Minggu, 29 Desember 2019

Kebun Energi : Mananam Kaliandra atau Gliricidae ?

Setiap tanaman memiliki lokasi optimum untuk pertumbuhannya. Walaupun bisa tumbuh kalau bukan pada lokasi optimumnya maka hasilnya juga tidak sebaik lokasi optimumnya. Tanaman yang ditanam pada lokasi optimalnya maka besar harapan untuk mencapai hasil optimalnya, baik kayu, buah, bunga dan sebagainya. Apabila menanam teh, apel, atau edelweiss di dataran rendah atau bahkan di pesisir laut maka hampir mustahil untuk mendapat hasil optimumnya, bahkan mungkin malah layu dan mati. Pemilihan lokasi terbaik yang sesuai dengan karakteristik tanaman adalah hal penting untuk mendapatkan hasil optimum dari budidaya tersebut.
Gliricidae di pinggir pantai Depok, Bantul, Yogyakarta

Kaliandra di lereng gunung Merapi, Magelang, Jawa Tengah
Demikian juga dengan kebun energi. Selain pemilihan spesies tanaman yang ditanam, lokasi kebun seharusnya juga diperhatikan terkait akan jenis tanaman yang akan ditanam tersebut. Kebun energi pada umumnya menggunakan tanaman rotasi cepat dari jenis leguminoceae (polong-polongan) karena memiliki banyak keunggulan antara lain, usia panen cepat (rata-rata hanya 2 tahun), perawatan sangat mudah, tidak perlu replanting hingga belasan tahun, akarnya bisa menyerap nitrogen dari atmosfer sehingga menyuburkan tanah, akarnya juga kuat sehingga mampu menahan erosi, tanaman juga sangat efisien dalam penggunaan air sehingga bisa ditanam di daerah tandus sekalipun, daunnya untuk pakan ternak bernutrisi tinggi, dan bunganya untuk peternakan lebah madu. Singkatnya untuk optimalisasi pemanfaatan lahan tersebut maka kebun energi diintegrasikan dengan usaha peternakan.

Gliricidae & kaliandra adalah 2 species yang biasa digunakan sebagai tanaman kebun energi. Gliricidae lebih sesuai untuk dataran rendah hingga pesisir pantai, sementara kaliandra untuk dataran tinggi. Praktek penanaman kaliandra juga banyak dilakukan di daerah tinggi, sedangkan gliricidae di dataran rendah. Suhu, kelembaban, kesuburan tanah, curah hujan juga berpengaruh untuk menghasilkan produk kebun energi yang optimal. Sri Lanka adalah contoh negara yang banyak menanam gliricidae khususnya sebagai tanaman sela kebun kelapa. Indonesia sebagai negeri rayuan pulau kelapa seharusnya bisa juga melakukan hal yang sama. Dengan kondisi tersebut maka produksi wood pellet juga bisa dilakuan demikian juga menghidupkan industri kelapa terpadu (lebih detail bisa dibaca di sini, sini dan sini) dan peternakan,untuk optimalisasi lahan terbaik. 


Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.Dengan pola diatas maka kebun-kebun energi bisa dibuat dibanyak tempat lokasi sentra kelapa di Indonesia seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Gorontalo dan Sumatera Selatan untuk mengoptimalkan potensi bioeconomy tersebut. Selain itu jutaan hektar lahan tidur, marginal, tandus dan lahan kritis bisa dihidupkan dan diselamatkan hingga membawa keuntungan. Bahkan pohon-pohon kayu keras pada HTI (hutan tanaman industri) yang memakan waktu lama dan juga kadang-kadang membutuhkan biaya sosial yang tinggi untuk perawatannya bisa juga dikonversi dengan tanaman rotasi cepat dengan kebun energi.  Lahan yang tidak diolah akan semakin rusak seperti erosi , tanah longsor hingga terjadi penggurunan (desertifikasi) sehingga misi penyelamatan lingkungan juga sudah otomatis menjadi bagian dari aktivitas kebun energi di atas.  

Minggu, 22 Desember 2019

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu Bagian 3

Ketika pirolisis kontinyu digunakan untuk pengolahan tempurung kelapa dan menghasilkan arang (charcoal) serta tidak diolah lanjut menjadi arang aktif (activated carbon), maka excess syngas dan biooil bisa digunakan sumber energi pengolahan daging buah dan air kelapanya. Daging buah dan air kelapa tersebut bisa diolah menjadi bermacam-macam produk yang dibutuhkan pasar. Biaya produksi berbagai produk olahan kelapa tersebut menjadi sangat kompetitif karena biaya energi sangat minimal bahkan nol. Selain itu kebutuhan energi juga masih bisa ditambahkan dari sabut kelapa yang digunakan sebagai bahan bakar juga. Sumber energi tersebut bisa digunakan untuk sumber listrik atau panas atau keduanya tergantung kebutuhan industrinya.
Apabila gliricidae ditanam sebagai tanaman sela dari perkebunan kelapa, maka produk kayu juga akan didapat. Kayu tersebut bisa sebagai bahan baku wood pellet sebagai komoditas export yang diprediksi kebutuhan terus meningkat seiring kesadaran masalah lingkungan dan perubahan iklim. Limbah daun gliricidae juga bisa digunakan sebagai pakan ternak seperti kambing, domba dan sapi. Perawatan tanaman gliricidae sangat mudah dan pola penanaman sebagai tanaman sela dengan perkebunan kelapa juga sudah biasa dilakukan di Sri Lanka. Optimasi lahan juga bisa dilakukan dengan menggunakan tanah-tanah di sela-sela kebun kelapa dan gliricidae sebagai padang gembalaan seperti kambing, domba dan sapi tersebut serta untuk peternakan lebah madu.
Untuk menjadikan bisnis tersebut menjadi menguntungkan dan berkelanjutan (sustainable), tentu pengelolaan yang professional perlu diterapkan dalam usaha tersebut. Pengelolaan sektor hulu berupa perkebunan dan peternakan seharusnya dipisahkan dengan sektor hilir berupa pabrik sebagai unit pengolahan. Hal tersebut mirip pada organisasi di perusahaan kelapa sawit yang memisahkan divisi kebun dengan divisi pabrik. Selain akan memudahkan operasional bisnisnya juga bisnis tersebut akan menjadi efisien dan kompetitif.      

Rabu, 18 Desember 2019

Eco-Tourism Dengan Perkebunan Sawit Bagian 2

Walaupun kebun sawitnya terluas di dunia yakni mencapai 12 juta hektar dan setiap hari mengkonsumsi produk olahan sawit yakni minyak goreng, ternyata masih banyak yang belum tahu bahwa minyak goreng sawit yang digunakan awalnya berasal dari sabut sawit dan bukan dari daging buah atau kernel sawit. Mayoritas masih beranggapan bahwa minyak dari sawit juga sama seperti minyak dari kelapa yakni dari daging buahnya. Walaupun memang dari daging buah sawit juga bisa dihasilkan minyak yakni minyak kernel sawit atau PKO (palm kernel oil) tetapi jumlahnya kecil yakni hanya sekitar 10% dari CPO dan penggunaan utamnya juga bukan untuk minyak goreng tetapi untuk kosmetik, sabun, oleokimia dan sumber lemak nabati. Salah satu yang menarik dari minyak kernel sawit adalah kandungan asam lauratnya yang tinggi, dan ini hampir sama dengan minyak kelapa. Selain di kedua bahan di atas asam laurat juga terdapat di air susu ibu (ASI).  Dan asam laurat ini memiliki banyak sekali manfaat bagi kesehatan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Saat ini minyak inti sawit juga lebih banyak digunakan dibandingkan dari minyak kelapa sebagai sumber asam laurat.

Sedangkan apa yang disebut dengan minyak sawit adalah identik minyak yang berasal dari sabutnya (mesocarp fiber)  yang juga biasa disebut CPO (crude palm oil). CPO ini adalah minyak yang paling dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit atau tandan buah segar (TBS)nya. Apabila kita mendengar pabrik sawit maka hal tersebut juga identik dengan pabrik CPO, walaupun pabrik PKO juga merupakan pabrik sawit, dengan alasan seperti diatas. Pabrik CPO juga jauh lebih banyak daripada pabrik PKO, hal tersebut karena tidak semua pabrik CPO memiliki pabrik PKO. Sehingga kernel yang dihasilkan dari pabrik CPO dikirim ke pabrik PKO untuk diolah menjadi minyak. Saat ini hampir 1000 pabrik sawit atau pabrik CPO berada di Indonesia, jumlah yang sangat banyak dan seharusnya familiar dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tetapi ternyata masih banyak masyarakat bahkan para pelajar yang tidak mengetahui potensi Indonesia tersebut.
Bisnis kelapa sawit di Indonesia juga memberi kontribusi cukup besar bagi negara yakni sekitar 3% GDP sehingga juga mendapat banyak dukungan dari pemerintah. Selain itu pengembangan produk sawit juga sangat terbuka dan Indonesia masih kurang berkembang, yakni dengan indikasi bahwa produk yang dieksport masih berupa CPO atau minyak sawit mentahnya, sedangkan seharusnya export berupa produk hilir siap konsumsi atau minimal produk antara (intermediate product) sehingga memberi nilai tambah yang besar bagi Indonesia. Apabila kondisi tersebut bisa dipahami sehingga berbagai strategi pengembangan dilakukan baik dari sektor hulu yakni perkebunannya hingga sektor hilir yakni industri pengolahannya maka kontribusi bisnis ini bagi negara semakin besar. Sebagai contoh bisnis kelapa sawit di Malaysia telah berkontribusi hingga sekitar 7% GDP Malaysia.
Apabila masyarakat Indonesia memahami masalah di atas maka akan lebh mudah untuk mendapatkan solusinya. InsyaAllah. Para pelajar sebaiknya dikenalkan dengan bisnis kelapa sawit di Indonesia baik dari hulu ke hilirnya sehingga pada saatnya bisa diharapkan untuk memetakan masalah sekaligus memberi solusinya. Industri kelapa sawit yang cukup strategis di Indonesia memang seharusnya dikenalkan dengan baik kepada generasi penerus sehingga peran mereka ke depan di industri ini bisa dilanjutkan dan ditambah. Wisata edukasi berbasis lingkungan ke perkebunan dan pabrik sawit sebagai media awal untuk mengenalkan potensi tersebut kepada mereka.

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu di Indonesia Bagian 2 : Produksi Gula Kelapa Dengan Energi Biomasa dari Kebun Energi


Kebutuhan energi selalu menjadi halangan bagi pengembangan suatu industri, tidak terkecuali industri kelapa terpadu. Pada bagian sebelumnya industri kelapa terpadu bisa dijalankan dengan memanfaatkan limbah sabut sebagai bahan bakar (baca disini), dengan produk utama dari buah kelapa itu sendiri. Alternatif lain dari industri kelapa terpadu adalah produksi gula kelapa, karena kebutuhan pemanis masih sangat besar. Sedangkan apabila buah kelapa untuk produksi minyak seperti minyak goreng saat ini masih kalah bersaing dengan minyak sawit yang berasal dari CPO, walupun minyak kelapa memiliki keunggulan tersendiri. Produksi gula kelapa menggunakan bahan baku nira kelapa, dan ketika nira kelapa diambil maka buah kelapa menjadi tidak dihasilkan dari pohon kelapa tersebut atau pohon kelapa menjadi tidak berbuah. Ketika produksi gula kelapa lebih menguntungkan maka produksi gula kelapa menjadi produk utama industri kelapa terpadu tersebut. 


Tahun 2016 Indonesia menjadi importer gula terbesar di dunia dengan nilai mencapai $2,1 milyar atau sekitar Rp 28,4 trilyun. Nilai import Indonesia ternyata lebih besar dari tiga negara pengimpor lainnya yang justru penduduknya lebih besar dibandingkan dengan Indonesia, yakni Amerika ($1,9 milyar), Cina ($1,2 milyar) dan India ($922 juta). Padahal di era penjajahan Indonesia pernah menjadi produsen dan exporter terbesar gula. Kebutuhan gula yang sangat besar tersebut seharusnya bisa disubtitusikan dengan gula kelapa yang dalam beberapa hal lebih baik dibandingkan gula tebu. Dalam industri makanan gula kelapa atau gula merah mempunyai kelebihan dibanding sumber pemanis lain seperti gula pasir dari tebu. Hal tersebut karena gula merah atau gula kelapa tersebut mengandung unsure-unsur lain seperti aroma dan sifat fisik yang khas yang pengaruhnya terhadap terhadap suatu produksi makanan tidak dapat digantikan oleh sumber pemanis lain. 

Penggunaan gula kelapa mulai dari bumbu dapur sampai berbagai jenis makanan dari rumah tangga, industri kecil hingga industri besar. Produksi gula kelapa Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 500.000 ton/tahun dan diperkirakan meningkat seiring potensi gula kelapa menggantikan kekurangan gula tebu yang sangat tinggi, seperti tersebut diatas. Bahkan sejumlah industri besar di Indonesia seperti Unilever, ABC, dan Indofood menaruh minat besar untuk pengembangan gula kelapa. Perusahaan-perusahaan tersebut yang juga merupakan produsen kecap besar ternyata membutuhkan gula kelapa untukproduksi kecap mereka yang diperkirakan mencapai 70 ribu ton/tahun.


Untuk kebutuhan energi produksi gula kelapa tersebut maka bisa dilakukan dengan menanam gliricidae diantara perkebunan kelapa atau sebagai tanaman sela. Gliricidae atau gamal adalah tanaman rotasi cepat yang bisa tumbuh dimana saja dan paling optimal di dataran rendah. Gliricidae atau gamal tersebut juga merupakan trubusan sehingga tidak perlu menanam lagi setelah dipanen kayunya. Dan karena gliricidae termasuk tanaman leguminocea (polong-polongan) maka akarnya bisa mengikat nitrogen dari atmosfer yang menyuburkan tanah dan daunnya yang juga kaya protein sehingga sangat bagus untuk peternakan seperti domba, kambing dan sapi. Praktek perkebunan kelapa dengan tanaman sela berupa gliricidae telah dilakukan di Sri Lanka dan industri kelapa berkembang baik di sana.  
Dengan pola perkebunan seperti di atas maka selain produksi gula kelapa bisa beroperasi karena sumber energi tersedia, juga sangat potensial dengan integrasi peternakan ruminansia di atas dan juga lebah madu. Ketika peternakan tersebut diintegrasikan maka terjadi potensi lahan bisa dioptimalkan dan kotoran dari peternakan bisa sebagai pupuk organik bagi perkebunan kelapa tersebut. Selain itu diantara pepohonan kelapa dan gliricidae tersebut, dengan adanya rerumputan diantaranya juga bisa digunakan untuk padang penggembalaan seperti domba, sapi atau keduanya. Rumput dari padang gembalaan bisa sebagai pakan pokok domba atau sapi tersebut dan daun gliricidae sebagai pakan tambahannya. Dengan paduan sejumlah usaha berbasis gula kelapa tersebut maka produksi gula kelapa tersebut bisa dilakukan dimana saja dan member keuntungan yang maksimal. InsyaAllah

Kamis, 12 Desember 2019

Konstruksi Carbonisation Furnace Untuk Industri Sawdust Charcoal Briquette


Berbeda dengan tungku pembakaran (combustion furnace) yang banyak digunakan di industri dan kadang menjadi bagian dari unit boiler, tungku karbonisasi (carbonisation furnace) memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda. Tungku pembakaran di industri pada awalanya sangat sederha berupa tungku tiga batu di ruangan terbuka sehingga tidak efisien dan banyak terjadi kehilangan panas. Seiring perkembangan zaman tungku tersebut saat ini dibuat sedemikian rupa sehingga panas yang dihasilkan tidak banyak terbuang tetapi secara efektif bisa dimanfaatkan. Teknik pembakaran seperti grate combustion, fluidized bed dan pulverized digunakan untuk memaksimalkan proses pembakaran yang terjadi dan juga material pembuatan tungku juga disesuaikan jenis refractory atau bata tahan apinya. Refractory tersebut menyesuaikan dengan suhu operasi dalam tungku tersebut selain itu refractory tersebut juga berfungsi sebagai isolator sehingga panas yang hilang bisa diminimalisir. Tungku pembakaran di industri memang bertujuan untuk memaksimalkan pengambilan panas yang terjadi dari proses pembakaran yang terjadi di dalamnya.  

Sedangkan tungku karbonisasi bertujuan untuk sarana proses karbonisasi (pyrolysis) dengan output utama berupa arang. Ditinjau dari proses produksi memang ada sedikit perbedaan, hal ini karena pada proses pembakaran (oksidasi) maka oksigen atau udara dibuat berlebih sehingga proses pembakaran bisa sempurna. Sedangkan pada proses karbonisasi (pyrolysis) merupakan proses pembakaran tidak sempurna (oksidasi parsial) sehingga jumlah udara atau oksigen yang masuk ke dalam tungku dibatasi (direct heating) atau bahkan tidak menggunakan oksigen atau udara sama sekali (indirect heating). Suhu operasi pada tungku karbonisasi juga lebih rendah dibandingkan dengan tungku pembakaran, sehingga batu bata biasa tertentu bisa digunakan. Perbedaan lainnya adalah pada tungku pembakaran proses pembakaran yang dilakukan secara kontinyu, sedangkan pada tungku karbonisasi secara batch. Proses karbonisasi pada umumnya juga memakan waktu relatif lama yakni berkisar 7-14 hari.


Tungku karbonisasi dengan model missouri kiln seperti gambar di atas paling umum dan banyak digunakan hari ini. Hal tersebut terutama terkait dengan kualitas produk sawdust charcoal briquette yang dihasilkan. Dengan tungku karbonisasi seperti di atas variabel proses produksi berupa heating rate bisa dikontrol dengan baik dan selain itu biaya pembuatan tungku karbonisasi juga cukup murah karena pada umumnya hampir semua material berasal dari lokal setempat. Tungku karbonisasi jenis lainnya biasanya menawarkan waktu proses lebih singkat tetapi kualitas produk sawdust charcoal briquette lebih rendah.    

Salah satu hal yang umum terjadi pada proses karbonisasi adalah banyaknya kehilangan panas yang terjadi seperti contoh diagram di atas, hal ini karena konversi dari sawdust briquette ke sawdust charcoal briquette berkisar 25%. Panas adalah bentuk energi yang potensial untuk berbagai keperluan, sehingga seharusnya dimanfaatkan (waste heat recovery). Pemanfaatannya antara lain untuk berbagai pengeringan atau pemanasan, sehingga sangat mungkin industri ini diintegrasikan dengan industri lainnya.

Mengatasi Kelangkaan BBM di Daerah-Daerah Terpencil

BBM masih menjadi bahan bakar utama yang menggerakkan perekonomian di saat ini tidak terkecuali di daerah-daerah terpencil. Bahkan di daerah-daerah terpencil tersebut pada umumnya ketersediaan BBM tersebut masih menjadi masalah. Langkanya pasokan BBM menyebabkan terjadinya kenaikkan BBM di daerah-daerah tersebut. Mahalnya BBM tersebut juga berdampak pada laju roda ekonomi di daerah-daerah tersebut. BBM atau bahan bakar cair memang masih menjadi bahan bakar utama terutama pada alat-alat transportasi, baik transportasi darat, laut dan udara. Konsumsi minyak bumi  mencapai sepertiga dari energi global diikuti batubara dan gas alam. Bioenergi menyuplai energi paling besar dibandingkan sumber energi non-fossil, seperti tabel dibawah ini. Bahan bakar cair dari kelompok bioenergi sendiri mencapai sekitar 6% atau 3 EJ/tahun (pancaran energi matahari ke bumi selama setengah menit). Bahan bakar cair tersebut terutama digunakan pada sektor transportasi. Hal tersebut menjadikan produksi bahan bakar cair khususnya dan bahan bakar untuk sarana transportasi pada umumnya merupakan hal yang Penting dan strategis, terlebih lagi pada daerah-daerah terpencil seperti di atas.
Sumber : Biomass in the energy industry, BP & Energy Biosciences Institute

Untuk menggerakkan sektor transportasi khususnya dan ekonomi pada umumnya,maka bahan bakar harus bisa digunakan pada alat-alat etransportasi. Saat ini memang bahan bakar cair bisa digantikan dengan bahan bakar gas untuk penggunaan pada alat-alat transportasi misalnya bajaj roda tiga dan bus transjakarta. Pada kendaraan yang dirancang dan dibuat dengan bahan bakar cair memang membutuhkan sedikit modifikasi jika akan mengganti dengan bahan bakar gas. Pada daerah terpencil yang menjadi masalah adalah ketersediaan bahan bakar tersebut, baik itu bahan bakar cair maupun bahan bakar gas.  Sehingga fokus penyediaan bahan bakar tersebut adalah hal penting khususnya bahan bakar cair karena lebih mudah digunakan.

Untuk mendapatkan pasokan bahan bakar cair kadang juga tidak mudah dan terkadang dibutuhkan rute proses produksi yang lebih panjang dan rumit. Pada kondisi saat ini yang bahan bakar cair yang sudah banyak digunakan adalah biodiesel. Biodiesel tersebut bisa dibuat dari minyak sawit dan sebenarnya juga bisa dibuat dari jarak pagar. Gagalnya proyek biodiesel dari jarak pagar beberapa waktu lalu di Indonesia karena perkebunan jarak pagar dibangun di lokasi BBM mudah diperoleh sehingga menjadikan harganya tidak kompetitif. Seandainya produksi biodiesel dan perkebunan jarak pagar tersebut dibuat di daerah-daerah terpencil yang sulit untuk mendapatkan supplai BBM sehingga di daerah-derah tersebut BBM mahal, maka biodiesel dari jarak pagar akan bisa bersaing dan bisa digunakan di daerah-daerah tersebut.Harga BBM di daerah-daerah terpencil bisa sangat mahal atau bisa mencapai hampir 2 kali lipat dari harga yang seharusnya. Perkebunan jarak pagar sebagai kebun energi untuk produksi biodiesel bisa dibuat di daerah-daerah terpencil tersebut, yang juga pada umumnya tanah juga tersedia cukup luas.

Fast pyrolysis adalah salah satu teknologi untuk produksi bahan bakar cair. Biomasa padat seperti kayu-kayuan dan limbah-limbah pertanian lainnya bisa digunakan untuk produksi bahan bakar cair dengan fast pyrolysis tersebut. Minyak yang dihasilkan dari proses fast pyrolysis (biooil) selanjutnya bisa diproses lebih lanjut dengan destilasi untuk mendapatkan spesifikasi bahan bakar cair yang dikehendaki. Daerah-daerah terpencil pada umumnya masih cukup banyak sumber biomasa yang bisa digunakan untuk bahan baku fast pyrolysis tersebut. Dan bahkan juga dimungkinkan untuk membuat kebun energi dengan produk biomasanya untuk bahan baku fast pyrolysis tersebut.

Gasifikasi juga bisa digunakan untuk produksi bahan bakar untuk sarana transportasi, hanya produk produk bahan bakar gasifikasi berupa gas. Walaupun gas tersebut juga bisa dicairkan tetapi tidak praktis karena rute proses produksi yang lebih panjang dan rumit. Gas produk gasifikasi selanjutnya dibersihkan dan ditampung dalam tangki-tangki dan bisa digunakan untuk bahan bakar alat-alat transportasi tersebut. Kedua proses diatas, yakni fast pyrolysis dan gasifikasi adalah rute thermal pengolahan biomasa, yang proses produksinya berkisar 400-900 C. Cara lain untuk menghasilkan bahan bakar cair adalah dengan microalgae.Organisme bersel satu tersebut memang potensial untuk produksi bahan bakar cair apalagi dengan kondisi Indonesia yang tropis dan kaya dengan daerah perairan. Sebagaimana tumbuhan pada umumnya microalgae juga membutuhkan sinar matahari untuk proses photosintesisnya, demikian juga microalgae, dengan demikian daerah tropis juga merupakan daerah ideal untuk produksi microalgae. Dari microalgae tersebut lalu diekstraksi minyaknya dan selanjutnya minyak yang dihasilkan tersebut diolah lebih lanjut untuk menjadi bahan bakar cair yang dibutuhkan.

Sektor perikanan dan perkebunan pada umumnya yang paling terdampak dengan penomena mahalnya bahan bakar atau sumber energi tersebut. Pada daerah yang BBM bisa didapat dengan mudah, maka daerah-daerah tersebut akan mudah mencari ikan di laut apalagi laut di daerah tersebut tidak bergelombang besar seperti di laut (utara) jawa.Daerah tersebut menjadi daerah yang banyak dieksploitasi kekayaan lautnya (overfishing), sedangkan di daerah pulau-pulau terpencil yang terjadi sebaliknya. Sedangkan untuk sektor perkebunan, dengan biaya transportasi mahal mengakibatkan produknya menjadi kurang kompetitif. Pada perkebunan sawit misalnya, tandan buah segar diangkut dengan truk ke pabrik sawit dan produk CPO pada umumnya dibawa dengan truk untuk dimuat ke dalam kapal.  

Senin, 09 Desember 2019

Menghidupkan Industri Kelapa Terpadu

Ketiadaan pasar menyebabkan industri kelapa tidak berkembang, stagnan bahkan cenderung mati. Walaupun aneka produk bisa dihasilkan dari kelapa tetapi dengan serapan produk yang kecil tidak mampu menghidupkan industri perkelapaan. Hal ini membuat kondisi hulu atau perkebunan kelapa juga mengalami kemerosotan baik kualitas maupun kuantitas, bahkan ada ratusan ribu hektar perkebunan kelapa yang perlu diremajakan yang saat ini masih terlantar. Ketika produk yang dimaui pasar telah didapat seperti halnya CPO pada industi kelapa sawit maka tidak mustahil industri perkelapaan menggeliat dan bangkit serta diperhitungkan. Modernisasi teknologi juga perlu dilakukan sehingga industri perkelapaan menjadi industri modern walaupun kapasitas produksi tidak sebesar industri kelapa sawit. Faktor lain yang dibutuhkan untuk menghidupkan industri kelapa terpadu dan ini hampir sama dialami oleh semua industri pada umumnya yakni adalah ketersediaan energi. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut seharusnya tidak semua buah kelapa diolah, tetapi sebagian digunakan untuk menghasilkan energi misalnya sabut kelapa, karena nilai ekonominya paling rendah.

Activated carbon (arang aktif) adalah produk yang memiliki potensi pasar sangat bagus dan dengan teknologi pirolisis kontinyu diikuti aktivasi maka produk tersebut bisa dihasilkan tanpa harus membutuhkan energi tambahan dari luar. Dengan demikian pabrik activated carbon bisa berdiri sendiri dengan menggunakan limbah tempurung kelapanya. Tetapi untuk mendapatkan tempurung kelapa tersebut maka harus ada yang mengolah buah kelapa tersebut. Produk seperti VCO, dessicated coconut, maupun santan bisa sebagai produk utama sehingga pengolahan buah kelapa tersebut. Air kelapanya bisa diolah menjadi minuman isotonik atau nata de coco. Penggunaan boiler berbahan bakar sabut (kalau di pabrik sawit,boiler efisien hanya menggunakan fiber) atau bahkan pelepah dan daun bisa digunakan untuk produksi listrik dan steam. Mirip dengan operasional di pabrik sawit juga, yakni listrik bisa untuk menggerakkan berbagai peralatan mekanik pengolahan kelapa dan steam juga sebagai sumber panas, jika proses pengolahan buah kelapa tersebut memang membutuhkannya.

Dengan pola diatas maka industri kelapa bisa dijalankan walaupun lokasinya di daerah terpencil sekalipun yang tidak ada jaringan listrik, tempat dimana perkebunan kelapa berada. Indonesia sebagai negeri rayuan pulau kelapa dengan luas kebun hampir 4 juta hektar dan terluas di dunia atau setara 1/3 kebun sawit seharusnya juga memimpin di industri kelapa dunia.InsyaAllah

Selasa, 03 Desember 2019

Mana Lebih Baik, Boiler yang Efisien atau Penggunaan Pyrolysis System?

Fiber dan cangkang sawit adalah limbah padat pabrik sawit yang dihasilkan pada produksi CPO di pabrik tersebut. Jumlah limbah fiber dan cangkang cukup banyak yakni sekitar 20% dari setiap tandan buah segar (TBS) atau hampir sama dari CPO yang dihasilkan. Pabrik sawit dengan kapasitas 60 ton/jam TBS bisa menghasilkan fiber sebanyak 8,1 ton perjam atau 194,4 ton perhari dan cangkang 3,3 ton/jam perjam atau 79,2 ton perhari. Dan karena keduanya merupakan limbah maka umumnya pemanfaatan limbah tersebut tidak diperhatikan pada awalnya termasuk untuk pemakaian sebagai bahan bakar pada boiler di pabrik sawit untuk produksi listrik dan kukus (steam). Pemanfaatan fiber dan cangkang untuk bahan bakar boiler pada umumnya menggunakan 100% fiber dan sekitar 30% dari cangkang. Dengan kondisi tersebut sisa berupa 70% cangkang bisa dimanfaatkan untuk hal lain termasuk bisa dijual bahkan di export.

Ketika cangkang menjadi komoditas komersial dan permintaan semakin besar, maka pabrik-pabrik sawit mengganti boiler lama mereka yang kurang efisien dengan boiler baru yang memiliki tingkat efisiensi tinggi. Dengan cara tersebut maka 100% cangkang tidak digunakan lagi untuk bahan bakar boiler tersebut dan hanya membutuhkan fiber saja sebagai bahan bakarnya. Pada kondisi ini mulai terjadi perubahan paradigma berpikir, yakni ketika limbah padat tersebut hampir tidak diperhatikan dan cenderung dianggap sebagai masalah, lalu menjadi bagian penting untuk mendapatkan penghasilan tambahan dan bahkan bisa diestimasi bahwa apabila cangkang tersebut berhasil terjual maka hal tersebut cukup untuk menutup biaya operasional pabrik sawit tersebut. Tentu suatu hal menarik bila produksi CPO dengan biaya operasional 0% sehingga keuntungan semakin menarik apalagi ditengah penurunan harga CPO akhir-akhir ini.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan unit pirolisis, untuk menjalankan boiler tersebut. Dengan pirolisis maka tidak hanya fiber yang digunakan tetapi juga  tandan kosong / EFB (empty fruit bunch) nya. Tandan kosong adalah limbah padat pabrik sawit yang sampai hari ini pada umumnya masih belum dimanfaatkan. Selain menghasilkan energi, dengan pirolisis juga dihasilkan produk berupa arang (biochar). Walaupun arang (biochar) juga bisa dimanfaatkan untuk sumber energi, tetapi di bisnis perusahaan sawit penggunaan biochar untuk perkebunan bisa lebih kompatibel. Penggunaan biochar pada perkebunan sawit terutama untuk menghemat  pupuk, yang merupakan salah satu komponen biaya besar (sekitar 30%) pada usaha produksi CPO tersebut. Dengan luasan kebun sawit 20 ribu hektar kebutuhan biaya pupuk diperkirakan mencapai Rp 71,50 milyar per tahunnya atau Rp 35,75 milyar pertahun untuk setiap 10.000 hektar, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Pabrik-pabrik sawit dengan visi besar tentu berusaha memaksimalkan potensinya dengan tujuan memaksimalkan profit dari aktivitas produksi hulu ke hilirnya. Dengan biochar juga bisa mentargetkan kenaikkan produktivitas tandan buah segarnya, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Aplikasi biochar akan lebih mudah dilakukan di Indonesia dibandingkan di Malaysia, hal tersebut karena hampir semua pabrik sawit di Indonesia juga memiliki kebun sawit sedangkan di Malaysia pihak pabrik umumnya tidak memiliki kebun sawit sendiri. Industri sawit juga memiliki peran penting bagi kedua negara tersebut karena Indonesia dan Malaysia adalah produsen CPO dan pemilik perkebunan sawit terbesar di dunia saat ini. Industri sawit menyumbang sekitar 7% dari GDP Malaysia dan 3% dari GDP Indonesia, sehingga perannya tidak bisa diabaikan. Baik dengan pirolisis maupun boiler dengan efisiensi tinggi, limbah biomasa bisa digunakan sebagai sumber energinya dan 100% cangkang sawitnya bisa dikomersialisasikan, tetapi dengan pirolisis lebih baik karena limbah tandan kosong bisa diolah, ada produk biochar (sementara hanya abu jika dengan pembakaran biasa) untuk penghematan pupuk di perkebunan sawit dan gas buang dari boiler pabrik sawit juga bersih karena membakar gas (syngas) yang dihasilkan dari proses pirolisis tersebut.

Export Wood Pellet ke Jepang, Mungkinkah?

Konsumsi bahan bakar biomasa khususnya wood pellet di Jepang terus meningkat seiring waktu sesuai target 4 - 6 GW pada 2030. Supplai wood pellet untuk Jepang terutama dari Kanada dengan volume lebih dari 250 ribu ton setiap tahunnya. Penggunaan wood pellet tersebut terutama adalah untuk bahan bakar pembangkit listrik (baca backgroundnya disini). Produsen wood pellet di Asia juga semakin meningkat tetapi faktanya tidak banyak yang bisa export ke Jepang. Jepang menerapkan standard ketat untuk kualitas wood pellet dan juga jaminan bahwa wood pellet tersebut diproduksi secara ramah lingkungan yang dibuktikan dengan sertifikat keberlanjutan (sustainibility) berupa FSC. Faktor lain yang membuat sulitnya mengeksport wood pellet ke Jepang adalah penerapan kontrak panjang dengan harga beli tetap selama waktu tertentu. Hal tersebut dikarenakan dengan kebijakan FIT (Feed in Tarrif), harga jual listrik yang diproduksi juga tetap selama 20 tahun dengan harga tergantung dari jenis bahan bakar tersebut. Selain itu juga volume pengapalan yang dibutuhkan juga cukup besar yakni 10 ribu ton untuk setiap pengapalan. Hal tersebut memberi konsekuensi untuk kapasitas pabrik wood pelletnya.
Lalu bagaimana track record export wood pellet dari Indonesia? Ternyata export wood pellet dari Indonesia ke Jepang masih sangat minim, pada umumnya hanya untuk fase ujicoba (trial). Hal tersebut sangat berbeda dengan komoditas bahan bakar biomasa lainnya yakni cangkang sawit (PKS : palm kernel shell) yang volume export ke Jepang saja diperkirakan lebih dari 1 juta ton setiap tahunnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Pertama, rata-rata produsen wood pellet di Indonesia masih berkapasitas kecil atau kurang dari 5000 ton/bulan. Selain itu bahan baku yang digunakan juga mayoritas berasal dari serbuk gergaji (sawdust) dari penggergajian (sawmill) dan limbah-limbah kayu dari industri pengolahan kayu. Kondisi tersebut juga menjadikan sangat sulit atau mustahil untuk mendapatkan sertifikat keberlanjutan karena sangat sulit melacak sumber kayu dari asalnya. Kedua, cangkang sawit jumlahnya melimpah di pabrik-pabrik sawit karena merupakan salah satu limbah padat dari pabrik sawit atau produksi CPO. Dengan produksi CPO nasional yang diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta ton/tahun maka cangkang sawit yang dihasilkan diperkirakan mencapai lebih dari 10 juta/tahun dan hanya dengan melalui proses sederhana maka cangkang sawit juga sudah bisa di export. Secara teknis memang cangkang sawit juga memiliki banyak persamaaan untuk spesifikasi teknisnya seperti nilai kalor, ukuran, dan sebagainya, serta memiliki keunggulan berupa handling lebih mudah dan harga lebih murah.
Salah satu skenario untuk bisa mengeksport wood pellet ke Jepang, adalah produksi wood pellet dari kebun energi. Dengan kebun energi maka asal-usul kayu hingga seluruh aspek budidayanya bisa dipantau dan diverifikasi secara jelas sehingga seharusnya sertifikat seperti FSC bisa dengan mudah didapatkan. Pasokan bahan baku juga bisa lebih terjamin dan sangat mungkin untuk produksi dengan kapasitas besar. Untuk mengoptimalkan kebun energi tersebut juga bisa diintegrasikan dengan peternakan domba, sapi maupun kambing dan juga peternakan lebah madu. Ketiga aspek penting untuk kehidupan manusia yakni pangan (food), energi dan air bisa dilakukan dengan aktifitas tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Alternatif lainnya adalah dengan produksi EFB pellet atau pellet tandan kosong sawit, tetapi EFB pellet bukan kelompok wood pellet, karena berasal bukan dari biomasa kayu-kayuan (woody biomass), tetapi berasal dari limbah pertanian sehingga disebut pellet limbah pertanian atau agro-waste pellet. Kualitas agro-waste pellet umumnya lebih rendah dibandingkan dengan wood pellet terutama karena kadar abu lebih banyak dan nilai kalor lebih rendah. Selain faktor teknis di atas, ada hal penting yang perlu diperhatikan untuk produksi EFB pellet adalah ketersediaan listrik. Hal tersebut karena pabrik-pabrik sawit pada umumnya di lokasi terpencil sehingga sulit mendapatkan pasokan listrik, sedangkan listrik yang diproduksi oleh pabrik sawit juga tidak mencukupi apabila digunakan untuk produksi EFB pellet. Untuk bisa menghasilkan listrik yakni dengan produksi biogas dari POME atau limbah cair pabrik sawit, dan untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...