Minggu, 30 Desember 2018

CPO untuk Subtitusi BBM

Produksi biodiesel atau fatty acid methyl ester (FAME) sudah lazim kita dengar dan saat ini produk tersebut telah digunakan yakni sebagai campuran solar seperti B20 dengan nama pasaran biosolar. Tercatat produksi biodiesel berbahan baku CPO di Indonesia telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton/tahun yang juga berarti terbesar di Asia. Untuk produksi biodiesel tersebut supaya ekonomis yakni seharusnya menggunakan bahan yang murah seperti low grade CPO atau high FFA CPO hingga Miko (minyak kotor) atau PAO (Palm Acid Oil). Dengan tingkat keasaman tinggi pada CPO membuatnya tidak bisa langsung digunakan dalam mesin diesel (internal combustion engine) khususnya mesin diesel kendaraan. Tetapi mesin diesel untuk pembangkit listrik bisa beroperasi langsung dengan CPO bahkan sampai tingkat keasaman tertentu.

Contoh pembangkit listrik tersebut adalah Fri-El Accera-bagian dari Fri El Green Power Group- yang berada di Napoli, Italia. Pembangkit listrik ini menggunakan CPO dari Indonesia yakni dari perusahaan Sinar Mas, bahkan 50% juga dimiliki perusahaan tersebut. Kapasitas pembangkit tersebut yakni 74,8 MW (600 ribu MW per tahun) yang ekuivalen untuk penggunaan sekitar 40 ribu konsumen rumah tangga. Konsumsi CPO sebagai bahan bakarnya mencapai 125.000 ton/tahun. Sedangkan di Indonesia juga sudah membangun pilot project pembangkit listrik berbahan bakar CPO di Belitung dengan kapasitas 5 MW. Tetapi jika tingkat keasaman terlalu tinggi seperti pada PAO atau Miko maka juga tidak bisa langsung digunakan sehingga perlu diubah dulu menjadi biodiesel atau diturunkan kadar keasamannya hingga bisa digunakan oleh mesin diesel tersebut. CPO kualitas standard memiliki FFA kurang dari 5%, sedangkan low grade CPO atau high FFA CPO lebih dari 5%. CPO standard adalah untuk minyak makan (edible oil) sedangkan high FFA CPO bukan untuk minyak makan (non-edible oil), tetapi tidak ada pengelompokan secara jelas di Indonesia tentang hal itu.
Sedangkan produksi CPO untuk produksi bensin (bio-bensin) adalah sesuatu yang masih baru, demikian juga produksi liquid bio-petroleum gas (LBG) atau versi LPG dari CPO ini (green LPG). Walaupun sama-sama melalui proses kimia tetapi proses kimia untuk produksi biodiesel dengan bio-bensin dan LBG berbeda. Pada produksi biodiesel menggunakan proses transesterifikasi atau estrans (esterifikasi dan transesterikasi) sedangkan pada bio-bensin dan LBG diproses dengan teknologi co-processing yang saat ini diproduksi di fasilitas Residue Fluid Catalytic Cracking Unit (RFCCU) di kilang  Pertamina Plaju di Palembang, Sumatera Selatan. Tidak 100% bensin yang dihasilkan ini berasal dari CPO tetapi ada kandungan bahan bakar fossil di dalamnya. 


CPO yang dihasilkan dari pabrik kelapa sawit juga tidak bisa langsung digunakan untuk produksi bio-bensin tersebut tetapi harus diolah dulu di unit permurnian sehingga menjadi Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) atau CPO yang telah dibersihkan dari getah dan bau. Produksi bio-bensin dan LBG dengan bahan baku CPO dan akan dikembangkan secara komersial yakni di kilang-kilang Pertamina yang lain bila ternyata prosesnya ekonomis. Pertamina mengatakan dengan proses tersebut maka negara akan menghemat 160 juta dollar dari import minyak mentah. Pada produksi bio-bensin selain proses di atas, sebenarnya sudah ada cara yang telah populer yakni dengan fermentasi dari bahan baku gula, pati dan biomasa lignoselulosa. Rute gasifikasi biomasa lignoselulosa selanjutnya diikuti dengan Fischer-Tropsch juga bisa untuk produksi bio-bensin bahkan tanpa perlu pencampuran dengan bahan bakar fossil. Proses produksi bio-bensin dengan cara-cara terakhir akan dibahas pada lain waktu. InsyaAllah.
Unit Residue Fluid Catalytic Cracking

Pada bidang energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) Indonesia diprediksi pada 10 tahun ke depan akan habis. Hal inilah CPO sebagai bahan bakar atau sumber energi pengganti BBM sangat penting dan menjadi perhatian semua pihak. Apalagi Indonesia juga sebagai produsen CPO terbesar di dunia, yakni 38,17 juta ton atau 41,98 ton total dengan minyak inti sawit (PKO) pada 2017. Brazil adalah negara produsen bio-bensin (bioethanol) terbesar di dunia karena juga produsen gula terbesar dengan perkebunan tebu mencapai 9 juta hektar, pertanyaannya Indonesia dengan negara produsen CPO terbesar dan luas perkebunannya mencapai 12 juta hektar juga mampu menjadi produsen biofuel (biodiesel dan bio-bensin) terbesar ? Penggunaan CPO untuk produksi bahan bakar (energi) sangat mungkin rawan konflik dengan penggunaan untuk pangan manusia. Dalam kondisi tersebut tentu saja masalah pangan lebih diprioritaskan dibandingkan energi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Amerika pernah berkonflik dengan Mexico akibat produksi jagung diprioritaskan untuk produksi bioethanol (bio-bensin) sedangkan Mexico yang biasa import dari Amerika untuk pangan kekurangan pasokan jagung dan mengakibatkan huru-hara Tortila. Hal tersebut menjadi pelajaran mahal sehingga tidak terulang.

Dengan produksi CPO 38,17 juta ton, penggunaan untuk sektor pangan terutama minyak goreng sebesar 3-5% (setara kurang lebih 2 juta ton)sektor lainnya yakni produk turunan CPO seperti oleokimia 3,8 juta ton/tahun lalu sektor energi yakni biodiesel 2,5 juta ton, export 70% (setara kurang lebih 27 juta ton) maka masih ada 2,87 juta ton yang bisa diolah menjadi bio-bensin (green bensin) tersebut. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa seharusnya Indonesia tidak boleh mengeksport bahan mentah bagi negara lain seperti CPO sehingga seharusnya eksportnya adalah minimal barang setengah jadi dan lebih baik lagi tentu berupa barang jadi. Struktur atau pola Indonesia yang masih banyak mengeksport barang mentah bagi negara lain mengindikasikan sebagai negara berkembang. Export CPO seharusnya diminimalisir tetapi export produk turunan CPO seperti biofuel dan oleokimia yang masih perlu ditingkatkan. Sebagai komparasi prosentase export biofuel khususnya biodiesel dan oleokimia di Malaysia lebih besar dibandingkan CPOnya, sedangkan export Indonesia sebagian besar masih berupa CPO. Hal tersebut juga karena pengolahan CPO menjadi produk turunannya masih belum banyak dilakukan di Indonesia.
Apabila kita renungkan lebih mendalam bahwa hal-hal di atas semakin membuktikan kebenaran firman Allah SWT yakni dalam Al Qur'an Surat Yaasiin (36) : 80 dan Surat Waqi'ah (56) : 71-72 tentang api dari pohon hijau. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa dari tanaman jenis pepohonan sebagai penghasil berbagai sumber energi. Bahkan sebagai pohon penghasil minyak, produksi minyak sawit tertinggi dari berbagai tanaman lain.  Kalau dengan minyak sawit dihasilkan produk minyak untuk biofuel yakni bahan bakar cair dan gas, sedang dari pohon kayu-kayuan misalnya kaliandra bisa dihasilkan wood pellet yang merupakan bahan bakar padat. Hal-hal di atas telah membuktikan bahwa benar-benar sumber energi berasal dari pepohonan baik berupa bahan bakar cair, bahan bakar padat dan bahan bakar gas, bahkan dengan mekanisme elektrokimia dari pepohonan juga bisa menghasilkan listrik, lebih detail baca disini. Tambahan untuk pemaparan tentang pengembangan energi berbasis Al Qur'an bisa dibaca disini. Peternakan domba juga sangat baik diintegrasikan dengan perkebunan sawit karena mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan dari pupuk kimia untuk lebih detail bisa dibaca disini.  Petunjuk dari  Allah SWT yang  mengiringi masalah menanam pohon ini adalah masalah penggembalaan diantara pepohonan tersebut yakni dalam Al Qur'an Surat An-Nahl (16) : 10-11, A'basa (80) : 24-32 dan QS Thaahaa (20) : 54)

Kamis, 20 Desember 2018

Ketika Perkebunan Sawit Diintegrasikan Dengan Peternakan Domba

Ketika konsumsi pupuk untuk perkebunan sawit bisa dikurangi bahkan dieliminasi dan digantikan dengan pupuk organik yang murah maka otomatis biaya produksi kelapa sawit bisa ditekan. Hal ini karena biaya pupuk adalah salah satu komponen biaya tertinggi produksi kelapa sawit. Selain pupuk untuk perkebunan kelapa sawit tidak di subsidi juga hampir semua menggunakan pupuk kimia. Hal inilah yang menjadi faktor biaya tinggi tersebut selain juga pupuk kimia juga merusak lingkungan khususnya untuk jangka panjang. 
Ketika biaya produksi kelapa sawit tinggi sedangkan harga jual produk minyak mentahnya atau CPO (crude palm oil) rendah tentu membuat usaha perkelapa sawitan kurang menarik atau kurang menguntungkan. Tercatat dalam 10 tahun belakangan terjadi fluktuasi harga jual kelapa sawit yang tinggi. Faktor harga jual CPO sebagai produk akhir sebagian besar pabrik kelapa sawit Indonesia yang rendah juga turut menekan harga jual kelapa sawit tersebut. Info terbaru seperti kawasan Uni Eropa yang menolak CPO Indonesia adalah kondisi mempersulit penjualan atau export CPO. 

Grafik harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit, diambil dari sini

Grafik harga CPO, diambil dari sini 
Dari sisi produksi untuk menekan biaya produksi adalah peningkatan efisiensi khususnya mengurangi komponen biaya tinggi khususnya pupuk kimia non subsidi tersebut. Integrasi perkebunan kelapa sawit dan peternakan domba menjadi solusinya. Kotoran-kotoran domba digunakan untuk pupuk perkebunan kelapa sawit. Dengan area perkebunan sawit yang mencapai ribuan hektar bisa mengalokasikan 5-10% luas lahan tersebut untuk peternakan domba tersebut. Semakin banyak pupuk kimia non subsidi bisa direduksi semakin berkurang biaya produksi tetapi selain itu sebenarnya peternakan domba itu sendiri bisa mendatangkan keuntungan lebih menarik. Indonesia yang masih defisit daging serta konsumsi rendah perkapita terhadap daging juga bisa diatasi dengan peternakan ini. Beberapa waktu lalu ada rencana pemerintah untuk mengimport daging kerbau 100 ribu ton dari India untuk menutup defisit tersebut, sehingga seharusnya hal ini bisa diatasi juga dengan peternakan tersebut. Pasar export domba juga menjanjikan yakni seperti Arab Saudi yang membutuhkan sekitar 2 juta ekor setiap tahunnya dan seperempatnya (500 ribu ekor) pada musim haji. Domba ini juga bisa menjadi harta terbaik muslim, lebih detail baca disini.

Dengan luas perkebunan sawit Indonesia yang mencapai 12 juta hektar tentu sangat mungkin mencapai swasembada daging dengan mengintegrasikanya dengan peternakan domba. Selain itu tentu pemerintah seharusnya mengupayakan kemajuan industri sawit sebagai bagian mensejahterakan rakyatnya. Tentu saja dengan solusi jitu yang bisa dilakukan seperti atase-atase perdagangan di luar negeri bisa di instruksikan untuk promosi sawit Indonesia. Dan pada akhirnya semakin efisien produksi dan semakin besar permintaan produk sawit maka harga kelapa sawit berikut produk sawitnya juga meningkat serta memberi keuntungan yang lebih menarik bagi para petani dan pengusahanya.

Jumat, 14 Desember 2018

Mencari Harta Terbaik Dari Implementasi Kebun Energi Bagian 10

"Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. ” (QS 16:10)

Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54)

"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud)

Peternakan domba dengan integrasi kebun energi untuk produksi charcoal briquette adalah suatu kombinasi menarik dan ideal. Hal ini karena peternakan domba tersebut akan menghasilkan kotoran yang bisa memupuk kebun energi, sedangkan limbah daun-daun dari kebun energi bisa sebagai pakan tambahan bagi peternakan domba tersebut. Selain itu charcoal briquette yang dihasilkan juga untuk memasak atau memanggang daging-daging domba tersebut. Hal itu terjadi jika domba-domba tersebut di export untuk pasar Arab Saudi, Turki dan Timur Tengah, demikian juga charcoal briquette-nya. Arab Saudi, Turki dan Timur Tengah sangat menyukai daging domba dan menjadi makanan favorite mereka dan charcoal briquette sebagai bahan bakar untuk mengolahnya dengan cara dibakar atau dipanggang seperti sate, lebih detail bisa dibaca disini.


Kebun energi kaliandra dan peternakan domba bisa dibuat dalam satu lokasi, yakni peternakan domba berada dalam kebun energi tersebut, misalnya lahan tersedia 500 hektar, maka kebun energi seluas 450 hektar dan 50 hektar untuk peternakan domba. Peternakan domba tersebut berupa padang gembalaan yakni padang rumput yang dikelola untuk peternakan domba tersebut. Penggembalaan rotasi (rotation grazing) adalah teknik penggembalaan efektif yang bisa diterapkan pada peternakan domba tersebut. Dengan teknik penggembalaan rotasi, salah satu kamar (paddock) digunakan untuk penggembalaan dan kamar-kamar lainnya diistirahatkan supaya rumput bisa pulih kembali. Dengan teknik ini kondisi rumput selalu terjaga dan domba-domba bisa memaksimalkan memakan rumput dalam kamar (paddock) tersebut.
Kaliandra adalah jenis tanaman rotasi cepat, sehingga hanya butuh waktu 1 tahun dan sudah bisa dipanen kayunya dan selanjutnya bisa setiap tahun dipanen tanpa harus menanamnya (replanting) lagi setiap tahun. Hal tersebut karena kaliandra tersebut adalah tanaman trubusan (coppice) yang bisa tumbuh lagi tunasnya dari sisa batangnya (tunggak : bahasa Jawa). Kayu-kayu hasil kebun kaliandra tersebut untuk produksi charcoal briquette. Peternakan lebah madu juga bisa dibuat pada kebun energi tersebut. Bunga-bunga kaliandra adalah sumber madu berkualitas tinggi, sehingga harganya juga mahal. Peternakan lebah madu ini menjadi tambahan unit usaha yang menarik bagi peternakan domba dan produksi charcoal briquette.



Secara teknis ada dua route untuk produksi charcoal briquette, yakni route 1 dengan cara dibuat briket dulu dan selanjutnya diarangkan (karbonisasi). Dengan route 1  ini pembriketan tidak menggunakan perekat dan kepadatan lebih tinggi. Sedangkan route 2 yakni dengan cara kayu-kayu tersebut dibuat arang baru selanjutnya dibriketkan. Pada route 2 ini dibutuhkan perekat yakni kanji untuk merekatkan arang untuk menjadi briket. Kepadatan charcoal briquette dengan route 2 juga masih kalah dibandingkan route 1. Kualitas charcoal briquette route 1 lebih baik dibandingkan dengan route 2. Produk charcoal briquette route 1 inilah yang banyak permintaan dari Arab Saudi, Turki dan Timur Tengah. 

Kalium dan Klorin, 2 Unsur Perlu Perhatian Lebih Pada Wood Pellet

Sebagian besar pembangkit listrik saat ini menggunakan teknologi pulverized combustion yang beroperasi pada temperatur lebih dari 1400 C. Tingginya suhu operasi tersebut membuat persyaratan untuk bahan bakar yang digunakan cukup ketat, artinya tidak semua bahan bakar langsung bisa diterima. Bahan bakar pembangkit listrik tersebut standarnya dirancang dengan menggunakan batubara, sehingga apabila menggunakan bahan bakar biomasa bisa jadi akan membutuhkan modifikasi. Pada rasio cofiring kecil misalnya 5% pembangkit listrik tersebut besar kemungkinan bisa beroperasi secara standard tanpa modifikasi. Pertanyaan besarnya : mengapa pembangkit listrik teknologi pulverized combustion yang kapasitasnya bisa ratusan bahkan ribuan MW tersebut tidak langsung bisa menggunakan biomasa hingga 100% tanpa kendala? Hal itulah yang akan coba kita ulas pada tulisan dibawah ini. 

Perbedaan utama bahan bakar biomasa dengan batubara ditinjau dari pembangkit listrik tersebut adalah kimia abunya. Kimia abu batubara tersusun bahan anorganik yang memiliki titik leleh sangat tinggi dan cenderung tidak korosif terhadap logam-logam pada suhu tinggi. Hal ini membuat secara teknis bahan bakar batubara lebih friendly terhadap pembangkit listrik berteknologi pulverized combustion. Walaupun ditinjau secara lingkungan bahan bakar batubara kurang bersahabat karena fly ash banyak, limbah abunya tergolong B3 dan emisi SOx menyebabkan terjadinya hujan asam. Sedangkan tinjauan dari perubahan iklim dan pemanasan global, jelas batubara merupakan bahan bakar fossil dan merupakan carbon positive sehingga meningkatkan konsentrasi CO2 yang merupakan gas rumah kaca di atmosfer. Banyak negara saat ini yang dalam kebijakannya mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan batubara.
Sedangkan bahan bakar biomasa memiliki kandungan kimia abu yang terdiri bahan anorganik yang memiliki titik leleh rendah dan cenderung korosif sehingga menjadi hambatan bagi teknologi pulverized combustion tersebut. Kalium adalah salah satu unsur kimia abu dalam biomasa yang menjadi sorotan utama, hal ini karena kalium memiliki titik leleh rendah dan dalam sejumlah biomasa jumlahnya cukup banyak. Abu kalium yang meleleh tersebut akan menutupi dan terdeposit pada pipa-pipa penukar panas pada boiler pembangkit tersebut. Deposit tersebut membuat efisiensi transfer panas menurun sehingga konsumsi bahan bakar akan meningkat. Hal tersebut diindikasikan dari temperatur cerobong meningkat yang berarti terjadi kehilangan panas yang besar. 
Mekanisme reaksi kimia korosi klorin
Unsur lain yang menjadi sorotan utama selain kalium yakni klorin. Klorin ini korosif dan ibarat hantu bagi pembangkit listrik pulverized combustion tersebut. Sifat korosif tersebut akan memperpendek umur pakai atau umur operasi pembangkit listrik tersebut, misalnya dengan kandungan klorin tinggi pada bahan bakarnya maka membuat umur operasi pembangkit listrik menjadi setengah atau seperempat dari yang seharusnya. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Di samping kedua hal diatas yang dianggap tidak menguntungkan dari penggunaan bahan bakar biomasa, tetapi seiring masalah kerusakan lingkungan berupa perubahan iklim dan pemanasan global, maka bahan bakar biomasa menjadi solusi masalah tersebut. Hal tersebut karena bahan bakar biomasa merupakan energi terbarukan , berkesinambungan (sustainable), carbon neutral dan berbagai manfaat lingkungan lainnya.
Bahan bakar biomasa yang sangat populer hari ini adalah wood pellet. Ketika ternyata wood pellet yang merupakan bahan bakar biomasa mengandung kalium (potassium) dan klorin tinggi maka menjadi kurang diminati bahkan ditolak oleh pembangkit listrik pulverized combustion tersebut. Para produsen wood pellet harus memperhatikan masalah ini jika segmen pasarnya pembangkit listrik. Memastikan produk wood pellet dengan kandungan klorin dan potassium sesuai persyaratan teknisnya menjadi keharusan para produsen tersebut. Ketika wood pellet terlanjur telah diproduksi tetapi spesifikasinya tidak bisa memenuhi persyaratan, maka perlu mengubah pasarnya atau memperbaiki kualitas wood pelletnya.
Pada dasarnya untuk mengatasi kandungan klorin dan potassium (kalium) tersebut bisa dengan dua cara yakni dari sisi produksi wood pelletnya maupun dari sisi penggunanya. Produsen wood pellet bisa memilih bahan baku yang bisa memenuhi spesifikasi yang diminta atau bahkan melakukan sejumlah treatment sehingga spesifikasinya bisa tercapai. Sedangkan dari sisi penggunanya yakni dengan menggunakan teknologi pembangkit listrik dengan suhu operasi lebih rendah sehingga masalah kalium dan klorin bisa direduksi bahkan dieliminasi. Teknologi pembangkit listrik dengan fluidized bed dan gasifikasi bisa sebagai solusi hal tersebut. 

Minggu, 25 November 2018

Ketika Industri Wood Pellet 100% Dikuasai Asing

Wood pellet memiliki prospek cerah di masa depan dan sangat pas dikembangkan di Indonesia. Wood pellet yang aplikasinya untuk energi sangat strategis bagi pengembangan bangsa. Bahkan Eropa dalam program Renewable Energy Directive (RED) yang merupakan bagian dari program besar bioeconomy mereka. Dalam RED (Renewable Energy Directive) telah mentargetkan penggunaan energi terbarukan mencapai minimal 20% pada 2020 dengan konsumsi biomasa mencapai 70% dari keseluruhan energi terbarukannya dan pada 2030 menjadi minimal 27%. Untuk energi biomasa, Eropa merupakan produsen wood pellet terbesar yakni diperkirakan saat ini 13,5 juta ton/tahun sementara konsumsinya 18,8 juta ton/tahun, artinya masih terjadi kekurangan sebesar 5,3 juta ton/tahun. Amerika dan Kanada adalah pemasok utama kebutuhan wood pellet negara-negara Eropa tersebut dengan sebagian besar penggunaan wood pellet untuk pembangkit listrik. Indonesia sebagai negara tropis dan kaya akan berbagai biomasa khususnya biomasa kayu-kayuan sangat potensial menjadi produsen wood pellet utama dunia. 

Pada tahun 2024 kebutuhan wood pellet diproyeksikan akan mencapai 50 juta ton sedangkan produksi saat ini 20 juta ton dan produksi wood pellet Indonesia juga masih kecil yakni sekitar 80 ribu ton/tahun saja. Semakin meningkatnya kebutuhan wood pellet terutama didorong oleh sejumlah kebijakan untuk menurunkan penggunaan bahan bakar fossil dan pengganti dengan energi terbarukan salah satu dengan biomasa dan khususnya wood pellet. Bahan bakar fossil menghasilkan gas CO2 yang semakin memanaskan suhu bumi (global warming) dan perubahan iklim (climate change) yang berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Terhitung sudah 23 konferensi bumi yang diadakan hampir setiap tahun dan dihadiri ratusan kepala negara di dunia untuk mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim tersebut. Konferensi bumi pertama kali dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992, terakhir tahun lalu (2017) di Bonn, Jerman dan tahun ini (2018) direncanakan di Katowice, Polandia. Sedangkan di kawasan Asia setidaknya ada 2 negara yang membutuhkan wood pellet hingga puluhan juta ton, yakni Korea Selatan dan Jepang, untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Indonesia memiliki potensi besar untuk produksi wood pellet bahkan menjadi pemain utama dunia karena iklim tropis dan tanah yang luas dan subur. Dengan iklim tropisnya hanya butuh 1 tahun untuk menghasilkan biomasa setara 4 tahun di negara sub tropis seperti Eropa dan Amerika yakni dengan tanaman rotasi cepat (Short Rotation Coppice/SRC) seperti kaliandra. Tetapi ketika industri wood pellet dikuasai 100% asing sesuai yang diumumkan pemerintah beberapa waktu lalu, tentu teramat sangat disayangkan, hal ini karena juga akan sangat mungkin luas tanah Indonesia tersebut akan dikuasai asing juga sebagai penghasil kayu untuk produksi wood pelletnya, warga negara hanya memiliki peran sangat minimal bahkan hanya sebagai penonton saja. Selain itu kontribusi yang didapat negara juga sangat minimal serta tidak akan memberi kesejahteraan bagi  warga negara. Hal yang tidak kalah penting yakni karena diproyeksikan sekitar 10 tahun lagi minyak bumi Indonesia habis, maka wood pellet bisa sebagai sumber energi pengganti yang sangat potensial. Pengembangan wood pellet dengan bahan baku kayu dari kebun energi dan diintegrasikan dengan peternakan maka diharapkan membuat Indonesia swasembada energi bahkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan swasembada daging. Integrasi perkebunan besar seperti kebun energi dan peternakan besar untuk lebih detail bisa dibaca disini
Energi jelas sektor strategis bahkan sangat erat kaitannya dengan kedaulatan negara. Apabila suatu negara tidak berdaulat dalam sektor energinya maka sangat mudah untuk membuat kegoncangan dalam negara tersebut. Hal ini semestinya harus disadari bersama sehingga tidak dengan mudah memberikan penguasaan sektor bisnis strategis kepada asing. Indonesia juga sudah seharusnya mengembangkan bioeconomy-nya dengan potensi biomasanya, lebih detail bisa dibaca disini. Walaupun negeri tropis dan kaya dengan lautan ternyata membuat Indonesia banyak hujan dan mendung, bahkan curah hujan Indonesia lebih tinggi dari rata-rata dunia, sehingga pengembangan energi terbarukan dengan panas matahari (solar photovoltaic) menjadi mahal dan tidak menjadi pilihan, dan kembali lagi biomasa menjadi pilihan dan solusi jitu untuk kondisi Indonesia, lebih detail dibaca disini

"Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput (lahan), air dan api (energi)". (HR. Sunan Abu Daud).

Syirkah adalah upaya menangkap peluang besar wood pellet tersebut. Sesama muslim khususnya harus saling bekerjasama untuk memakmurkan bumi dengan membuat tanah-tanah yang tidak atau kurang termanfaatkan menjadi lahan yang produktif seperti petunjuk hadist diatas. Apabila tidak bersyirkah akan sangat sulit untuk menangkap peluang besar tersebut. Pemilik lahan, pemilik modal dan pengelola bisa bekerjasama untuk menangkap peluang ini dan tidak menjadi milik asing. Tentu saja kebijakan yang pro rakyat akan semakin mendukung bisnis wood pellet yang melakukan syirkah.

Rabu, 21 November 2018

Bahan Bakar Biomasa dan Mobil Listrik

 Dunia seharusnya semakin hijau, begitulah harapan semua orang yang paham dan peduli lingkungan. Banyak sudah aksi nyata untuk terus membuat dunia semakin hijau atau hijau kembali. Bahan bakar fossil adalah faktor kerusakan lingkungan yang telah membuat konsentrasi CO2 di bumi lebih dari 400 ppm. Dampaknya adalah perubahan iklim dan pemanasan global, dan ini menjadi fokus perbaikan lingkungan saat ini. Selain itu praktek penggundulan hutan adalah faktor lain yang membuat bumi semakin tandus dan gersang. Dampaknya sangat besar pada rantai ekosistem termasuk pangan manusia dan potensi bencana alam.

Gambar diambil dari sini
Dalam era kurang lebih 10 tahun mendatang Indonesia akan akan kehabisan cadangan minyak buminya dan saat ini sudah sebagai nett importer minyak bumi karena produksi minyak buminya sudah tidak mampu memenuhi konsumsi dalam negerinya. Bukankah Indonesia masih memiliki cadangan gas, sehingga bisa digunakan hingga 50 tahun ke depan? Walaupun secara teknis sangat bisa dilakukan, tetapi penggunaan gas alam menggantikan bahan bakar minyak bumi tidak menjadi solusi untuk masalah lingkungan atau tidak sejalan dengan arah dunia untuk perbaikan lingkungan. Hal tersebut karena baik bahan bakar minyak dan gas alam adalah bahan bakar fossil atau bahan bakar karbon positif yang berkontribusi meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Sehingga penggunaan gas alam tidak menjadi solusi.

Mobil listrik adalah upaya mengurangi atau mengeliminasi emisi CO2 di sektor transportasi. Saat ini telah mulai banyak mobil listrik diproduksi untuk menggantikan mobil berbahan bakar minyak bumi atau juga mobil hybrid sebagai "jembatan" peralihannya. Beberapa produsen mobil listrik saat ini antara lain Tesla, Toyota, BMW, Mitsubishi, Ford dan sebagainya. Mobil listrik sejauh ini telah mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan, tetapi karena harga jual masih relatif mahal dan ketersediaan unit-unit pengisian baterai yang masih minim saat ini penggunanya masih terbatas. Tetapi bisa saja dalam beberapa waktu ke depan segera membanjiri jalanan apabila kebijakan lingkungan untuk pengurangan dan pembatasan energi fossil ditingkatkan.



Pertanyaan fundamental dari aspek lingkungan adalah darimana mobil listrik tersebut mendapat pasokan listrik sebagai sumber energinya? Apabila mobil listrik tersebut mendapat listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar fossil seperti batubara, gas alam dan sebagainya, itu sama saja bohong karena hanya memindahkan lokasi penghasil emisi CO2 dari mobil-mobil ke pembangkit-pembangkit listrik. Biomasa khususnya kayu-kayuan ataupun limbah-limbah pertanian dapat sebagai sumber energi khususnya energi listrik tersebut. Hal tersebut berarti bahwa biomasa tersebut harus diubah menjadi listrik dan digunakan untuk mengisi baterai mobil listrik tersebut. 

Power gasifier, stirling engine, ORC (Organic Rankine Cycle) dan sebagainya adalah teknologi untuk mengubah biomasa tersebut menjadi energi listrik. Pembangkit-pembangkit listrik biomasa seperti power gasifier dan stirling engine bisa berukuran kecil sehingga bisa banyak tersebar di seluruh pelosok negeri. Kebun-kebun energi akan banyak dibuat untuk hal tersebut demikian juga pemanfaatan limbah-limbah pertanian juga semakin dioptimalkan sehingga tidak mencemari lingkungan lagi. Sedangkan abu dari pembakaran dapat dikembalikan ke lahan-lahan perkebunan dan pertanian sebagai pupuk.
Hal di atas tersebut secara teknis berbeda dengan penggunaan gasifier ataupun stirling engine untuk penggerak kendaraan, walaupun secara aspek lingkungan sama. Pada era krisis minyak beberapa dekade lalu gasifier dipasang pada bagian belakang mobil untuk menyuplai gasnya sebagai bahan bakar mobil tersebut. Sedangkan pada stirling engine karena merupakan external combustion engine atau heat engine, maka ada unit pembakaran atau produksi panas yang digunakan untuk sumber energi stirling engine tersebut. Pada mobil listrik tidak perlu memasang gasifier atau heat producer tetapi cukup dengan memasang baterai sebagai penghasil listrik yang diubah menjadi energi mekanik. 
Penggunaan biomasa sebagai sumber bahan bakar bisa dengan dibuat wood chip atau wood pellet tergantung faktor teknis dan ekonominya. Ketika jarak dengan pembangkit listriknya dekat sehingga biaya transportasi murah, maka biomasa tersebut cukup dibuat wood chip sedangkan kalau jaraknya jauh, maka dibuat wood pellet akan menghemat biaya transportasinya. Pada akhirnya supaya benar-benar mobil listrik ini sebagai solusi lingkungan, maka sumber energinya juga harus dari sumber terbarukan dan biomasa adalah sumber energi paling potensial di Indonesia. Integrasi perkebunan energi dan peternakan akan menjadi solusi jitu dan benar-benar akan membuat dunia semakin hijau, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Selain itu sumber energi biomasa khususnya kayu-kayuan sangat layak dikembangkan di Indonesia dan lebih unggul daripada Solar PV, lebih detail baca disini

Kamis, 08 November 2018

Bioeconomy Model Untuk Indonesia Bagian 3

Minyak atsiri adalah salah satu komoditas andalan Indonesia. Ada banyak minyak atsiri yang bisa diproduksi di Indonesia karena iklim tropisnya sehingga sangat banyak tumbuh-tumbuhan yang bisa tumbuh dengan baik di Indonesia. Ada sekitar 40 minyak atsiri yang bisa diproduksi di Indonesia. Minyak atsiri dihasilkan bagian daun, bunga, kulit batang bahkan akar tumbuhan atsiri. Tumbuhan atsiri juga bervariasi dari tanaman rerumputan, semak atau perdu hingga pohon berkayu. Hal ini membuat tumbuhan tersebut bisa ditanam dimana saja tergantung kondisi lahan, dan produk minyak atsiri yang diinginkan. Dan tumbuhan minyak atsiri tersebut ada yang hanya merupakan tanaman semusim dan juga tanaman tahunan. Penggunaan minyak atsiri juga sangat luas yakni untuk parfum (wangi-wangian), makanan, pengendali serangga hingga farmasi. Selain itu potensi pasar minyak atsiri juga masih sangat terbuka. Minyak kayu putih adalah contoh minyak atsiri yang sangat banyak digunakan, tapi mungkin banyak yang tidak tahu kalau minyak kayu putih termasuk minyak atsiri. Padahal minyak kayu putih hampir bisa ditemukan di setiap rumah di Indonesia apalagi yang sedang memiliki bayi atau anak kecil. Sepuluh produk minyak atsiri yang diproduksi di Indonesia bisa dibaca disini

Apabila dibandingkan minyak sawit yang kabarnya produksi mencapai 35 juta ton/tahun dan menggunakan lahan seluas 12 juta hektar, produksi minyak atsiri jauh lebih kecil, yakni hanya 5000-6000 ton/tahun. Diperkirakan setiap tahun terjadi kenaikkan export minyak atsiri sebesar 10%. Seperti juga pada minyak sawit yang bisa diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk oleokimia, demikian juga dengan minyak atsiri pengolahan lanjut menjadi fine chemicals sangat dimungkinkan. Nilai tambah akan cukup besar apabila minyak atsiri tersebut diolah menjadi fine chemical ataupun berbagai produk-produk turunan. Hal yang ironis dalam industri minyak atsiri di Indonesia adalah Indonesia mengeksport minyak atsiri mentah (crude essential oil) tetapi mengimport produk hilir (derivative essential oils) minyak atsiri jauh lebih banyak bahkan mencapai 4 kali lipatnya, khususnya produk parfum dan food flavoring. Kondisi defisit perdagangan tersebut ini seharusnya diubah sehingga import produk hilir bisa dikurangi secara bertahap hingga tidak perlu import lagi. Setelah defisit bisa diatasi selanjutnya bisa memacu export bahkan bukan hanya crude essential oil tetapi produk derivative essential oilnya. Jadi singkat kata Indonesia jangan hanya mengeksport bahan baku atau bahan mentahnya, lalu mengimport lagi produk jadinya bahkan dalam jumlah lebih banyak.

Masih luasnya lahan tersedia di Indonesia dan besarnya kebutuhan pasar merupakan peluang menarik dalam era bioeconomy di depan mata. Bervariasinya jenis minyak atsiri dan tumbuhan-tumbuhan penghasilnya juga semakin menarik peluangnya. Perkebunan-perkebunan atsiri bisa digalakkan ke berbagai daerah di Indonesia. Perkebunan-perkebunan besar tersebut juga akan semakin menarik dengan diintegrasikan dengan peternakan besar. Kebutuhan pupuk untuk perkebunan tersebut bisa dicukupi dari peternakan tersebut, sekaligus untuk meningkatkan produksi daging nasional yang saat ini masih banyak import. Untuk lebih tentang perkebunan besar dan peternakan besar bisa dibaca disini. Salah satu cara mensyukuri nikmat Allah SWT adalah dengan memanfaatkan tanah-tanah tidak diolah bahkan tandus sehingga menjadi produktif.





Teknologi untuk mengekstrak minyak atsiri juga cukup sederhana yakni dengan destilasi (penyulingan). Alat penyulingan tersebut juga hampir semua produk dalam negeri sehingga relatif murah. Pada prakteknya memang masih banyak alat penyulingan masih sederhana sehingga konsumsi energi boros dan kualitas atsiri rendah karena penggunaan material penyulingan dibawah standar. Sejumlah penyempurnaan tentu bisa dilakukan untuk semakin meningkatkan efisiensi produksi minyak atsiri tersebut, misalnya menggunakan boiler yang efisien. Limbah biomasa yakni bahan yang sudah diambil minyak atsirinya tersebut bisa digunakan sebagai bahan bakar penyulingan (destilasi) minyak atsiri itu sendiri. 

Rabu, 07 November 2018

Migrasi Dari Fossil Boiler ke Biomass Boiler

Boiler adalah alat utama yang penting pada operasional sejumlah industri. Sebagai perbandingan Amerika Serikat mengkonsumsi 20% gas alam (natural gas) untuk berbagai aktivitas produksi dan khusus untuk industri makanan saja tercatat menggunakan lebih dari 10.000 boiler. Lebih dari 70% boiler tersebut menggunakan gas alam dengan konsumsi per tahunnya yakni 237 triliun Btu. Hal tersebut juga tidak banyak berbeda dengan kondisi di Indonesia. Dengan mengganti boiler berbahan bakar fossil khususnya gas alam menjadi biomasa memiliki banyak keuntungan yakni secara energi, ekonomi, dan lingkungan, yakni :
a. Terjadi pengurangan konsumsi bahan bakar fossil khususnya gas alam.
b. Penghematan biaya produksi dari pembelian gas alam.
c. Mengurangi emisi CO2 atau gas rumah kaca di atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fossil.

Selain gas alam, sebagian besar boiler di Industri saat ini menggunakan bahan bakar fossil, yakni batubara, dan solar (minyak diesel). Penggunaan boiler sendiri sangat luas pada sejumlah industri antara lain tekstil, penyulingan minyak bumi, plastik dan kertas. Daya dorong berupa aspek lingkungan menjadi daya dorong yang kuat untuk migrasi fossil fuel boiler ke biomass boiler. Sejumlah perusahaan juga sangat concern terhadap aspek lingkungan ini dan ingin mendapatkan citra yang baik dengan menggunakan biomass boiler. Pada prakteknya memang sejumlah industri telah puluhan hingga ratusan tahun telah menggunakan biomass boiler karena memang industri tersebut menghasilkan banyak limbah biomasa yang bisa digunakan sebagai bahan bakarnya seperti pabrik kelapa sawit untuk produksi CPO, pabrik gula dari tebu dan sejumlah industri penyulingan minyak atsiri. Jadi memang pada kelompok agroindustri bahan bakar biomasa telah lazim digunakan untuk bahan bakar boiler.
Ada banyak biomasa yang bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler, antara lain limbah-limbah pertanian, wood chip, wood pellet dan sebagainya. Cangkang sawit (palm kernel shell) adalah salah satu limbah biomasa yang banyak tersedia di Indonesia. Dengan luas kebun sawit mencapai 12 juta hektar diperkirakan ada 10 juta ton cangkang sawit setiap tahunnya. Sedangkan wood chip dan wood pellet bisa dibuat dari limbah-limbah kayu atau kayu dari kebun energi. Potensi produksi wood chip dan wood pellet dari kebun energi juga bisa sangat besar mengingat ada puluhan juta hektar lahan hutan tanaman industri (HTI) yang bisa untuk kebun energi tersebut. Ada lagi bahan bakar yang bisa dipertimbangkan untuk bahan bakar boiler yakni arang. Arang adalah bahan bakar padat yang tinggi kandungan karbon. Apabila sampah kota bisa dikonversi menjadi arang dengan teknologi pirolisis, maka ini menjadi sumber bahan bakar baru sekaligus mengatasi masalah lingkungan akibat sampah. Hal perlu diperhatikan bagi industri yang akan migrasi dari fossil fuel boiler ke biomass boiler adalah ketersediaan pasokan dan tentu saja Faktor keekonomiannya. Bahan bakar biomasa umumnya lebih mahal dibandingkan batubara.

Secara teknis biomass boiler memerlukan perlakuan dan perawatan yang berbeda dengan fossil fuel boiler khususnya bahan bakar gas dan cair. Biomass boiler umumnya juga lebih besar sehingga membutuhkan tempat lebih luas. Bagi yang biasa menggunakan boiler berbahan bakar gas alam atau minyak diesel, tentu tidak pernah mengalami masalah dengan abu. Sedangkan pada penggunaan biomass boiler maka masalah abu adalah salah satu hal yang pasti dihadapi. Pada boiler industri umumnya telah ada perangkat otomatis untuk pembersihan abu tersebut sehingga tidak merepotkan pengguna. Abu dari pembakaran biomasa tersebut bisa digunakan untuk pupuk perkebunan sehingga juga bermanfaat. Selain itu untuk penyimpanannya, bahan bakar biomasa juga membutuhkan ruang lebih luas dibandingkan menyimpan minyak diesel atau gas alam. Untuk menyimpan wood chip dibutuhkan sekitar dua kali lebih luas daripada cangkang sawit, dan tiga kali untuk wood pellet pada kontent energi yang sama. Pada boiler industri umumnya menggunakan grate furnace dan fluidized bed furnace untuk membakar bahan bakar biomasa tersebut, gasifikasi juga digunakan tetapi jumlahnya tidak banyak sedangkan apabila menggunakan gas alam atau minyak diesel dengan pembakar nozzle bertekanan.

Selasa, 23 Oktober 2018

PKS Untuk Pembangkit Listrik di Eropa

Eropa dengan program bioekonominya yakni dalam RED (Renewable Energy Directive) telah mentargetkan penggunaan energi terbarukan mencapai minimal 20% pada 2020 dengan konsumsi biomasa mencapai 70% dari keseluruhan energi terbarukan dan pada 2030 menjadi minimal 27%. Untuk energi biomasa, Eropa juga merupakan produsen wood pellet terbesar yakni saat ini diperkirakan 13,5 juta ton/tahun sementara konsumsinya 18,8 juta ton/tahun. Negara-negara produsen wood pellet terbesar di Eropa yakni Jerman dan Swedia. Walaupun dengan produksi wood pellet 13,5 juta ton/tahun ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan internal kawasan tersebut, sehingga masih membutuhkan supply dari luar. Amerika dan Kanada adalah pemasok utama kebutuhan wood pellet untuk negara tersebut. Sebagian besar penggunaan wood pellet tersebut untuk pembangkit listrik. Selain wood pellet, PKS juga telah diimport dari Indonesia. Sering besarnya target yang hendak dicapai, maka kebutuhan bahan bakar biomasa tersebut diprediksi akan semakin meningkat.

Walaupun sebagian besar pembangkit listrik saat ini menggunakan teknologi pulverized coal boiler yang mencapai sekitar 50% pembangkit listrik dunia, tetapi penggunaan teknologi grate combustor boiler dan fluidized bed boiler juga semakin meningkat. Pulverized coal boiler terutama digunakan untuk pembangkit kapasitas sangat besar (>100 MW) , sedangkan untuk kapasitas menengah biasa menggunakan teknologi fluidized bed (antara 20-100 MW) dan untuk kapasitas lebih kecil dengan grate combustor (<20 MW). Kelebihan untuk teknologi fluidized bed dan grate combustor boiler adalah flexibilitas bahan bakar termasuk toleransi terhadap ukuran partikelnya. Berbagai limbah pertanian, sampah kota, ban bekas dan sebagainya bisa digunakan sebagai bahan bakarnya. Ketika pada pulverized coal boiler mensyaratkan ukuran partikel kecil (1-2 cm) seperti serbuk gergaji (sawdust) sehingga bisa diatomisasi pada nozzle pulverizer, maka untuk grate combustor dan fluidized bed ukuran partikel sebesar kerikil (maks. 8 cm) bisa diterima. Berdasarkan kondisi tersebut limbah pertanian yakni PKS memiliki peluang besar sebagai bahan bakar boiler-boiler tersebut. 

Pembangkit Listrik Dengan teknologi Fluidized di Jepang 49 MW dengan bahan bakar PKS
dan beroperasi sejak 2015

Untuk bisa sebagai bahan bakar pada grate combustor boiler dan fluidized bed boiler bisa langsung digunakan, tanpa pretreatment tambahan. Lebih spesifik untuk fluidized bed boiler yakni circulating fluized bed (CFB) boiler yang lebih cocok untuk PKS dibandingkan dengan bubbling fluidized bed (BFB) boiler, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Lalu apakah PKS tidak cocok untuk pulverized coal boiler? Ada beberapa hal perlu diperhatikan untuk penggunaan PKS pada pulverized coal boiler. Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengecilkan ukuran partikel PKS hingga maksimal 2 cm sehingga bisa diatomisasi dalam pulverized system. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah prosentase PKS dalam batubara, atau istilahnya cofiring. Berbeda dengan grate  dan fluidized bed combustor yang bisa fleksibel dengan berbagai jenis bahan bakar, pada pulverized hampir semua hanya menggunakan batubara saja. Tentu juga bisa untuk pulverized tersebut diganti dengan biomasa khususnya PKS tetapi ada hal spesifik yang membedakan bahan bakar biomasa dan batubara yakni kadar abu dan kimia abu. Kedua hal tersebut sangat berpengaruh terhadap karakteristik pembakaran dalam pulverized system. 
Kandungan abu batubara umumnya lebih besar daripada biomasa, selain itu kimia abu batubara sangat berbeda dengan kimia abu biomasa. Biomasa memiliki kandungan anorganik lebih kecil daripada batubara, tetapi kandungan alkali dalam biomasa bisa mengubah sifat-sifat abu batubara khususnya abu aluminosilikatnya. Praktisnya yakni jika ingin mengubah pulverized system dari batubara ke biomasa khususnya PKS maka perlu modifikasi pembangkit listrik tersebut dan ini juga tidak murah, tetapi jika ingin tanpa modifikasi atau hanya sedikit saja modifikasi pembangkit listrik diperlukan yakni dengan cara cofiring tersebut. Cofiring biomasa dengan batubara dengan porsi kecil misalnya 3-5% tidak perlu memodifikasi pembangkit listrik pulverized tersebut. Sebagai contoh Shinci di Jepang dengan kapasitas 2 x 1.000 MW supercritical pulverized fuel dengan cofiring 3% membutuhkan 16.000 ton/tahun biomasa dan tidak ada modifikasi, demikian pula dengan Korea Shoutheast Power (KOSEP) 5.000 MW dengan cofiring 5% membutuhkan biomasa 600.000 ton/tahun dan juga tanpa modifikasi. Mengapa cofiring pada pulverized system banyak dibahas? Selain pembangkit tipe ini jumlahnya paling banyak dengan kapasitas produksi listrik sangat besar sehingga menjadi sarana efektif untuk menurunkan kadar CO2 di atmosfer yang otomatis juga mengurangi penggunaan batubara, juga penggunaan biomasa dalam cofiring punya efek pada operasional pembangkit dan harga produk listrik yang dihasilkan. 
Studstrup power station Denmark 700 MW melakukan cofiring hingga 20% dengan jerami (straw)

Teknologi grate combustor, fluidized bed dan pulverized pada dasarnya adalah teknologi pembakaran. Teknologi pembakaran adalah satu diantara 3 proses thermal biomasa yang banyak diaplikasikan, dengan dua lainnya yakni gasifikasi dan pyrolysis. Gasifikasi demikian juga pyrolysis juga bisa digunakan untuk produksi listrik, tetapi penggunaannya tidak sebanyak teknologi pembakaran dan kapasitas produksi listriknya pada umumnya juga kecil. Hampir sama dengan grate combustor dan fluidized bed, bahan bakar untuk gasifikasi dan pyrolysis juga fleksibel, termasuk batubara dan PKS. Pada teknologi gasifikasi terutama untuk memaksimalkan produk gas (syngas) sedangkan pada pyrolysis untuk memaksimalkan produk padatnya. PKS bisa di pirolisis untuk menghasilkan arang sedangkan batubara akan menghasilkan kokas apabila dipirolisis. Arang dari PKS bisa digunakan untuk bahan bakar, produksi briket serta arang aktif sedangkan kokas untuk peleburan baja. Syngas merupakan produk samping pyrolysis yang bisa digunakan untuk produksi listrik sedangkan pada gasifikasi, syngas merupakan produk utama yang juga bisa digunakan untuk produksi listrik. 
Mengapa menggunakan PKS untuk bahan bakar pembangkit tersebut? Hal ini karena PKS memiliki karakteristik hampir sama dengan wood pellet, banyak tersedia dan harganya murah. Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen utama PKS. PKS dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit. Dengan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai  12 juta hektar di Indonesia dan 5 juta hektar di Malaysia, maka jumlah PKS yang dihasilkan dari kedua negara mencapai 15 juta ton/tahun. Jumlah PKS tersebut kedua negara tersebut melebihi produksi wood pellet dari Amerika Serikat dan Kanada, atau 2 produsen penghasil wood pellet terbesar saat ini. Dan tentu saja Amerika Serikat dan Kanada tidak bisa menghasilkan PKS, karena tidak memiliki perkebunan kelapa sawit, tetapi Indonesia dan Malaysia bisa memproduksi wood pellet karena memiliki hutan yang luas. Produksi wood pellet Indonesia dan Malaysia masih kecil, yakni kurang dari 1 juta ton/tahunnya, tetapi produksi PKS-nya cukup besar yang bisa sebagai penggerak awal bioeconomy dan menyuplai biomasa ke Eropa. 

Senin, 08 Oktober 2018

Standar-Standar Sertifikat Wood Pellet

Sebagai komoditas perdagangan yang sedang menjadi trend dunia, banyak standar wood pellet yang diberlakukan. Pada dasarnya standar wood pellet tersebut mencukupi 2 hal saja yakni kualitas dan keberlanjutan (sustainibility) yang banyak berkaitan dengan aspek lingkungan. Aspek kualitas banyak terkait aspek teknis produksi wood pellet tersebut dan juga bahan baku yang digunakan. Sejumlah negara atau lembaga tertentu menerapkan aspek kualitas yang bisa mereka terima untuk produk wood pellet tersebut. Penerapan standar kualitas wood pellet juga terkait penggunaan wood pellet tersebut atau lebih spesifik teknologi atau alat untuk mengkonsumsi atau menggunakan wood pellet sebagai bahan bakar. Berdasarkan hal tersebut juga biasanya segmen pasarnya juga dibedakan, yakni untuk industri dan rumah tangga. Segmen industri memiliki spesifikasi sendiri yang sedikit berbeda dengan rumah tangga. Beberapa standar kualitas yang banyak digunakan saat ini : ENplus, DINplus, PFI, ITEBE, Onorm dan CANplus. Berikut tabel-tabel kualitas tersebut :





Jenis standar yang kedua yakni tentang keberlanjutan (sustainibility) dan saat ini juga sudah mulai banyak diterapkan khususnya untuk perdagangan wood pellet dalam jumlah besar. Standar keberlanjutan (sustainibility) mencakup praktek budidaya pohon-pohon yang kayunya sebagai sumber bahan baku wood pellet tersebut. Dalam hal penerapannya ada sejumlah negara pembeli wood pellet yang sangat menaruh perhatian tentang standar keberlanjutan ini, tetapi juga ada yang tidak terlalu memperdulikannya. Jepang adalah contoh salah satu negara di Asia yang sangat memperhatikan masalah standar keberlanjutan ini. Beberapa standar keberlanjutan yang banyak digunakan saat ini : FSC, PEFC dan sebagainya.

Para calon produsen wood pellet harus memperhatikan masalah di atas, karena sangat terkait dengan pasar atau perdagangan wood pelletnya. Tanpa bisa memetakan pasar secara komprehensif maka sangat mungkin produksi wood pelletnya akan terkendala. Sebagai contoh produsen wood pellet akan menargetkan pasarnya di Asia khususnya di Jepang dan Korea, padahal karakteristik pasar wood pellet di Jepang dan Korea berbeda, untuk penjelasan lebih detail dibaca disini

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...