Minggu, 31 Mei 2020

Bark Pellet : Pemanfaatan Limbah Kulit Kayu


Sejumlah industri pengolahan kayu menghasilkan limbah kulit kayu dalam jumlah besar. Untuk mengatasi limbah, kulit kayu tersebut dapat diolah tersendiri menjadi pellet, atau dapat juga dicampur dengan limbah kayu lainnya. Kulit kayu memang memiliki kandungan abu lebih tinggi daripada kayunya, sehingga pellet yang dihasilkan juga memiliki kandungan abu lebih tinggi daripada wood pellet. Sedangkan apabila limbah kayu tersebut dicampurkan, maka kandungan abunya juga akan berkurang.

Pemanfaatan bahan bakar biomasa seperti pellet, cangkang sawit (pks/palm kernel shell) dan briquette semakin meningkat akhir-akhir ini. Alasan utama masih aspek ekonomi, yakni penggunaan bahan bakar biomasa di atas akan menghemat belanja energi yakni yang sebelumnya menggunakan gas atau LPG. Selain masalah ekonomi, sebenarnya ada aspek lingkungan yang juga tidak kalah pentingnya. Penggunaan bahan bakar biomasa adalah karbon netral, sehingga penggunaannya tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer dan untuk itu penggunaan bahan bakar biomasa seharusnya terus ditingkatkan. Tetapi pengelolaan sumber biomasa tersebut harus baik dan berwawasan lingkungan, sehingga keberlanjutan produksi bisa terjamin.

Kandungan abu dari bark pellet sekitar 2-5% dan ini artinya hampir sama dengan cangkang sawit. Tidak terlalu tinggi dan bisa banyak digunakan oleh sejumlah industri atau UKM seperti halnya cangkang sawit. Dengan dibuat pellet memiliki sejumlah keunggulan dibanding cangkang sawit seperti ukuran dan bentuknya lebih seragam dan tingkat kekeringan tinggi, walaupun konsekuensinya juga harganya akan lebih mahal daripada cangkang sawit. 

Rabu, 27 Mei 2020

Biodiesel Nyamplung : Sebuah Harapan Baru

Sebagai lanjutan dari artikel sebelumnya yang berjudul "Mengatasi Kelangkaan BBM di Daerah-Daerah Terpencil", maka ada potensi lain yang bisa sebagai harapan baru, yakni dari pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Pohon nyamplung menghasilkan biji yang bisa diproses lanjut menjadi biodiesel. Biodiesel nyamplung tersebut bisa digunakan terutama di daerah-daerah terpencil seperti digunakan para nelayan dan berbagai aktivitas di daerah tersebut. Pada skala nasional juga bisa sebagai campuran solar, seperti halnya saat ini yang menggunakan campuran biodiesel minyak sawit dengan solar dengan istilah biosolar (B30 dengan 30% biodiesel minyak sawit dan 70% solar). Sejumlah keuntungan dari biodiesel nyamplung ini adalah produktivitas minyaknya tinggi, bahkan setara dengan kelapa sawit yang merupakan tanaman penghasil minyak pangan nabati saat ini (6 ton/hektar/tahun), bisa wanatani (agroforestry) dengan sejumlah tanaman pangan - yang itu juga tidak bisa dilakukan pada perkebunan sawit, bisa ditanam di pesisir laut untuk mencegah abrasi dan sebagai wind breaker, minyak yang dihasilkan tidak berkompetisi dengan minyak makan atau produk pangan, dan perawatan yang lebih mudah dan murah.

Beberapa waktu lalu pohon jarak pagar juga digalakkan untuk produksi biodiesel, tetapi dengan produktivitas dan rendemen minyak yang rendah membuat biodiesel dari biji jarak pagar tidak bisa bersaing dengan harga solar waktu itu atau akan membutuhkan lahan yang sangat luas untuk menghasilkan target volume biodieselnya, sehingga pengembangannya terhenti. Jarak pagar adalah tanaman yang diprogramkan sebagai sumber biodiesel selain dari minyak sawit, yang diprogramkan pada waktu itu. Bahan bakar cair berupa biodiesel tersebut memang lebih mudah digunakan dan rute pengolahan lebih sederhana dibandingkan dengan produksi bahan bakar cair lewat (fast) pyrolysis atau gasifikasi. Tetapi memang produksi bahan bakar cair melalui rute pyrolysis dan gasifikasi bisa memanfaatkan hampir semua limbah biomasa, tidak terpaku dari buah atau biji tertentu.

Biodiesel yang dihasilkan tersebut juga bisa digunakan untuk pembangkit listrik. Dengan adanya listrik juga mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut khususnya pemanfaatan sumber daya alam (SDA) sekitar. Pemanfaatan produk-produk samping dari produksi biodiesel juga menarik misalnya untuk pakan ternak, produksi briket atau arang, bahkan arang aktif, obat-obatan dan pewarna tekstil dan gliserol. Penggunaan gliserol sangat luas, sebagai contoh pada industri makanan gliserol digunakan sebagai humektan, pelarut dan pemanis, dan dapat membantu mengawetkan makanan. Gliserol juga digunakan sebagai pengisi dalam makanan rendah lemak yang disiapkan secara komersial (misalnya : cookies) dan sebagai agen penebalan dalam minuman. Gliserol juga banyak digunakan pada industri farmasi dan kecantikan.


Berdasarkan Kebijakan Energi Nasional sesuai PP No.5/2006, maka energi terbarukan kelompok biofuel termasuk didalamnya biodiesel ditargetkan untuk mencapai porsi  5% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Walaupun masih rendah dibanding negara-negara lain tetapi tentu sudah menjadi entry point yang baik untuk bisa terus ditingkatkan. Limbah-limbah minyak dari pabrik sawit yang memiliki kadar asam lemak bebas tingi seperti PAO (palm acid oil) atau Miko (minyak kotor) juga bisa digunakan untuk produksi biodiesel karena tidak layak untuk produk pangan. Sebagai referensi RED II (Renewable Energy Directive) di Eropa bahkan mentargetkan hampir 30% sumber energi yang mereka gunakan ditargetkan berasal dari energi terbarukan pada 2030 dan sekitar 80% berasal dari biomasa. RED II tersebut menggantikan RED I yang berakhir tahun ini dengan targetnya 20-20-20, yakni penggunaan 20% energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi sebesar 20% yang dicapai tahun 2020. Dari 20% energi terbarukan, biomasa juga mendapat porsi kurang lebih 80%. Hal tersebut mengindikasikan energi terbarukan khususnya yang berasal dari biomasa seperti buah atau biji nyamplung ini akan semakin meningkat pada era-era mendatang.
Bahkan sejarahnya tanaman ini telah ditanam sejak 50 tahun lalu, dengan sebaran alaminya di tepi pantai untuk wind breaker sehingga tanaman palawija bisa dibudidayakan di area tersebut. Walaupun tanaman ini tetap bisa tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-500 mdpl dengan curah hujan 700 mm/tahun hingga daerah curah hujan sangat tinggi yakni 5000 mm/tahun. Dengan kenyataan seperti itu maka budidaya nyamplung di tepi pantai bisa digalakkan kembali. Dengan garis pantai Indonesia sepanjang 99.093 km dan banyak penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai serta berprofesi sebagai nelayan, maka biodiesel dan agroforestry di kebun nyamplung adalah suatu harapan baru. Bahkan usaha peternakan pun bisa dikembangkan karena ampas dari pres-presan minyak atau crude oil-nya bisa digunakan untuk pakan ternak. Dan ketika pohonnya tidak produktif lagi, kayunya bisa sebagai bahan pembuat kapal bermutu tinggi. Ketika nyamplung diharapkan sebagai sumber utama biodiesel yang menggantikan posisi biodiesel minyak sawit saat ini, sehingga minyak sawit bisa dimaksimalkan untuk minyak makan (produk pangan) maka ada spesies tanaman lain yakni malapari atau mempari (Pongamia pinnata L.) diproyeksikan akan sebagai bioavtur bahan bakar pesawat terbang. 

Senin, 18 Mei 2020

Cofiring Biomasa Pada PLTU Gas, Mungkinkah ?

Teknologi cofiring dibagi menjadi beberapa tipe, yakni direct cofiring, indirect cofiring, dan parallel cofiring. Pilihan penggunaan tipe cofiring tersebut terutama terkait jenis bahan bakar dan teknologi pembakaran yang digunakan. Secara umum berdasar wujudnya bahan bakar dibagi tiga yakni bahan bakar padat, cair dan gas. Wujud bahan bakar tersebut berpengaruh terhadap teknologi pembakaran yang digunakan. Bahan bakar cair yang merupakan fluida maka pembakarannya dengan burner. Sedangkan bahan bakar untuk teknologi pemabakaran dengan fixed bed, fluidized bed dan pulverized combustion. Mencampur bahan bakar padat seperti biomasa seperti PKS/cangkang sawit, wood pellet dan wood chip dengan batubara biasa dilakukan pada tipe direct cofiring dan ini adalah tipe cofiring yang paling umum dilakukan. Lalu bagaimana cofiring biomasa dengan bahan bakar biomasa yang berwujud padat dengan bahan bakar fossil yang berwujud cair atau gas?
Steam Turbine



Bahan bakar fossil baik yang berwujud cair seperti minyak diesel dan gas seperti gas alam biasa digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik pada internal combustion engine (IC engine) yang outputnya merupakan energi mekanik untuk menggerakkan generator.  Gas engine adalah IC engine yang biasa digunakan untuk untuk produksi listrik dari bahan bakar gas seperti gas alam.Tetapi apabila minyak diesel atau gas alam tersebut digunakan pada external combustion engine (EC engine) seperti furnace dan boiler yang menghasilkan steam. Steam selanjutnya akan menggerakkan turbine yang dihubungkan dengan generator. Pada EC engine mekanisme cofiring bisa dilakukan yakni tipe parallel cofiring. Pada mekanisme ini, biomasa sebagai akan digunakan untuk menghasilkan steam untuk tambahan steam dari yang dihasilkan EC engine berbahan bakar fossil tersebut.
Pembangkit Listrik Avedore, Denmark
Contoh cofiring biomasa dengan PLTU gas adalah pembangkit listrik Avedore Unit 2, yang berada di Denmark dekat Copenhagen. Pembangkit listrik tersebut beroperasi pada ultra-supercritical dengan kapasitas 430 MW menggunakan steam turbine dengan bahan bakar gas alam dan juga dilengkapi dengan 2 buah gas turbine berkapasitas masing-masing 51 MW. Gas turbine tersebut digunakan untuk menyediakan listrik pada beban puncak dan pre-heat air umpan boiler (boiler feed water) via unit exhaust heat recovery. Sedangkan biomass boiler dengan kapasitas sekitar 50 MW digunakan untuk menyediakan steam tambahan pada sistem tersebut. Biomass boiler tersebut membakar jerami dengan konsumsi 150 ribu ton per tahun dan menghasilkan 40 kg/detik steam pada 583 C dan tekanan sampai dengan 310 bar.

Minggu, 17 Mei 2020

Produksi POC dan EFB Pellet Sekaligus

Proses leaching tandan kosong sawit (EFB) sehingga memiliki kandungan kalium dan klorin yang sesuai untuk produksi EFB pellet pada skala komersial yang bisa digunakan maksimal pada pulverized combustion (PC) boiler pada pembangkit listrik bukan hal mudah dan murah. Hal tersebut karena proses leaching tersebut membutuhkan pelarut untuk mengestrak kandungan kalium dan klorin tersebut dari material EFB tersebut. Idealnya proses leaching dilakukan dengan pelarut asam, agitasi dan suhu panas serta waktu yang lama sehingga proses ekstraksi bisa berjalan secara optimal. Pada kenyataannya hal inilah menjadi bottle neck untuk melakukan proses leaching tersebut, sehingga hampir belum ada yang melakukan proses ini secara komersial untuk hari ini. Berbeda apabila proses leaching tersebut juga memiliki tujuan lain yang juga memiliki nilai komersial misalnya untuk produksi pupuk organik cair (POC).

Dengan sekaligus memproduksi POC maka biaya untuk leaching bisa terkompensasi dengan keuntungan atau manfaat dari POC tersebut. Pada operasional bisnis CPO khususnya di perkebunan sawit biaya untuk pupuk adalah salah satu komponen biaya tertinggi, yang diperkirakan mencapai Rp 35,75 milyar per tahun untuk setiap 10.000 hektar. Apabila biaya pupuk tersebut bisa dihemat dari penggunaan POC produksi sendiri sekaligus produksi EFB pellet maka hal tersebut sebagai salah satu optimalisasi pemanfaatan biomasa pada industri kelapa sawit. POC akan memiliki kandungan utama berupa kalium (potassium) karena kandungan kalium cukup tinggi pada EFB sekitar 30% dari abu yang dihasilkan adalah kalium. Pupuk kalium sangat bermanfaat bagi tumbuhan karena merupakan unsur hara esensial dengan manfaat antara lain mengangkut gula, mengontrol stomata pada daun dengan cara menjaga electro-neutrality di dalam sel tumbuhan, co-factor dari lebih dari 40 enzime dan mengurangi terjadinya berbagai penyakit. Beberapa perkebunan juga sangat membutuhkan pupuk kalium dalam jumlah besar misalnya perkebunan pisang. Proses pembuatan POC dengan merendam EFB selama beberapa hari diharapkan akan menurunkan kandungan kalium dan klorin secara signifikan pada EFB dan membuatnya menjadi material untuk pellet yang friendly terhadap pembangkit listrik PC boiler tersebut.
Kalium yang terambil dalam buah ketika panen
EFB pellet yang diproduksi selanjutnya bisa dijual untuk export maupun memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan produksi EFB pellet sekaligus POC maka export bioenergy diharapkan tidak akan merusak atau mengurangi kesuburan tanah yang ada, sesuatu yang kadang memang kadang dilematis. Selain itu bahan-bahan lain yang berada dikebun seperti daun dan pelepah juga masih bisa dikomposkan apabila juga dimaksudkan untuk sebagai pupuk. Produksi EFB pellet juga selalu membutuhkan energi berupa listrik untuk operasional pabriknya. Dan untuk itu listrik bisa diproduksi dari biogas dengan mengolah limbah cair pabrik sawit (POME) tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Lokasi pabrik sawit yang pada umumnya terpencil menuntuk untuk mampu memproduksi listrik sendiri, termasuk apabila akan mengolah EFB menjadi POC dan  EFB pellet maka kebutuhan listrik sebaiknya juga dipenuhi sendiri. 

Pulverized combustion
EFB pellet tanpa proses leaching sebenarnya juga bisa digunakan untuk teknologi FBC (fluidized bed combustion) boiler dan untuk PC boiler dengan jumlah yang terbatas. Dengan adanya proses leaching tersebut EFB pellet bisa digunakan pada PC boiler secara maksimal. Sebagian besar pembangkit listrik atau PLTU saat ini menggunakan teknologi PC boiler tersebut. Sehingga apabila EFB pellet yang dihasilkan bisa friendly dengan PC boiler otomatis pasar lebih terbuka. Produksi EFB pellet yang merupakan pellet limbah pertanian biasanya akan menjadi prioritas kedua setelah produksi wood pellet terkendala terutama dari sisi ketersediaan dan supplai bahan baku.

Sabtu, 16 Mei 2020

Wood Briquette untuk UKM


Sejumlah UKM telah menggunakan wood pellet sebagai bahan bakarnya seperti pada video di atas. Alasan utama penggunaan wood pellet tersebut adalah penghematan atau faktor ekonomi yakni penghematan sekitar 30% dibandingkan gas LPG bersubsidi 12 kg. Dengan menggunakan burner khusus, api dari pembakaran wood pellet tersebut seperti nyala api dari burner gas. Penggunaan wood pellet UKM-UKM tersebut berkisar dari beberap ton/bulan hingga puluhan ton/bulannya. Selain mudah digunakan, wood pellet juga mudah dan aman disimpan. Keseragaman ukuran dan tingkat kekeringan membuat kualitas wood pellet lebih terjaga dibanding bahan bakar biomasa lainnya. Salah satu nilai lebih dari penggunaan bahan bakar padat khususnya wood pellet adalah anti meledak. Penggunaan bahan bakar gas seperti LPG cenderung lebih berhati-hati pada bahaya ledakan tersebut.

LPG 12 kg non-subsidi
Produk bahan bakar biomasa yang mirip wood pellet dan bisa digunakan seperti wood pellet di atas adalah wood briquette atau sawdust briquette. Kedua produk tersebut dibuat dengan cara pemadatan biomasa (biomass densification), hanya ukuran briquette lebih besar dibandingkan pellet. Penggunaan wood briquette bahkan lebih mudah dibandingkan wood pellet, karena tidak membutuhkan burner khusus. Wood briquette cukup dimasukkan ke lubang tungku sama seperti penggunaan kayu bakar. Kualitas wood briquette juga lebih baik dibandingkan kayu bakar dan wood pellet sekalipun, yakni karena tingkat kepadatan (density) lebih tinggi dibandingkan kedua bahan bakar tersebut. Kayu bakar memiliki kepadatan sekitar 500 kg/m3, sedangkan wood pellet 700 kg/m3 dan wood briquette 1100 kg/m3. Proses produksi wood briquette juga sangat mirip dengan wood pellet, sehingga wood briquette juga memiliki ukuran yang seragam dan tingkat kekeringan tinggi, bedanya dimensi wood briquette lebih besar dibandingkan wood pellet. Sedangkan dari segi penghematan dibandingkan gas LPG 12 kg, penghematan wood briquette hampir sama dengan wood briquette yakni dikisaran 30%. Tetapi dengan tanpa adanya burner khusus, penggunaan wood briquette menjadi lebih mudah dan murah dibandingkan wood pellet.

Tentu wood briquette memiliki spesifikasi yang berbeda dengan briquette batubara. Hal tersebut terutama dari sumber bahan baku yang digunakan. Batubara mengandung sulfur sehingga akan merusak citarasa makanan apabila digunakan untuk memasak karena menimbulkan bau yang kurang sedap. Sedangkan wood briquette sama seperti wood pellet dibuat dari biomasa kayu yang dipadatkan. Selain itu abu batubara termasuk limbah B3 karena mengandung logam berat, sedangkan wood briquette seperti halnya wood pellet abunya adalah seperti abu pembakaran kayu saja.
Ditinjau dari aspek lingkungan penggunaan bahan bakar biomasa merupakan bahan bakar ramah lingkungan karena berasal dari tumbuh-tumbuhan dan saat ini umumnya dibuat dari limbah industri perkayuan. Supaya bahan bakar biomasa tersebut terus berkelanjutan (sustainable) maka tumbuh-tumbuhan atau pepohonan sebagai sumbernya harus dikelola dengan baik dan benar. Dan karena kayu tersebut merupakan produk photosintesis dari tumbuhan dan ketika dibakar lagi tidak menambah konsentrasi gas CO2 di atmosfer atau bahan bakar carbon neutral. Untuk memproduksi untuk kebutuhan energi tersebut, maka untuk skala besar dan berkelanjutan skenario kebun energi adalah opsi terbaik. Dengan kebun energi, selain kayunya bisa untuk produksi wood briquette dan wood pellet juga bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Jumat, 15 Mei 2020

PKS Sebagai Bahan Bakar Andalan Pada Cofiring di PLTU Batubara


Cofiring adalah entry point termudah dan tercepat bagi PLTU batubara yang akan masuk ke sektor energi terbarukan. Dengan mekanisme cofiring, prosentase biomasa bisa ditingkatkan secara bertahap, bahkan nantinya dimungkinka apabila 100% bahan bakar PLTU tersebut menggunakan biomasa. Biomasa sendiri khususnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah sumber energi terbarukan tetapi apabila dikelola dengan benar. Sumber biomasa yang didapat secara sembarangan dan membabi buta tanpa memperhatikan aspek lingkungan bukan energi terbarukan dan hal tersebut tidak akan berkelanjutan. Aktivitas tersebut bertentangan dengan konsep bioekonomi. Dan di Indonesia khususnya penggunaan energi dari biomasa khususnya PKS juga sejalan dengan kebijakan pemerintah yakni mendorong bauran energi terbarukan sebesar 17% pada tahun 2025 berdasar Peraturan Presiden no 5 tahun 2006. Selain itu metode cofiring juga tercantum dalam RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2019-2038 dimana disebutkan bahwa roadmap konservasi energi untuk kegiatan penyediaan energi salah satunya mencakup program peningkatan efisiensi energi pada pemakaian sendiri dan cofiring.

Diantara berbagai sumber biomasa yang ada saat ini, PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa terbaik. Hal tersebut karena PKS memiliki properties yang mendekati wood pellet dan bahkan di pasar bahan bakar biomasa internasional,PKS adalah kompetitor utama dari wood pellet. PKS memiliki bentuk dan ukuran relatif seragam, kalori tinggi, bulk density tinggi, kadar abu rendah dan tersedia dalam umlah melimpah. PKS merupakan limbah pabrik sawit (pabrik CPO) sehingga tidak perlu proses produksi yang rumit seperti wood pellet. Diperkirakan ada lebih 10 uta ton/bulan PKS yang dihasilkan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan bahan bakar biomasa lainnya ? Dibawah ini sebuah perbandingan singkat dengan sejumlah bahan bakar biomasa lainnya, yakni wood pellet, wood chip, biomass pellet dan sekam padi.

Wood Pellet
wood pellet memiliki tingkat kepadatan (density) sekitar 700 kg/m3 dari proses pemadatan (densifikasi serbuk kayu). Secara kualitas wood pellet lebih bagus dibandingkan PKS, hal ini terutama karena bentuk seragam dan tingkat kekeringan tinggi. Kekurangan wood pellet adalah di faktor harga dan volumenya. Di Indonesia saat ini harga wood pellet sekitar 2 kali PKS dan 3 kali batubara. Walaupun kualitas lebih baik tetapi dengan harga tersebut tentu PLTU batubara tidak akan menggunakan prosentase yang besar untuk cofiring, apalagi jika juga ada sejumlah faktor-faktor teknis sebagai pembatasnya, misalnya teknologi pembakaran yang digunakan, kimia abu pada wood pellet dan sebagainya. Faktor lainnya adalah volume ketersediaan wood pellet itu sendiri yang saat ini produksinya di Indonesia mash kecil, yang diperkirakan kurang dari 100 ribu ton/tahun. Apabila ada lonjakan permintaan maka harga jual wood pellet semakin meningkat, mengikuti hukum pasar. Tetapi dengan volume produksi wood pellet yang rendah dan harga juga relatif mahal maka wood pellet kurang sesuai untuk cofiring tersebut.
Wood Chip
Wood chip atau serpih kayu adalah bentuk bahan bakar biomasa yang sangat sederhana, yakni dibuat hanya dengan proses pengecilan ukuran dengan mengggunakan mesin chipper kayu. Masalah utama dengan wood chip adalah bulk density yang rendah sehingga mahal biaya transportasinya. Bulk density wood chip hanya sekitar 1/4 dari wood pellet atau 1/3 PKS. Kualitas wood chip akan sama persis dengan kualitas kayu yang digunakan. Wood chip hanya ekonomis jika sumber bahan baku wood chip berdekatan dengan pembangkit tersebut. Simplenya jika PLTU tersebut dikelilingi kebun energi sebagai sumber wood chip tersebut maka besar kemungkinan suplai wood chip ke pembangkit tersebut akan ekonomis. Kebun energi tersebut juga bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan. Untuk mengoptimalkan potensi kebun energi tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Wood Pellet dan Biomass Pellet
Biomass Pellet /Agro-Waste Pellet
Biomass pellet atau pellet dari limbah pertanian (agro-waste pellet) juga bisa digunakan untuk bahan bakar PLTU tersebut. Pellet limbah pertanian tersebut antara lain pellet tankos sawit (EFB pellet), pellet sekam padi (RH pellet), pellet tongkol jagung dan sebagainya. Kualitas pellet limbah pertanian tersebut dibawah wood pellet dan juga sepertinya produsen tipe pellet tersebut juga masih sangat terbatas atau bahkan belum ada di Indonesia. Dan karena membutuhkan industri untuk produksinya maka harga jual pellet limbah pertanian (agro-waste pellet) tersebut juga tidak jauh berbeda dengan wood pellet.

Sekam Padi
Sekam padi banyak terdapat di sentra-sentra pertanian padi atau daerah lumbung-lumbung padi. Sekam padi juga memiliki bulk density kecil (sekitar 100 kg/m3), nilai kalori kecil serta kadar abu tinggi bahkan bisa mencapai 20%. Hal tersebut juga membuat kurang ekonomis apabila sekam padi ditransportasikan dalam jarak jauh. Faktor lainnya adalah tingkat kekeringan yang tinggi pada sekam padi sehingga rawan terjadi kebakaran yang ditumpuk pada penyimpanannya. Sekam padi selalu berasal dari gabah kering, karena proses penggilingan padi hanya bisa dilakukan pada gabah kering. Faktor teknis lainnya berupa tingginya kadar abu akan berpengaruh pada porsi penggunaan sekam padi tersebut.

Berdasarkan perbandingan di atas, nampaknya memang PKS ata cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa ideal untuk cofiring ataupun fullfiring (100% PKS) pada PLTU. Konsumsi PKS untuk dalam negeri diperkirakan terus meningkat dan bahkan akan terjadi kompetisi dengan pasar export. Pada kondisi tersebut bisa jadi sejumlah pembatasan export dilakukan dengan alasan prioritas kebutuhan dalam negeri.

Rabu, 13 Mei 2020

PKS untuk FBC Powerplant Bagian 2


Diantara dua varian teknologi fluidized bed combustion (FBC), jenis CFBC (circulating fluidized bed combustion) lebih banyak digunakan untuk pembangkit listrik daripada BFBC (bubbling fluidized bed combustion). Hal tersebut karena tingkat efisiensinya lebih tinggi, penggunaan untuk kapasitas besar dan jumlah flue gas yang dihasilkan lebih sedikit. Kebutuhan udara stoikhiometri untuk CFBC (1,1 - 1,2) lebih sedikit dibandingkan BFBC (1,2 - 1,3), hal tersebut juga mengakibatkan flue gas yang dihasilkan pada CFBC lebih sedikit dibanding BFBC. Perbedaan utama CFBC dan BFBC adalah konstruksinya yakni ada sirkulasi penggunaan bed material pada CFBC dan CFBC menggunakan kecepatan udara lebih besar daripada BFBC.

Bahan bakar yang digunakan untuk CFBC memiliki ukuran partikel lebih kecil dibandingkan dengan BFBC sehingga akan membutuhkan biaya preparasi /pretreatment lebih tinggi. Hal ini merupakan salah satu kekurangan CFBC. Preparasi yang biasa dilakukan adalah foreign material control dan size reduction. Bahan bakar yang digunakan seperti batubara harus dibersihkan dari sejumlah pengotor seperti logam. Magnetic separator adalah alat yang biasa digunakan untuk memisahkan pengotor logam-logam tersebut. Logam-logam yang mengotori batubara tersebut selain akan merusak screen pada crusher (jika menggunakan tipe crusher hammer mill) juga dimungkinkan menutupi pori-pori angsang (perforated plate) pada bagian bawah tungku fluidized bed tersebut. Tertutupnya pori-pori tersebut menyebabkan terganggunya sirkulasi udara yang tentunya akan berpengaruh pada output unit tersebut.

PKS atau cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa yang banyak tersedia di Indonesia dan memiliki karakteristik mendekati wood pellet. PKS tersebut bisa digunakan bahan bakar CFBC baik untuk cofiring maupun fullfiring (100% PKS). Terkait preparasi atau pre-treatment bahan bakar sebelum diumpankan atau digunakan dalam CFBC, maka hal tersebut juga perlu dilakukan untuk PKS. PKS yang berukuran 2-5 cm perlu dibersihkan dari sejumlah pengotor dan dikecilkan ukurannya (size reduction) sebelum digunakan. Pada cofiring, ketika alat untuk preparasi batubara juga bisa digunakan untuk PKS maka berarti tidak dibutuhkan line baru untuk hal tersebut. Tetapi jika tidak bisa maka perlu dibuat lini baru. Sejumlah pembangkit listrik di Jepang bahkan menggunakan 100% PKS sebagai bahan bakarnya dengan teknologi CFBC tersebut dan terutama dalam rangka sebagai solusi lingkungan dan perubahan iklim yang didukung pemerintahnya.

Pembangkit Listrik di Jepang 49 MW
yang beroperasi sejak 2015 dengan PKS
Penggunaan teknologi fluidized bed combustion (FBC) sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1960an, yang pada saat itu terutama digunakan untuk mengolah sampah kota dan limbah industri. Saat ini diperkirakan lebih dari 300 unit FBC terpasang dan beroperasi di seluruh dunia. PKS sebagai limbah pabrik sawit (pabrik CPO) tersedia cukup berlimpah di Indonesia yang diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta ton/tahun dan di Malaysia diperkirakan lebih dari 5 juta ton/tahun. Hal tersebut sehingga pemakaian PKS pada FBC sangat mungkin dilakukan karena volume dan ketersediannya mencukupi. Faktor keekonomianlah terutama yang menjadi pembatas pemakaian PKS tersebut, walaupun ditinjau dari sisi lingkungan dan perubahan iklim sangat didukung penggunaannya. Lokasi pabrik sawit yang berada di tengah perkebunan di lokasi-lokasi terpencil juga membuat biaya logistik mahal sehingga berpengaruh terhadap harga jual PKS tersebut. 

Coconut Husk Pellet (CH Pellet) Alternative Pemanfaatan Limbah Sabut Kelapa


Pada daerah dimana cukup memadai pasokan listriknya dan limbah sabut kelapa tersedia melimpah, maka sabut kelapa tersebut bisa diolah lanjut menjadi pellet sabut kelapa (coconut husk pellet/CH pellet). CH pellet termasuk biomass pellet atau agro-waste pellet dan bukan termasuk wood pellet karena bahan bakunya termasuk limbah pertanian dan bukan biomasa kayu-kayuan (woody biomass). Mengapa hanya daerah dengan pasokan listrik memadai yang disarankan untuk produksi CH pellet? Hal tersebut karena pada produksi pellet tersebut dibutuhkan sejumlah peralatan mekanik yang digerakkan dengan motor listrik seperti unit size reduction, pengeringan, pengepressan menjadi pellet dan sebagainya. Ketika daerah tersebut tidak ada atau kurang memadai pasokan listriknya maka sabut kelapa yang berlimpah dan cenderung mencemari lingkungan tersebut disarankan untuk produksi arang, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Dan pada dasarnya pemanfaatan limbah sabut kelapa tersebut secara teknis bisa bermacam-macam tetapi yang penting tetap bisa ekonomis, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan atau sejalan dengan konsep bioekonomi.
CH pellet sama seperti EFB pellet yang bisa digunakan 100% pada pembangkit listrik berteknologi fluidized bed combustion (FBC).  Hal ini karena teknologi FBC memiliki fleksibilitas tinggi untuk jenis bahan bahan bakar yang digunakan termasuk pellet dari sabut kelapa dan tandan kosong sawit tersebut yang notabene memiliki kandungan kalium (potassium) dan klorin yang tinggi. Tipe pellet dari limbah pertanian tersebut juga bisa digunakan pada teknologi pulverized cobustion (PC) tetapi dengan porsi yang terbatas atau biasanya dengan istilah cofiring. Cofiring biomasa dengan batubara pada teknologi PC hingga 10% biasanya belu membutuhkan modifikasi pada pembangkit PC tersebut. Alasan utama mengapa CH pellet atau EFB pellet tidak bisa digunakan 100% pada PC adalah karena kimia abunya, khususnya kandungan kalium dan klorin di atas. Suhu operasi yang tinggi (> 1000 C) membuat kalium meleleh dan menjadi deposit pada pipa-pipa penukar panas (heat exchanger) sehingga lambat-laun menurunkan efisiensi, sedangkan klorin yang korosif akan membuat logam-logam pada pembangkit tersebut cepat habis. Sedangkan pada FBC dengan suhu operasi lebih rendah atau umumnya 100-200 C lebih rendah dari PC maka tentang kimia abu dari pellet tersebut tidak menjadi masalah berarti. 

Supaya CH pellet semakin luas penggunaannya atau semakin banyak diterima pasar khususya pada teknologi PC yang lebih banyak digunakan daripada FBC pada pembangkit listrik, maka kualitas CH pellet tersebut harus diupgrade yakni dengan menurunkan kandungan kalium dan klorin dalam sabut kelapa tersebut. Cara menurunkan kedua unsur tersebut adalah dengan mengekstraknya. Ekstrak kalium dan klorin tersebut selanjutnya bisa digunakan sebagai pupuk organik cair (POC). Produksi POC sekaligus menyiapkan bahan baku untuk produksi CH pellet adalah dua aktivitas produktif yang sejalan sehingga biaya menurunkan kandungan kalium dan klorin pada sabut kelapa bisa terkompensasi oleh produsi POC tersebut. Kandungan kalium dalam sabut kelapa cukup tiggi yaki sekitar 10% dan kalium sangat dibutuhkan tanaman. Ada varian tertentu pupuk kalium yang harganya mahal dan tidak disubsidi sehingga produksi POC akan menekan biaya belanja pupuk kalium yang mahal tersebut, bahkan pada perkebunan tertentu biaya pupuk sangat besar dan tidak diberikan subsidi. Setelah kandungan kalium dan klorin dalam sabut kelapa tersebut bisa diekstrak untuk produksi POC, selanjutnya sabut tersebut akan menjadi bahan baku CH pellet, dan produk CH pellet yang dihasilkan lebih maksimal pada pembangkit listrik dengan teknologi PC

Kamis, 07 Mei 2020

Produksi Arang dari Limbah Sabut Kelapa


Sabut kelapa adalah limbah dari buah kelapa atau industri pengolahan kelapa yang masih belum banyak dimanfaatkan. Sabut kelapa biasanya ditinggalkan di perkebunan kelapa tersebut dan seringkali hanya menjadi limbah yang mencemari lingkungan seperti di daerah Indragiri Hilir, sentra perkebunan kelapa terbesar di dunia. Hal tersebut mirip dengan tandan buah kosong pada industri kelapa sawit yang biasanya hanya dibuang di perkebunan sawit ataupun ditimbun begitu saja di sekitar pabrik sawit tersebut. Di sejumlah pabrik sawit limbah sabut (mesocarp fiber) juga banyak dihasilkan dan juga cenderung menjadi limbah yang mencemari lingkungan terutama pada pabrik sawit dengan boiler efisiensi tinggi. Sejumlah sabut kelapa telah diolah menjadi cocofiber dan cocopeat (atau kalau tandan kosong sawit diolah menjadi dried long fiber) tetapi secara prosentase masih kecil. Cocofiber digunakan untuk bahan matras, jok, tali, sapu, keset, geotekstil dan sebagainya, sedangkan cocopeat untuk media tanam. 
 Pemanfaatan lain yang praktis dan mudah dilakukan bahkan di daerah-daerah terpencil adalah pemanfaaatan limbah sabut kelapa tersebut untuk produksi arang. Arang tersebut selanjutnya dibuat briket sehingga lebih padat dan mudah digunakan. Briket arang tersebut bisa digunakan untuk memanggang daging, ikan ataupun bahan bakar memasak berbagai makanan.  Bahan bakar briket arang tersebut seharusnya akan menarik dan disukai karena tidak berbau, tidak berasap dan bentuknya yang seragam. Dibandingkan dengan briket batubara yang dulu sempat digalakkan, briket arang dari sabut kelapa maupun biomasa pada umumnya lebih cocok untuk keperluan memanggang (barbeque) dan memasak tersebut karena alasan di atas, sedangkan pada briket batubara selain muncul bau yang tidak sedap akibat senyawa sulfur/belerang, abu yang dihasilkan juga masuk kelompok B3 sehingga perlu penanganan lebih sulit. Daerah-daerah terpencil tersebut bisa menggunakan briket arang tersebut untuk keperluan masak sehari-hari maupun dipasarkan ke perkotaan khususnya di warung-warung kuliner yang menyediakan makanan dengan dipanggang atau dibakar (barbeque). 
Pemanfaatan lain dari arang dari sabut kelapa tersebut adalah untuk sektor pertanian. Hal tersebut karena arang (biochar) bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas panen dan efisiensi penggunaan pupuk. Biochar bisa digunakan pada  kebun sayuran dan buah-buahanan. Kebun kelapa yang pada umumnya jarang sekali atau tidak pernah dipupuk maka dalam upaya meningkatkan produktivitasnya supaya optimal maka program pemupukan perlu dilakukan dengan teratur. Kalau rata-rata produktivitas kelapa Indonesia saat ini hanya 40 butir/pohon/tahun maka dengan penggunaan biochar diharapkan bisa ditingkatkan. Padahal angka maksimum rata-rata, terutama jenis kelapa dalam (tall varieties) dapat mencapai 100 hingga 120 butir per pohon per tahun atau kurang lebih tiga kali lipat dari yang ada saat ini.

Rabu, 06 Mei 2020

Mengapa Produksi Wood Pellet dari Kebun Energi dan Bukan dari Kayu Hutan Alam?


Pada dasarnya semua biomasa kayu bisa digunakan untuk bahan baku produksi wood pellet, tetapi faktor ekonomi lah yang terutama menjadi faktor pembatas. Hal itulah mengapa wood pellet diproduksi hanya dari kebun energi dan limbah-limbah industri perkayuan, serta bukan dari kayu hutan alam. Dan pada dasarnya untuk produksi wood pellet tersebut hanya menggunakan limbah-limbah industri perkayuan dan kebun energi untuk mencapai faktor keekonomiannya atau dengan kata lain,bahan baku untuk wood pellet adalah limbah-limbah kayu ataupun kayu-kayu yang seharga dengan kayu limbah. Hal tersebut mengapa kayu dari hutan alam yang umurnya puluhan tahun tidak cocok untuk digunakan sebagai bahan baku wood pellet. Kayu-kayu tersebut mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi sehingga apabila digunakan untuk produksi wood pellet maka produk wood pellet yang dihasilkan tentu menjadi akan mahal sehingga tidak laku di pasaran.Kebun energi dengan menggunakan pohon yang tumbuh cepat (fast growing tree) dan trubusan (coppice) yakni kelompok leguminoceae seperti gliricidia dan kaliandra merah, sedangkan kayu hutan alam menggunakan tanaman yang pertumbuhannya lambat sehingga dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa memanen atau mengambil kayunya seperti pohon jati. 
 Biomasa atau khususnya kayu adalah material yang bisa sebagai penyimpan karbon dari atmosfer. Selama masih berwujud kayu maka karbon masih tersimpan dalam kayu tersebut. Semakin lama penggunaan kayu tersebut untuk berbagai hal dalam kehidupan manusia maka semakin lama karbon tersebut tersimpan dalam material kayu tersebut, dan juga sebaliknya. Sejumlah upaya dilakukan untuk memperpanjang masa pakai kayu dari sejumlah kerusakan seperti pengeringan kayu, penggunaan pengawet kayu dan sebagainya. Berdasarkan kondisi di atas maka lama waktu penyimpanan karbon dalam material kayu bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni pertama, penyimpanan jangka panjang yakni penggunaan kayu untuk bangunan,  pintu, jendela, mebel dan sebagainya, dan yang kedua, penyimpan karbon jangka pendek yakni untuk penggunaan sebagai bahan bakar atau sumber energi. Wood pellet adalah penggunaan biomasa kayu sebagai sebagai sumber energi, dan karena kayu tersebut dihasilkan dari photosintesa yakni pohon menerap CO2 dari atmosfer, menggunakan air dan sinar matahari untuk menjadi material khusunya kayu, maka ketika dibakar maka emisi karbonnya tidak menambah konsentrasi CO2 atau gas rumah kaca di atmosfer, sehingga diistilahkan sebagai bahan bakar karbon netral.
Pada manajemen pengelolaan hutan yakni untuk kebun energi dan kayu untuk kebutuhan industri yang usianya hingga puluhan tahun tersebut tentu memiliki mekanisme dan karakteristik tersendiri. Seiring program penurunan suhu bumi akibat perubahan iklim akibat tingginya konsentrasi CO2 di atmosfer maka biomasa sebagai bahan bakar karbon netral semakin dibutuhkan. Kebutuhan wood pellet diproyeksikan mencapai puluhan juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Hal tersebut seharusnya mendorong akan pentingnya peningkatan jumlah dan luasan kebun energi untuk produksi wood pellet tersebut. Kebun energi untuk produksi wood pellet tersebut bisa diintegrasikan dengan peternakan domba, kambing atau sapi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan kayu untuk kebutuhan industri dengan usia puluhan tahun untuk penggunaan pada bangunan, meubel dan sebagainya mulai terjadi banyak penurunan karena banyak digantikan material lain yang pada umumnya lebih murah seperti alumunium, baja ringan dan PVC. Material kayu untuk berbagai keperluan juga semakin terbatas penggunaannya. Sejumlah masalah lingkungan juga menjadi perhatian yakni ketika kayu-kayu tersebut diawetkan terutama dengan penggunaan CCA (copper-chrome-arsenic). Walaupun akan menghasilkan kayu dengan sifat yang bagus seperti tahan rayap, dimensi yang stabil, kekuatan mekanis tinggi dan sebagainya tetapi setelah habis masa pakai dan tidak digunakan lagi lalu dibuang, kayu tersebut akan mengeluarkan arsenik dan kromium ke atmosfer, sehingga tidak ramah lingkungan dan berbahaya.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...