Cofiring adalah entry point termudah dan tercepat bagi PLTU batubara yang akan masuk ke sektor energi terbarukan. Dengan mekanisme cofiring, prosentase biomasa bisa ditingkatkan secara bertahap, bahkan nantinya dimungkinka apabila 100% bahan bakar PLTU tersebut menggunakan biomasa. Biomasa sendiri khususnya yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah sumber energi terbarukan tetapi apabila dikelola dengan benar. Sumber biomasa yang didapat secara sembarangan dan membabi buta tanpa memperhatikan aspek lingkungan bukan energi terbarukan dan hal tersebut tidak akan berkelanjutan. Aktivitas tersebut bertentangan dengan konsep bioekonomi. Dan di Indonesia khususnya penggunaan energi dari biomasa khususnya PKS juga sejalan dengan kebijakan pemerintah yakni mendorong bauran energi terbarukan sebesar 17% pada tahun 2025 berdasar
Peraturan Presiden no 5 tahun 2006. Selain itu metode cofiring juga tercantum dalam RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2019-2038 dimana disebutkan bahwa roadmap konservasi energi untuk kegiatan penyediaan energi salah satunya mencakup program peningkatan efisiensi energi pada pemakaian sendiri dan cofiring.
Diantara berbagai sumber biomasa yang ada saat ini,
PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa terbaik. Hal tersebut karena PKS memiliki properties yang mendekati
wood pellet dan bahkan di pasar bahan bakar biomasa internasional,PKS adalah kompetitor utama dari wood pellet. PKS memiliki bentuk dan ukuran relatif seragam, kalori tinggi, bulk density tinggi, kadar abu rendah dan tersedia dalam umlah melimpah. PKS merupakan limbah pabrik sawit (pabrik CPO) sehingga tidak perlu proses produksi yang rumit seperti wood pellet. Diperkirakan ada lebih 10 uta ton/bulan PKS yang dihasilkan di Indonesia. Lalu bagaimana dengan bahan bakar biomasa lainnya ? Dibawah ini sebuah perbandingan singkat dengan sejumlah bahan bakar biomasa lainnya, yakni wood pellet, wood chip, biomass pellet dan sekam padi.
Wood Pellet
wood pellet memiliki tingkat kepadatan (density) sekitar 700 kg/m3 dari proses pemadatan (densifikasi serbuk kayu). Secara kualitas wood pellet lebih bagus dibandingkan PKS, hal ini terutama karena bentuk seragam dan tingkat kekeringan tinggi. Kekurangan wood pellet adalah di faktor harga dan volumenya. Di Indonesia saat ini harga wood pellet sekitar 2 kali PKS dan 3 kali batubara. Walaupun kualitas lebih baik tetapi dengan harga tersebut tentu PLTU batubara tidak akan menggunakan prosentase yang besar untuk cofiring, apalagi jika juga ada sejumlah faktor-faktor teknis sebagai pembatasnya, misalnya teknologi pembakaran yang digunakan, kimia abu pada wood pellet dan sebagainya. Faktor lainnya adalah volume ketersediaan wood pellet itu sendiri yang saat ini produksinya di Indonesia mash kecil, yang diperkirakan kurang dari 100 ribu ton/tahun. Apabila ada lonjakan permintaan maka harga jual wood pellet semakin meningkat, mengikuti hukum pasar. Tetapi dengan volume produksi wood pellet yang rendah dan harga juga relatif mahal maka wood pellet kurang sesuai untuk cofiring tersebut.
Wood Chip
Wood chip atau serpih kayu adalah bentuk bahan bakar biomasa yang sangat sederhana, yakni dibuat hanya dengan proses pengecilan ukuran dengan mengggunakan mesin chipper kayu. Masalah utama dengan wood chip adalah bulk density yang rendah sehingga mahal biaya transportasinya. Bulk density wood chip hanya sekitar 1/4 dari wood pellet atau 1/3 PKS. Kualitas wood chip akan sama persis dengan kualitas kayu yang digunakan. Wood chip hanya ekonomis jika sumber bahan baku wood chip berdekatan dengan pembangkit tersebut. Simplenya jika PLTU tersebut dikelilingi kebun energi sebagai sumber wood chip tersebut maka besar kemungkinan suplai wood chip ke pembangkit tersebut akan ekonomis. Kebun energi tersebut juga bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan. Untuk mengoptimalkan potensi kebun energi tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca
disini.
|
Wood Pellet dan Biomass Pellet |
Biomass Pellet /Agro-Waste Pellet
Biomass pellet atau pellet dari limbah pertanian (agro-waste pellet) juga bisa digunakan untuk bahan bakar PLTU tersebut. Pellet limbah pertanian tersebut antara lain pellet tankos sawit (EFB pellet), pellet sekam padi (RH pellet), pellet tongkol jagung dan sebagainya. Kualitas pellet limbah pertanian tersebut dibawah wood pellet dan juga sepertinya produsen tipe pellet tersebut juga masih sangat terbatas atau bahkan belum ada di Indonesia. Dan karena membutuhkan industri untuk produksinya maka harga jual pellet limbah pertanian (agro-waste pellet) tersebut juga tidak jauh berbeda dengan wood pellet.
Sekam Padi
Sekam padi banyak terdapat di sentra-sentra pertanian padi atau daerah lumbung-lumbung padi. Sekam padi juga memiliki bulk density kecil (sekitar 100 kg/m3), nilai kalori kecil serta kadar abu tinggi bahkan bisa mencapai 20%. Hal tersebut juga membuat kurang ekonomis apabila sekam padi ditransportasikan dalam jarak jauh. Faktor lainnya adalah tingkat kekeringan yang tinggi pada sekam padi sehingga rawan terjadi kebakaran yang ditumpuk pada penyimpanannya. Sekam padi selalu berasal dari gabah kering, karena proses penggilingan padi hanya bisa dilakukan pada gabah kering. Faktor teknis lainnya berupa tingginya kadar abu akan berpengaruh pada porsi penggunaan sekam padi tersebut.
Berdasarkan perbandingan di atas, nampaknya memang PKS ata cangkang sawit adalah bahan bakar biomasa ideal untuk cofiring ataupun fullfiring (100% PKS) pada PLTU. Konsumsi PKS untuk dalam negeri diperkirakan terus meningkat dan bahkan akan terjadi kompetisi dengan pasar export. Pada kondisi tersebut bisa jadi sejumlah pembatasan export dilakukan dengan alasan prioritas kebutuhan dalam negeri.