Sabtu, 27 Desember 2014

Mau Produksi Wood Pellet atau Sawdust Briquette?

Biaya produksi untuk pembuatan wood pellet dengan sawdust briquette hampir sama. Alat-alat atau mesin untuk produksinya pun juga hampir sama. Keduanya juga menggunakan bahan baku yang umumnya adalah limbah kayu berupa serbuk gergaji. Keduanya juga punya pasar untuk konsumsi rumah tangga dan industri.

Bedanya wood pellet saat ini mempunyai pasar yang lebihbesar daripada sawdust briquette. Hampir semua pembangkit listrik yang melakukan program co-firing menggunakan wood pellet daripada sawdust briquette. Stove untuk penghangat ruangan juga sebagian besar dibuat untuk bahan bakar wood pellet. Oleh karena itu ada sejumlah pabrik wood pellet yang kapasitasnya sangat besar karena besarnya permintaan pasar tersebut, sedangkan pabrik sawdust briquette umumnya hanya memiliki kapasitas sedang saja.

Biasanya di luar negeri wood pellet dikemas dalam kemasan plastik beberapa kg untuk pasaran retail dan jumbo bag hingga curah untuk kebutuhan lebih besar. Sedangkan sawdust briquette biasanya dikemas dalam carton box dengan ada lapisan plastik didalamnya. Sawdust briquette biasa juga disebut heatlog, extruded fuel atau wood log. Selain jenis extruded atau screw briquette ada juga sawdust briquette jenis piston/ram, perbedaan antara briquette tersebut bisa dibaca di sini. Segmen pasar, besarnya kapasitas pabrik dan ketersediaan bahan baku adalah pilihan untuk produksi wood pellet atau sawdust briquette tersebut. 

Kamis, 20 November 2014

Campuran Komposisi Bahan Baku yang Homogen dan Kualitas Biomass Pellet dan Briket

Kualitas produk pemadatan biomasa (biomass densification) yani pellet dan briket diawali dengan seleksi bahan baku yang benar. Bahan baku juga harus memiliki konsistensi yang sama terus-menerus  supaya produk yang dihasilkan selalu standard an stabil. Dalam banyak kasus sulit untuk untuk mendapatkan bahan baku dari satu jenis bahan saja (single material) karena ketersediaan yang tidak mencukupi atau faktor lain, sehingga harus dari beberapa bahan baku (mixed material). Untuk hal tersebut diperlukan mixer atau alat pencampur untuk mendapatkan komposisi bahan baku yang sesuai, misalkan bahan baku terdiri 30% kayu keras dan sisanya kayu lunak.

Kapasitas pabrik wood / biomass pellet dan briket umumnya mulai 1 ton/jam hingga puluhan ton/jam-nya. Hal tersebut membutuhkan mixer yang mampu memenuhi untuk proses produksi tersebut, baik dari sisi kualitas dan kuantitas outputnya.  


Saat ini masih banyak ditemui yang masih melakukan pencampuran bahan baku tersebut secara manual seperti menggunakan sekop sehingga hasilnya masih belum optimal. Ada juga yang menggunakan bantuan alat mekanis seperti loader, walaupun hasilnya lebih baik dari cara pertama tetapi derajat homogenitas dan konsistensi masih bisa ditingkatkan dengan penggunaan mixer sesuai.

continuous muller
static mixer flow diagram
Static mixer
Mixer yang dibutuhkan adalah mixer jenis kontinyu sehingga kapasitasnya tercapai dan operasional lebih mudah.  Mixer jenis continuous muller (stationary shell) dan static mixer bisa digunakan untuk hal ini. Pada mixer jenis continuous muller dibutuhkan motor penggerak untuk menggerakkan pengaduk sedangkan pada static mixer tidak dibutuhkan motor penggerak. Proses pencampuran pada static mixer yakni dengan dilewatkan bahan baku tersebut didalamnya baik secara horizontal maupun vertical. Pertimbangan disisi teknis dan keekonomian menjadi faktor penting pemilihan alat tersebut.

Jumat, 03 Oktober 2014

Permintaan Wood Pellet Diprediksi Mencapai 50 Juta Ton Pada Tahun 2024



Sebagai energi alternatif wood pellet memiliki peningkatan permintaan cukup signifikan, walaupun dibanding energi primer yakni dari energi fossil prosentasenya juga belum seberapa. Sebuah studi menyatakan bahwa pada tahun 2014 estimasi permintaan wood pellet  hingga 23 juta ton dan pada tahun 2024 akan mencapai 50 juta ton secara global. Ketersediaan bahan baku dan keberlangsungan pasokannya tetap menjadi issue penting untuk suksesnya produksi wood pellet secara berkesinambungan. Sedangkan untuk pasar Eropa dan Amerika Utara adalah pasar utama diikuti kemudian oleh Asia. Eropa dan Amerika Utara mengunakan wood pellet sebagai pemanas ruangan (space heating) disamping untuk industri sedangkan Asia penggunaan wood pellet terutama untuk industri. 



Photo diambil dari sini
Studi tersebut berfokus pada European industrial market, European heating market, North American heating market, dan Asian industrial market. Prediksi permintaan global tersebut lebih detailnya sebagai berikut :
- European Industrial Markets—termasuk Belgia, Denmark, Belanda, Swedia dan Inggris.
- European Heating Markets—termasuk  Austria, Denmark, Prancis, Jerman, Italia dan Swedia
- Asian Industrial Markets—Termasuk Korea dan Jepang
- North American Markets—Termasuk Amerika Serikat dan Kanada
 
Diagram Carbon-Flow

Dilihat dari aspek lingkungan pemanfaatan bahan bakar wood pellet dari biomasa berkayu adalah strategi carbon neutral. Sedangkan pemanfaatan biomasa sebagai carbon negative dengan biochar tampaknya belum menjadi perhatian ataupun kombinasi carbon neutral dan carbon negative dengan pemanfaatan teknologi paling cocok untuk itu yakni continous slow pyrolysis nampaknya juga belum mengarah ke situ.

Minggu, 24 Agustus 2014

Wood Pellet untuk Green…Green World!

Tumbuhnya kesadaran manusia akibat kerusakan lingkungan berupa perubahan iklim dan pemanasan global menumbuhkan berbagai upaya untuk mengurangi besarnya dampak kerusakan lingkungan tersebut. Sumber penyebab kerusakan lingkungan tersebut karena keserakahan manusia melalui aktivitas ekonominya dengan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Manusia hendaknya menjadi pengelola alam ini secara bijaksana bukan malah sebaliknya akibat kepentingan sesaat hawa nafsunya. Tumbuhnya kesadaran tersebut harus terus dipelihara dan diatur sedemikian rupa sehingga membuahkan berbagai upaya konkrit. Tanpa peraturan yang jelas dan mengikat aktivitas semua manusia dimuka bumi maka mustahil upaya perbaikan alam tersebut akan terlaksana dengan baik.



Kita saksikan saat ini berbagai perusahaan hingga negara ingin mendapat pengakuan sebagai perusahaan atau negara yang paling peduli masalah lingkungan tidak terkecuali di Indonesia. Dengan begitu mereka berlomba-lomba dengan program Go Green-nya seperti CO2 Reduction atau pengurangan emisi CO2 dan semacamnya. Dengan pengakuan tersebut umumnya mereka ingin mendapat tempat tersendiri  dikalangan konsumen ataupun mitra-mitra mereka sehingga produk ataupun program-program mereka nantinya juga mudah diterima kalangan-kalangan tersebut. Aktivitas tersebut juga menimbulkan aktivitas ekonomi baru yakni Green Economy. Seberapa besar Green Economy atau Green Business ini? Jawabnya tentu saja tergantung seberapa besar program mitigasi perubahan iklim dan lingkungan dalam entitas perusahaan atau negara yang bersangkutan hingga dalam lingkup global.


Wood pellet adalah salah satu solusi yang populer untuk mitigasi masalah lingkungan dan perubahan iklim tersebut. Wood pellet yang berasal dari biomasa kayu merupakan bahan bakar karbon netral dan merupakan sumber energi terbarukan dengan syarat biomasa kayu sebagai sumber bahan baku wood pellet tersebut  harus diusahakan secara berkesinambungan dan tidak merusak lingkungan. Ketersediaan bahan baku yang kontinyu adalah salah satu faktor kunci suksesnya usaha produksi wood pellet, sehingga karena keterbatasannya saat ini pellet tidak hanya  dari kayu tetapi juga dari limbah-limbah pertanian atau perkebunan yang bisa disebut biomass pellet atau agri-wastepellet. Kebun energi dengan tanaman trubusan atau SRC adalah salah satu cara menghasilkan biomasa kayu sebagai sumber bahan baku wood pellet lebih cepat dan bisa berkesinambungan. Potensi Indonesia sangat besar untuk kebun energi tersebut dan akan lebih baik bila diintegrasikan dengan sektor  yang lain. 

Selasa, 12 Agustus 2014

Produksi Wood Pellet Dengan Integrasi Pemanfaatan Lahan Tidur Untuk Kebun Energi, Peternakan Sapi dan Sumber Biogas

Photo diambil dari sini
Kebutuhan wood pellet yang sangat besar dan dilain sisi juga luasnya lahan tidur di sejumlah tempat di Indonesia yang potensial dimanfaatkan sebagai kebun energi dengan output berupa kayu sebagai bahan baku wood pellet. Saat ini diperkirakan lebih dari 6 juta hektar lahan tidur di Indonesia. Sedangkan hijauan dari tanaman SRC (trubusan) seperti gliricidae (gamal) dan kaliandra akan bermanfaat sebagai pakan ternak yakni sapi. Untuk setiap hektarnya diperkirakan bisa menjadi sumber pakan sapi sebanyak sekitar 6 ekor. Apabila ada 5000 ha lahan tidur maka akan dihasilkan sekitar 100.000 ton kayu basah sebagai sumber bahan baku wood pellet dan memelihara 30.000 ekor sapi. Banyaknya jumlah sapi tersebut potensial sebagai sumber biogas untuk mencukupi sendiri kebutuhan energi usaha tersebut.



Akar dari tanaman SRC mampu mengikat nitrogen seperti jenis-jenis polong lainnya sehingga menyuburkan tanah. Akar tersebut mampu  melakukan hubungan simbiosis dengan bakteri yang ada di dalam tanah, yaitu Rhizobium  spp. Pohon menyediakan karbohidrat dan energi bagi bakteri rhizobia, dan rhizobia mengubah nitrogen dari atmosfer di  dalam tanah menjadi nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh akar pohon. Proses ini dikenal sebagai penambatan nitrogen,yang berlangsung pada bintil yang terbentuk di akar pohon. Bintil akar mestinya banyak, dan kalau dibuka di dalamnya berwarna merah atau merah-jambu. Jika bintil akar berwarna hijau, coklat atau hitam, bintil ini tidak mengikat nitrogen. Dan ditambah pupuk organik dari residue biogas sehingga tanah akan semakin subur dan keberadaan kebun semakin bisa diharapkan akan terus keberkesinambungannya.


Manajemen yang baik dengan didukung tim yang profesial dibidangnya akan menunjang keberhasilan bisnis nantinya. Produksi wood pellet bisa dijadikan prioritas nomer 1 atau unggulan, diikuti peternakan sapi dan biogas serta pupuk organik sebagai pendukung. Konsep zero waste, green industry dan berkesinambungan (sustainibility) terimplementasi dalam integrasi usaha ini.

Jumat, 08 Agustus 2014

Persaingan Pasar Global Wood Pellet

Permintaan wood pellet yang massif terutama dari Korea Selatan sebagai pasar utama wood pellet telah mendorong pertumbuhan industri wood pellet di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, Malaysia, Thailand dan Vietnam adalah negara-negara yang merespon positif permintaan wood pellet dari Korea Selatan tersebut. Pertumbuhan industri wood pellet di tiap-tiap negara berbeda kecepatannya tergantung dari kesiapan industri, ketersediaan bahan baku dan kemudahan berbagai sarana penunjang bisnis lainnya. Walaupun Indonesia tergolong lambat merespon permintaan wood pellet tersebut, tetapi sebenarnya Indonesia memiliki peluang sangat besar untuk memimpin industri ini dikarenakan potensi ketersediaan bahan baku melimpah baik dari limbah-limbah kayu maupun diusahakan dengan cara membuat kebun atau hutan energi.

Potensi luar biasa yang dimiliki Indonesia dilirik Korea untuk dipacu meningkatkan volume eksport wood pelletnya ke Korea, yang artinya pertumbuhan industri wood pellet harus dipercepat. Semakin besar permintaan dan kurangnya suplai mendorong harga wood pellet mahal, sehingga semakin banyak industri tumbuh untuk mendapatkan momentum saat ini, yakni ketika permintaan sangat besar sedangkan suplai-nya minim. Limbah-limbah industri perkayuan yang awalnya menjadi masalah saat ini mulai dilihat sebagai bahan baku potensial untuk bahan baku industri wood pellet ini.

Pasar wood pellet akan semakin baik jika kesadaran global terhadap pemakaian energi terbarukan khususnya biomasa semakin baik dan diusahakan secara berkelanjutan atau secara global negara-negara berlomba untuk menurunkan suhu bumi.  Untuk pasar wood pellet di Asia,selain Korea kini  Jepang juga sudah mulai menggeliat.  Ketersediaan biomasa berkayu untuk produksi wood pellet dan apabila bahan baku diusahakan lewat kebun atau hutan energi memerlukan waktu lebih lama, telah membuat pellet dari biomasa lainnya seperti pellet dari tandan kosong sawit (EFB Pellet) juga telah diterima, karena desakan kebutuhan  saat ini. Jika kesadaran terhadap lingkungan dan perubahan iklim telah dipahami dan dimplementasikan dalam peraturan lingkungan atau energi secara global maka trend industri atau bisnis wood pellet  pada khususnya dan biomass to energy pada umumnya akan semakin berkembang dan bertahan cukup lama.

Minggu, 20 Juli 2014

Cost to Benefit Ratio pada Pabrik Wood / Biomass Pellet

Pabrik wood atau biomass pellet mempunyai peran vital pada produksi wood atau biomass pellet.  Target produksi dengan kualitas standard & stabil hanya bisa dicapai apabila pabrik wood atau biomass pellet bekerja secara optimal. Penggunaan mesin-mesin yang berkualitas merupakan salah satu sarana supaya proses produksi berjalan secara optimal tersebut. Beberapa kriteria untuk membantu pemilihan mesin-mesin untuk pabrik wood atau biomass pellet antara lain :

1.       Telah terbukti dan teruji, secara kualitas dan kuantitas.
2.       Kemudahan dalam operasional dan perawatan.
3.        Kemudahan start up hingga produksinya stabil.
4.       Awet dan bandel, sehingga jarang terjadi masalah dan efektif untuk waktu untuk alat produksi dalam jangka waktu yang lama.
5.       Memenuhi aturan “3 x 3” yakni mesin-mesin tersebut telah digunakan di 3 tempat berbeda dengan waktu operasional lebih dari 3 tahun.
6.       Layanan purna jual yang handal seperti kemudahan mendapatkan spare part dan bahan-bahan pembantu proses lainnya serta solusi cepat jika sewaktu-waktu terjadi masalah pada operasional pabrik. Bahkan telah ada juga pabrik wood atau biomass pellet yang terkoneksi internet dan bisa melaporkan berbagai masalah yang terjadi pada pabrik tersebut dengan sangat cepat sehingga bisa diambil tindakan dengan cepat pula.
7.  Aspek Safety yang baik dan dampak polusi lingkungan yang minimum 

Memang mendapatkan penyedia mesin-mesin pabrik wood atau biomass pellet yang memenuhi persyaratan-persyaratan di atas bukanlah hal yang mudah apalagi  di Indonesia khususnya, industry wood atau biomass pellet adalah hal yang baru. Para calon produsen wood atau biomass pellet harus cukup jeli memperhatikan hal ini, apalagi hanya sekedar diiming-imingi harga murah saja, tanpa berpikir lebih jauh untuk orientasi jangka panjang.

Memang tidak ada jaminan bahwa sesuatu yang mahal pasti memberikan hasil lebih baik, begitu juga untuk mesin-mesin pabrik wood atau biomass pellet ini. Tanpa mengindahkan sejumlah kriteria diatas bisa jadi anda hanya mengalami kerugian karena mengeluarkan biaya yang besar untuk pembelian mesin-mesin tersebut, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Mesin-mesin pabrik wood pellet yang memenuhi kriteria   diatas biasanya harganya cukup mahal, tetapi cost to benefit ratio-nya baik sehingga pada umumnya akan memberikan keuntungan yang baik pula. Optimasinya adalah bagaimana mendapatkan mesin-mesin wood atau biomass pellet yang memenuhi kriteria  diatas dengan harga yang cukup terjangkau. Hal ini bisa dilakukan salahsatunya dengan meng-import mesin-mesin yang vital saja pada pabrik wood atau biomass pellet dan sisanya dibuat didalam negeri. 

Sabtu, 05 Juli 2014

In Madura, Pioneering an Eco-Friendly Firewood

Bangkalan, East Java. Irham Rofii stands out from your run-of-the-mill Muslim preacher, even here on the island of Madura, off the coast of Surabaya, which is home to a bevy of high-profile clerics and their Islamic boarding schools.

Irham also runs a school, but with a difference: He is known as a “green pioneer” in his community and, most recently, a biomass energy champion.

“It used to be overheated here in Madura. Now you’re arriving here drenched in sweat, but in the past we were scorched [by the sun],” the 48-year-old says, recalling how dry and barren the subdistrict of Geger in Bangkalan — one of four districts in Madura — was just a few years ago.

Irham took to planting trees in the area, which was a challenge given how nutrient-poor the soil was. Soon after he took charge of Darul Ittihad, the Islamic boarding school his father had founded, Irham began using his influence as a local religious and community leader to encourage residents to follow suit in planting trees.

The Islamic clergy holds strong sway over local communities in Madura, more so than in most other parts of predominantly Muslim-populated Indonesia, and the Madurese are said to trust their clerics more than government officials.

“So when I set the example, people came to believe that planting trees was good. So they began to do it too,” Irham says, adding that reforestation is now considered by local residents as an activity that has religious merit.




Geger has since been transformed from a once barren area. Houses sit along a road that cuts through the subdistrict, into Kombangan village where Irham lives, looking almost like intruders in an old-growth forest — when in fact it is the various trees and shrubs now growing densely in the area that were introduced more recently and now provide shelter from the searing heat of the day.
“It used to be impossible to grow rambutan trees here,” says Irham, whose tree-planting campaign has earned him the nickname Kyai Hutan (Forest Cleric).

“If you’d been here two months ago, you could have easily picked the rambutan off the trees around here,” he adds, pointing to a tree not far from where we sit, as he addresses guests — local and foreign — who have come to see his latest project.

Having essentially created a forest where before there was none, Irham is now involved in another green project, one that has been going on for the past two years, this time on renewable biomass energy — more specifically, wood pellets.

The project was proposed by Yetti Rusli, an adviser with the Forestry Ministry, and approved for funding in 2012 by the Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). The ICCTF is a body under the National Development Planning Agency (Bappenas) tasked with managing funds from international donors to support climate change mitigation activities in Indonesia.

Near-zero emissions
Upon a request from South Korea, which is set to boost its biomass energy use in order to cut carbon emissions, the Bogor Institute of Agriculture (IPB) conducted a study in 2011 to examine potential of four plants for development as energy wood pellets, an environmentally friendly alternative to carbon-heavy coal.

Yanto Santosa, a professor of ecology at IPB and an adviser to the ICCTF, says the four plants were red calliandraGliricidia, white leadtree and ear tree. The study found that pellets produced from each plant released near-zero carbon emissions and heat of around 4,600 to 4,700 calories per kilogram — nearly as much as coal at 4,800 to 5,500 calories per kilogram. Calliandra (Calliandra callothyrsus) came out the winner due to its high productivity.






“In its first year, calliandra may be harvested after nine months, and then after that every six months,” Yanto says. “Every time a calliandra tree is cut down, seven to nine buds will appear. [Farmers] probably only need to replant the trees after 15 years.”
The other plants tested, meanwhile, took longer to grow, which meant lower productivity.

“Higher productivity means faster absorption of carbon dioxide,” Yanto adds.
He says calliandra also has the highest density, which explains its less than 1 percent ash content, meaning the wood is highly combustible with near-zero emissions — a good indication of a clean fuel.

Noer Yanto, former official with the local forestry agency who is also heavily involved in thewood pellet project in Geger, says calliandra has another advantage in that it can grow in nutrient-poor soil and degraded land. It does not require fertile soil to grow in, and in fact its nitrogen-fixing ability allows for other plants to grow more easily — making it perfectly suited for Madura, a large part of which remains dry and barren.

Those are the reasons why calliandra, native to Panama and Mexico and introduced inIndonesia in 1936, was chosen as the raw material for wood pellets in the ICCTF pilot site, he says.
A total of 214 hectares in three villages in Geger have been dedicated to growing the plant— some interspersed with other plants — after Irham, Noer and Ghozali Anshori, another local public figure, encouraged members of the local farmer’s cooperative, Gerbang Lestari, to participate in the project. Gerbang Lestari was founded by Irham.

The cleric has even allowed a plot of his land to be used to house the factory that will process the wood. He got his students and residents to help build the factory together, with funds from the ICCTF.

“We want our students to be good not just in religion, but also in science and technology,” Irham says.

A total of Rp 2.5 billion ($207,000) has been allotted for the project, including Rp 1.2 billion for the wood pellet mill, most of whose parts were shipped from China.

The machine, half-assembled in Indonesia, was ready for use a month ago and has been on a test run since then, processing narrow calliandra trunks and branches into wood pellets.



Business interests and beyond
Daru Asycarya, a Forestry Ministry official supervising the project, says it has drawn the interest of several prospective buyers, including one from South Korea who wants to buy 300 tons of calliandra wood pellets per month.

No deal has been inked, though, Daru says, as the mill is still in the testing stage and only has a production capacity of a ton per hour or around 220 tons per month.

“We want to first make sure that we can produce prime-quality products that will be more widely accepted,” he says.

As for local customers, Daru says, some tea growers in West and Central Java as well as cement maker Holcim have expressed interest in the wood pellets for use in their operations.

“Many industries have now begun using biomass energy,” he says. “Semen Indonesia [a cement maker], for example, wants biomass to comprise between 30 and 40 percent of their energy source. They’ve begun looking at us.”

Syamsidar Thamrin, the ICCTF secretary, has other uses in mind.
She says calliandra wood pellets can be an ideal solution for the electricity needs of many of the remote villages across Indonesia, especially on the smaller islands that remain beyond the reach of the national power grid run by state-owned electricity firm PLN.

“Wind power is not always economical. Solar cells remain expensive. Kerosene is cheap only because it’s subsidized. And don’t forget the cost of fuel shipment,” Syamsidar says.
“Calliandra, though, is cheap. I hope this project will be replicated, and later on scaled up for the whole of Madura. And in 10 or 20 years from now, I hope [calliandra wood pellets] will be used to support ‘power the villages’ programs,” she adds.

With as many as 24 million hectares of land across Indonesia categorized as degraded or barren, Yanto says there is a large potential for industrial-scale calliandra cultivation and a massive wood pellet industry that will benefit not only local farmers and communities with additional incomes, but also Indonesia with a new potential power source, and eventually the world, with reduced carbon emissions.







Indonesia is currently facing an energy crisis, with domestic oil reserves expected to be depleted by 2025 if no new reserves are found. Gas reserves are expected to last only for another 30 years, while only highly-polluting coal is expected to stay around for longer — for the next 60 years, according to the Agency for the Assessment and Application of Technology (BPPT).

But despite the situation, and the amounts of carbon the fossil fuels emit into the air, the development of sustainable and renewable alternative energy sources in Indonesia has been going at a snail’s pace.
Fossil fuels still dominate Indonesia’s energy mix, with less than 5 percent coming from renewable sources, namely hydro-electricity and geothermal power, according to 2010 data from the Energy and Mineral Resources Ministry.




Syamsidar dismisses concerns that a wood pellet industry will turn out like the palm oil industry, which has led to the wholesale destruction of huge swaths of pristine forest to clear land for oil palm plantations. If that were to happen with the calliandra industry, experts say, it would go against the whole point of producing clean energy for lower emissions.

“Oil palm requires productive land. But with calliandra, we’re focusing on barren and degraded lands,” Syamsidar says. “Rather than letting those lands stay abandoned, why not put them to use?”

Source : http://www.thejakartaglobe.com/news/madura-pioneering-eco-friendly-firewood/ 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...