan metana. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi optimum penambahan biochar adalah jumlah 5%  tersebut. Mikroba dalam biochar tersebut menambah volume mikroba dalam reaktor sehingga produksi biogas atau khususnya metana juga meningkat hingga 5% tersebut. Biochar sendiri tidak terdekomposisi pada dalam proses fermentasi tersebut.

Sedangkan pada penambahan briket biomasa setiap 1 ton briket akan meningkatkan produksi biogas sebesar 400 Nm3. Hal tersebut karena pada briket biomasa baik selulose, hemiselulose dan lignin belum terdekomposisi sehingga menambah substrat pada reaktor biogas tersebut. Sedangkan pada biochar baik selulose, hemiselulose dan lignin telah terdekomposisi sewaktu proses termal karbonisasi, sehingga praktis tidak ada tambahan  substrat, tetapi hanya terjadi pertambahan mikroba dalam pori-pori biochar tersebut.  

Hal penting dari penambahan biochar tersebut adalah kompos atau digestat yang dihasilkan berkualitas lebih baik dengan penambahan biochar tersebut. Biochar akan membuat akan membuat kompos yang dihasilkan sebagai pupuk lepas lambat (slow release organic fertilizer).  Hal tersebut semakin mendorong produksi biochar terutama pada perusahaan sawit yang peduli masalah lingkungan dan bahkan mengupayakan kondisi zero waste. 

Pabrik-pabrik kelapa sawit potensial untuk mengaplikasikan unit biogas maupun biochar. Limbah-limbah padat seperti tandan kosong dan mesocarp fiber bisa digunakan untuk produksi biochar. Pabrik sawit bahkan bisa mengganti tungku pembakaran pada boilernya dengan gasifier atau pyrolyser. Hal tersebut menjadi lebih menguntungkan karena selain energi panas digunakan untuk produksi kukus (steam) yang digunakan untuk pembangkit listrik dan sterilisasi buah segar, juga akan dihasilkan biochar. Biochar yang dihasilkan selanjutnya untuk meningkatkan produksi biogas dan meningkatkan kualitas pupuk komposnya, juga sebagai campuran pupuk pada perkebunan sawit. Dan bahkan potensi penggunaan biochar untuk penghematan pupuk pada perkebunan sawit besar, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Jumat, 22 Januari 2021

Wood Chip, Wood Pellet, dan Wood Briquette dari Kebun Energi untuk Pasar Lokal Bagian 2

Program cofiring PLN yakni mencampur bahan bakar biomasa dengan batubara pada PLTU yang jelas akan mendorong penggunakan biomasa sebagai sumber energi. Cofiring adalah cara paling mudah dan murah bagi PLTU untuk mulai masuk atau bertahap menggunakan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Emisi juga semakin membaik seiring peningkatan penggunaan bahan bakar biomasa tersebut seperti  karena kandungan sulfur sangat rendah, abu sedikit dan bukan B3, dan fly ash sangat kecil. Jumlah biomasa yang ditambahkan misalnya mulai dari 1% yang kemudian secara bertahap ditambah dan bahkan finalnya bisa 100% biomasa atau energi terbarukan.  Pada tahun 2020 program cofiring tersebut sudah diinisiasi dengan target 37 PLTU dan pada akhir 2020 dilaporkan telah terlaksana untuk 20 PLTU. Sedangka secara keseluruhan terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai 2024. Terdiri dari 13 lokasi PLTU di Sumatera, 16 Lokasi PLTU di Jawa, Kalimantan (10 lokasi), Bali dan Nusa Tenggara (4 unit PLTU), Sulawesi (6 lokasi) serta Maluku dan Papua (3 lokasi PLTU). Sedangkan rasio cofiring tersebut berkisar 1-5% biomasa dengan estimasi kebutuhan biomasa 9-12 juta ton per tahun.  Secara teknis dengan rasio cofiring 1-5% tersebut PLTU juga tidak perlu melakukan modifikasi peralatannya, sehingga bisa langsung digunakan setelah bahan bakar biomasa memenuhi spesisifikasi yang dipersyaratkan. 

Pulverized Combustion

Apabila dirinci tentang tipe teknologi yang digunakan PLTU di Indonesia saat ini, yakni terdapat tiga tipe PLTU yakni, 43 tipe PC (Pulverized Coal) dengan total kapasitas 15.620 MW membutuhkan campuran 5% biomassa atau setara 10.207,20 ton per hari, 38 tipe CFB (Circulating Fluidized Bed) total kapasitas 2.435 MW membutuhkan 5% biomassa atau setara 2.175,60 ton per hari. Sedangkan 23 tipe STOKER dengan kapasitas 220 MW menggunakan 100% biomassa atau setara 5.088 ton per hari. Untuk jangka pendek jenis biomasa yang digunakan adalah berbasis limbah, sedangkan untuk jangka panjang yakni dari kebun energi. Kementrian LHK juga telah mengalokasikan lahan sektar 12,7 juta hektar untuk penyediaan lahan hutan bersama-sama mendukung program penyediaan biomasa PLTU tersebut. Lahan-lahan bekas tambang yang luasnya sekitar 8 juta hektar juga semestinya bisa direklamasi dengan kebun energi tersebut. Bahkan PLN juga telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan PTPN III Holding (Persero) dan Perum Perhutani. Dalam hal ini, PLN sebagai pemilik PLTU, Sedangkan Perhutani memiliki sumber daya kawasan hutan industri baik di Jawa maupun luar jawa yang dapat dikembangkan sebagai hutan tanaman energi. Begitu juga dengan PTPN III yang memiliki lahan untuk pengembangan hutan tanaman energi, untuk lebih detail baca disini.

Untuk memenuhi kebutuhan biomasa sebagai sumber energi tersebut maka kebun energi harus semakin digalakkan. Produksi bahan bakar biomasa dari kebun energi membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan mengolah limbah-limbah kehutanan dan pertanian seperti limbah-limbah kayu tebangan, serbuk gergaji, limbah kayu dari industri pengolahan kayu, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa, sekam padi, dan sebagainya. Rute atau pilihan dengan kebun energi dipilih karena selain lebih menjamin kualitas dan kuantitas bahan bakar biomasa juga mengoptimalkan penggunaan lahan termasuk bisa diintegrasikan dengan peternakan dan bisa dipanen berkali-kali (trubusan/coppice) tanpa harus menanam kembali (replanting) untuk panen berikutnya. Bahkan karena tanaman kebun energi menggunakan jenis legum seperti gamal dan kaliandra yang akarnya bisa mengikat nitrogen dari atmosfer maka kesuburan tanah juga meningkat. Tetapi memang juga dibutuhkan upaya lebih banyak dan keras untuk rute kebun energi tersebut karena paling tidak dibutuhkan minimal 2 tahun tanaman tersebut bisa dipanen dan sebelumnya juga perlu penyiapan tanah dan menanam tanaman tersebut.

Seperti disampaikan sebelumnya bahwa pemilihan produksi jenis bahan bakar dari kebun energi dipengaruhi beberapa hal seperti jarak kebun energi dengan industri pengguna, kapasitas produksi, kebutuhan industri sesuai teknologi pembakarannya dan nilai investasi. Apabila lokasi industri atau pembangkit listrik berdekatan bahkan dalam area kebun energi maka kayu dari kebun energi tersebut cukup hanya dengan dibuat wood chip (serpih kayu). Hal tersebut karena biaya transportasi murah. Sedangkan apabila lokasinya cukup jauh maka kayu tersebut sebaiknya diolah menjadi wood pellet atau wood briquette. Wood pellet memang jauh lebih populer daripada wood briquette walaupun secara teknis produksi wood briquette lebih mudah dan biaya produksi lebih murah. Selain itu secara teknis kepadatan (density) wood briquette juga bisa lebih tinggi daripada wood pellet. Hal itulah menjadi menarik jika ada produsen tertarik dengan produksi wood briquette sebagai diversifikasi produk dan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification). 

  

Untuk keberlanjutan (sustainibility) juga kebun energi juga akan lebih baik dibandingkan dengan penggunaan limbah-limbah pertanian dan kehutanan atau industri perkayuan seperti tersebut di atas. Hal tersebut karena kebun tersebut dirancang dan dibuat khusus untuk tujuan kayu sebagai sumber energi. Hal tersebut juga membuat volume produksi kayu yang dihasilkan lebih pasti dibandingkan mengandalkan volume limbah yang ketersediaannya sangat tergantung pada produk utama. Kebun energi dan berikut usaha peternakan sepertinya akan menjadi tren baru yang menarik dan insyaAllah momentumnya tidak akan lagi.

Selasa, 19 Januari 2021

Wood Chip, Wood Pellet, dan Wood Briquette dari Kebun Energi untuk Pasar Lokal

Banjir di Kalimantan Selatan Januari 2021 hampir menenggelamkan satu provinsi
 

Untuk bisa memberi manfaat serta menjaga keseimbangan lingkungan maka hutan harus dikelola atau sesuai peruntukannya. Alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit, perumahan dan sebagainya akan membuat ketidakseimbangan lingkungan tersebut akibatnya bencana alam akan terjadi. Kajian mendalam dan komprehensif tentu sudah dilakukan untuk penentuan peruntukan lahan tersebut sehingga kelestariannya terjaga dan memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Ketika manfaat bagi kehidupan manusia khususnya ekonomi menjadi prioritas dan dominan maka otomatis keseimbangan lingkungan terganggu dan bencana alam siap mengintai setiap saat. Undang-undang dan peraturan yang seharusnya untuk menjaga keseimbangan tersebut, dipaksakan dan diubah untuk maksud tersebut. Sebagai contoh peraturan luas minimal kawasan hutan lindung suatu daerah menjadi tidak dibutuhkan lagi atau menyesuaikan dengan kondisi sehingga sangat rentan dengan penyelewengan. Dan ketika keserakahan manusia semakin tidak terkendali karena begitu materialistisnya maka semakin rusak alam dan lingkungan tersebut sehingga konsekuensinya bencana alam terjadi dimana-mana seperti kekeringan dan kebakaran hutan di musim kemarau, banjir dan tanah longsor di musim penghujan dan sebagainya.

Di lain sisi kawasan hutan tanaman industri (HTI) yang memang diperuntukkan untuk aspek ekonomi juga harus dimanfaatkan secara optimal, demikian juga sejumlah lahan tidur dan sebagainya. Kebun energi adalah salah satu opsi terbaik, lebih detail bisa dibaca disini. Sebagai sumber bahan bakar atau sumber energi dari biomasa maka kayu produksi kebun energi bisa diolah menjadi wood chip, wood pellet maupun wood briquette. Pilihan produk yang akan diproduksi tergantung pada sejumlah hal seperti jarak kebun energi dengan industri pengguna, kapasitas produksi, kebutuhan industri/pasar dan nilai investasi. Semakin dekat industri pengguna atau pasar dengan kebun energi maka bisa saja produk energi biomasa juga semakin sederhana seperti wood chip. Pemadatan biomasa (biomass densification) seperti pellet dan briquette dibutuhkan jika lokasi kebun energi dan pengguna cukup jauh sehingga biaya transportasi tinggi. Dengan pemadatan menjadi pellet atau briquette maka biaya transportasi bisa dihemat, demikian juga penyimpanan lebih efisien, handling dan penggunaan lebih mudah.

Cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) adalah bahan bakar biomasa yang juga melimpah di Indonesia, lebih detail tentang PKS bisa dibaca disini. Cangkang sawit ini juga menjadi kompetitor bagi bahan bakar biomasa dari kebun energi tersebut. Jika sebelumnya cangkang sawit banyak di eksport untuk ke Jepang dan Korea, tetapi dengan diberlakukannya pajak export dan pungutan yang tinggi membuat harganya kurang kompetitif, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Hal tersebut juga semakin mendorong penggunaan cangkang sawit untuk industri di dalam negeri. Apalagi mulai tahun 2022 cangkang sawit yang masuk ke Jepang juga harus bersertifikat RSPO atau hal tersebut analogi dengan wood pellet dengan FSC-nya.

Idealnya sebaiknya cangkang sawit digunakan untuk industri di dalam negeri karena selain harganya bisa murah, volumenya juga besar. Industri di dalam negeri bisa lebih kompetitif jika bahan bakarnya murah. Sedangkan wood pellet dari kebun energi untuk orientasi export. Selain nilai tambah lebih besar dari aktivitas produksi wood pellet itu sendiri, penyerapan tenaga kerja juga lebih banyak. Tetapi memang dalam masa-masa tertentu pasokan cangkang sawit bisa terganggu seperti penurunan produksi CPO atau buah sawit pada masa trek (low crop), lokasi pabrik sawit terpencil di pedalaman sehingga kesulitan dalam transportasi/logistik dan cuaca di laut. Dengan kondisi sebagian besar industri berada di Jawa dan masih tersedia ribuan hektar di Jawa untuk pembuatan kebun energi, sehingga dalam kondisi-kondisi tertentu kebun energi dan pengolahan produk kayunya cukup prospektif di Jawa. Bersambung.  

Sabtu, 16 Januari 2021

Produksi Wafer Hay Dari Daun Gamal

Selain pasar, pakan adalah faktor penting lainnya dalam usaha peternakan. Mengupayakan dan memastikan ketersediaan pakan sepanjang tahun baik kualitas dan kuantitas merupakan tantangan tersendiri khususnya peternakan ruminansia berorientasi industri. Produktivitas hasil ternak sangat ditentukan oleh faktor pakan tersebut.Peranan penting bagi ternak yakni untuk pertumbuhan ternak muda maupun untuk mempertahankan hidup dan menghasilkan produk (susu, anak, daging) serta tenaga bagi ternak dewasa. Fungsi lain dari pakan adalah untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan. Agar ternak tumbuh sesuai dengan yang diharapkan, jenis pakan yang diberikan pada ternak harus bermutu baik dan dalam jumlah cukup.

Selain itu produktivitas ternak itu sendiri banyak dipengaruhi faktor lingkungan yakni sampai 70% sedangkan sekitar 30% adalah faktor genetik. Dan diantara faktor lingkungan tersebut aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar, yakni sekitar 60%, misalnya beternak domba unggulan seperti jenis dorper tetapi jika kualitas dan kuantitas pakan tidak terpenuhi maka hasilnya juga tidak maksimal. Sedangkan ditinjau dari sisi usaha peternakan, biaya pakan juga merupakan biaya produksi terbesar, yakni 60-80% dari keseluruhan biaya produksi. Sehingga sangat wajar jika perhatian atau fokus pada masalah pakan sangat penting.

Melihat kondisi di atas maka teknologi pengolahan untuk pakan ternak menjadi penting. Tujuan pengolahan pakan ternak antara lain untuk menjaga nutrisi dan memperlama masa simpan. Pengeringan daun gamal atau kaliandra sampai kadar air sekitar 15% adalah salah satu upaya tersebut atau biasa disebut hay. Dengan dibuat hay dua tujuan pengolahan pakan ternak di atas yakni menjaga nutrisi dan memperlama masa simpan bisa tercapai, tetapi dengan volume bahan pakan kering atau hay yang besar (bulky) akan tidak efisien dalam pemakaian ruangan untuk penyimpanannya ataupun jika hendak digunakan di tempat lain yang membutuhkan transportasi yang cukup jauh. Hal itulah perlunya untuk mengaplikasikan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification) untuk mengatasi problem tersebut. Pemadatan hay menjadi balok atau wafer adalah upaya praktis dan mudah. Peralatan dan proses pemadatan menjadi wafer juga mudah dan murah, dibanding teknologi pemadatan biomasa lainnya seperti pellet atau briket.

Peternakan domba atau sapi sebaiknya dibangun di dekat kebun energi tersebut sehingga bisa dengan mudah mendapatkan sumber pakan daun gamal tersebut. Daun-daun tersebut lalu dibuat hay dan dipadatkan menjadi balok / wafer tersebut. Dan karena daun gamal adalah sumber protein sehingga untuk menjadi complete feed atau pakan lengkap dibutuhkan sumber pakan yang lain. Hal tersebut bisa dipenuhi oleh masyarakat sekitar dengan pola pemberdayaan masyarakat atau untuk lebih detail bisa baca disini. Sumber pakan dari masyarakat tersebut misalnya sumber serat dari rumput-rumputan ataupun limbah-limbah pertanian juga bisa dibuat hay, sehingga peternakan tersebut tersedia hay sebagai pakan lengkap (complete feed) yang aman untuk operasional usaha peternakan tersebut. Dan karena estimasi produksi daun dari kebun energi sangat berlimpah maka sebagian hay yang diproduksi tersebut juga bisa dijual ke tempat lain. 

Teknologi pada dasarnya alat untuk mencapai suatu tujuan. Ditinjau dari sudut pandang teknologi yakni pemadatan biomasa (biomass densification), selain bahan baku daun gamal bisa dibuat hay, daun tersebut juga bisa dibuat menjadi pellet atau briket. Perbedaan utama pellet dan briket hanya masalah ukuran saja, briket lebih besar daripada pellet. Bentuk briket kepingan (puck) seperti photo di atas adalah bentuk terbaik untuk aplikasi pakan ternak. Ditinjau dari teknis pellet dan briket juga lebih padat atau memiliki densitas lebih tinggi daripada hay. Masalah debu pada hay juga bisa dikurangi dengan dibuat pellet atau briket tersebut. Tetapi memang pembuatan pellet atau briket membutuhkan biaya investasi lebih tinggi dan proses produksi lebih kompleks. 

Selasa, 05 Januari 2021

Boiler Biomasa dan Urgensinya

Sesuatu masalah yang terlihat dan bisa dirasakan apalagi juga memiliki dampak jangka pendek tentu mudah untuk dipetakan dan dicarikan solusinya. Tetapi jika sebaliknya yakni tidak terlihat, sulit dirasakan dan dampak atau efek bersifat jangka panjang tentu lebih sulit dipetakan apalagi dicari solusinya. Penggunaan bahan bakar fossil khususnya batubara pada sejumlah boiler industri sebagai contohnya. Efek emisi gas buang berupa COx, NOx dan SOx mungkin sulit di deteksi pada awalnya tetapi menciptakan kerusakan lingkungan dalam jangka panjang. Demikian juga logam berat seperti mercuri yang juga memiliki efek jangka panjang. Sedangkan polusi abu terbang (fly ash) maupun abu tungku boiler (bottom ash) jelas lebih mudah dirasakan efeknya. Pada kasus yang lebih besar atau skala global yakni perubahan iklim dan pemanasan global akibat gas rumah kaca khususnya CO2 (karbon diksida) maka juga dibutuhkan konsesus global untuk pemecahan masalah tersebut. Hal itulah yang membuat konferensi bumi tentang perubahan iklim (UNFCC) selalu diadakan setiap tahun, yang tercatat sampai saat ini telah 27 kali dilaksanakan, terakhir tahun 2019 lalu di Madrid, Spanyol sedangkan yang seharusnya dilaksanakan tahun 2020 diundur tahun 2021 karena pandemi COVID-19. Bahan bakar fossil termasuk batubara adalah bahan bakar carbon positive sehingga penggunaanya akan meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer, sedangkan bahan bakar biomasa seperti wood chip, wood pellet, wood briquette dan cangkang sawit adalah bahan bakar carbon neutral. Dikatakan carbon neutral karena penggunaan bahan bakar tersebut karena tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer. 


Boiler adalah peralatan penting bagi operasional sejumlah industri. Fungsi utama boiler adalah menghasilkan steam (uap panas) yang digunakan pada proses produksi industri tersebut. Tetapi ketika boiler tidak dioperasikan dan dirawat dengan baik maka boiler bisa membahayakan. Keberlangsungan operasional produksi juga sangat tergantung peralatan ini, sehingga terganggunya operasional boiler akan berpengaruh signifikan pada produksi tersebut. Boiler juga terdiri dari sejumlah subsistem yang bekerja secara harmonis, seperti boiler burner dan kontrolnya, water treatment untuk penyiapan air umpan boiler, fuel handling dan feeding dan sebagainya. Kadang-kadang sejumlah subsistem tersebut disuplai dari sejumlah vendor yang berbeda, sehingga menyinkronisasi antar subsistem tersebut sangat penting. Hal tersebut membuat operasional boiler aman, efisien, handal dan meminimalisir downtime boiler tersebut. Dan dari semua subsistem dalam boiler tersebut, burner system adalah subsistem paling canggih dalam unit boiler tersebut. Burner system tersebut memiliki sejumlah mode operasional yang membutuhkan extensive training dan/atau pengalaman bagi para operator boiler untuk dipahami dengan baik.  

Saat ini sudah mulai sejumlah industri yang beralih dari bahan bakar fossil ke bahan bakar biomasa tersebut. Pada industri yang sebelumnya menggunakan bahan bakar padat perubahan teknis atau modifikasi tungku (furnace) pembakarannya bisa minor, sedangkan industri yang sebelumnya menggunakan bahan bakar gas atau cair maka hal yang biasa dilakukan adalah dengan mengganti unit boiler (termasuk tungku) tersebut. Penggantian unit boiler tersebut tentu juga diikuti sistem pendukungnya seperti gudang penyimpanan bahan bakar, pengumpanan dan sebagainya. Bahan bakar minyak bumi (BBM), batubara dan gas alam adalah bahan bakar konsisten dengan kualitas standar dan kontaminan atau pengotornya telah diketahui dan dipelajari berpuluh-puluh tahun. Sedangkan dengan biomasa ada sejumlah pilihan dan setiap sumber juga unik dan juga level kontaminannya. 

Dalam kasus tertentu industri yang akan beralih menggunakan biomasa yakni cangkang sawit sedang sebelumnya menggunakan bahan bakar gas, maka industri tersebut perlu mengkaji dan menganalisa implentasi penggunaan cangkang sawit tersebut. Dan dikarenakan penggunaan cangkang sawit untuk bahan bakar industri relatif baru, maka industri tersebut bisa menggunakan data lamanya tentang operasional tungku mereka dengan bahan bakar gas dan membandingkan dengan tungku yang menggunakan bahan bakar padat seperti batubara - yang umumnya digunakan industri saat ini. Walaupun cangkang sawit juga merupakan bahan bakar padat, tetapi ada sejumlah karakteristik yang membedakan dengan batubara. Selain itu pembakaran gas bisa dikatakan proses pembakaran paling ideal yakni ditinjau dari stoikhiometri atau kesempurnaan pembakaran tersebut dibanding pembakaran bahan bakar cair maupun padat. Ukuran partikel besar seperti batubara juga akan berpengaruh pada pembakaran dan juga membuat suatu bahan bakar lebih sulit terbakar. Sehingga dari dari perbandingan tersebut bisa didapat tentang gambaran pembakaran cangkang sawit tersebut dan skema dibawah ini untuk menggambarkan kasus tersebut. 

Dengan analisis yang memadai, perencanaan, dan merancang sistem, penggunaan bahan bakar baru khususnya biomasa seperti wood chip, wood pellet, wood briquette dan cangkang sawit bisa terimplementasi dengan baik. Harga energi dan peraturan masalah lingkungan menjadi daya dorong penggunaan bahan bakar baru tersebut.  Tungku-tungku jenis fixed bed combustion yang paling umum digunakan pada sejumlah industri. Varian-varian tungku tersebut antara lain tipe grate furnace yakni travelling grate, fixed grate system, incline moving grate & horizontally moving grate, vibrating grate, cigar burner dan underfeed rotating grate, sedangkan tipe lainnyayakni underfeed stokers. Sedangkan tipe fluidized bed dan pulverized combustion pada umumnya digunakan oleh pembangkit listrik. Pertimbangan teknis pemilihan bahan bakar padat berbasis biomasa tersebut antara lain nilai kalor, kadar air, kadar abu, density/kepadatan, ukuran partikel, emisi, ketersediaan bahan bakar tersebut, dan kesesuaian dengan tungku pembakarannya. Pada akhirnya tingkat pembakaran paling optimal yang aman dan memenuhi standar lingkungan adalah tujuan penggunaan bahan bakar biomasa tersebut. 

Sabtu, 02 Januari 2021

Estimasi Peningkatan Produksi Biogas POME di Indonesia dan Malaysia dengan Penambahan Briket Biomasa

 

Hal penting yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan suatu penelitian pada unit komersial adalah sisi teknis dan ekonomi. Suatu produk penelitian yang telah teruji secara teknis perlu dievaluasi pada sisi ekonominya. Hal tersebut karena pada unit komersial aspek keekonomian menjadi pertimbangan utama untuk implementasi suatu teknologi tertentu. Suatu teknologi yang diimplentasikan dengan maksud meningkatkan performa unit komersial tersebut tetapi tidak memberi keuntungan ekonomi pada umumnya tidak akan banyak yang tertarik. Demikian juga sebaliknya. Seberapa keuntungan ekonomi yang bisa didapat dari implementasi teknologi tersebut ? Apakah sepadan (worth it) dengan upaya yang telah dilakukan ? Kedua pertanyaan tersebut akan menjadi pertimbangan berikutnya.

 Pada unit biogas (yang sebagian besar untuk produksi listrik) juga berlaku kaidah di atas. Dan khususnya unit biogas di Indonesia dan Malaysia sebagai produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia maka unit biogas POME atau limbah cair pabrik sawit banyak dibangun sebagai sarana mengatasi masalah limbah cair dan juga produksi energi khususnya listrik. Puluhan bahkan ratusan unit biogas POME telah dibangun di Indonesia dan Malaysia, tetapi jumlah itupun belum sebanding dengan jumlah pabrik sawit di Indonesia dan Malaysia yang telah mencapai ribuan. Dan lebih khusus jumlah unit biogas POME di Indonesia lebih sedikit atau prosentase lebih kecil dibandingkan pabrik sawitnya dibandingkan di Malaysia. Mengapa hal tersebut terjadi ? Untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Sterilisasi / steamming di pabrik sawit
Dan karena produk akhir komersial dari unit biogas komersial tersebut adalah listrik maka harga listrik akan sangat berpengaruh pada operasional unit biogas tersebut. Penelitian yang dilakukan di universitas Aarhus di Denmark bahwa briket biomasa bisa meningkatkan produksi biogas secara signifikan yakni setiap 1 ton briket jerami yang ditambahkan telah menambah produksi biogas rata-rata sebesar 400 meter kubik. Dengan nilai kalori biogas sekitar 4500 kcal/m3 maka setiap ton penambahan briket jerami akan menambah kalori sebesar 1.800.000 kcal dalam bentuk biogas. untuk lebih detail bisa dibaca disini. Pada kasus biogas POME apabila tandan kosong sawit (EFB = empty fruit bunch) digunakan untuk bahan baku briket bisa jadi peningkatan produk biogas yang dihasilkan lebih banyak. Hal tersebut karena tandan kosong sawit telah mengalami proses sterilisasi (steamming) sehingga pori-pori biomasa tersebut lebih terbuka sehingga luas permukaan (surface area) lebih besar. Pembriketan tandan kosong sawit tersebut juga akan semakin memperluas permukaan biomasa tersebut sehingga proses fermentasi anaerob semakin sempurna dan produk biogas semakin banyak.

Dengan asumsi harga listrik per kwh di Malaysia dari biogas yakni 0,49 RM (Rp 1.715) dan di Indonesia Rp 1000, dengan peningkatan biogas dihasilkan tersebut diatas maka di Malaysia lebih menarik dan memberi keuntungan. Walaupun demikian peningkatan produksi biogas tersebut juga telah menghasilkan keuntungan menarik apabila diaplikasikan, baik di Indonesia maupun Malaysia. Estimasi dengan asumsi kapasitas reaktor biogas 150.000 ton dan dengan penambahan briket biomasa sebanyak 15.000 ton (maksimal 10% dari volume reaktor) telah memberi keuntungan hampir 27 milyar rupiah (aplikasi di Indonesia) dan 14 juta ringgit Malaysia (aplikasi di Malaysia). Dengan kondisi tersebut sebenarnya sangat menarik untuk mengimplentasikan riset tersebut pada pembangkit-pembangkit listrik biogas POME di Indonesia dan Malaysia. Selain mengurangi limbah padat industri kelapa sawit, peningkatan produksi biogas yang sebanding dengan produksi listriknya akan memberi keuntungan yang menarik bagi industri kelapa sawit tersebut.    

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...